Anda di halaman 1dari 30

DIPLOPIA 201

5
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan
ops yang berarti mata. Diplopia (penglihatan ganda) adalah keluhan subjektif
yang umum atau yang sering didapatkan selama pemeriksaan pada mata.
Selain itu, diplopia sering menjadi manifestasi pertama dari banyak kelainan,
khususnya proses muskuler atau neurologis, atau kelainan pada organ lainnya.
Oleh karena etiologinya sangat bervariasi mulai dari akibat astigmatisme yang
tidak terkoreksi sampai kelainan intrakranial yang mengancam jiwa, para klinisi
harus menyadari kepentingan untuk memberikan respons yang tepat untuk
keluhan ini.
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang lengkap dan menyeluruh akan
didapatkan deskripsi akurat mengenai gejala-gejalanya: apakah konstan atau
intermiten; variabel atau tidak berubah; terjadi pada saat objek jaraknya dekat
atau jauh; terjadi saat melihat dengan satu mata (monokuler) atau dua mata
(binokuler); horizontal, vertikal atau obliks; apakah sama terjadi di semua
lapangan pandang (komitan) atau bervariasi sesuai arah pandang (inkomitan).
Bila anamnesis dan pemeriksaan sudah lengkap dan menyeluruh akan sangat
membantu diagnosis sekaligus menyingkirkan berbagai penyakit dengan gejala
diplopia yang sifatnya mengancam jiwa. Selain itu, diagnosis yang tepat juga
akan membuat tata laksana yang diberikan maksimal dan meminimalkan
komplikasi.
1 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
BAB II
DIPLOPIA

2.1 Definisi
Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan
ops yang berarti mata. Diplopia atau penglihatan ganda adalah keluhan berupa
melihat dua gambaran dari satu objek.

2.2 Fisiologi Penglihatan Binokuler


Pada dasarnya, kita melihat dengan otak. Mata hanyalah sebuah organ
yang menerima rangsang sensoris. Gambaran didapatkan dari proses
mengartikan rangsangan yang diterima oleh retina. Saraf optikus dan jalur
visual mengantarkan informasi ini ke korteks visual. Sistem sensoris
menghasilkan gambaran retinal dan mengantarkan gambaran ini ke pusat
pengaturan yang lebih tinggi. Sistem motorik membantu proses ini dengan
mengarahkan kedua mata pada objek sehingga gambaran yang sama dibentuk
di tiap retina. Otak kemudian memroses informasi ini menjadi kesan
penglihatan binokuler. Hubungan antara sistem sensoris dan motoris ini tidak
dapat dirasakan atau disadari.
Terdapat 3 syarat yang menentukan kualitas penglihatan binokuler:
1.

Penglihatan simultan. Retina kedua mata menerima kedua gambaran


secara simultan. Pada penglihatan binokuler yang normal, kedua mata

2 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
mempunyai titik fiksasi yang sama, yang akan berada di fovea sentralis
kedua mata. Bayangan kedua objek yang selalu sampai ke area identik
di retina, disebut sebagai titik korespondensi retina. Objek-objek yang
terletak pada lingkaran imajiner dikenal sebagai horopter geometrik
diproyeksikan pada titik-titik di retina ini. Horopter yang berbeda akan
berlaku untuk jarak fiksasi berapapun. Oleh karena itu, gambar di kedua
retina akan identik pada penglihatan binokuler yang normal. Fenomena
ini dapat diperiksa dengan menampilkan gambar yang berbeda ke
masing-masing

retina;

normalnya

kedua

gambar

akan

diterima,

menimbulkan diplopia fisiologis.


Diplopia fisiologis dapat didemonstrasikan dengan menempatkan 2
pensil vertikal pada sebuah garis sesuai dengan axis visual subjek,
dengan pensil kedua jaraknya kira-kira 2 kali jauhnya dari pada subjek
pertama. Ketika subjek fokus pada 1 pensil, pensil yang lain akan
tampak ganda.
2.

Fusi: hanya saat kedua retina membuat impresi visual yang sama, yakni
transmisi gambar-gambar identik ke otak, 2 gambaran retinal akan
bercampur menjadi persepsi tunggal. Impair fusi dapat menimbulkan
diplopia.

3.

Penglihatan stereoskopis. Sifat ini adalah tingkat tertinggi kualitas


penglihatan binokuler dan hanya mungkin jika beberapa kondisi
terpenuhi. Agar objek-objek diproyeksikan pada titik korespondensi atau
identik pada retina, mereka harus terletak di horopter geometrik yang

3 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
sama. Objek yang berada di depan atau di belakang lingkaran ini tidak
akan diproyeksikan ke titik korespondensi tapi ke titik non-korespondensi
atau disparate. Hasilnya, objek-objek ini akan dianggap sebagai 2 benda
(diplopia). Sedangkan objek-objek yang berada dalam jangkauan sempit
di depan dan di belakang horopter difusikan sebagai gambaran tunggal.
Area ini disebut sebagai area Panum. Otak memroses gambaran
nonkorespondensi retina dalam area Panum sebagai persepsi visual
tunggal 3-dimensi bukan sebagai gambaran ganda. Sebaliknya, otak
menggunakan

gambaran

ganda

tersebut

untuk

membedakan

kedalaman.

Gambar 1a. Horopter Geometrik. Berkas sinar dari titik fiksasi mencapai fovea
sentralis pada kedua mata pada penglihatan simultan normal. Karena itu, objek
A dan B pada horopter geometrik diproyeksikan pada titik korespondensi di
retina. 1b. Horopter Fisiologis. Pada jangkauan sempit di depan dan di
belakang horopter (area Panum) 2 gambaran retinal masih bisa berfusi. Titik A
4 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
dan B yang berada di luar area Panum, diproyeksikan ke titik nonkoresponden
di retina.

2.3 Pembagian Diplopia


1. Diplopia Monokuler
Diplopia monokuler adalah penglihatan ganda yang timbul pada
mata yang sakit saat mata yang lain ditutup. Diplopia monokuler
merupakan keluhan yang dapat diberikan oleh penderita dan sebaiknya
diperhatikan adalah adanya kelainan refraksi. Bila terjadi gangguan
pembiasan sinar pada mata, maka berkas sinar tidak homogen sampai
di makula yang akan menyebabkan keluhan ini.
Aberasi optik dapat terjadi pada kornea yang ireguler akibat
mengkerutnya jaringan kornea atau permukaan kornea yang tidak
teratur. Hal ini juga terjadi pada pemakaian lensa kontak lama atau
tekanan kalazion. Diplopia monokuler sering dikeluhkan oleh penderita
katarak dini. Hal ini juga akibat berkas sinar tidak difokuskan dalam satu
per satu. Kadang-kadang iridektomi sektoral juga memberikan keluhan
diplopia.
Kelainan di luar bola mata yang dapat menyebabkan diplopia
monokuler adalah bila melihat melalui tepi kaca mata, koreksi
astigmatisme tinggi yang tidak sempurna, sedang kelainan optik di dalam
mata yang memberikan keluhan diplopia monokuler adalah miopia tinggi,
astimatireguler, dislokasi lensa, udara atau benda transparan dalam

5 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
mata, spasme ireguler dari badan silier dan megalokornea, makulopatia,
ablasi retina, iridodialis, ireguler tear film, dan katarak.

2. Diplopia Binokuler
Diplopia binokuler adalah penglihatan ganda terjadi bila melihat
dengan kedua mata dan menghilang bila salah satu mata ditutup. Pada
esotropia atau satu mata bergulir ke dalam maka bayangan di retina
terletak sebelah nasal makula dan benda seakan-akan terletak sebelah
lateral mata tersebut sehingga pada esotropia atau strabismus
konvergen
homonimus.

didapatkan
Sedang

diplopia
pada

tidak bersilang

eksotropia

atau

(uncrossed) atau

strabismus

divergen

sebaliknya diplopia bersilang (crossed) atau heteronimus.


Penyebab diplopia binokuler dapat terjadi karena miastenia gravis,
parese atau paralisis otot penggerak mata ekstraokuler. Saraf kranial III
yang mengenai satu otot kemungkinan adalah lesi nuklear.

2.4 Mekanisme Diplopia


Dua mekanisme utama diplopia adalah misalignment okuler dan aberasi
okuler (misal defek kornea, iris, lensa, atau retina). Kunci paling penting untuk
mengidentifikasi mekanisme diplopia adalah dengan menentukan termasuk
diplopia monokuler atau diplopia binokuler. Misalignment okuler pada pasien
dengan penglihatan binokuler yang normal akan menimbulkan diplopia
binokuler. Misalignment okuler menyebabkan terganggunya kapasitas fusional
6 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
sistem binokuler. Koordinasi neuromuskuler yang normal tidak dapat menjaga
korespondensi visual objek pada retina kedua mata. Dengan kata lain, sebuah
objek yang sedang dilihat tidak jatuh pada fovea kedua retina, maka objek akan
tampak pada dua tempat spasial berbeda dan diplopia pun terjadi.
Pada hampir semua keadaan, diplopia monokuler disebabkan oleh aberasi
lokal pada kornea, iris, lensa, atau yang jarang yaitu retina. Diplopia monokuler
tidak pernah disebabkan oleh misalignment okuler.
Mekanisme diplopia yang ketiga dan jarang terjadi adalah disfungsi korteks
visual primer atau sekunder. Disfungsi ini akan menimbulkan diplopia
monokuler bilateral dan harus dipertimbangkan saat tidak ditemukan aberasi
okuler pada pasien.
Terakhir, diplopia yang terjadi tanpa penyebab patologis, biasa disebut
diplopia fungsional/ fisiologis. Pasien dengan diplopia fungsional juga sering
mengeluhkan berbagai gejala somatik atau neurologis.

2.5 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh merupakan evaluasi yang paling
berguna dalam menangani pasien dengan diplopia. Setiap upaya dibuat untuk
menyakinkan apakah diplopia yang terjadi adalah diplopia monokuler atau
binokuler

karena

akan

sangat

menentukan

mekanisme

terjadi

dan

penyebabnya. Pada pasien dengan diplopia binokuler, pemeriksa dapat


mengevaluasi kelainan-kelainan yang dapat menimbulkan misalignment okuler
baik karena proses neurologis maupun karena penyakit orbita. Sedangkan

7 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
pada pasien dengan diplopia monokuler, pemeriksa dapat memfokuskan pada
kelainan di mata.
Tiga gejala yang penting harus diketahui dengan jelas:
1.

Apakah menutup salah satu mata membuat diplopia hilang? Jika


seorang pasien ragu apakah ia mengalami diplopia monokuler atau
binokuler, pasien disuruh melihat sebuah objek yang ada di ruang
pemeriksaan yang tampak ganda dan menentukan apakah penglihatan
ganda menetap jika mata kanan ditutup atau menetap jika mata kiri yang
ditutup. Namun, perlu diingat bahwa diplopia monokuler dapat terjadi
pada kedua mata secara simultan (disebut diplopia monokuler bilateral).

2.

Apakah deviasi sama pada semua arah gaze (pandangan) atau oleh
penekukan dan pemutaran kepala dalam berbagai posisi? Hal ini
menentukan

deviasi

komitan,

dengan

tanpa

perbedaan

dalam

pemisahan objek-objek pada semua arah gaze. Jika taraf deviasi


berubah (dan mungkin hilang pada arah tertentu) maka deviasinya
inkomitan dan diperkirakan ada masalah inervasi, paling mungkin adalah
parese otot.
3.

Apakah objek kedua terlihat horizontal (bersisian) atau vertikal (atas dan
bawah)? Diplopia obliks (terpisah secara horizontal dan vertikal) dapat
dipertimbangkan sebagai manifestasi diplopia vertikal.

Dalam anamnesis juga perlu memasukkan elemen-elemen yang dapat


membantu melokalisasikan sumber masalah. Seperti biasa pemeriksa harus
mengumpulkan informasi mengenai onset, durasi, frekuensi, gejala-gejala yang

8 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
berhubungan, dan faktor yang menimbulkan atau menghilangkan keluhan.
Pasien harus ditanya dengan spefisik mengenai penurunan visus, trauma,
strabismus masa kanak-kanak, ambliopia, dan pembedahan mata atau
strabismus sebelumnya. Yang juga penting adalah meninjau seluruh sistem
neurologis dan oftalmis.
2.6 Diplopia Monokuler
1. Penyebab Oftalmik
Penyebab oftalmik paling umum untuk diplopia monokuler adalah
kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan defek kornea yang lain (Tabel
1). Deskripsi tertentu mengenai diplopia dapat membantu pemeriksa
menentukan

penyebabnya.

Pasien

dengan

defek kornea

sering

mengalami penglihatan ganda sebagai sebuah bayangan atau


gambaran kedua yang mengelilingi objek. Mereka juga akan mengeluh
penglihatannya berkabut atau kabur. Kelainan kornea yang umum
termasuk astigmatisme, jaringan parut kornea, dan defek kornea yang
diinduksi pembedahan laser mata (LASIK). Pembentukan katarak
menyebabkan kehilangan tajam penglihatan dan silau, namun kadangkadang pasien melaporkan diplopia sebagai gambaran hantu yang
lebih ringan dan kurang jelas.

Defek retina yang melibatkan makula

menyebabkan distorsi objek yang tampak tertekuk atau melengkung.


Beberapa defek makula (misal membran neovaskuler subretinal)
biasanya

monokuler

namun

dapat

pula

binokuler.

Oftalmoskopi

9 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
memungkinkan pengenalan penyakit makular dengan mudah dan harus
dilakukan saat penyakit retina dicurigai.
2. Penyebab Neurologis
Manifestasi yang jarang terjadi pada penyakit yang melibatkan korteks
visual primer maupun sekunder adalah persepsi gambaran visual
multipel yang merupakan fenomena monokuler bilateral karena ada pada
saat penutupan mata kanan ataupun kiri. Polipia serebral (melihat 3 atau
lebih gambaran) dan diplopia serebral adalah penyakit kortikal yang
jarang. Palinopsia (gangguan kortikal), dengan keluhan gambaran objek
multipel yang segera hilang bila menoleh dari objek atau setelah objek
dikeluarkan dari lapangan penglihatan. Pasien sering menggunakan
istilah strobe effect atau setelah gambar untuk mendeskripsikan
palinopsia.

Lesi

diskret

pada

korteks

oksipitoparietal

atau

oksipitotemporal, kejang, obat, dan migrain dapat menyebabkan diplopia


serebral, polipia serebral, atau palinopsia. Defek lapangan pandang
homonimus (defisit pada sisi yang sama untuk kedua mata) sering
dihubungkan dengan ilusi visual kortikal ini. Meskipun pasien tidak selalu
sadar akan kehilangan lapangan pandang.
3. Penyebab nonpatologis
Pasien yang diplopianya fungsional umumnya memiliki keluhan samar
tentang penglihatan mereka. Pasien tidak boleh dilabel fungsional
sampai

pemeriksaan

oftalmik

dan

neurologik

yang

lengkap

mengindikasikan tidak adanya penyebab patologis. Kontrol ulang


mungkin diperlukan untuk meyakinkan bahwa etiologi dengan fase
relaps dan remiten bukanlah sumber dari diplopia.
10 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
Tabel 1. Penyebab Diplopia Monokuler
Kelainan refraksi
Defek kornea (astigmatisme ireguler)
Luka pada iris, iridektomi
Katarak
Defek makular (misal membran epiretinal, choroidal fold)
Opasitas media refraksi
Disfungsi kortikal serebral (diplopia monokuler bilateral)

2.7 Diplopia Binokuler


Dari mata hingga ke otak, terdapat 7 mekanisme berikut dan lokasi yang
terkait yang harus diingat saat mengumpulkan informasi mengenai diplopia
binokuler:
1. Displacement orbital atau okuler: trauma, massa atau tumor, infeksi,
oftalmopati terkait-tiroid.
2. Restriksi otot ekstraokuler: oftalmopati terkait-tiroid, massa atau tumor,
penjepitan otot ekstraokuler, lesi otot ekstraokuler, atau hematom karena
pembedahan mata.
3. Kelemahan otot ekstraokuler: miopati kongenital, miopati mitokondrial,
distrofi muskuler.
4. Kelainan neuromuscular junction: miastenia gravis, botulism.
5. Disfungsi saraf kranial III, IV, atau VI: iskemia, hemoragik, tumor atau
massa, malformasi vaskuler, aneurisme, trauma, meningitis, sklerosis
mutipel.

11 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
6. Disfungsi nuklear saraf kranial di batang otak: stroke, hemoragik, tumor
atau massa, trauma, malformasi vaskuler.
7. Disfungsi supranuklear yang melibatkan jalur ke dan antara nukleus
saraf kranial III, IV atau VI: stroke, hemoragik, tumor atau massa,
trauma, sklerosis multipel, hidrosefalus, sifilis, ensefalopati Wernicke,
penyakit neurodegeneratif.
Pasien harus ditanya diplopianya horizontal, vertikal, atau obliks, memburuk
pada arah gaze tertentu, atau memburuk saat melihat jauh atau dekat. Diplopia
horizontal disebabkan oleh impaired abduksi atau adduksi (berhubungan
dengan kontrol dan pergerakan otot rektus medial, rektus lateral, atau
keduanya) (Gambar 1 dan Gambar 2). Diplopia vertikal disebabkan oleh
impaired elevasi atau depresi (`berhubungan dengan kontrol dan pergerakan
otot rektus inferior, rektus superior, oblik inferior, oblik superior, atau kombinasi
dari otot-otot ini).
Perburukan diplopia para arah gaze tertentu menunjukkan gerakan ke arah
itu impaired. Gejala neurologis lain juga harus dinilai: kelemahan otot proksimal,
kesulitan

menelan,

sesak

napas,

misalnya

menunjukkan

disfungsi

neuromuskuler, dan deteriosasi visus monokuler dan proptosis menunjukkan


proses orbital.

12 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5

Gambar 2. Otot Ekstraokuler

Gambar 3. Kerja otot ekstraokuler dan saraf kranial dari sisi pemeriksa. Tanda
panah yang tebal adalah kerja primer otot, dan tanda panah tipis adalah kerja
sekunder otot. Otot rectus superior dan obliks superior intorsi (berputar ke
dalam), dan otot rectus inferior dan obliks inferior ekstorsi (berputar ke luar)
yang ditandai dengan tanda panah melengkung.
Arah gaze yang menyebabkan diplopia atau meningkatkan pemisahan
objek dapat membantu menentukan struktur mana yang menimbulkan diplopia.
Singkatnya, jika diplopia binokuler horizontal lebih buruk pada arah gaze kiri,
13 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
maka bisa saja karena mata kiri tidak dapat abduksi (palsi saraf VI) atau karena
mata kanan tidak dapat adduksi (oftalmoplegia intranuklear kanan).

1. Penyakit orbita atau restriksi otot ekstraokuler


Sebagian besar pasien dengan penyakit orbital atau restriksi otot
ektraokuler akan memiliki tanda periorbita atau abnormalitas orbita yang
mencolok saat pemeriksaan. Pasien harus ditanyai mengenai perubahan
bentuk karena perubahan awal atau perubahan simetris sulit dideteksi
oleh pemeriksa. Sebagai contoh, tanda seperti retraksi kelopak mata dan
edema periorbita pada penyakit seperti oftalmopati terkait tiroid yang
kurang nyata pada stadium awal penyakit. Foto lama atau foto SIM
pengemudi sangat berguna dalam deteksi perubahan yang subtil. Pasien
juga harus ditanyai tentang operasi mata, trauma dan nyeri mata
sebelumnya.
2. Kelemahan Ekstraokuler Miopatik
Miopati mitokondrial, di antaranya miopati kongenital, dan distrofi
muskuler seperti distrofi okulofaringeal, dapat dengan keluhan diplopia
karena kelemahan otot ekstraokuler yang signifikan. Jika dicurigai
sebuah miopati, gejala yang menunjukkan kelemahan otot kranial atau
skeletal lain harus diketahui. Informasi mengenai riwayat keluarga dan
riwayat kelemahan otot pada masa kanak-kanak harus dikumpulkan.
Sebagai catatan, miopati inflamatori seperti dermomiositis, polimiositis,
dan miopati diinduksi steroid tidak pernah melibatkan otot-otot

14 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
ekstraokuler. Penjelasan alternatif untuk diplopia pada kelainan ini harus
dicari. 7
3. Kelainan Neuromuscular Junction
Kelemahan yang berfluktuasi adalah tanda khas dari disfungsi
neuromuscular junction, dan pasien dengan diplopia harus ditanya
mengenai variasi diurnal diplopia. Sebagai contoh, diplopia yang tidak
dijumpai pada pagi hari dan memburuk secara progresif sepanjang siang
hari atau memburuk saat membaca merupakan gejala yang umum pada
kelainan neuromuscular junction yang mempengaruhi otot ekstraokuler.
Lebih dari 50% pasien dengan miastenia gravis, yang merupakan
kelainan neuromuscular junction terbanyak, ditandai dengan ptosis dan
diplopia tanpa gejala atau tanda kelemahan lain.
4. Palsi Saraf Kranial III, IV, dan VI
Informasi mengenai riwayat penyakit sebaiknya dikumpulkan dengan
pemahaman yang baik mengenai jalur saraf kranial III, IV, dan VI dari
batang otak sampai orbita. Saraf kranial yang menginervasi otot-otot
ekstraokuler dapat terluka di berbagai tempat dari mata ke otak: 1)
orbita, 2) fisura orbita superior, 3) sinus cavernosus, 4) ruang
subarachnoid, dan 5) batang otak. Deskripsi mengenai riwayat, gejala,
dan hasil pemeriksaan yang terkait adalah vital untuk melokalisasi
tempat perlukaan dan lokalisasi akan menuju ke diagnosis banding yang
akurat. Sebagai contoh, pasien berusia 65 tahun dengan sakit kepala
berat dan palsi saraf III terisolasi dengan midriasis, dan pupil yang

15 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
paralisis mengimplikasikan luka kompresif saraf kranial III di ruang
subarachnoid, dan penyebab yang paling mungkin adalah aneurisme
intrakranial yang melibatkan arteri posterior komunikans.
Saat palsi saraf kranial terjadi dalam isolasi, pasien harus ditanya
mengenai faktor risiko vaskuler dan diabetes karena infark iskemik
mikrovaskuler dari saraf kranial III, IV, dan VI dapat terjadi. Vaskulitis
sistemik seperti arteritis temporal, dapat dengan palsi saraf kranial;
gejala klaudikasio rahang, sakit kepala, tender kulit kepala, dan artralgia
harus ditanyakan pada pasien usia tua dengan diplopia karena palsi
saraf kranial.
Palsi saraf kranial III biasa dengan gejala diplopia vertikal dan horizontal
yang akan membaik bila mata yang terkena diabduksi karena otot rektus
lateral dan saraf kranial VI mengabduksi mata. Palsi saraf kranial IV
biasa dengan diplopia vertikal yang memburuk atau hanya muncul saat
melihat dekat dan gaze ke bawah dalam arah yang berlawanan dari
mata yang terkena. Karena otot oblik superior mengintorsi mata, pasien
dengan palsi saraf IV juga melaporkan bahwa salah satu gambaran
tampak miring. Pasien dengan palsi saraf VI mengalami diplopia
horizontal yang memburuk saat mata yang terkena diabduksi (misal
pada pandangan ke lateral ke sisi mata yang terkena) atau saat melihat
objek dari jauh karena mata akan berdivergensi.
5. Lesi batang otak

16 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
Lesi pada batang otak pada jalur supranuklear, nuklei saraf kranial, atau
fasikulus

saraf

kranial

jarang

menimbulkan

diplopia

terisolasi.

Sebaliknya, sebagian besar pasien mengalami diplopia yang terkait


dengan gejala neurologis tambahan karena struktur anatomis yang
mengontrol fungsi sensorik, motorik, koordinasi, dan gait berada dekat
struktur yang mengontrol pergerakan mata. Pengetahuan akan strukturstruktur di otak tengah, pons, dan medulla diperlukan untuk melokalisasi
lesi menggunakan informasi dari riwayat penyakit. Pasien harus ditanya
tentang mati rasa dan kelemahan fasial, kehilangan pendengaran,
disfagia, disartria, vertigo, dan ketidakseimbangan serta inkoordinasi,
mati rasa, atau kelemahan pada ekstremitas.
6. Jalur supranuklear
Jalur supranuklear membuat koneksi ke dan antara nuclei saraf kranial
dan berasal dari korteks, batang otak, serebelum, dan struktur vestibuler
perifer. Disfungsi supranuklear dapat menimbulkan abnormalitas arah
gaze konjugat atau diskonjugat. Jika kedua mata mengalami derajat
parese yang setara pada arah gaze yang sama karena lesi supranuklear,
maka defisitnya konjugat dan pasien tidak mengalami diplopia. Defisit
dapat congenital maupun didapat.
Palsi gaze supranuklear dapat horizontal maupun vertical. Pada
sebagian besar kasus, palsi gaze horizontal konjugat berlokasi ke pons
atau korteks frontal dan palsi gaze vertical konjugata berlokasi ke otak
tengah. Palsi gaze diskonjugat memiliki beragam lokasi. Contoh dari

17 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
palsi gaze horizontal supranuklear diskonjugat adalah oftalmoplegia
intranuklear. Oftalmoplegia intranuklear dicirikan dengan deficit adduksi
pada mata di sisi yang sama dengan lesi dengan nistagmus simultan
mata yang abduksi selama gaze lateral, dan sering dikaitkan dengan
sklerosis multiple atau stroke. Contoh dari palsi vertical supranuklear
diskonjugat adalah deviasi miring. Lokasinya di batang otak, serebelum,
atau sistem vestibuler perifer. Tidak seperti palsi gaze konjugat, palsi
gaze diskonjugat menimbulkan diplopia karena misalignment okuler
terjadi pada satu atau banyak arah gaze.
Seperti pada luka saraf kranial dan nukleinya, lesi jalur supranuklear
sering disertai gejala dan tanda neurologis lain. Banyak struktur dan
etiologi yang umumnya dikaitkan dengan lesi jalur supranuklear seperti
ditunjukkan table 5. Pasien harus ditanya mengenai kelemahan, mati
rasa, impairment kognitif, ketidakseimbangan, inkoordinasi, disfagia,
disartria, vertigo, mual, dan muntah.

2.8 Pemeriksaan untuk Lokalisasi Anatomik


Pemeriksaan semua fungsi sensorik visual normal dan fungsi motorik
okuler perlu dalam evaluasi diplopia. Tajam penglihatan yang paling baik
diperbaiki, lapangan pandang ke konfrontasi, penampakan pupil, dan reaksi
terhadap cahaya, dan fundus posterior harus diperiksa pada setiap pasien.
Sebagai tambahan, jika respons cahaya pupil abnormal untuk salah satu mata,
maka respons pupil saat melihat target yang dekat harus dicatat (bagian dari

18 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
refleks akomodasi). Alignment harus diperhatikan saat pasien fiksasi pada
target jarak jauh dan dekat pada semua arah gaze, dan evaluasi duksi, versi,
saccade, dan pursuit harus dilakukan. Alat yang sangat berguna untuk
mengukur tajam penglihatan adalah pinhole yang memungkinkan pasien
melihat melalui lubang kecil. Pinhole dapat mengeliminasi kelainan refraktif dan
mengeliminasi diplopia monokuler yang disebabkan oleh banyak tipe kelainan
refraktif.

2.9 Pemeriksaan Diplopia Monokuler


Untuk menentukan penyebab okuler spesifik dari diplopia monokuler perlu
dilakukan pemeriksaan oftalmologik lengkap termasuk pemeriksaan slit lamp.
Jika keahlian atau perlengkapan inadekuat, konsultasi oftalmologik harus
dilakukan untuk refraksi dan pemeriksaan kornea, iris, lensa, media okuler, dan
retina untuk setiap pasien yang mengeluh diplopia monokuler. Jika pinhole
mengoreksi diplopia, maka penyebabnya mungkin melibatkan kornea atau
lensa. Kelainan macula retina tidak akan membaik dengan pinhole. Amsler
chart dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit macula yang harus
diverifikasi dengan oftalmoskopi direk.

2.10 Pemeriksaan Diplopia Binokuler


Pemeriksaan pasien dengan misalignment okuler tidak hanya mencakup
pemeriksaan

pergerakan

mata.

Pemeriksa

harus

mengukur

atau

memperhatikan misalignment okuler dari berbagai arah gaze, pembengkakan

19 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
periorbital, abnormalitas orbital seperti eksoftalmus/ proptosis atau enoftalmus,
injeksi konjungtiva atau sklera, posisi palpebra, dan kelemahan otot-otot
ekstraokuler atau otot levator palpebra. Pemeriksaan neurologis lengkap perlu
dilakukan.
1. Pemeriksaan Bola Mata, Orbita, dan Kelopak Mata
Eksoftalmometer digunakan untuk mendeteksi dan mengukur proptosis
atau enoftalmus, dan pembacaan yang lebih besar dari 21 mm untuk
salah satu mata atau perbedaan lebih dari 2 mm antara tiap mata
mengindikasikan proptosis atau enoftalmus. Beberapa orang (misal
wanita Afrika-Amerika) memiliki orbita yang dangkal dan pembacaan
antara 23-25 mm adalah normal. Jika eksoftalmometer tidak tersedia,
pemeriksa dapat melihat mata dari satu sisi atau dari atas untuk
mengevaluasi asimetri.
Fungsi palpebra dan posisinya juga harus diperiksa. Posisi palpebra atas
harus sedikit berada di bawah puncak iris. Jika kelopak atas berada di
atas iris dan sklera tampak, didiagnosis sebagai retraksi palpebra, dan
jika palpebra ketinggalan di belakang mata dengan gaze ke bawah
disebut lid lag. Kedua tanda ini sangat umum pada pasien dengan
oftalmopati terkait-tiroid. Penyakit pada otak tengah dorsal dapat
menyebabkan retraksi palpebra tapi tidak lid lag. Ptosis timbul bila jarak
antara reflex cahaya kornea di tengah pupil (terlihat saat pasien fiksasi
pada cahaya yang diarahkan padanya) dan palpebra atas kurang dari 4
mm. Penyebab neurologis ptosis berasal dari disfungsi otot levator

20 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
palpebra, yang dikontrol oleh saraf kranial III, atau dari disfungsi otot
Muller, yang dikontrol oleh inervasi simpatis. Ptosis dari kelemahan otot
Muller disebabkan oleh sindrom Horner selalu minimal dan seringkali
palpebra bawah sedikit terangkat. Foto-foto lama membantu diferensiasi
proses akut vs kronik yang melibatkan bola mata, orbita, dan kelopak.
2. Pemeriksaan Pergerakan Otot Ekstraokuler
Posisi gaze pokok diperiksa dengan menyuruh pasien mengikuti target
atau jari pemeriksa yang berada pada jarak 12 sampai 14 inci dari mata
pasien. Jika duksi atau versi terbatas, pemeriksa harus menentukan
apakah keterbatasan disebabkan oleh proses restriktif, kelemahan otot,
disfungsi neuromuscular junction, palsi saraf kranial, atau proses
supranuklear. Tes duksi paksa berguna untuk mendeteksi keterbatasan
mekanik untuk pasien dengan keterbatasan otot ekstraokuler yang
substansial. Setelah pemberian anestesi topical kornea dan konjungtiva,
ujung kapas digunakan untuk mencoba menggerakkan atau memaksa
mata kearah di mana ada keterbatasan. Jika tidak ada tahanan maka
berarti tidak ada restriksi mekanik.
Pemeriksaan secara garis besar mungkin tidak sensitif untuk mengetahui
penyebab diplopia binokuler, khususnya bila berhubungan dengan palsi
saraf III atau IV parsial. Maddox rod- sebuah lensa merah dengan ridgeatau sebuah lensa merah tanpa ridge dapat dipakai untuk menentukan
keberadaan dan derajat misalignment okuler. Lensa merah dipegang di
depan mata kanan, sedangkan pasien melihat cahaya putih pinpoint dari

21 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
transluminator oftalmoskop atau dari sumber cahaya lain yang dipegang
oleh pemeriksa. Lokasi dari bar merah dilihat oleh pasien menggunakan
Maddox rod, atau cahaya merah dilihat oleh pasien menggunakan lensa
merah

tanpa

ridge,

dalam

hubungan

dengan

cahaya

putih

mengindikasikan bagaimana mata misalignment. Torsi okuler dapat


diukur menggunakan double Maddox rod.
3. Pemeriksaan Neuromuscular Junction
Pemeriksaan untuk tanda otot ekstraokuler fatigable dan kelemahan
palpebra fatigable dengan pemulihan kekuatan didapat dengan teknikteknik seperti sustained gaze atau penutupan mata repetitif. Kelelahan
otot

ekstraokuler

sulit

untuk

diamati

namun

usaha

untuk

mempertahankan posisi eksentrik gaze oleh pasien yang mengalami


kelainan

neuromuscular

junction

akan

menunjukkan

peningkatan

strabismus, bahkan pada pasien tanpa bukti awal misalignment okuler.


Tes duksi dan versi berulang otot ekstraokuler tanpa istirahat atau
pemulihan

setelah

oftalmoplegia.

mempertahankan

gaze

akan

meningkatkan

Kelemahan pada otot levator palpebra menyebabkan

ptosis. Ptosis yang dicirikan pemulihan setelah istirahat dikenal sebagai


Cogans

lid

twitch

yang

diamati

dengan

menyuruh

pasien

mempertahankan fiksasi pada gaze ke bawah selama 10-20 detiik.


Pasien kemudian refiksasi dengan saccade (gerakan mata yang cepat)
pada sebuah target pada gaze primer (lurus ke depan). Jika saat kembali
ke gaze primer palpebra yang ptosis terangkat dan jatuh dengan cepat,

22 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
Cogans lid twitch positif. Trias ptosis fatigable, kelemahan otot
ekstraokuler fatigable, dan kelemahan otot orbicularis oculi merupakan
dugaan kuat miastenia.
4. Pemeriksaan Saraf Kranial III, IV, dan VI
Pemeriksaan batas pergerakan otot ekstraokuler serta penentuan derajat
misaligment horizontal atau vertikal pada berbagai posisi gaze, dan
dengan kepala miring ke kanan atau ke kiri, dapat membantu
menentukan keterlibatan saraf kranial untuk defisit yang terjadi.
Misalignment okuler paling nyata pada arah gaze dari otot yang
mengalami kelemahan.
Saraf kranial III menginervasi otot rectus superior, inferior, dan medial;
otot obliks inferior; otot sfingter pupil; dan levator palpebra superior. Lesi
pada saraf III memiliki gejala: supraduksi terbatas, infraduksi, dan
adduksi; midriasis dan paralisis pupil total atau parsial; dan ptosis total
atau parsial dari mata yang terkena. Ketika mata yang normal fiksasi
pada target yang jauh pada gaze primer, mata yang sakit biasanya akan
ke bawah dan keluar karena kerja otot rektus obliks superior dan rectus
lateral yang diinervasi saraf IV dan VI yang tidak dapat dilawan. Paralisis
total otot ekstraokuler dan palpebra tanpa keterlibatan pupil paling
karena iskemia saraf III. Pada kasus palsi saraf III, Maddox rod atau tes
kaca merah diperlukan untuk memverifikasi diagnosis. Maddox rod
memperlihatkan hiperdeviasi pada mata yang sakit pada gaze ke bawah
dan hiperdeviasi mata yang sehat pada gaze ke atas dikenal sebagai

23 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
hiperdeviasi alternatif. Ada juga eksodeviasi yang memburuk saat mata
yang sakit diadduksi.
Saraf kranial IV menginervasi otot obliks superior yang infraduksi dan
intorsi mata. Saat mata yang normal fiksasi pada target yang jauh pada
gaze primer, misaligment tidak tampak, untuk itu karena keterbatasan
pada gaze ke bawah sulit diamati secara langsung, palsi saraf IV kurang
dikenal. Jika tanpa keterbatasan dengan infraduksi dan adduksi jelas
bagi pemeriksa, pasien dapat disuruh melihat garis lurus pada kertas
yang ditempatkan dekat dan di bawah mata ke kanan dan ke kiri. Jika
penglihatan ganda ada, pasien menggambar gambar kedua yang salah.
Gambar yang salah harus berada di bawah garis dan miring pada kasuskasus palsi saraf IV yang membuat tanda panah yang menunjuk ke sisi
yang palsi. Oleh karena fungsi intorsi otot obliks superior, pemisahan
gambar ganda meningkat saat kepala dimiringkan ke arah sisi yang palsi
saraf IV dan defisit membaik jika kepala dimiringkan ke sisi yang
berlawanan dengan palsi saraf IV. Singkatnya palsi saraf IV memburuk
bila kepala dimiringkan.
Saraf kranial VI menginervasi otot rectus lateral yang mengabduksi mata.
Saat mata yang normal difiksasi pada target yang jauh pada gaze primer,
mata yang sakit akan deviasi ke dalam (esotropia).
5. Pemeriksaan batang otak
Supaya dapat mengetahui fungsi batang otak, saraf III, IV, dan VI juga
saraf kranial lain- harus dites. Tes kekuatan dan sensasi fasial, sensasi

24 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
kornea, kekuatan maseter, pendengaran, elevasi palatum dan uvula,
kekuatan sternokleidomastoid dan trapezius, refleks muntah, dan posisi
dan kekuatan lidah akan melengkapi pemeriksaan saraf kranial.
6. Pemeriksaan jalur supranuklear
Kemampuan untuk mengatasi keterbatasan motilitas okuler adalah
pemeriksaan yang penting pada defisit motilitas supranuklear. Pada
kasus dengan lesi supranuklear, nuklei yang mengontrol saraf III, IV dan
VI masih intak dan fasikulus masih berfungsi normal. Oleh karena itu,
stimulasi nuklei dengan gerakan kepala menimbulkan duksi okuler
penuh. Untuk melakukan manuver okulosefalik, pasien harus fiksasi
pada objek yang jaraknya 14-16 inci, seperti jempol pasien atau hidung
pemeriksa. Kemudian, saat pasien sedang fiksasi, kepala di putar ke
kanan dan kiri dan atas dan bawah. Gerakan kepala ini mengatasi
keterbatasan

duksi

atau

versi

karena

kelainan

disfungsi

jalur

supranuklear.
7. Lain-lain
Individu yang histeris mungkin mengeluh diplopia. Photopsia dan
skotoma yang terjadi selama aura migraine klasik mungkin dapat dikira
sebagai diplopia. Karena axis visual hanya dapat bertempat di satu
lokasi pada ruang 3D, objek yang yang berada di depan atau belakang
tampak ganda. Hal ini dapat didemonstrasikan dengan fokus pada satu
jari sejauh lengan. Objek yang berada di belakang jari tampak kabur dan
ganda. Pemindahan fokus ke objek pada arah yang sama namun di

25 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
belakang jari menyebabkan objek jadi tunggal, sedang jari tampak kabur
dan ganda. Jika seseorang tiba-tiba sadar akan diplopia ini menunjukkan
kelainan fungsi serebral yang lebih tinggi.

2.11 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diplopia bergantung pada penyebab diplopia itu sendiri.
Pada kasus diplopia monokuler dilakukan koreksi refraksi. Untuk kelainan orbita
pemeriksaan CT scan dan MRI adalah suatu indikasi. Pada kasus-kasus kronik,
diplopia binokuler, MRI adalah suatu indikasi kecuali jika etiologi sudah jelas.
Pembedahan atau pemberian obat-obatan atau penggunaan lensa prisma
dapat mengurangi gejala diplopia bila etiologinya telah ditemukan dan keadaan
umum telah baik.
1. Klinis
-

Menutup satu mata: menutup mata sering diperlukan, karena pasien


harus terus beraktivitas sambil menunggu intervensi.

Lensa oklusif stick-on dapat dipakaikan ke kacamata untuk


meminimalkan handicap pada penggunaan tutup mata, sambil
mengaburkan satu mata untuk meminimalkan penglihatan ganda
yang mengganggu.

Prisma Fresnel: prisma ini dapat melekat ke kacamata. Meski prisma


ini hanya cocok untuk deviasi stabil yang ada di semua arah gaze,
prisma ini mengaburkan gambar dari mata itu dan berfungsi dalam
banyak hal seperti lensa oklusif.

26 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
-

Pengobatan miastenia gravis: mestinon atau agen antikolinergik kerja


lama, serta kortikosteroid.

2. Pembedahan
-

Pembedahan strabismus kadang-kadang diperlukan. Resesi/ reseksi


khas jarang diindikasikan karena satu otot yang sering lemah
permanen, dan pembedahan standar apapun akan kehilangan efek
pada akhirnya. Pengecualian pada fraktur blow out saat dilakukan
pelepasan pada penjepitan jaringan lunak dari fraktur di dasar orbita
dapat sangat efektif.

Pembedahan transposisi (pembedahan Hummelsheim). Dengan


paralisis permanen otot rectus lateral, mengatasi kerja otot rectus
medial yang tidak dilawan, mungkin dilakukan dengan membagi otot
rectus superior dan inferior dan dengan memasukkan setengah
lateral dari kedua otot itu ke insersio otot rectus lateral. Jika tidak,
resesi otot rectus medial yang tercapai hanya dalam waktu
sementara. Meskipun dapat melihat tunggal pada pandangan lurus,
diplopia tetap ada dengan pandangan ke otot yang paralisis.

Paralisis otot obliks superior Knapp


Dengan kelemahan permanen otot obliks superior, mungkin dapat
dilakukan pelemahan otot yoke mata yang lain (otot rectus superior)
juga yang merupakan antagonis direk (otot obliks inferior) pada mata

27 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
yang sama, bersama-sama dengan pemendekan otot yang terkena,
dapat meminimalkan deviasi.
-

Kemodenervasi
Membantu mencegah kontraktur di mata dengan paresis otot
ekstraokuler, khususnya saat kembalinya fungsi diharapkan. Injeksi
multipel selama beberapa bulan dengan toxin botulinum ke otot
rectus medial mengurangi kontraktur karena kelemahan otot rectus
lateral akibat paralisis saraf VI. Efeknya lebih permanen dibanding
dengan yang diharapkan, otot yang tidak disuntik malah membantu
pemendekan dan kontraktur.

2.12

Komplikasi
Pada bayi dan balita, diplopia dapat menyebabkan supresi atau
ambliopia

2.13

Prognosis
Penyebab diplopia bervariasi dari yang ringan hingga kondisi yang
memiliki konsekuensi kesehatan yang besar.
-

Sebagai patokan, pasien dengan multipleks mononeuritis diabetik


yang sembuh spontan dalam 6 minggu.

Penyebab optikal (misal dislokasi lensa, kelainan korneal) dapat


diperbaiki.

28 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
-

Fraktur blow out memiliki prognosis berbeda tergantung jumlah


jaringan yang rusak

Pusat (neurologik) menyebabkan diplopia dapat memiliki konsekuensi


yang serius dan dalam hal tumor primer atau sekunder, prognosisnya
jelek.

29 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

DIPLOPIA 201
5
DAFTAR PUSTAKA

1. Diplopia. Available from :


http://www.snec.com.sg/about/international/menuutama/kondisima
taandperawatan/common-problems/Pages/diplopia.aspx
2. Diplopia. Available from :
http://riskichairi.blogspot.com/2011/04/diplopia.html
3. Diplopia. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1214490overview#showall
4. Double vision (Diplopia). Available from :
http://www.webmd.com/eye-health/double-vision-diplopia-causessymptoms-diagnosis-treatment
5. Sindrom Penglihatan Ganda, Available from :
https://www.optikmelawai.com/eye_info/sindrom-penglihatanganda-diplopia/271/
6. Diplopia. Available from :
http://gheovanchoff.wordpress.com/tag/diplopia/

30 SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD R. SYAMSUDIN, SH, KOTA SUKABUMI

Anda mungkin juga menyukai