INDAH ARIESTIA
3013210208
KELAS D
(314)
I. PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai
anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu
dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa
memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok
terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan
baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap
hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang
menjadi pijakannya.
Salah satu contoh pelanggaran berat Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah Kasus
MARSINAH (1993).
II. PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)pabrik
tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Surat
Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para
pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada
minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di
setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan
dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh
buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu
juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang
daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah
perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang
hendak mogok. Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan
unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift
serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan
WIB di tempat yang sama terjadi lagi aksi unjuk rasa yang dipelopori oleh
karyawati Marsinah. Aksi unjuk rasa bertujuan menuntut perusahaan agar
menaikan upah, tunjangan transportasi, uang makan, uang lembur, dan cuti
hamil, serta jamsostek.
c) Karena ada unjuk rasa/pemogokan tersebut maka pimpinan perusahaan
mengadakan rapat untuk bermusyawarah. Rapat tersebut dihadiri oleh Ys
(manager), Mtr (Kabag personalia) mewakili PT. CPS, Marsinah mewakili
karyawan/wati di dampingi oleh Ta, Sp, dkk, Muspika, DPC SPSI, dan wakil
Depnaker. Musyawarah tersebut menghasilkan putusan bahwa semua tuntutan
karyawan/wati dipenuhi oleh pihak perusahaan, kecuali jamsostek yang masih
ditangguhkan. Akhirnya para karyawan/ wati menghentikan mogok/unjuk rasa
dan bekerja kembali.
d) Pada tanggal 5 Mei 1993 sehari berikutnya, di pabrik PT. CPS diselenggarakan
lagi rapat dipimpin oleh Ys, dihadiri Mtr, Bw, Sw, Ap, Spt, Wd, untuk membahas
situasi unjuk rasa di PT. CPS disamping membahas surat ancaman yang ditulis
oleh Marsinah yang ditujukan kepada pimpinan pabrik PT. CPS. Isi dalam surat
ancaman tersebut adalah:
Jangan mencari-cari kesalahan para karyawan/wati, bilamana terus dilakukan,
maka rahasia perusahaan akan dibongkar.
Dalam rapat tersebut berkembang rasa tidak senang terhadap sikap dan
tindakan Marsinah yang mempelopori pemogokan/unjuk rasa, maka timbul
pemikiran untuk menyingkirkan Marsinah.
e) Beberapa hari kemudian Marsinah tidak tampak lagi di pabrik PT CPS.
Beberapa hari sesudahnya masih dalam bulan Mei 1993, di dusun Jeging,
Kecamatan Welangan, Kabupaten Nganjuk ditemukan mayat seorang wanita,
mayat tersebut merupakan mayat Marsinah karyawati PT. CPS. Mayat Marsinah
lalu diangkut ke RS dan diotopsi. Hasil otopsi menyatakan luka-luka pada pipi,
siku, lengan, perut, luka-luka robek di bagian perut, tulang punggung bagian
depan hancur, memar pada kandung kemih, usus, pendarahan pada rongga
perut kurang lebih l liter. Kesimpulan meninggal akibat perdarahan pada rongga
perut.
III. ANALISA (PEMBAHASAN)
A. Penyidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda
Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel
Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS (Ys, 45 tahun, pemilik pabrik PT
CPS Rungkut dan Porong; Ya, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS
Porong; Su, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Spt, 22
tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bw, 37 tahun, karyawan PT CPS
Porong; Wd, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Ap, 57
tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Kw, 37 tahun, kepala bagian
produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa
masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, yakni terdakwa telah
mengetahui sewaktu dalam rapat bersama di kantor PT.CPS. Pada rapat
tersebut telah disepakati untuk menculik dan membunuh Marsinah
sehingga penculikan dan pembunuhan Marsinah benar-benar terjadi
padahal masih ada waktu bagi terdakwa untuk melaporkan kejadian atau
rencana tersebut kepada pihak Kepolisian atau kepada Marsinah namun
hal tersebut tidak dilakukannya. Atas perbuatan tersebut terdakwa
diancam Pasal 165 ayat (1) KUHP.
Pada dakwaan yang disampaikan oleh pihak penuntut umum ini terdapat
beberapa kejanggalan, dimana dakwaan primair sebagaimana yang
disebutkan diatas adalah kepada terdakwa Ys terlebih dahulu (diduga
sebagai pelaku utama), seharusnya penuntut umum dapat memberikan
dakwaan primair sebagiamana dimaksud setelah ada keputusan
pengadilan mengenai persidangan terdakwa Ys. Sedangkan dalam hal ini,
persidangan atas terdakwa Mtr telah dilaksanakan terlebih dahulu
daripada persidangan terdakwa Ys yang notabenenya diduga sebagai otak
pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Berkas Acara Perkara.
Selain itu, sebagaimana kejanggalan yang dijumpai pada dakwaan
terhadap Mtr ini akan diuraikan pada 3 point besar sebagai berikut :
Sebenarnya kepada Jaksa Penuntut Umum Ialah diberi petunjuk agar
tidak mendakwakan pasal 340 KUHP jo 58 KUHP karena
perbuatanperbuatan Ny. Mutiari atas pembunuhan berencana terhadap
MARSINAH tidak secara nyata nampak dalam kasus Ini demikian juga
halnya dengan dakwaan subsidair dan lebih Subsidair. Dengan atasan
bahwa tolah dilakukan pendekatan dengan Majelis Hakim, Ketua
Pengadilan Negeri bahkan telah mendapat persetujuan Ketua Pengadilan
Tinggi, rencana dakwaan tersebut tetap dipertahankan.
Pada waktu regulator Jaksa hanya menuntut hukuman 22 bulan penjara
dengan alasan ada pasien dari Majelis Hakim agar jangan menuntut tinggi
tinggi.
Penerapan pasal 56 jo pasal 340 KUHP sebenarnya hanya untuk
menjustifikasi penahanan terhadap terdakwa oleh Penyidik (dalam kasus
ini Panyidik di Praperadilan)
C. Pembelaan
Dalam hal pembelaan yang dilakukan oleh terdakwa Mtr oleh penasehat
hukum terdakwa diantaranya adalah :
a) Perkara terdakwa tidak dapat dipertimbangkan secara sendiri tetapi
prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) tentang
KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi
terhadap diri Tersangka / Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat
Hukum untuk mendampingi , membela hak-hak hukum bagi tersangka
atau terdakwa sejak dari proses penyidikan sampai pemeriksaan di
pengadilan dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, sehingga
proses pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan
kekejaman yang dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia
( vide : pasal 33, pasal 3 ayat (2), pasal 5 ayat (2), pasal 17, pasal 18 ayat
(1) dari UU No.39tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ] di samping itu
adanya kontrol oleh Penasihat Hukum terhadap jalannya pemeriksaan
tersangka selama dalam proses persidangan di pengadilan.
D. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan
Secara teoritis dapat dijelaskan 4 (empat) teori sistem pembuktian yaitu :
a) Conviction-in Time
Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan
hakim. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti
yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan
alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari
keterangan dan pengakuan terdakwa. Sebaliknya hakim leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang
lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
b) Conviction-Raisonee
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan keyakinan hakim tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.
Akan tetapi, dalam sistem pembuktian conviction-in Time peran
keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem convectionraisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang
jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan
hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau
alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar
alasan yang dapat diterima.
c) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif