Anda di halaman 1dari 11

PENEGAKAN HUKUM PIDANA

NASIONAL & INTERNASIONAL


PELANGGARAN HAM BERAT DI
INDONESIA

INDAH ARIESTIA
3013210208
KELAS D
(314)

I. PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai
anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu
dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa
memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok
terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan
baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap
hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang
menjadi pijakannya.
Salah satu contoh pelanggaran berat Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah Kasus
MARSINAH (1993).

II. PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)pabrik
tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Surat
Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para
pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada
minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di
setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan
dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh
buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu
juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang
daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah
perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang
hendak mogok. Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan
unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift
serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan

masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para


buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul
serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan
tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa. Aparat dari koramil dan kepolisian
sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya,
Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS.
Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut,
sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat
menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak
mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum
dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai
dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan
yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama. Namun, pertentangan
antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada
tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu
diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring tanpa dasar atau alasan yang
jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK.
Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang
bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah
itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui
perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam
pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap
para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di
Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang
kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekanrekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei
1993. Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk
tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam
posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda
keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan
terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di
sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan
dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang
berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
B. FAKTA-FAKTA
Berikut ini adalah fakta yang melatar belakangi putusan Pengadilan terhadap
terdakwa Mtr sampai dengan dikeluarkannya Putusan Majelis Hakim Mahkamah
Agung tanggal 29 April 1995 Regno.1147 K/Pid/1994.
a) Pada tanggal 3 Mei 1993, karyawan/wati harian pabrik PT. CPS Porong,
termasuk Marsinah melakukan unjuk rasa dan mogok kerja. Mereka berkerumun
di halaman pabrik. Ya, manager PT. CPS memerintahkan Mtr, kepala personalia,
untuk meneliti dan mencatat siapa diantara para karyawan/wati yang menjadi
dalang pemogokan/unjuk rasa.
b) Pada tanggal 4 Mei 1993, besoknya, kurang lebih pukul 07.00 s.d. pukul 10.00

WIB di tempat yang sama terjadi lagi aksi unjuk rasa yang dipelopori oleh
karyawati Marsinah. Aksi unjuk rasa bertujuan menuntut perusahaan agar
menaikan upah, tunjangan transportasi, uang makan, uang lembur, dan cuti
hamil, serta jamsostek.
c) Karena ada unjuk rasa/pemogokan tersebut maka pimpinan perusahaan
mengadakan rapat untuk bermusyawarah. Rapat tersebut dihadiri oleh Ys
(manager), Mtr (Kabag personalia) mewakili PT. CPS, Marsinah mewakili
karyawan/wati di dampingi oleh Ta, Sp, dkk, Muspika, DPC SPSI, dan wakil
Depnaker. Musyawarah tersebut menghasilkan putusan bahwa semua tuntutan
karyawan/wati dipenuhi oleh pihak perusahaan, kecuali jamsostek yang masih
ditangguhkan. Akhirnya para karyawan/ wati menghentikan mogok/unjuk rasa
dan bekerja kembali.
d) Pada tanggal 5 Mei 1993 sehari berikutnya, di pabrik PT. CPS diselenggarakan
lagi rapat dipimpin oleh Ys, dihadiri Mtr, Bw, Sw, Ap, Spt, Wd, untuk membahas
situasi unjuk rasa di PT. CPS disamping membahas surat ancaman yang ditulis
oleh Marsinah yang ditujukan kepada pimpinan pabrik PT. CPS. Isi dalam surat
ancaman tersebut adalah:
Jangan mencari-cari kesalahan para karyawan/wati, bilamana terus dilakukan,
maka rahasia perusahaan akan dibongkar.
Dalam rapat tersebut berkembang rasa tidak senang terhadap sikap dan
tindakan Marsinah yang mempelopori pemogokan/unjuk rasa, maka timbul
pemikiran untuk menyingkirkan Marsinah.
e) Beberapa hari kemudian Marsinah tidak tampak lagi di pabrik PT CPS.
Beberapa hari sesudahnya masih dalam bulan Mei 1993, di dusun Jeging,
Kecamatan Welangan, Kabupaten Nganjuk ditemukan mayat seorang wanita,
mayat tersebut merupakan mayat Marsinah karyawati PT. CPS. Mayat Marsinah
lalu diangkut ke RS dan diotopsi. Hasil otopsi menyatakan luka-luka pada pipi,
siku, lengan, perut, luka-luka robek di bagian perut, tulang punggung bagian
depan hancur, memar pada kandung kemih, usus, pendarahan pada rongga
perut kurang lebih l liter. Kesimpulan meninggal akibat perdarahan pada rongga
perut.
III. ANALISA (PEMBAHASAN)
A. Penyidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda
Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel
Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS (Ys, 45 tahun, pemilik pabrik PT
CPS Rungkut dan Porong; Ya, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS
Porong; Su, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Spt, 22
tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bw, 37 tahun, karyawan PT CPS
Porong; Wd, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Ap, 57
tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Kw, 37 tahun, kepala bagian
produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa

prosedur resmi, termasuk Mtr, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT


CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan
fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang
kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang
diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar
rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di
tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.
Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya
rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam
pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan
memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan
Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah
tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165
KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Spt (pekerja di bagian
kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah
kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki
Carry putih ke rumah Ys di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari
Marsinah disekap, Sw (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan,
Mtr divonis 7 bulan penjara, namun mereka naik banding ke Pengadilan
Tinggi dan Mtr dinyatakan bersalah dan divonis 6 bulan penjara. Dalam
proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik
Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas
murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut,
setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah direkayasa.
Selanjutnya, dalam melakukan pemeriksaan penyidik dengan segala
rekayasa yang dituangkan dalam Berkas Acara Perkara telah
menunjukkan ketidak-profesionalannya yaitu dengan melakukan
pemaksaan terhadap terdakwa guna mengejar sebuah pengakuan.
Padahal dari fakta hukum yang tersedia dikatakan bahwa penyidik
bukanlah mengejar pengakuan melainkan pembuktian sebagaimana
dimaksud pada pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti. Pada saat
melakukan pemeriksaan kepada seorang tersangka, maka penyidik
harus tetap berpedoman pada asas praduga tidak bersalah, tugas
penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP adalah guna membuat
terang suatu perkara pidana dengan menunjukkan alat bukti yang
cukup. Yang tidak kalah penting adalah apa yang disebut sebagai
Miranda Rule, dimana seorang tersangka memiliki hak untuk
mendapatkan bantuan hukum selama proses penyidikan berlangsung.
Dalam hal pencabutan berkas, hal tersebut pun tidak perlu
dikhawatirkan oleh pihak penyidik selama alat bukti yang dimiliki oleh
penyidik adalah cukup dan diperoleh sesuai dengan ketentuan.

B. Dakwaan dan Penuntutan


Penuntut umum dalam dakwaannya merinci tindak pidana yang dilakukan
oleh terdakwa sebagai berikut :
a) Dakwaan Primair
Bahwa terdakwa Mtr,pada hari Rabu tanggal 5 Mei 1993 sekitar pukul
16.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu hari di bulan Mei 1993
bertempat di Kantor PT.Catur Putra Surya Desa Siring Kecamatan Porong
Sidoarjo sengaja memberi keterangan untuk melakukan kejahatan dengan
rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain. Perbuatan tersebut
ditujukan kepada korban atas nama Marsinah (20 tahun) yang dimana
korban meninggal dunia akibat dari pendarahan dalam rongga perut
sebagaimana hasil Visum et Repertum yang dibuat oleh RSU Nganjuk
Nomor : 370/1245/44733/1993 tanggal 11 Mei 1993. Atas perbuatan
tersebut terdakwa diancam pidana Pasal 340 KUHP jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
b) Dakwaan Subsidair
Terdakwa Mtr pada waktu dan tempat sebagaimana dimaksud pada
dakwaan primer , sengaja memberi keterangan untuk melakukan
kejahatan penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih
dahulu mengakibatkan mati, yang dilakukan dengan cara sebagaimana
dimaksud pada dakwaan primer sesuai keterangan dalam Visum et
Repertum juga sebagaimana dimaksud. Atas perbuatan tersebut terdakwa
diancam pidana Pasal 335 ayat (2) KUHP jo Pasal 56 ke-2e KUHP.
c) Dakwaan Lebih Subsidair
Bahwa terdakwa Mtr pada waktu dan tempat sebagaimana dimaksud
dalam dakwaan primair sengaja memberi keterangan untuk melakukan
kejahatan merampas kemerdekaan seseorang yakni mengakibatkan mati
dilakukan dengan cara terdakwa telah memberi keterangan bahwa dia
tidak suka dengan Marsinah karena Marsinah telah menyampaikan surat
ancaman kepada perusahaan sehingga telah timbul kesepakatan untuk
merampas kemerdekaan Marsinah dengan cara menyekap Marsinah
hingga Marsinah mati dan mayatnya dibuang disebuah gubuk di Dusun
Jegong, Desa Welangan Kecamatan Welangan Wilayah Nganjuk. Atas
perbuatan terdakwa diancam pidana Pasal 333 ayat (3) KUHP jo Pasal 56
ke-2 KUHP.
d) Dakwaan Lebih Subsidair lagi
Bahwa terdakwa Mtr,pada waktu dan tempat kejadian sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan Primair telah mengetahui niat untuk melakukan
kejahatan membunuh dengan rencana atau untuk menculik sedangkan

masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, yakni terdakwa telah
mengetahui sewaktu dalam rapat bersama di kantor PT.CPS. Pada rapat
tersebut telah disepakati untuk menculik dan membunuh Marsinah
sehingga penculikan dan pembunuhan Marsinah benar-benar terjadi
padahal masih ada waktu bagi terdakwa untuk melaporkan kejadian atau
rencana tersebut kepada pihak Kepolisian atau kepada Marsinah namun
hal tersebut tidak dilakukannya. Atas perbuatan tersebut terdakwa
diancam Pasal 165 ayat (1) KUHP.
Pada dakwaan yang disampaikan oleh pihak penuntut umum ini terdapat
beberapa kejanggalan, dimana dakwaan primair sebagaimana yang
disebutkan diatas adalah kepada terdakwa Ys terlebih dahulu (diduga
sebagai pelaku utama), seharusnya penuntut umum dapat memberikan
dakwaan primair sebagiamana dimaksud setelah ada keputusan
pengadilan mengenai persidangan terdakwa Ys. Sedangkan dalam hal ini,
persidangan atas terdakwa Mtr telah dilaksanakan terlebih dahulu
daripada persidangan terdakwa Ys yang notabenenya diduga sebagai otak
pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Berkas Acara Perkara.
Selain itu, sebagaimana kejanggalan yang dijumpai pada dakwaan
terhadap Mtr ini akan diuraikan pada 3 point besar sebagai berikut :
Sebenarnya kepada Jaksa Penuntut Umum Ialah diberi petunjuk agar
tidak mendakwakan pasal 340 KUHP jo 58 KUHP karena
perbuatanperbuatan Ny. Mutiari atas pembunuhan berencana terhadap
MARSINAH tidak secara nyata nampak dalam kasus Ini demikian juga
halnya dengan dakwaan subsidair dan lebih Subsidair. Dengan atasan
bahwa tolah dilakukan pendekatan dengan Majelis Hakim, Ketua
Pengadilan Negeri bahkan telah mendapat persetujuan Ketua Pengadilan
Tinggi, rencana dakwaan tersebut tetap dipertahankan.
Pada waktu regulator Jaksa hanya menuntut hukuman 22 bulan penjara
dengan alasan ada pasien dari Majelis Hakim agar jangan menuntut tinggi
tinggi.
Penerapan pasal 56 jo pasal 340 KUHP sebenarnya hanya untuk
menjustifikasi penahanan terhadap terdakwa oleh Penyidik (dalam kasus
ini Panyidik di Praperadilan)
C. Pembelaan
Dalam hal pembelaan yang dilakukan oleh terdakwa Mtr oleh penasehat
hukum terdakwa diantaranya adalah :
a) Perkara terdakwa tidak dapat dipertimbangkan secara sendiri tetapi

harus ditinjau secara bersama. Dalam perkara tersebut turut terdakwa


lainnya dalam perkara yang sama. Sementara dalam pemeriksaan
ternyata perbuatan yang didakwaankan kepada terdakwa-terdakwa dan
turut terdakwa didakwa oleh penuntut umum dilakukan sendiri-sendiri.
b) Para terdakwa serta para turut terdakwa dalam perkara sendiri sebagai
terdakwa dan dalam perkara turut terdakwa sebagai saksi (kecuali dalam
perkara ini) secara konsisten, mencabut keterangannya dalam BAP
dengan alasan keterangan tersebut tidak benar karena diberikan dalam
keadaan tertekan fisik dan atau psikis.
c) Para saksi (Ys,Bw,Ap,Wd,Spt dan Sw) dalam perkara sendiri (masingmasing) sebagai terdakwa secara eksplisit mencabut keterangannya yang
diberikan sebagai saksi dalam perkara ini.
d) Judex Factie telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian, karena
para saksi yang dimintai keterangan adalah para terdakwa dalam perkara
dengan dakwaan yang sama.
Atas beberapa point keberatan yang disampaikan oleh pihak kuasa hukum
terdakwa Mtr sebagai bentuk pembelaan terhadap terdakwa Mtr, maka
selayaknya kita berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) serta asas-asas dalam hukum formal di Indonesia. Dalam
hal ini terutama mengenai hak-hak daripada tersangka/terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam Miranda Rule.
Miranda Rule adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka /
terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan
pejabat bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk
didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan
sampai dan/atau dalam semua tingkat proses peradilan. Secara umum
prinsip Miranda Rule (miranda principle) yang terdapat dalam KUHAP yang
menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada di dalam BAB VI UU
No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip miranda
rule atau miranda principle terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi sbb : Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak
mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk
penasihat bagi mereka
Perlu diketahui bahwa yang ingin dicapai dan/atau ditegakkan di dalam

prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) tentang
KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi
terhadap diri Tersangka / Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat
Hukum untuk mendampingi , membela hak-hak hukum bagi tersangka
atau terdakwa sejak dari proses penyidikan sampai pemeriksaan di
pengadilan dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, sehingga
proses pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan
kekejaman yang dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia
( vide : pasal 33, pasal 3 ayat (2), pasal 5 ayat (2), pasal 17, pasal 18 ayat
(1) dari UU No.39tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ] di samping itu
adanya kontrol oleh Penasihat Hukum terhadap jalannya pemeriksaan
tersangka selama dalam proses persidangan di pengadilan.
D. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan
Secara teoritis dapat dijelaskan 4 (empat) teori sistem pembuktian yaitu :
a) Conviction-in Time
Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan
hakim. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti
yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan
alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari
keterangan dan pengakuan terdakwa. Sebaliknya hakim leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang
lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
b) Conviction-Raisonee
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan keyakinan hakim tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.
Akan tetapi, dalam sistem pembuktian conviction-in Time peran
keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem convectionraisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang
jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan
hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau
alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar
alasan yang dapat diterima.
c) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Pembuktian ini merupakan kontroversi dari sistem pembuktian menurut


keyakinan hakim atau conviction-in time. Dalam pembuktian ini peran
hakim tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem
ini berpedoman pada pembuktian menurut undang-undang. Untuk
membuktikan salah tidaknya seorang terdakwa maka harus berdasarkan
alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah itulah yang terdapat dalam
undang-undang. Dengan kata lain bahwa tanpa alat bukti yang sah
berdasarkan undang-undang maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana
terhadap kesalahan terdakwa. Sebaliknya ialah jika bukti-bukti yang sah
berdasarkan undang-undang telah dipenuhi maka hakim dapat
menentukan kesalahan terdakwa.
d) Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief
Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time.
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara
ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negatif
menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian
menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Alat-alat bukti (Bewijsmiddelen) diartikan sebagai alat yang dipakai untuk
membantu hakim dalam menggambarkan kembali mengenai kepastian
pernah terjadinya peristiwa pidana.Sedangkan dasar pembuktian
(bewijskracht) dimaknai sebagai isi dari alat bukti.DiIndonesia sendiri,
beban pembuktian (bewijsgrond) atau kewajiban mengenai siapa yang
wajib untuk membuktikan diserahkan kepada pihak yang mendakwa/Jaksa
Penuntut Umum (Pasal 66 KUHAP).Materi dari dakwaan jaksa didapat
melalui proses penyidikan yang dituangkan dalam sebuah Berita Acara
Pemeriksaan oleh seorang penyidik. Kegiatan ini merupakan lingkaran
mekanisme Criminal Justice System yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia termasuk mengenai beracara dalam
pidana (UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP).
Atas apa yang terjadi pada putusan pengadilan Negeri dan putusan
Pengadilan Tinggi pada persidangan dengan terdakwa Mtr terdapat

sedemikian banyak asas pembuktian yang telah dilewatkan oleh Hakim


bahkan cenderung untuk menselaraskan jalan cerita persidangan dengan
dakwaan dari penuntut umum. Setidaknya hal ini terlihat dari hasil
putusan Mahkamah Agung terhadap terdakwa Mtr pada kasus yang sama
dimana hakim pada Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang jauh
berbeda dengan apa yang diputuskan oleh hakim pada Pengadilan Negeri
maupun oleh Hakim pada Pengadilan Tinggi pada kasus ini terhadap
terdakwa Mtr.

Anda mungkin juga menyukai