KARDIORESPIRASI
Setiap hari kita melakukan berbagai aktifitas fisik, mulai dari berjalan
kaki, bermain sepak bola, atau berlari. Dalam setiap kegiatan, sistem
kardiovaskular,
endokrin,
pernapasan,
hematologi
dan
muskuloskeletal
mengenali efek latihan pada VO2max, penting untuk mengetahui faktor yang
berkontribusi pada VO2max. Secara fisiologi ini dapat dijelaskan dengan penjabaran
persamaan Fick (Adolph Fick, 1870).
VO2 = Q x a vO2 diff (dimana Q = HR x SV)
Dimana :
VO2
Q
SV
HR
a- VO2 diff
ADAPTASI
FISIOLOGI
PADA
LATIHAN
KARDIORESPIRASI
(AEROBIK)
KONSUMSI OKSIGEN
VO2 = Q x a vO2 diff
Peningkatan kebugaran kardiorespirasi bergantung, sebagian, pada
kemampuan sistem kardiovaskular dan pernafasan untuk beradaptasi pada
aktifitas fisik. Banyak penelitian yang melibatkan orang sehat menunjukkan 1030% peningkatan VO2 max pada 12 24 minggu latihan. Batas atas VO 2 max
laki-laki sekitar 85 ml/kg.min dan pada wanita 75 ml/kg.min, tapi dapat sebesar
<15 ml/kg.min pada pasien dengan gagal jantung kongestif.
Faktor yang berkontribusi pada respon VO2 latihan telah dijelaskan
melalui berbagai laporan dari data yang diperoleh dari Heritage Family Study.
Menurut data, peneliti menyimpulkan bahwa ada tingkatan kelompok responden
tinggi, sedang, dan rendah untuk program latihan dan ada perubahan absolut pada
VO2 max, yang tidak berkaitan dengan usia, jenis kelamin, ataupun level
kebugaran. Level kebugaran inisial dihubungkan dengan perubahan persentase
pada VO2 max, pada mereka yang memiliki VO 2 max yang rendah pada awalnya
mengalami peningkatan proporsional VO2 max yang lebih besar setelah latihan.
Sebagai tambahan, data dari Heritage Family Study juga menunjukkan kontribusi
genetik untuk VO2 max sebesar 50%.
Aktivitas ringan seperti berjalan kaki, memiliki kebutuhan oksigen yang
hampir sama antara manusia satu dengan yang lainnya. Aktifitas seperti ini akan
dirasakan lebih mudah dan membutuhkan usaha yang relatif lebih ringan pada
individu dengan kebugaran kardiorespirasi yang tinggi. Cadangan kadiorespirasi
yang lebih besar akan membuat individu dengan level kebugaran yang lebih tinggi
bekerja pada persentase VO2 max yang lebih ringan. Di sisi lain, aktifitas seharihari, seperti menyapu, dirasakan lebih sulit pada mereka dengan VO2 max yang
lebih rendah, sehingga menyebabkan penurunan cadangan kardiorespirasi.
STROKE VOLUME
Frekuensi jantung dan stroke volume keduanya berkontribusi pada
peningkatan curah jantung selama latihan akut. Stroke volume meningkat selama
latihan akibat dari (a) meningkatnya aliran balik vena (Mekanisme FrankStarling) dimana hal ini akan membuat volume ventrikel kiri diakhir diastole tidak
berubah atau sedikit meningkat, dan (b) meningkatnya kontraktilitas ( mungkin
disebabkan oleh pengaruh neuruhormonal). Latihan aerobik reguler juga
menyebabkan hipertrofi jantung, dengan karakteristik dengan permbesaran ruang
ventrikel yang tidak melebihi batasan normal (<56 mm) dan secara proposional
ketebalan dinding juga bertambah, hal ini terjadi bersamaan sehingga rasio antara
penebalan dinding dan diameter ruang tetap konstan. Sebagai contoh, diameter
akhir ventrikel kiri pada akhir diastol mendekati 55 mm pada seorang atlet yang
sangat terlatih versus <55 mm pada individu non-aktif. Salah satu faktor penting
yang berkontribusi pada adaptasi ini adalah meningkatnya 10-15% volume darah
segera setelah mengikuti program latihan. Latihan yang intensif biasanya
menghasilkan peningkatan volume darah sekitar 500 mL dengan ekspansi volume
plasma. Pada akhirnya, faktor lain yang ikut terpengaruh adalah kekuatan otot
jantung dan hal ini memungkinkan kontraksi yang lebih kuat. Hasilnya adalah
peningkatan volume ejeksi akhir diastol (peningktan fraksi ejeksi). Namun pada
pasien dengan penyakit jantung, efek yang terjadi lebih sedikit dari yang
diprediksi. Pada pasien ini, peningkatan kapasitas terutama disebabkan oleh
peningkatan kemampuan perifer dan peningkatan stroke volume dan curah
jantung. Namun, pada beberapa studi kasus pasien dengan penyakit jantung dapat
meningkatkan stroke volume dengan mengikuti program latihan.
Sebagai hasilnya program latihan aerobik dapat meningkatkan fraksi
ejeksi. Peningkatan stroke volume yang disebabkan karena latihan memungkinkan
seseorang dapat bekerja dengan frekuensi jantung lebih rendah sehingga konsumsi
oksigen miokard menurun. Hal di atas seluruhnya mengambarkan karakteristik
morfologi jantung yang bersama dengan peningkatan peredaran darah sentral dan
hemoglobin total sangat berhubungan dengan VO2 max.
FREKUENSI JANTUNG
Frekuensi jantung merupakan faktor kedua yang berkontribusi pada curah
jantung. Pada seorang yang mengalami deconditioning, olahraga dapat
menyebabkan peningkatan yang lebih bermakna pada frekuensi jantung dari
keadaan istitahat sampai keadaan pekerjaan ringan, dibandingkan dengan seorang
yang terlatih. Oleh karena itu, karena respon dari stroke volume yang tidak
banyak, pada orang yang tidak terlatih frekuensi jantung memegang peranan
utama pada peningkatan curah jantung selama latihan yang intens seperti pada
stress tes.
Pada metanalisis oleh Cornelissen dan Fagard dalam 72 studi kasus,
olahraga dapat menurunkan frekuensi jantung selama istirahat sebesar 7
detak/min. Penurunan ini disebabkan oleh pengaruh sistem saraf autonom yang
menurunkan
efek
simpatis
dan
meningkatkan
efek
parasimpatis
serta
metabolisme
aerob
oleh
enzim
mitokondrial,
dengan
demikian
dapat
= curah jantung
(misalnya pada area splanknik) dan vasodilatasi pada tempat yang lainnya
(contohnya pada otot skeletal dan otot jantung) selama olahraga. Secara
keseluruhan efeknya adalah penurunan resistensi perifer total. Perubahan dalam
tonus vasomotor ini memungkinkan peningkatan aliran pembuluh darah ke otot
skeletal yang aktif secara metabolik sekitar 15 kali lipat atau lebih, penurunan
aliran darah pada daerah splanknik, peningkatan aliran darah ke jantung, dan
mempertahankan aliran darah ke sistem saraf pusat.
MAP bertambah selama serangan akut dari latihan yang meningkat secara
progresif (misalnya pada latihan stress-test) pada orang sehat karena besarnya
peningkatan curah jantung lebih besar dari penurunan tahanan perifer sistemik
total. Karena tekanan darah diastol tetap konstan atau mungkin turun perlahan
pada individu yang sudah terlatih maupun belum, peningkatan MAP lebih
disebabkan oleh meningkatnya tekanan darah sistol.
Relatif terhadap kondisi sebelum latihan, setelah program latihan, MAP
dan tekanan darah sistolik akan berkurang tanpa perubahan dalam tekanan darah
maksimum. Curah jantung lebih besar yang timbul setelah latihan walaupun tanpa
perubahan tekanan darah maksimum menunjukkan bahwa latihan meningkatkan
kapasitas maksimal vasodilatasi dari otot yang terlatih. Besarnya vasodilatasi
membuat tahanan perifer sistemik menjadi lebih kecil, dan memungkinkan
peningkatan volume darah yang dipompa tanpa membutuhkan tekanan darah yang
lebih tinggi. Tekanan darah sistolik saat istirahat dan saat kerja secara umum lebih
rendah pada individu yang terlatih daripada yang tidak terlatih. Telah dilaporkan
pula bahwa pada individu yang memiliki hipertensi ringan-sedang, latihan dapat
menurunkan tekanan darah sistol istirahat 4 - 9 mmHg. Dalam sebuah studi metaanalisis yang melibatkan 72 studi tentang program latihan, Cornelissen dan
Fagard menyimpulkan bahwa latihan exercise pada individu tanpa hipertensi
menurunkan tekanan darah sistole dan diastole 3.0 dan 2.4 mmHg. Efek latihan
lebih besar pada individu dengan hipertensi, dimana tekanan darah sistol dan
diastole istirahat berkurang sebanyak 6.9 dan 4.9 mmHg. Mekanisme yang
diperkirakan berkaitan dengan penurunan ini meliputi neurohumoral, vascular,
9
HR
= frekuensi jantung
SBP
10
FUNGSI PULMONAR
Karena kemampuan sistem pulmonar dalam merespon cepat pada latihan
akut dan kenyataan bahwa ini tidak membatasi latihan maksimal, kebutuhan
adaptasi sistem pulmonar pada latihan exercise lebih rendah dari sistem yang lain
(misalnya kardiovaskular, muskuloskeletal). Namun, ada beberapa adaptasi terkait
pulmonary yang timbul sebagai hasil latihan aerobic.
Sebelum mendiskusikan adaptasi-adaptasi ini, penting untuk diingat
bahwa di antara pasien dengan penyakit paru seperti bronkhitis kronis, emfisema,
atau asma- keterbatasan fungsi paru yang disebabkan oleh penyakit-penyakit
tersebut memperkecil pencapaian fisiologi yang diperoleh dalam latihan. Dispnea
yang diasosiasikan dengan kebanyakan penyakit paru membuat individu
menghindari aktivitas sehingga terbentuk lingkaran setan yang semakin
memperparah keterbatasan seseorang. Tetepi, hal ini bukan berarti toleransi pasien
terhadap program latihan atau rehabilitasi tidak meningkat. Submaximal
endurance dan total walking time biasanya meningkat, namun hanya dengan
sedikit peningkatan VO2 maks.
VENTILASI MENIT
Ventilasi menit saat latihan ditingkatkan dengan peningkatan volume tidal
dan frekuensi napas. Ventilasi dikontrol oleh faktor neural dan kimia. Walaupun
pada umumnya ventilasi tidak membatasi kinerja latihan pada individu yang
sehat, keterbatasan ventilasi dijumpai pada latihan maksimal yang dilakukan oleh
atlet terlatih. Ventilasi menit dapat didefinisikan sebagai:
VE = VT x fB
Dimana:
VE
= ventilasi menit
VT
= volume tidal
fB
11
12
13
perenang, dan pengendara sepeda, denyut jantung atau kapasitas kerja sesuai
dengan ambang laktat masing-masing diidentifikasi dan kemudian digunakan
untuk memandu intensitas pelatihan di bawah, di atas, atau pada ambang laktat
mereka.
Meskipun adaptasi fisiologi yang bertanggungjawab terhadap penurunan
kadar laktat dalam darah selama latihan submaksimal belum diketahui secara
pasti, terdapat beberapa kemungkinan. Hal ini termasuk defisit oksigen yang lebih
sedikit pada awal latihan disebabkan oleh penyesuaian yang lebih cepat dari
pengambilan oksigen (kinetika oksigen) relatif terhadap kebutuhan energi;
pembersihan laktat dalam jumlah besar dari darah yang dihasilkan selama latihan,
seperti yang dimetabolisme melalui siklus Cori dalam hati dan juga digunakan
sebagai sumber energi oleh organ-organ lain, serta latihan yang meningkatan
ukuran otot rangka mitokondria dan konsentrasi enzim yang terlibat dalam
oksidasi asam lemak. Mengenai poin terakhir, hasil murninya merupakan
peningkatan kemampuan dari otot rangka untuk menggunakan asam lemak dan
bekerja secara aerobik selama latihan berkepanjangan dibandingkan harus
bergantung banyak pada glikolisis anaerob untuk menghasilkan adenosin trifosfat
(ATP).
Seperti dibahas dalam Bab 3, ambang laktat dapat diidentifikasi secara
non-invasif menggunakan data pertukaran ventilasi gas (misalnya, ambang
ventilator) yang dikumpulkan selama uji latihan progresif. Perubahan ambang
ventilator diharapkan akan parallel terhadap perubahan ambang laktat.
DETRAINING DAN TIRAH BARING
Meskipun latihan menigkatkan berbagai adaptasi fisiologis, inaktivitas
jangka panjang (seperti, detraining) berhubungan dengan pembalikan dari banyak
perubahan kronis yang menguntungkan. Konsep detraining ini menyiratkan
bahwa ketika pelatihan fisik dihentikan atau dikurangi, sistem organ
menyesuaikan sesuai dengan rangsangan fisiologis yang menurun.
14
Sebuah contoh ekstrim dari detraining adalah tirah baring, seperti ketika
seseorang menderita infark miokard dan kemudian diharuskan untuk tirah baring
selama di rumah sakit. Pada tahun 1960, orang tersebut mungkin diharuskan
untuk tirah baring sampai 3 minggu di rumah sakit. Setelah tiba di rumah, orangorang ini sering dilaporkan menjadi mudah lelah dan kehilangan stamina
sepanjang hari, sebagian besar disebabkan oleh efek yang terjadi selama tirah
baring. Tirah baring menyebabkan deconditioning yang signifikan dan juga
menyebabkan perubahan sirkulasi sentral terkait posisi horisontal untuk jangka
waktu lama (misalnya, hipotensi ortostatik akan terjadi ketika mencoba untuk
posisi tegak).
Saat ini, pasien penderita infark miokard tanpa komplikasi didukung untuk
ambulasi dalam 48 sampai 72 jam dan biasanya mereka dapat pulang ke rumah
dalam waktu 3 sampai 5 hari. Para penderita infark miokard saat ini
menghabiskan waktu lebih sedikit di tempat tidur, yang berarti berkurangnya
detraining serta mempertahankan toleransi latihan dan VO2max.
KONSUMSI OKSIGEN MAKSIMAL
Ketahanan pelatihan sedang meningkatkan VO2max sebesar 10% sampai
30%, sebagian besar berasal dari peningkatan cardiac output dan stroke volume.
Sebaliknya, detraining berkepanjangan (8-10 minggu atau lebih) telah dilaporkan
mengembalikan VO2max lengkap untuk tingkat pretraining. Umumnya, nilai VO 2max
menurun dengan cepat selama inaktivitas bulan pertama, dengan penurunan yang
lebih lambat ke tingkat untrained, yang terjadi selama bulan kedua dan ketiga dari
detraining. Oleh karena itu, bukti yang ada menunjukkan bahwa peningkatan
VO2max dihasilkan oleh pelatihan ketahanan yang melibatkan latihan intensitas
rendah sampai sedang dan hasilnya benar-benar terbalik setelah beberapa bulan
detraining dan adopsi gaya hidup yang cenderung menetap.
Apakah riwayat latihan ketahanan intensif jangka panjang menghasilkan
pertahanan
VO2max
yang
lebih
persisten
setelah
inaktivitas
berikutnya
dibandingkan periode jangka pendek dari pelatihan yang kurang intensif juga
15
telah diteliti. Gambar 30-2 menunjukkan perjalanan waktu penurunan VO 2max dan
variabel terkait (stroke volume, denyut jantung dan vO 2diff) ketika subjek menjadi
menetap setelah pelatihan intensif selama kurang lebih 10 tahun. Perhatikan
penurunan yang cepat dalam VO2max pada 12 sampai 21 hari pertama dan
hubungannya dengan penurunan stroke volume maksimal. Tabel 30-2
membandingkan kelompok menetap dengan kelompok atletik dan perubahan yang
berhubungan dengan detraining di tingkat sentral dan perifer.
Gambar 30-2. Pengaruh detraining pada perubahan denyut jantung (HR), perbedaan
oksigen arteriovenous (a-[v O2 diff), stroke volume (SV), dan konsumsi oksigen
(VO2) pada latihan maksimal. Diadaptasi dari Coyle EF, Martin WH 3rd, Sinacore
DR, dkk. Waktu hilangnya adaptasi setelah berhenti dari ketahanan pelatihan intensif
jangka panjang. J ApplPhysiol. 1984; 57:1857-1864
KELOMPOK
MENETAP
KELOMPOK ATLET
TERLATIH
DETRAINE
43.3
128
62.1
148a
D
50.8a,b
129b
(mL.denyut-1)
a.vO2 diff maksimal (mL.O2
12.6
15.1a
14.1a,b
1L darah-1)
vO2 di ambang laktat (mL.kg- 26.9
49.2a
37.6b
70.5
158
90.0b
184b
-1
-1
.min-1)
Submaksimal VE (L.min-1)
Denyut jantung submaksimal -
(denyut.min-1)
16
p < 0.05 untuk atlet terlatih atau atlet detrained dibandingkan kelompok menetap
Diadaptasi dari Coyle EF, Martin WH 3 rd, Bloomfield SA, dkk. Efek dari detraining terhadap
respon pelatihan submaksimal. J Appl Physiol. 1985;59:853-859; dan Coyle EF, Martin WH 3rd,
Sinacore DR, dkk. Waktu hilangnya adaptasi setelah berhenti dari ketahanan pelatihan intensif
jangka panjang. J ApplPhysiol. 1984; 57:1857-1864
STROKE VOLUME
Program pelatihan ketahanan intensif jangka panjang dapat meningkatkan
massa jantung (misalnya hipertrofi jantung), namun sebaliknya keadaan
detraining biasanya menyebabkan penurunan massa jantung, meskipun tidak
semua penelitian melaporkan penurunan. Tidak jelas apakah peningkatan dimensi
ventrikel kiri dan kontraksi miokardial yang diinduksi latihan menjadi berkurang
dengan inaktivitas. Atlet yang memiliki program latihan menetap memiliki
jantung yang lebih besar dan VO2max yang lebih tinggi dibandingkan orang-orang
yang belum pernah dilatih.
Salah satu efek yang paling mencolok dari detraining pada individu
dengan ketahanan terlatih adalah penurunan stroke volume yang cepat. Martin et
al. mengukur stroke volume selama latihan pada subjek yang terlatih baik dalam
posisi tegak dan terlentang dan selanjutnya setelah inaktivitas hari ke 21 dan 56
(Gambar 30-3). Penurunan stroke volume dalam jumlah besar ketika bersepeda
dengan posisi tegak dikaitkan dengan regresi paralel pada diameter akhir diastolik
ventrikel kiri. Namun ketika subjek latihan dalam posisi terlentang, hal ini
biasanya menambah pengisian ventrikel karena peningkatan aliran balik vena dari
ekstremitas bawah yang ditinggikan, pada diameter akhir diastolik ventrikel kiri.
Akibatnya, stroke volume selama latihan dalam posisi telentang dipertahankan
pada tingkat xxx beberapa persen selama 56 hari periode detraining. Pengamatan
Xxx menunjukkan bahwa pengisian jantung merupakan faktor penting dalam
meningkatkan stroke volume selama latihan dan ketika menurun, mungkin
sebagai akibat dari penurunan volume darah sehingga stroke volume juga
menurun.
17
VOLUME DARAH
Tampak bahwa detraining cepat yang diinduksi penurunan stroke volume
selama latihan dalam posisi tegak diperlukan untuk menurunkan volume darah.
Volume darah menurun dalam beberapa hari pertama dari program latihan, tapi
dengan cepat berbalik ketika pelatihan berhenti. Oleh karena itu, penurunan stroke
volume dan peningkatan denyut jantung selama latihan submaksimal, yang
biasanya terjadi setelah beberapa minggu detraining, dapat berbalik, kembali
mendekati ke tingkat terlatih ketika volume darah artifisial diperluas ke tingkat
yang sama dengan subjek yang terlatih (14).
GAMBAR 30-3. Persen penurunan dalam latihan stroke volume (A) dan
akhir diameter diastolic ventrikel kiri (LVEDD) (B) selama latihan dalam
posisi tegak dan terlentang ketika terlatih dan setelah inaktivitas hari ke 21
dan 56 (garis utuh menunjukkan posisi tegak, garis putus-putus
menunjukkan posisi terlentang ).*Respon dalam posisi tegak secara
signifikan (p <0,05) lebih rendah dibandingkan dalam posisi terlentang dan
lebih rendah dibanding saat terlatih. Dicetak ulang dengan izin
18 dari Costill
DL, Fink WJ, Hargreaves M, dkk. Karakteristik metabolik otot rangka selama
Gambar 30-5. Puncak VO2 sebelum dan setelah 20 minggu latihan pada pria (n =
287) dan perempuan (n = 346). Diadaptasi dari Skinner JS, Jaskolski A, Jaskolsa
A, et al. Age, sex, race, initial fitness, and response to training: the HERITAGE
Family Study. J. Appl Physiol. 2001; 90:1770-1776.
19
KEMAJUAN
SPESIFIK
BERDASAR
JENIS
KELAMIN
DAN
KEMAMPUAN LATIHAN
Selama bertahun-tahun, sebagian besar penelitian tentang efek aerobik latihan
melibatkan laki-laki. Namun, banyak penelitian juga memberikan data yang cukup
pada VO2max hemodinamik kardiovaskuler, komposisi tubuh, dan serum lipid pada
perempuan muda, setengah baya, dan lebih tua yang menjalani latihan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perempuan merespon latihan aerobik dalam
banyak cara yang sama seperti laki-laki ketika mengalami program yang
sebanding dari segi frekuensi, intensitas, dan durasi latihan (2,27) (gambar. 30-5).
Peningkatan kebugaran kardiorespirasi berkorelasi terbalik dengan usia, aktivitas
fisik kebiasaan, dan awal VO2max (yang umumnya lebih rendah pada perempuan
dibandingkan laki-laki), dan berkorelasi positif dengan frekuensi latihan,
intensitas dan durasi (24). Penting untuk dicatat bahwa ketika membandingkan
kelompok serupa atlet atau orang-orang yang tampak sehat, VO2max dinyatakan per
kilogram berat badan umumnya 15% sampai 25% lebih rendah pada perempuan
dan pria. Ini adalah perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan biologis spesifik
jenis kelamin, termasuk jumlah yang sedikit lebih besar dari lemak esensial,
mengecilnya puncak stroke volume karena dimensi ventrikel kiri yang lebih kecil,
dan konsentrasi hemoglobin yang rendah (23).
Secara umum, peningkatan rata-rata VO2max, antara 10% dan 30% mangantisipasi
untuk pria usia kuliah dan perempuan setelah 8-12 minggu program pelatihan
ketahanan. Ketika perolehan dalam VO2max dinyatakan per kilogram berat badan,
nilai-nilai yang dicapai untuk pria dan wanita adalah sama. Namun, karena awal
VO2max perempuan umumnya lebih rendah dibandingkan laki-laki, peningkatan
persentase
nya
seringkali
lebih
besar
pada
perempuan.
OVERTRANING
Seperti yang telah dibahas dalam bab ini, latihan teratur dapat menyebabkan
20
adaptasi dalam sistem kardiorespirasi, yang memiliki dampak positif pada kinerja
latihan. Sebuah stimulus pelatihan yang minimal (misalnya intensitas atau menit
per minggu) kemungkinan untuk memperoleh manfaat minimal. Demikian pula,
tingkat pelatihan maksimal atau stimulus akan berpotensi menyebabkan
peningkatan maksimal dalam kinerja. Hal ini diyakini bahwa ada titik di mana
paparan kronis volume tinggi dari latihan yang intensif dengan pemulihan yang
tidak cukup dapat menyebabkan overtraining.
Overtraining, seperti yang dijelaskan oleh atlet dan pelatih, adalah keadaan
suasana hati yang berubah dan penurunan performa meskipun pelatihan berlanjut.
Kondisi ini mungkin memerlukan beberapa minggu atau bulan dan mungkin
bertahun-tahun untuk pulih. Namun, seperti dibahas oleh Halson dan Jeukendrup
(29), peneliti mengalami kesulitan menggambarkan dan mendeteksi overtraining.
Hal ini, sebagian, karena kurangnya terminologi yang konsisten, perbedaan alat
diagnostik, perbedaan ukuran kinerja dan macam pelatihan, dan perbedaan
individu pada atlet dan kegiatan olahraga. Overtraining umumnya didiagnosis
dengan pengecualian penyebab lain untuk kinerja menurun dan mengubah
suasana. Penyebab overtraining tidak sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin
terkait dengan pelatihan (misalnya latihan volume, pemulihan) dan bukan
pelatihan (misalnya stres phychological, tidur, nutrisi) faktor (51). Beberapa tanda
overtraining telah diselidiki, termasuk kinerja, keadaan suasana hati, fisiologi
kardiovaskuler (misalnya stroke volume, denyut jantung), laktat, deplesi glikogen,
fungsi sistem kekebalan tubuh, ketidakseimbangan hormon, dan perubahan fungsi
sistem saraf otonom (29). Saat ini tidak ada kesepakatan pada kumpulan tanda
atau gejala karakteristik overtraining.
KESIMPULAN
Ketika latihan berulang (yaitu latihan olahraga), kedua sistem jantung dan paru
menunjukkan perubahan terukur (adaptasi) konsisten dengan efek pelatihan.
Umumnya, perubahan ini terkait dengan kinerja latihan ditingkatkan dan
kesehatan. Adaptasi yang terjadi adalah sistem organ atau jaringan spesifik dan
umumnya terjadi sama halnya pada pria dan wanita. Konsisten dengan hal di atas,
21
periode detraining, pelatihan yang lebih rendah, dan istirahat di tempat tidur
berhubungan dengan hilangnya kinerja olahraga, dan lainnya, jika tidak, efek dari
pelatihan sebelumnya tercapai.
22