Anda di halaman 1dari 4

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/19/opini/2295710.

htm

Senin, 19 Desember 2005

Perlu Pemetaan Korupsi


M Amien Rais

Kadang kala terasa masyarakat kita sudah apatis dengan


masalah korupsi. Sejak awal 1960-an sampai sekarang
korupsi di Indonesia belum pernah dapat ditaklukkan.

Bung Hatta mengatakan, korupsi telah melembaga.


Mochtar Lubis berpendapat, korupsi telah membudaya.
Begitu melembaga dan membudayanya korupsi, seorang
pengamat asing mengatakan korupsi telah menjadi way of
life di Indonesia.

Media massa internasional sekitar empat tahun lalu


menyebut Indonesia sebagai the sick man of Asia.
Ketika krisis moneter menghantam pada pertengahan
1990-an, sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia,
oleng. Kini, ekonomi negara-negara itu sudah sehat,
kecuali Indonesia. Indonesia masih terkapar. Gebrakan
reformasi yang menghadirkan periode transisi ternyata
belum berhasil mengubah kondisi sosial ekonomi seperti
diharapkan. Periode transisi yang ditandai carut-marut
sosial, politik, ekonomi, dan hukum masih menyertai
bangsa Indonesia.

Periode transisi itu hakikatnya penataan ulang,


rekonstruksi sosial dalam arti luas. Diharapkan
setelah 5-7 tahun masa transisi, kita memperoleh
kehidupan yang mantap. Kira-kira law and order sudah
tegak, ekonomi relatif sudah pulih, stabilitas politik
mantap, citra internasional bangsa membaik, dan
anak-anak bangsa melihat masa depan dengan optimisme.

Namun, keadaan kita masih mengenaskan. Potret bangsa


masih suram. Pengangguran meningkat, kemelaratan
meluas, dan hampir semua human development index
bangsa di bidang kesehatan dan pendidikan belum
membaik.

Kiranya kita sepakat, korupsi adalah biang


keterbelakangan kita. Korupsi telah menyusup ke
sel-sel kehidupan kita.

Tetap meradang

Berbagai lembaga internasional yang mendeteksi korupsi


di berbagai negara selalu meletakkan Indonesia sebagai
salah satu pemegang peringkat tertinggi korupsi. Awal
Desember lalu kita dikejutkan (bagi yang masih bisa
terkejut ) temuan PERC (Political and Economic Risk
Consultancy) yang membanting Indonesia di panggung
regional dan internasional.

Sebanyak 96 eksekutif asing meletakkan Indonesia pada


urutan tertinggi kejahatan korupsi. Skala penilaian
itu bergerak dari angka nol (terbaik) dan 10
(terburuk). Angka Indonesia 9,44; Singapura 0,89;
Hongkong 1,22; diikuti Jepang, Korea Selatan,
Malaysia, Thailand, Taiwan, China, India, Filipina,
dan Vietnam.

Tingginya korupsi, menurut PERC, menyebabkan Indonesia


tidak menarik bagi investor asing. Kejuaraan juga
menunjukkan, penegakan hukum masih lemah. Kalangan
bisnis tetap khawatir tidak mendapat payung hukum jika
mereka terjerembab dalam suatu masalah.

Bahwa di era reformasi korupsi terus meradang sudah


menjadi pengetahuan publik. Sudah setahun lebih
pemerintahan SBY–JK mencoba memerangi korupsi,
tetapi kejuaraan korupsi regional tetap melekat pada
kita. Mengapa?

Perlu pemetaan

Akhir-akhir ini korupsi kian menyeruak ke semua


lembaga negara. Hampir dalam setiap lembaga negara
ditemukan kelompok mafioso, para mafia hukum, politik,
ekonomi, dan bisnis yang memiliki jaringan rapi. Bila
Departemen Agama saja juga dihajar skandal korupsi,
haqqul yakin, semua departemen pasti mengalami hal
sama. Cuma belum dikuak, dan skalanya mungkin lebih
dahsyat.

Rimba korupsi di negara kita amat kompleks dan meriah.


Ada pohon korupsi yang akar tunggangnya amat dalam dan
batangnya menjulang tinggi, ada pohon berukuran
menengah, ada pohon-pohon kecil dan banyak pohon
korupsi mini yang hanya bermotivasi survival, lain
tidak.

Dalam kaitan ini amat logis bila dibutuhkan semacam


road map of corruption, peta lika-liku korupsi. Bila
peta korupsi tidak dibuat, langkah-langkah
pemberantasan korupsi akan selalu bersifat hit and
run. Baik yang bertugas memberantas dan yang akan
diberantas lalu terjebak permainan petak umpet alias
hide and seek.

Lebih gawat lagi bila pemberantasan korupsi bernuansa


selektif, diskriminatif, dan mungkin ada unsur
politisasi serta kosmetikisasi, seperti kesan selama
ini. Meski petir dan geludhug pemberantasan korupsi
keras membahana, tetapi yang turun baru gerimis. Yang
terjaring baru korupsi skala kacang goreng. Andaikata
Probosutedjo tidak berulah, mungkin kasusnya akan
menjadi dark number yang kemudian hilang diembus
angin.

Pemetaan korupsi sangat urgen. Seharusnya KPK,


Tipikor, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, BPK, BPKP,
ditambah lembaga swadaya masyarakat seperti Masyarakat
Transparansi Indonesia, Indonesia Corruption Watch,
duduk bersama, membuat peta korupsi dimaksud. Hasilnya
akan lebih bagus.

Ibarat masuk medan perang yang sulit, lewat peta hasil


temuan bersama, akan terlihat mana sasaran strategis,
mana sasaran taktis, mana sasaran substantif, mana
simbolis dan lainnya. Hal ini dapat menghapus keraguan
masyarakat yang kian besar pada usaha pemerintah
memberantas korupsi. Selain itu dapat dibuat skala
prioritas dan time schedule perang terhadap korupsi
sekaligus dapat diketahui keberhasilan dan
kegagalannya.

Kepada seorang anggota KPK, saya bertanya, mengapa


penyelidikan atau pengusutan KPK belum mengarah kasus
BLBI, skandal korupsi terbesar? Jawabannya
mengejutkan. Data BLBI sudah lenyap. Namun saya yakin,
data itu pasti dapat diperoleh dengan langkah tegas
dan berani. Tidak mungkin data korupsi ratusan triliun
rupiah hilang tanpa dapat dilacak, seolah lenyap dari
file BI, BPK, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, dan
lain-lain!

Perlu dicatat pesan Nabi Muhammad SAW, dan semua


agama, ”Bila penguasa hanya berani menegakkan
keadilan pada orang kecil dan lemah dan takut
menegakkan keadilan orang kuat dan berkuasa, maka
tunggullah kehancurannya.”

Bila Khairiansyah langsung menjadi tersangka karena


memanfaatkan Rp 10 juta Dana Abadi Umat, bagaimana
oknum-oknum yang menjarah uang ratusan miliar sampai
puluhan triliun rupiah? Mengapa mereka tidak
terjangkau hukum?

Comprehensive road map of corruption sungguh amat


mendesak. Lembaga-lembaga yang diharapkan dapat
memberantas korupsi diharapkan bekerja sama, bukan
bekerja berserakan, hit and run, hide and seek. Rakyat
menunggu implementasi semboyan ”Bersama kita
bisa”. Kalau tidak, tahun depan dikhawatirkan
Indonesia tetap di urutan terakhir PERC.

M Amien Rais Guru Besar Fisipol UGM, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai