Kadang kala terasa masyarakat kita sudah apatis dengan
masalah korupsi. Sejak awal 1960-an sampai sekarang korupsi di Indonesia belum pernah dapat ditaklukkan.
Bung Hatta mengatakan, korupsi telah melembaga.
Mochtar Lubis berpendapat, korupsi telah membudaya. Begitu melembaga dan membudayanya korupsi, seorang pengamat asing mengatakan korupsi telah menjadi way of life di Indonesia.
Media massa internasional sekitar empat tahun lalu
menyebut Indonesia sebagai the sick man of Asia. Ketika krisis moneter menghantam pada pertengahan 1990-an, sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia, oleng. Kini, ekonomi negara-negara itu sudah sehat, kecuali Indonesia. Indonesia masih terkapar. Gebrakan reformasi yang menghadirkan periode transisi ternyata belum berhasil mengubah kondisi sosial ekonomi seperti diharapkan. Periode transisi yang ditandai carut-marut sosial, politik, ekonomi, dan hukum masih menyertai bangsa Indonesia.
Periode transisi itu hakikatnya penataan ulang,
rekonstruksi sosial dalam arti luas. Diharapkan setelah 5-7 tahun masa transisi, kita memperoleh kehidupan yang mantap. Kira-kira law and order sudah tegak, ekonomi relatif sudah pulih, stabilitas politik mantap, citra internasional bangsa membaik, dan anak-anak bangsa melihat masa depan dengan optimisme.
Namun, keadaan kita masih mengenaskan. Potret bangsa
masih suram. Pengangguran meningkat, kemelaratan meluas, dan hampir semua human development index bangsa di bidang kesehatan dan pendidikan belum membaik.
Kiranya kita sepakat, korupsi adalah biang
keterbelakangan kita. Korupsi telah menyusup ke sel-sel kehidupan kita.
Tetap meradang
Berbagai lembaga internasional yang mendeteksi korupsi
di berbagai negara selalu meletakkan Indonesia sebagai salah satu pemegang peringkat tertinggi korupsi. Awal Desember lalu kita dikejutkan (bagi yang masih bisa terkejut ) temuan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang membanting Indonesia di panggung regional dan internasional.
Sebanyak 96 eksekutif asing meletakkan Indonesia pada
urutan tertinggi kejahatan korupsi. Skala penilaian itu bergerak dari angka nol (terbaik) dan 10 (terburuk). Angka Indonesia 9,44; Singapura 0,89; Hongkong 1,22; diikuti Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Taiwan, China, India, Filipina, dan Vietnam.
Tingginya korupsi, menurut PERC, menyebabkan Indonesia
tidak menarik bagi investor asing. Kejuaraan juga menunjukkan, penegakan hukum masih lemah. Kalangan bisnis tetap khawatir tidak mendapat payung hukum jika mereka terjerembab dalam suatu masalah.
Bahwa di era reformasi korupsi terus meradang sudah
menjadi pengetahuan publik. Sudah setahun lebih pemerintahan SBY–JK mencoba memerangi korupsi, tetapi kejuaraan korupsi regional tetap melekat pada kita. Mengapa?
Perlu pemetaan
Akhir-akhir ini korupsi kian menyeruak ke semua
lembaga negara. Hampir dalam setiap lembaga negara ditemukan kelompok mafioso, para mafia hukum, politik, ekonomi, dan bisnis yang memiliki jaringan rapi. Bila Departemen Agama saja juga dihajar skandal korupsi, haqqul yakin, semua departemen pasti mengalami hal sama. Cuma belum dikuak, dan skalanya mungkin lebih dahsyat.
Rimba korupsi di negara kita amat kompleks dan meriah.
Ada pohon korupsi yang akar tunggangnya amat dalam dan batangnya menjulang tinggi, ada pohon berukuran menengah, ada pohon-pohon kecil dan banyak pohon korupsi mini yang hanya bermotivasi survival, lain tidak.
Dalam kaitan ini amat logis bila dibutuhkan semacam
road map of corruption, peta lika-liku korupsi. Bila peta korupsi tidak dibuat, langkah-langkah pemberantasan korupsi akan selalu bersifat hit and run. Baik yang bertugas memberantas dan yang akan diberantas lalu terjebak permainan petak umpet alias hide and seek.
Lebih gawat lagi bila pemberantasan korupsi bernuansa
selektif, diskriminatif, dan mungkin ada unsur politisasi serta kosmetikisasi, seperti kesan selama ini. Meski petir dan geludhug pemberantasan korupsi keras membahana, tetapi yang turun baru gerimis. Yang terjaring baru korupsi skala kacang goreng. Andaikata Probosutedjo tidak berulah, mungkin kasusnya akan menjadi dark number yang kemudian hilang diembus angin.
Pemetaan korupsi sangat urgen. Seharusnya KPK,
Tipikor, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, BPK, BPKP, ditambah lembaga swadaya masyarakat seperti Masyarakat Transparansi Indonesia, Indonesia Corruption Watch, duduk bersama, membuat peta korupsi dimaksud. Hasilnya akan lebih bagus.
Ibarat masuk medan perang yang sulit, lewat peta hasil
temuan bersama, akan terlihat mana sasaran strategis, mana sasaran taktis, mana sasaran substantif, mana simbolis dan lainnya. Hal ini dapat menghapus keraguan masyarakat yang kian besar pada usaha pemerintah memberantas korupsi. Selain itu dapat dibuat skala prioritas dan time schedule perang terhadap korupsi sekaligus dapat diketahui keberhasilan dan kegagalannya.
Kepada seorang anggota KPK, saya bertanya, mengapa
penyelidikan atau pengusutan KPK belum mengarah kasus BLBI, skandal korupsi terbesar? Jawabannya mengejutkan. Data BLBI sudah lenyap. Namun saya yakin, data itu pasti dapat diperoleh dengan langkah tegas dan berani. Tidak mungkin data korupsi ratusan triliun rupiah hilang tanpa dapat dilacak, seolah lenyap dari file BI, BPK, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, dan lain-lain!
Perlu dicatat pesan Nabi Muhammad SAW, dan semua
agama, ”Bila penguasa hanya berani menegakkan keadilan pada orang kecil dan lemah dan takut menegakkan keadilan orang kuat dan berkuasa, maka tunggullah kehancurannya.”
Bila Khairiansyah langsung menjadi tersangka karena
memanfaatkan Rp 10 juta Dana Abadi Umat, bagaimana oknum-oknum yang menjarah uang ratusan miliar sampai puluhan triliun rupiah? Mengapa mereka tidak terjangkau hukum?
Comprehensive road map of corruption sungguh amat
mendesak. Lembaga-lembaga yang diharapkan dapat memberantas korupsi diharapkan bekerja sama, bukan bekerja berserakan, hit and run, hide and seek. Rakyat menunggu implementasi semboyan ”Bersama kita bisa”. Kalau tidak, tahun depan dikhawatirkan Indonesia tetap di urutan terakhir PERC.