Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

kebudayaan etnis arab


di indonesia
Mata kuliah
MULTIKULTURALISME
Semester IV
Dosen
Drs. Max Kumendong,. M.Si
Di susun oleh :

Muhammad Alhasni
12.01.1413

STISIP MERDEKA MANADO


Bitung, 26 Nopember 2014

Kata Pengantar
Setelah menyelesaikan tulisan ini barulah sadar bahwa begitu panjang
perjalanan sejarah etnis arab di Indonesia, begitu kaya kebudayaannya. Masih
banyak hal yang belum bisa ditulis tentang keberadaan etnis arab secara umum
mungkin melebihi apa yang sudah ditulis.
Banyak hal yang merintangi penginfentarisasian sejarah dan kebudayaan
etnis arab terutama karena kurangnnya literatur pendudukung yang
menguatkan kebenaran sejarah mula-mula penduduk timur tengah. Makalah ini
ditulis berdasarkan penggalian dari beberapa tulisan lepas di internet,
penuturan para pemerhati budaya dan literatur pendukung lainnya.

PENDAHULUAN
MASUKNYA PEDAGANG ARAB KE INDONESIA
Membahas masuk dan berkembangnya etnis Arab di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan pembahasan sejarah masuknya agama Islam ke Nusantara.
Terdapat beragam versi tentang kapan sebenarnya Islam masuk ke nusantara.
Setidaknya, tiga versi dapat dikemukakan disini. Yaitu teori Gujarat, dimana
Islam masuk ke Indonesia melalui perantara para pedagang Gujarat India ada
abad 13 Masehi, teori Persia, yaitu teori yang menyatakan bahwa Islam masuk
ke Indonesia melalui peran pedagang asal Persia pada abad 13, dan teori Arab
yang menyatakan bahwa Islam dibawa oleh orang Arab pada abad 7 Masehi.
Pandangan yang menyatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ketiga
belas lebih banyak dikemukakan oleh ahli sejarah Eropa. Diantaranya menurut
Azra yang dikutip oleh Cholis, adalah Snouk Hurgronje, Fatimi, Vleke, Gonda,
dan Schrieke. Sedangkan teori Persia dikemukakan oleh PA Hoesein
Djajadiningrat, Haji Muhammad Said, JC van Leur, M Dahlan Mansur, dan Haji
Abubakar Atjeh. Dan teori Arab dikemukakan oleh beberapa ahli sejarah
kontemporer terutama yang beragama Islam. Diantara mereka adalah Alwi
Shihab dan Abdullah Ali. Selain itu juga terdapat beberapa sejarawan
diantaranya adalah Zainal Arifin Abbas, Dr. Hamka dan Drs. Junaidi Parinduri.
Sementara itu, jika waktu serta asal muasal Islam masuk di Indonesia
memunculkan berbagai versi, maka ketika membahas etnis Arab berasal dari
mana, maka sebagian besar ahli sejarah meyepakati bahwa sebagian etnis Arab
yang berada di nusantara berasal dari Hadramaut, Yaman. LWC Van den Berg
mengungkapkan bahwa terdapat dua kelompok Arab yang berada di Nusantara.
Kelompok kecil berasal dari Mekkah. Mereka memanfaatkan momen Ibadah HAji
untuk mengais rezeki. Dengan kesadaran bahwa musim haji serta besarnya
animo orang Nusantara untuk melakukan ibadah haji dapat memberikan
keuntungan, mereka berbondong-bondong masuk ke Nusantara. Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa minimal setiap tahun terdapat 30 orang Mekkah yang
bermigrasi ke Singapura. Namun demikian, ia menyatakan bahwa komunitas
Mekkah di Nusantara tidak memiliki pengaruh yang kuat baik dari segi etnologis
maupun kebahasaan kecuali pada pengaruh perpolitikan. Sementara, kelompok
besar dan yang mendominasi etnis Arab di Indonesia adalah etnis yang berasal
dari Hadramaut. Pemahaman ini akan sangat membantu menganalisis pengaruh
identtitas masyarakat Arab di Indonesia.
Tentang gelombang kedatangan masyarakat Hadrami ke Indonesia
terdapat beberapa versi. Diantaranya yang disampaikan oleh Ismail Fajrie Alatas
dalam pengantar edisi kedua buku Orang Arab di Nusantara karya LWC Van den
Berg, ia mengatakan bahwa kedatangan masyarakat Hadrami ke Nusantara

terjadi pada abad ke 16. Sementara itu, van den Berg sendiri memperkirakan
kedatangan masyarakat Hadrami ke Indonesia bermula pada akhir tahun abad
ke 18, dimana pendapat ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Natalie
Mobini Kesheh bahwa masyarakat Hadramaut melakukan migrasi ke Indonesia
pada akhir pertengahan abad 18. Pendapat lain dikemukakan oleh Dr. H.A.
Madjid Hasan Bahafdullah menyampaikan bahwa masyarakat Hadrami mulai
datang ke Indonesia pada abad ke 12.

IDENTITAS ETNIS ARAB DI INDONESIA


Pembahasan identitas etnis Arab di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari
peranan mereka serta tujuan mereka datang ke Nusantara (sebelum kata
Indonesia muncul di awal abad ke 20, negeri ini lebih dikenal dengan sebutan
Nusantara). Beberapa ahli menyatakan bahwa kedatangan mereka ke
Nusantara kebanyakan adalah berdagang dan mencari keuntungan semata.
Namun ada diantara para ahli yang lain, mengungkapkan bahwa beberapa
komponen masyarakat Arab, terutama dari kalangan Ulama, kedatangan
mereka adalah secara khusus untuk mendakwahkan Islam kepada masyarakat
Nusantara. Bahkan terdapat beberapa ulama yang sengaja secara khusus
didatangkan dari tanah Arab untuk memenuhi undangan dan permintaan para
raja yang tertarik mendalami Islam.
Oleh karena itu, berbicara identitas warga Arab di Indonesia akan berkutat
pada identitas ke-Arab-an, ke-Islam-an, dan ke-Indonesia-an. Namun demikian,
terdapat sebuah perbedaan yang begitu nyata antara masa sebelum abad ke-20
dengan masa awal abad ke-20 dimana, situasi dan kondisi perpolitikan global
juga mengalami perubahan yang drastis.
Identitas masyarakat Arab sebelum Abad ke 20
Identitas etnis Arab pada masa sebelum abad 20 mencirikan identitas keIslam-an sekaligus ke tanah air-an. Dalam artian, pembelaan atas tanah air yang
mereka tempati sekaligus merupakan manifestasi pembelaan atas Islam itu
sendiri. Terutama pada zaman kerajaan-kerajaan Islam yang mulai tumbuh pada
abad ke 12 Masehi. Kondisi ini bertahan selama berabad-abad sampai pada
akhir abad 19.
Kesatuan identitas antara Islam dan pembelaan tanah air dapat terwujud
karena dalam doktrin ajaran Islam, pembelaan terhadap Islam dan pembelaan
terhadap eksistensi tanah air merupakan sebuah kewajiban. Terutama jika tanah
air mendapatkan ancaman dan penjajahan dari kelompok asing yang beragama
bukan Islam. Oleh karena itu, dapat dengan mudah dimengerti ketika

kesultanan-kesultanan Islam mendapatkan ancaman dan penjajahan dari


masyarakat Eropa, maka entitas Arab di nusantara mengambil bagian bersamasama masyarakat setempat berusaha skuat tenaga untuk mengusir penjajah.
Selain itu, identitas ganda mendapatkan habitatnya ketika Daulah Islam
yang pada saat itu beribukota di Turki, yang dikenal dengan Daulah Turki
Utsmani masih berdiri dengan kokoh. Bahkan pada masa kemunculannya pada
awal abad 15 sampai dengan abad ke 19, Negara global ini bahkan menjadi
salah satu kekuatan dunia yang diperhitungkan. Dengan posisi itulah, Negara
yang berfungsi untuk melindungi umat Islam di dunia termasuk yang terdapat di
Nusantara juga memiliki andil akan keberadaa etnis Arab di Indonesia.
Sebagaimana diungkapkan di awal, keberadaan Walisongo di tanah Jawa
merupakan prakarsa langsung dari seorang Muhammad I yang pada sat itu
menjabat sebagai Khalifah.

PEMBAHASAN
Etnis Arab di Indonesia ini mengandung jejak sejarah penyebaran agama
Islam di Indonesia yang dilakukan oleh 9 wali songo beberapa waktu silam. Di
Indonesia ada beberapa kampung yang menjadi tempat berkumpul keluarga
keturunan timur tengah. Seperti di kelurahan istiglal Manado dan Ampel yang
identik dengan perkampungan Arab di Surabaya. Di perkampungan itulah
komunitas keturunan Arab bermukim. Komunitas keturunan Arab di kelurahan
Istiglal Manado mencapai jumlah 70%, sisanya merupakan suku Ternate yang
telah lama bermukim dan menetap di Ampel. kedua etnis ini telah mendarah
daging dengan Kampung Arab Manado.
Orang-orang Arab di Indonesia merupakan keturunan Arab dari
Hadromi/Hadralmaut (Yaman). Mereka turun temurun bermukim di Ampel dan
menyatu dengan masyarakat setempat. Di semua wilayah Nusantara keberdaan
sub-etnik Arab selalu menempel (embedded) dengan etnik setempat. Walaupun
disana-sini terlihat seakan-akan terjadi segregasi (adanya koloni Kampung
Arab) akan tetapi secara sosio-kultural sub-etnik Arab tetap mewujudkan diri
dalam tampilan budaya setempat.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor utama yang mempengaruhi latar
belakang kedatangan etnis Arab di suatu wilayah tertentu. Pertama, Motivasi
migrasi adalah perdagangan dan penyebaran Agama Islam. Menggabungkan
perdagangan dengan penyebaran Agama menghasilkan proses asimilasi yang
unik. Kedua, dengan semangat keagamaan proses assimilasi terjadi melalui

perkawinan dengan penduduk setempat yang berlangsung kemudian dalam


jangka waktu yang panjang. Ketiga, hasil kawin campur itu menyebabkan etnis
Arab Indonesia tidak bersifat monolitik dalam kehidupan sosio-kulturalnya. Hal
ini bisa dilihat dari berbagai macam bahasa lokal yang digunakan oleh sub-etnik
Arab di seluruh Indonesia. Keempat, oleh karena pengaruh penyebaran agama
Islam sedemikian kuatnya dalam praktek budaya suku-suku bangsa di
Nusantara maka terjadilah percampuran beberapa unsur budaya Arab-Islam
dengan budaya lokal dalam seting sosio-kultural etnik Indonesia.
Konsekuensinya, budaya yang ditampilkan oleh etnik Arab cenderung berwarna
lokal. (Dikutip dalam bingkai kehidupan etnis arab dalam internet)
Dalam pandangan hidup sub-etnik Arab membela dan mempertahankan
tanah tempat kelahiran adalah salah satu amal keagamaan (Hubbul Wathan).
Konsep ini didasarkan pada ajaran Rasulullah yang menghormati kedudukan dan
peran Ibu sedemikian tingginya (Ibumu, Ibumu, Ibumu!).
Motherland lebih utama dari Fatherland benar -benar dalam arti
harfiahnya. Konsep ini mungkin agak aneh ketika dikaitkan dengan sistem
kekeluargaan etnik Arab yang menganut sistem patriachat (garis keturunan lakilaki).
Pandangan
yang
dilandasi
kecintaan
pada
motherland
itu
ditransformasikan dalam sebuah manifesto politik pada tanggal 4 Oktober 1934
dalam bentuk Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab yang dideklarasikan
sebagai wujud kesetiaan semua warga etnik keturunan Arab di Indonesia.4

Gerakan politik ini kemudian dikembangkan menjadi institusi politik


dengan nama Partai Arab Indonesia (PAI) yang dijadikan saluran agregasi dan
artikulasi kepentingan politik etnik keturunan Arab di Indonesia. Hal yang
menarik dari partai Arab ini komitennya untuk membubarkan diri setelah
kemerdekaan Indonesia tercapai.
Pasca kemerdekaan eksponen Partai Arab Indonesia segera bergabung
dengan berbagai macam partai dan ideologi yang ada di Indonesia sampai
sekarang. Komitmen ini sesungguhnya menujukkan bahwa warga keturunan
Arab tidak berpandangan eksklusif dengan mempertahankan identitas
kelompoknya sendiri dalam suatu wadah politik yang tunggal.
Pernyataan di atas diamini oleh H. Helmi, sebagai seorang sesepuh yang
memunyai andil dalam pergerakan sejarah Suku Arab di Indonesia. Orang Arab
yang ke sini Cuma lakinya saja, embah dari embah orangtua saya ibunya adalah
orang Indonesia tulen tuturnya. Mantan demonstran tahun 1965 itu juga

menambahkan, pola hidup suku Arab di tidak dipengaruhi oleh adat Arab,
mereka memegang teguh syariat Islam. Sehingga dalam berkehidupannya,
masyarakat tidak mengenal ritual-ritual yang berbau mistis, atau kejawen.
Mereka tetap memegang teguh syariat Islam.
Kalau diamati dengan benar ada beberapa hal mendasar yang selama ini
menjadi faktor yang sangat berperan dalam kehidupan masyarakat Keturunan
Arab.
Pertama, Persepsi masyarakat, kelompok, individu yang dikembangkan
diantara sesamanya dibangun berdasarkan persamaan yang tak dapat
diganggu ataupun ditukar dengan hal lainyya. Persepsi semacam ini didasarkan
pada ajaran keagamaan; yakni Islam. Dalam masyarakat Keturunan Arab
pandangan dan ajaran keagamaan, khususnya Islam merupakan modal dasar
yang paling berharga. Sehingga semua kelompok etnik memandang dirinya
sendiri dan orang lain atas dasar ajaran agama Islam.
Kedua, Budaya masyarakat Keturunan Arab didasarkan pada ajaran
keagamaan pula, yakni Islam. Walaupun kesan yang muncul di masyarakat ini
budaya Arab atau Timur Tengah tetapi sesungguhnya yang dijalankan seharhari adalah budaya Islam, bahkan ada juga budaya Islam sinkretik, atau budaya
Islam yang dikembangkan dari budaya lokal seperti Jawa,Sumatra dan lain-lain.
Ketiga, Toleransi dalam masyarakat Keturunan Arab cenderung menjadi
dasar yang tak dapat ditukar dengan lainnya karena selama beratus tahun
perbedaan etnik, budaya, suku bangsa dalam kehidupan masyarakat Keturunan
Arab justru dibangun berdasarkan sikap toleran yang sangat tinggi.
Sebagai contoh: terdapat 2 Vihara Konghucu (Klenteng) yang lokasinya
tidak jauh dari Masjid Istiglal Kampung arab Manado, hanya bersebrangan jalan
rumah ibadah tersebut dan juga terdapat sebuah Vihara Konghucu (Klenteng)
dan Gereja Protestan yang lokasinya hanya sekitar 0,5 Km dari pusat
keagamaan terbesar di Surabaya, yakni Mesjid Sunan Ampel yang ada di
lingkungan Kampung Arab. Bahkan di kawasan ini pula terdapat tempat
pemotongan hewan Babi yang sudah puluhan tahun beroperasi tanpa
gangguan.
Keempat, Agama menjadikan masyarakat Keturunan Arab memiliki
kekuatan untuk membangun masyarakat multi-etnik yang bersatu dan
terasimilasi dengan baik. Walaupun Islam menjadi agama yang dominan tidak
berarti kemudian warga beragama lainnya tidak ada disana.
Pandangan keagamaan masyarakat Keturunan Arab terhadap agama
lainnya merupakan karakter yang boleh dibanggakan. Sejauh yang dapat
dicatat konflik keagamaan, baik intra-agama (konflik antar madzhab/aliran
dalam satu agama) maupun antar agama jarang sekali terjadi.

Kelima, Asimilasi budaya merupakan faktor yang sangat menentukan


dalam kehidupan bermasyarakat di wilayah Keturunan Arab. Akan tetapi ada
faktor penting yang tidak menonjol adalah kemampuan untuk mempersatukan
persepsi dan budaya dalam satu kesatuan yang tunggal yaitu, masyarakat yang
bersatu, hidup dengan damai dan tidak mendiskriminasi diri sendiri (All
Inclusive).
Keenam, Integrasi merupakan kekuatan yang dominan dalam kehidupan
masyarakat Keturunan Arab, baik integrasi diantara sesamanya maupun
terhadap masyarakat dan bangsa secara nasional. Kesadaran bernegara dengan
tidak mendiskriminasikan diri dalam suatu entitas tertentu menjadikan
masyarakat Keturunan Arab secara langsung sebagai bagian dari warganegara
Indonesia.
Walaupun demikian timbul pertanyaan, apakah masyarakat keturunan
Arab tidak mengalami konflik sosial, politik, ekonomi dan agama? Sejauh yang
terjadi dan dapat dicatat, konflik sosial di dalam masyarakat Keturunan Arab
sifatnya sangat individual. Perbedaan ekonomi di masyarakat Keturunan Arab
bukanlah faktor yang menjadi sumber konflik karena mayoritas masyarakat
disana adalah pedagang dengan ciri tertentu dan dikenai kewajiban keagamaan
yang utama yakni membayar zakat, tambah Hasan Bahanan, penulis
Kampoengampel.com.

KESIMPULAN

Setelah kita mengetahui dan bahkan atau memahami sudut pandang


perbedaan antara Kebudayaan Arab, Kebudayaan Islam, dan Kebudayaan Islami,
maka seyogyanya tumbuh dalam jiwa kita keinginan untuk dapat melestarikan
kebudayaan yang terutama bersumber dari ajaran Islam. Lebih dari itu,
ekspektasinya adalah kemampuan untuk dapat mengaplikasikan kebudayaan
transcendental itu dalam perilaku kehidupan kita sehari-hari. Sehingga
kemungkinan untuk mewujudkan kembali masa keemasan Islam dapat lebih
terbuka peluangnya. Hal ini tentunya memerlukan dukungan dari semua pihak,
mulai dari hal yang paling kecil, dan tentunya mulai sekarang juga.

SARAN
Untuk lebih memperkaya dan melengkapi serta meningkatkan kualitas
pengetahuan khususnya dalam bidang sejarah kebudayaan Islam, hendaknya
para rekan guru dapat menambah waktu membacanya. Sehingga jika para
rekan guru senantiasa menambah waktu dan jam membaca, maka proses
belajar dan mengajar baik secara formal di kelas maupun informal di luar kelas,
dapat lebih tinggi bobot dan mutunya. Dan lebih dari itu, kualitas para peserta
didik pun dapat lebih meningkat pula.

Anda mungkin juga menyukai