Anda di halaman 1dari 9

Home

Wawasan

Dekan FK UI: Dokter Sering Tulis Resep


Mahal Patut Diduga Gratifikasi
FEBRUARY 27TH, 2015

REDAKSI WAWASAN, WAWASAN UMUM0 COMMENTS

Bicara tentang gratifikasi, maka pikiran kita biasanya terbawa atau terasosiasi pada sepak terjang
KPK, BPK dan sebagainya. Pejabat negara dilarang menerima pemberian dari semua pihak, yang
diduga akan mendorong pejabat tersebut menggunakan kekuasaan dan jabatannya untuk
mengambil keputusan yang menguntungkan si pemberi tersebut. Si pemberi bisa pribadi atau dari
instansi swasta. Dan pemberian tersebut biasa disebut gratifikasi.
Pada prinsipnya, gratifikasi merupakan pemberian yang bisa dianggap sebagai suap jika diterima
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Apa saja bentuk gratifikasi?


Jenis pemberian cukup luas, yaitu pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya yang diberikan di dalam maupun luar negeri.
Pernahkah anda terbayang bahwa gratifikasi bisa pula menjalar ke dunia kedokteran? Bagaimana
dengan profesi dokter? Apakah para dokter kita bebas dari potensi serangan dan gangguan
gratifikasi?

Penerimaan gratifikasi juga terjadi di kalangan


dokter
Beberapa waktu yang lalu, pernyataan tersebut justru diungkapkan oleh seorang Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Ratna Sitompul. Seperti yang diungkapkan Ratna, bentuk
gratifikasi yang tidak dibenarkan di dunia kedokteran. Diantaranya adalah, jika dokter memberikan
resep obat kepada pasien karena mendapat komisi dari perusahaan farmasi, alias pihak produsen
obat-obatan yang dituliskan di dalam resep oleh dokter. Seperti yang sudah menjadi rahasia umum
selama ini, Ratna tak menampik jika hal ini terjadi di kalangan dokter yang tidak profesional.

Data penjualan obat generik di Indonesia sebagai ilustrasi umum masih kecilnya masyarakat
Indonesia mengkonsumsi obat generik

Dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat, tegas Ratna dalam diskusi panel
Profesionalisme Dokter untuk Mencegah Praktik Gratifikasi di Auditorium Gedung Rumpun Ilmu
Kesehatan, Kampus UI Depok, Jawa Barat, Selasa (24/2/2015).

Terkait pemberian/penulisan resep obat tersebut, gratifikasi yang diterima dokter juga tak hanya
berupa uang. Bisa berupa tiket perjalanan atau perjalanan wisata. Contoh lainnya yaitu, berpergian
ke luar kota untuk acara pertemuan atau undangan tetapi turut serta membawa keluarga. Patut
dipertanyakan sumber pembelian tiket pesawat hingga penginapan untuk keluarga dokter tersebut.
Kalau melihat ada sejawat lain yang mengerjakannya, jangan ragu-ragu untuk menegur, ujar
Ratna.

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Gratifikasi


Menurut Ratna, sering kali dokter tak menyadari bahwa gratifikasi tersebut dianggap suap. Ratna
menegaskan, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 tahun 2014 tentang Pengendalian
Gratifikasi di Lingkungan Menteri Kesehatan sudah jelas diatur larangan gratifikasi.
Dalam Pasal 4, gratifikasi yang dianggap suap yaitu, penerimaan yang tidak terbatas:
a) marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional dan terkait dengan pemasaran suatu
produk;
b) cashback yang diterima instansi digunakan untuk kepentingan pribadi;
c) gratifikasi yang terkait pelayanan barang dan jasa, pelayanan publik dan lainnya;
d) sponsorship yang terkait pemasaran dan penelitian suatu produk.
Sementara itu, gratifikasi yang tidak dianggap suap sebagaimana tertulis dalam pasal 5 yaitu,
pemberian secara resmi dari aparatur kementerian sebagai wakil resmi instansi dalam suatu
kegiatan dinas sebagai bentuk penghargaan, atas keikutsertaan kontribusi dalam kegiatan tersebut.
Misalnya, pemberian berupa cindera mata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar,
workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis.
Kemudian, kompensasi yang diterima terkait kegitaan kedinasan, seperti honorarium, transportasi,
akomodasi dan pembiayaan sebagaimana diatur pada standar biaya yang berlaku instansi pemberi,
sepanjang tidak ada pembiayaan ganda, nilai tak wajar, tidak terdapat konflik kepentingan, tidak
melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima.

Penegasan oleh KPK


Sementara itu, Plt. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi mengatakan, gratifikasi
juga diatur dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. KPK dapat
mengusut kasus gratifikasi berupa suap jika melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Pengertian pegawai negeri sendiri diantaranya adalah orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Pegawai
Kementerian Kesehatan hingga dokter yang bekerja di bawah rumah sakit pemerintah dapat
termasuk di dalamnya.
Johan mengimbau para dokter untuk melaporkan segala bentuk penerimaan tanpa batas minimum.
Daripada ragu gratifikasi atau tidak, dilaporkan saja ke KPK paling lambat 30 hari setelah
penerimaan. Kalau gratifikasi akan kita sita, kalau tidak dikembalikan, kata Johan.

Lantas, bagaimana dengan dokter swasta?


Pakar profesinalisme kedokteran Sjamsuhidayat Ronokusumo berpendapat, dokter swasta yang
digaji dari yayasan seharusnya juga melaporkan gratifikasi. Kedokteran swasta yang didirikan oleh
yayasan, dananya dari masyarakat. Kalau gajinya dapat dari situ bisa, kata Sjamsuhidayat.
Menurut Sjamsu, semua kembali kepada individu masing-masing. Yang terpenting adalah
melakukan pencegah untuk terhindar dari praktik gratifikasi.

Selama ini Dokter Sering Tidak Sadar tentang


Gratifikasi
Meski terkesan naif, mengingat profesi dokter biasanya diisi oleh orang-orang cerdas dan pandai,
Ratna tetap mengatakan bahwa banyak dokter yang tak sadar dengan penerimaan gratifikasi. Untuk
itu, sosialisasi mengenai gratifikasi perlu digalakkan.
Tidak selamanya gratifikasi disengaja oleh dokternya. Banyak yang enggak tahu, enggak sadar
karena dipikirnya itu enggak apa-apa, ujar Ratna.
Kalau saya dapat akomodasi untuk kelas ekonomi, tetapi saya minta kelas bisnis, itu bisa
dianggap gratifikasi. Kalau acara dibiayai produsen obat agar dokter akhirnya meresepkan obatnya,
itu gratifikasi, ujar Ratna memberikan contoh.
Menurut Ratna, pencegahaan sangat penting dilakukan. Jika dibiarkan, penerimaan gratifikasi bisa
menjadi suatu kebiasaan yang salah. Ratna mengatakan, FK UI telah berkomitmen untuk antigratifikasi. Demikian pula dengan Ikatan Dokter Indonesia. Ia mengajak agar fakultas kedokteran di
universitas lainnya dan rumah sakit untuk berkomitmen anti-gratifikasi.

Dibandingkan dengan Dokter di Luar Negeri


Agak ironis ketika Sjamsuhidayat mengaku belum pernah mendengar adanya penindakan kasus
gratifikasi di kalangan dokter di Indonesia. Bahkan obat flu yang ditulis resepnya oleh seorang
dokter di Indonesia bisa membuat pasien merogoh koceknya sangat dalam hingga ratusan ribu
Rupiah, yang kalau dibandingkan oleh dokter di luar negeri, misalnya Jepang, pasien hanya disuruh
pulang dan minum air putih sebanyak-banyaknya, serta istirahat secukupnya. Meskipun pasiennya
sudah lemas dan demam, bahkan memohon-mohon agar diberi obat, seorang dokter di Jepang
tetap bersikukuh untuk mempersilakan pasiennya pulang dan menyarankan banyak minum air putih
dan tidur.

Sanksi dan Pencegahan


Sanksi yang dapat diberikan untuk para dokter yang melakukan gratifikasi pun perlu diatur lebih
lanjut. Di India, misalnya, jika dokter terbukti melakukan gratifikasi, akan diberikan sanksi berat
berupa pencabutan izin praktik selama satu tahun.
Namun, menurut Sjamsuhidayat, yang terpenting saat ini adalah melakukan pencegahan. Ia
mengingatkan para dokter untuk berhati-hati dengan segala bentuk penerimaan.

Lebih baik dicegah daripada sudah terjadi lalu bisa menjadi urusan KPK. Lebih baik berhati-hati,
kata Sjamsuhidayat.
Johan Budi menambahkan, gratifikasi sangat luas bentuknya dan sering terjadi karena diangap
suatu kebiasaan yang benar. Johan mencontohkan, pejabat negara menerima parsel pada hari
Lebaran bisa termasuk dalam gratifikasi.
Parsel itu ternyata bentuknya bukan sekadar buah-buahan, makanan. Ada beberapa kasus
menerima parsel keramik dari Italia atau jam tangan yang mahal. Cara mudah berpikirnya bahwa ini
gratifikasi atau bukan adalah, kalau jabatan saya bukan ini, saya diberikan ini enggak, ya, kata
Johan.

Anda mungkin juga menyukai