1. IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap
: Halimah
Jenis kelamin
: Perempuan
Tanggal Lahir
:-
Umur
: 49 tahun
Alamat
: Alue merbau
Pekerjaan
: IRT
I. ANAMNESA
1) Keluhan Utama
kiri
2) Keluhan Tambahan
menelan (-)
6) Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku pernah berobat ke puskesmas dan di
berikan obat (pasien tidak tahu nama obat yang diberikan)
7) Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat (-)
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Respirasi
Suhu
Bentuk
: Normal, simetris
Rambut
Mata
Telinga
Mulut
Hidung
LEHER
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 3
Inspeksi : Simetris
EKSTERMITAS
THORAX
Tidak di lakukan pemeriksaan
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
pemeriksaan laboratorium
KGDS
Tanggal pemeriksaan
Hasil laboratorium
8 january 2014
241
13 january 2014
321
14 january 2014
298
15 january 2014
217
16 january 2014
260
17 january 2014
130
3. DIAGNOSA BANDING
Abses retro-faring
Abses para-faring
Abses sub mandibula
4. TERAPI
IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Cefotaxine 1gr/12jam
Inj. Ranitidine 1amp/12jam
Inj. Ketorolac 1amp/8jam
Metformin 3x500 mg
5. FOLLOW UP
Tanggal
06/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:120/80mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Ranitidine
Gusi berdarah(-)
Susah
1amp/12jam
menelan
keterolac
(+)
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
07/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:120/80mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
Suhu : 36 o C
(+)
1gr/12jam
Gusi berdarah(-)
Susah
Ranitidine
menelan
1amp/12jam
(+)
keterolac
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
08/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:130/80mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Ranitidine
Gusi berdarah(-)
Susah
1amp/12jam
menelan
keterolac
(+)
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
09/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:130/90mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Gusi berdarah(-)
Susah
Ranitidine
1amp/12jam
menelan
(+)
keterolac
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
10/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:120/80mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Ranitidine
Gusi berdarah(-)
Susah
1amp/12jam
menelan
keterolac
(+)
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
11/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
T: 120/80mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Ranitidine
Gusi berdarah(-)
Susah
1amp/12jam
menelan
keterolac
(+)
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
12/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:120/80mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
Suhu : 36 o C
(+)
Ranitidine
Gusi berdarah(-)
Susah
1amp/12jam
menelan
keterolac
(+)
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
13/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:120/80mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Ranitidine
Gusi berdarah(-)
Susah
1amp/12jam
menelan
keterolac
(+)
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
14/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:130/80mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Gusi berdarah(-)
Susah
Ranitidine
1amp/12jam
menelan
(+)
keterolac
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
15/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD : 130/90mmHg Infection
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Ranitidine
Gusi berdarah(-)
Susah
1amp/12jam
menelan
keterolac
(+)
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
16/01/2014
Demam (-)
Tanda Vital
TD:130/90mmHg
Infection
20 gtt/menit
Cefotaxine
1gr/12jam
(+)
Suhu : 36 o C
Gusi berdarah(-)
Susah
Ranitidine
1amp/12jam
menelan
(+)
keterolac
1amp/8jam
Metformin 3x500
gr
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan mandibula
dan leher harus dicurigai abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk didalam
ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat perjalanan infeksi dari
berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah
dan leher. Tergantung ruang mana yang terlibat, gejala dan tanda klinik setempat
berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan local infeksi. Termasuk abses
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 10
leher dalam ialah abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring, angina
ludovici (ludwigs angina) atau abses mandibula.
1. ABSES RETROFARING
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian
dalam (deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus
paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini
biasanya atrofi pada umur 4 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring
terjadi pada anak-anak dan relatif jarang pada orang dewasa. Abses pada ruang ini
merupakan kegawatdaruratan yang mengancam kehidupan dengan segera, baik
dalam hal menyumbat saluran napas maupun komplikasi bahaya lainnya.
Penatalaksanaan abses retrofaring dilakukan secara medikamentosa dan operatif .
Insisi abses retrofaring dapat dilakukan secara intra oral atau pendekatan eksternal
bergantung dari luasnya abses.
Anatomi
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ,
otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialisdan fasia servikalis profunda. Fasia servikalis superfisialis terletak
tepat dibawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada
bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari
jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 11
servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah
termasuk vena jugularis eksterna. Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Lapisan superficial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah
dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.
trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga
lapisan eksternal, investing layer , lapisan pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media.
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m.
sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior
melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada
sternum, klavikula dan skapula. Divisi viscera membungkus organ organ
anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior
berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan
bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini
berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu
dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang
berada pada bagian posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m.
buccinator.
3. Lapisan profunda.
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra,
yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan
divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi
bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 12
danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan
ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah
tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan
dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra.
Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis (carotid
sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai
ke toraks.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi oleh :
-
posterior
divisi
alar
lapisan
profunda
fasia
servikalis
profunda.
Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh
midline raphe . Tiap tiap bagian mengandung 2 5 buah kelenjar limfe
retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4 5 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring,
tuba Eustachius dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :
a. Danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi
prevertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
b. Prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan
korpus vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang
ini berjalan sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran
infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.
Etiologi
Secara umum abses retrofaring dibedakan menjadi:
1. Akut.
Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 5 tahun. Keadaan ini
terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid,
nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke
kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis ) sehingga menyebabkan supurasi
pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi
langsung oleh karena trauma akibat penggunaan instrumen (intubasi
endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda asing
2. Kronis.
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua.
Keadaan ini terjadi akibat infeksi tuberkulosis (TBC) pada vertebra
servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui ligamentum
longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada
kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal.
Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah:
1. Kuman aerob :Streptococcus beta hemolyticus group A
(paling sering),Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus,
Staphylococcus aureus, Haemophilus sp.
2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus,
Fusobacteria.
Epidemiologi
Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak dibawah
usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih
berisi kelenjar limfe.
Gejala dan Tanda Klinis
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan
tanda klinis yang sering dijumpai pada anak :
Demam.
Suara sengau.
Pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan
Pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ).
Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa dijumpai
adanya :
Gejala yang timbul pada orang dewasa dari anamnesis biasanya didahului riwayat
tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau
adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah :
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 15
1. Demam
2. Sukar dan nyeri menelan
3. Rasa sakit di leher ( neck pain )
4. Keterbatasan gerak leher
5. Dispnea
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari abses retrofaring dapat berupa:
Adenoiditis
Abses peritonsil
Abses parafaring
Epiglottitis
Croup
Aneurisma arteri
Diagnosis
Diagnosis abses retrofaring ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Bayi dengan pembengkakan dinding faring tidak dapat dengan mudah
dideteksi dengan inspeksi dan palpasi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
adanya riwayat infeksi saluran napas atas atau trauma.
2. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan penunjang:
Radiologis
Foto jaringan lunak leher lateral: dijumpai penebalan jaringan
lunak retrofaring (prevertebra) :
- setinggi C2: >7 mm ( normal 1 - 7 mm ) pada anak-anak dan
dewasa
- setinggi C6: >14 mm (anak-anak, N: 514 mm) dan >22 mm
(dewasa N:922 mm Pembuatan foto dilakukan dengan posisi
kepala hiperekstensi dan selama inspirasi. Kadang-kadang
dijumpai udara dalam jaringan lunak prevertebra dan erosi korpus
vertebra yang terlibat.
CT Scan
MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Penatalaksanaan
Penderita abses retrofaring perlu dirawat inap di rumah sakit dengan pengobatan
sebagai berikut:
1. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat:
- Posisi pasien supine dengan leher ekstensi
- Pemberian O2
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 17
Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang kecil dan terlokalisir.
Pasien diletakkan pada posisi Trendelenburg, dimana leher dalam keadaan
hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan
pada daerah yang paling berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus
segera diisap dengan alat penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Lalu
insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi
pus.
Komplikasi
Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat :
1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas
2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru
3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya :
a. inferior : edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema, abses
mediastinum
b. lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring
c. posterior : osteomielitis dan erosi kollumna spinalis
4. Infeksi itu sendiri : necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 19
Prognosis
Pada umumnya prognosis abses retrofaring baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal
dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang
tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna. Apabila telah
terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40 - 50% walaupun dengan
pemberian antibiotik. 1,5,9 Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas 20
40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.
ABSES PARAFARING
Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
parafaring.
Anatomi
Ruang parafaring disebut juga ruang faringomaksila, perifaring atau ruang faring
lateral. Ruang parafaring berbentuk seperti corong, dibagi atas dua bagian yang
tidak sama besar oleh prosessus stiloideus dan perlekatan otot-otot yaitu bagian
anterior
(prestiloid)
dan
bagian
posterior
(retrostiloid/postiloid).
Bagian anterior merupakan bagian yang lebih besar. Ruang parafaring anterior
letaknya berbatasan pada bagian superior dengan dasar tengkorak, bagian inferior
dengan angulus mandibula atau setinggi os hyoid, bagian anteromedial dengan
fascia bukofaringeal yang melapisi m. Konstriktor faring superior, bagian
anterolateral dengan fascia yang melapisi m. Pterioid interna, bagian
posterolateral dengan ligamentum stilomandibula atau fascia parotis media,
bagian posterior dengan fascia yang melapisi stiloid, m. Stiloid dan dinding
anterior selubung karotis dan bagian postero medial dengan fascia alar. Ruang
parafaring anterior berisi jaringan ikat dan beberapa kelenjar limfe. Pada bagian
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 20
ini dapat terkena proses supuratif sebagai akibat dari tonsil yang terinfeksi,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, karies gigi, dan pembedahan.
Bagian posterior ruang parafaring lebih kecil. Ruang parafaring posterior
dibentuk oleh selubung karotis, terbentang dari dasar tengkorak sampai ruang
leher visera. Batas lateral ruang ini adalah fascia parotis dan batas medial adalah
fascia yang membatasi ruang retrofaring. Ruang ini berisi a.karotis interna,
a.faring assenden, v.jugularis interna, n.hipoglosus, n.vagus, n.simpatikus
servikalis, n.glossofaringeus dan n.assenden spinalis. Bagian ini dipisahkan dari
spatium retrofaringeum oleh selapis fascia yang tipis.
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi
dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan
sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob seperti Streptococcus
hemoliticus, Staphylococcus Aureus dan anaerob seperti bacteroides
melaninogenicus. Faktor predisposisi ialah penyakit seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus.
Gejala dan Tanda
Gambaran klinis berupa gejala infeksi umum seperti demam, lekositosis, nyeri
tenggorok dan nyeri menelan, nyeri dan bengkak pada leher di belakang angulus
mandibula, trismus dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga terdorong
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 21
atau menonjol ke arah medial. Mungkin terdapat juga edema pada uvula, pilar
tonsil dan palatum.
Pemeriksaan
Pada foto leher jaringan lunak, terlihat penebalan jaringan lunak parafaring.
Mungkin terlihat pendorongan trakhea ke samping depan. Untuk melihat
kemungkinan komplikasi ke mediastinum dibuat foto thorax pada semua kasus
abses parafaring.
Diagnosis Banding
Parotitis.
Abses submandibula.
Tumor.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinis. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan
lunak AP atau CT scan.
Penatalaksanaan
1. Penderita dirawat di rumah sakit dan diberikan infus cairan dan dibservasi ketat
terhadap tanda-tanda komplikasi sampai gejala dan tanda infeksinya reda.
2. Antibiotika dosis tinggi secara parenteral. Sebelum ada hasil kultur, diberikan
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 22
3. Tindakan drainase
Drainase eksternal
Drainase ini dilakukan dalam narkosis umum. Insisi kira-kira 2 cm di
bawah dan sejajar dengan mandibula sampai di batas anterior
m.sternokleidomastoideus. Insisi dapat dilanjutkan ke atas atau ke bawah
bila perlu. Kelenjar liur submaksila dicari, kemudian jari masuk di bawah
kelenjar menyusuri otot digastrikum posterior menuju arah bagian
bawahnya kemudian diangkat, bila perlu dengan memotong v.fasialis. Jari
menyusur di bawah kelenjar menuju arah postero superior sampai teraba
ligamentum stilomandibula di bawah angulus mandibula. Ligamnetum ini
terus diikuti ke atas sampai teraba prosessus stiloideus. Ruang parafaring
dicapai dengan menyusuri bagian depan luar prosessus stiloideus ke arah
dasar tengkorak. Setelah nanah dikeluarkan, dilakukan pembersihan
dengan larutan desinfektan, kemudian dipasang drain. Balutan diganti 1-2
kali sehari, drain diangkat 3-5 hari atau setelah tidak keluar nanah lagi.
Drainase intraoral
Tindakan drainase intraoral dengan melakukan insisi dan drainase dalam
analgesia topikal bila tampak penonjolan abses ke dalam rongga faring.
Tindakan ini dilakukan pada dinding lateral faring dengan memakai klem
arteri eksplorasi, menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi
tambahan pada insisi eksternal.
Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat:
1. Penjalaran infeksi ke intrakranial, mediastinum dan ruang leher dalam lainnya.
2. Sebagai komplikasi ke selubung karotis dapat terjadi trombosis v.jugularis
interna, erosi dinding a.karotis interna yang bisa megalami nekrosis, dapat
terjadi ruptur dan mengakibatkan perdarahan hebat dan komplikasi pada
n.vagus. Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan dibuat untuk
drainase dari abses, maka dapat segera identifikasi a.karotis interna harus
dilakukan. Dengan demikian, jika terdapat perdarahan ketika dilakukan drainase
abses, maka dapat segera dilakukan ligasi a.karotis interna atau a.karotis
komunis. Bila rantai simpatis servikal terlibat, dapat terjadi sindrom horner.
3. Penekanan pada laring dan trakea menyebabkan edema laring dan pendorongan
trakea. Keadaan ini dapat menyulitkan intubasi pada narkosis saat tindakan
penatalaksanaan terhadap abses.
4. Pada keadaan gawat dapat terjadi septikemia sampai syok septik.
ABSES PERITONSIL
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior dan palatum superior. Abses
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 24
yang dibungkus oleh kapsul fibrosa yang jelas. Permukaan sebelah dalam tertutup
oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas
kedalam kripta yang membuka kepermukaan tonsil. Kripta pada tonsil berjumlah
8-20, biasa tubular dan hampir selalu memanjang dari dalam tonsil sampai
kekapsul pada permukaan luarnya.Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor
faringeus superior, sehingga tertekan setiap kali menelan. m. palatoglusus dan m.
palatofaring juga menekan tonsil .
Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai
tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular
dan sampai mencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan
limphoid.
Struktur disekitar tonsilla palatina:
Anterior
Pada bagian anterior tonsilla palatina terdapat arcus palatoglossus, dapat
meluas dibawahnya untuk jarak pendek.
Posterior
Di posterior terdapat arcus palatopharyngeus.
Superior
Lateral
Di sebelah lateral terdapat capsula yang dipisahkan dari m.constristor
pharyngis superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina externa
berjalan turun dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini, untuk
bergabung dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap
m.constrictor pharynges superior terdapat m. styloglossus dan lengkung
Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang
menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara
laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau
percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan
predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.1,3 Sumber lain mengatakan
umur penderita antara umur 1-76 tahun dan insidens paling banyak terjadi pada
umur 15-35 tahun.
Etiologi
Etiologi Abses peritonsiler yang paling sering dijumpai adalah spesies aerobic dan
anaerobic gram positif yang biasa didapatkan pada kultur, biasanya bakteri
Streptokokus beta hemolitik grup A. Kadang-kadang infeksi tonsila berlanjut
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 27
menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila meluas sampai palatum mole.
Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsilaris. Kelainan ini dapat terjadi
cepat, dengan awitan awal dari tonsillitis, atau akhir dari perjalanan penyakit
tonsillitis akut. Hal ini dapat terjadi walaupun diberikan penisilin. Biasanya
unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Patogenesis
Abses peritonsil merupakan abses akut didalam jeringan peritonsil dimana
penyebabnya sama dengan tonsilitis folikuler akut dan disebabkan oleh infeksi
pada kripta, difossa supratonsil dimana ukurannya membesar, merupakan suatu
kavitas seperti celah dengan tepi tidak teratur dan berhubungan erat dengan bagian
luar dan posterior tonsil. Pada fossa supratonsil ditemukan nanah yang ditandai
dengan pembengkakan dan edema pallatum molle mengakibatkan tonsil terdorong
ke bawah dan ke tengah. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang
bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes ( Group A betahemolitik streptoccus ), sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena
kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.
Kuman Aerobic :
Grup A beta-hemolitik streptococci (GABHS)
Group B, C, G streptococcus
Hemophilus influenza (type b and nontypeable)
Staphylococcus aureus
Haemophilus parainfluenzae
Neisseria species
Mycobacteria sp
Kuman Anaerobik :
Fusobacterium
Peptostreptococcus
Peptococcus sp
Bacteroides
Virus :
Eipsten-Barr
Adenovirus
Influenza A dan B
Herpes simplex Parainfluenza
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
maka infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah
ini, sehingga tampak palatum molle membengkak. Pada stadium permulaan
(stadium infiltrat), selain pembengkakan, tampak permukaan hiperemis. Bila
proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan.
Tonsil terdorong ke tengah, depan dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke
sisi kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya
akan menyebabkan iritasi pada m. Pterigoid interna, sehingga terjadi trismus.
Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
Gambaran Klinik
Gejala klasik dimulai 3-5 hari waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses
sekitar 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami keluhan odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat sehingga sulit dilakukan pemeriksaan karena sulit membuka
mulut dan juga bisa terjadi dehidrasi, muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 29
ex ore), hot potato voice banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia)
dan sukar membuka mulut (trismus), sakit kepala, rasa lemah, demam, serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien juga mungkin
mengalami
nyeri
pada
saat
menggerakkan
lehernya.1,10
Penyebaran infeksi berasal dari lubang tonsil superior, dengan formasi pus
diantara dasar tonsil dan kapsul tonsilar. Infeksi ini biasanya terjadi secara
unilateral dan keluhan tersebut cukup akut, dengan otalgia pada telinga ipsilateral
selama beberapa hari setelah serangan tonsilitis.
Diagnosis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses
peritonsiler. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada kerongkongan adalah
salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya
faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal
unilateral. Pada pemeriksaan fisis kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring,
karena trismus. Palatum molle tampak membengkak dan menonjol kedepan, dapat
teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong kesisi kontralateral. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah,
depan dan bawah.
Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris
yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum
molle dan penonjolan dari jeringan ini dari garis tengah. Palpasi jika mungkin
dapat membedakan abses dari selulitis.
Diagnosis Banding
1. Abses tonsil
2. Selulitis peritonssilar
3. Abses retroparingeal
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abses peritonsil meliputi:
1. Nedle aspirasi
2.
3.
Tonsilektomi
Penanganan abses peritonsiler meliputi hidrasi, menghilangkan nyeri, dan
antibiotik yang efektif mengatasi Staphylococcus aureus dan bakteri
anaerob. Aspirasi needle merupakan penanganan yang efektif pada 75 %
abses peritonsiler pada anak-anak dan dianjurkan sebagai terapi utama
kecuali terdapat riwayat tonsilitis rekuren atau abses peritonsiler
sebelumnya maka indikasinya adalah tonsilektomi dengan segera.1,10
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan compres
dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil
kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of
chioce pada abses peritonsilar dan efektif pada 98% kasus jika yang
dikombinasilakn dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada
dewasa adalah 600mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.50025.000 U/Kg tiap 6 jam.
Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kg dan dosis penjagaan 6
jam setelah dosis awal dengan infus 7,5mg/kg selama 1 jam diberikan
selama
6-8
jam
dan
tidak
boleh
lebih
dari
gr/hari.10
tenang,
yaitu
2-3
minggu
sesudah
drainase
abses.10
atau
sepsis,
sedangkan
sebagian
lagi
menganjurkan
tonsilektomi segera.
Komplikasi
Komplikasi
yang
dapat
timbul
pada
abses
peritonsiler
adalah
Prognosis
Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.,
maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah
mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi pada saat opessrasi.
ABSES SUBMANDIBULA
Anatomi
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual
dipisahkan
dari
ruang
submaksila
oleh
otot
milohyoid.
Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang
submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi (hampir 70-85%), dasar mulut, faring, kelenjar
liur atau kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi
ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya dapat kuman aerob atau
anaerob
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 35
Terapi
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral.1
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal
dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan lua.1
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid,
tergantung letak dan luas abses.
Klasifikasi
1. Tipe I (IDDM = Insulin Deppendent Diabetes Melitus)
2. Tipe II (NIDDM = Non Insulin Dependent Diabetes Melitus)
3. Diabetes Gestasional (Diabetes yang hanya muncul pada pasien dalam
keadaan hamil)
Gejala Dan Tanda Diabetes Melitus
Diabetes tipe ini merupakan tipe DM yang disebabkan oleh serangan autoimun
terhadap sel yang akhiornya menyebabkan defisiensi insulin secara absolut dan
membutuhkan tambahan insulin dari luar tubuh.
Gambaran Klinis :
- Umur rata rata manifesatasi awal = 13 thn
- Poliuria, Polidipsia dan penurunan berat
- badan yang tidak jelas, cepat lelah dan
- terdapat infeksi (abses, infeksi jamur)
- jarang menyebabkan komplikasi Diabetes yang lebih besar (KAD)
Diabetes tipe ini disebabkan terutama oleh karena adanya resistensi terhadap kerja
insulin di jaringan perifer. Walaupun dapat menyebabkan defisiensi insulin namun
tidak ditemukan defisiensi yang absolut. Penyakit ini juga disebabkan oleh faktor
genetik.
Gambaran Klinis :
- 80 % pasien memiliki kelebihan berat badan
- 20% datang dengan komplikasi
- Polidipsi dan Poliuri yang datang secara perlahan lahan
ABSES PADA RUANG POTENSIAL LEHER
KKS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSUD LANGSA
Page 37
Diagnosa
Pemeriksaan Penunjang :
- Cek GDS, GDP dan GD II PP
- HbA1C
Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
- Edukasi pasien untuk menjalani pola hidup yang sehat.
- Olah raga teratur
- Usahakan mencapai berat badan ideal
- dengan mengurangi asupan karbohidrat olahan, lemak jenuh dan alkohol
dan memperbanyak karbohidrat kompleks untuk mencegah adanya
resistensi insulin
Medikamentosa
- Obat Hipoglikemik Oral (OHO), OHO digunakan pada pasien dengan
DM Tipe II apabila diet saja tidak cukup mengontrol metabolisme
Contoh OHO :
- Sulfonilurea : dapat meningkatkan pelepasan insulin dari sel
beta pankreas (dengan menutup saluran K menyebabkan
depolarisasi sel), contoh : Glibenklamid , glikazid, tolbutam
Komplikasi
Komplikasi Akut:
- Ketoasidosis Diabetik : pada kondisi ini dapat ditemukan kadar
Glukosa yang mencapai 300 600 mg/dl
- Status Hiperglikemik Hiperosmolar dapat ditemukan kadar
Glukosa yang mencapai 600 1200 mg/d
- Hipoglikemia mendadak
Komplikasi Kronik:
1. Mikroangiopati / Mikrovaskular :
a. Retinopati Diabetik
b. Nefropati Diabetik
c. Neuropati Diabetik
2. Makroangiopati / Makrovaskular:
a. Pembuluh darah Jantung
b. Pembuluh darah Tepi
c. Pembuluh darah Otak
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Efiaty, dr. Sp.THT. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga hidung
Tenggorok Kepala leher edisi kelima. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
2. Adams, Boeis, Higler. Boeis Buku Ajar Ilmu Penyakit THT edisi 6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. Andrina, dr. 2003. Ases Retrofaring. Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
4. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia2006.
5. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W sudoyo, editor. Edisi 5. Jakarta: Internal
Publishing; 2009.