Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sumbatan hidung adalah salah satu yang paling sering dikeluhkan ke
dokter pada pelayanan primer. Ini adalah gejala bukan diagnosis, banyak
faktor dan kondisi anatomi yang dapat menyebabkan sumbatan hidung.
Pasien juga sering mengeluhkan sakit kepala dan napas yang lebih sulit
dan sensasi penuh pada wajah. Penyebab dari sumbatan hidung dapat
struktur maupun sistemik. Yang disebabkan struktur termasuk perubahan
jaringan, trauma, gangguan kongenital. Yang disebabkan sistemik terkait
dengan perubahan fisiologis dan patologis. Polip merupakan salah satu
dari penyebab rasa hidung tersumbat (1.2)
Polip nasal adalah massa polipoidal yang biasanya berasal dari
membran mukosa dari hidung dan sinus paranasal. Polip tumbuh melebihi
dari mukosa yang sering berhubungan dengan rhinitis alergi. Patogenesis
polip nasal adalah tidak diketahui, Polip hidung paling sering bersamaan

dengan rhinitis alergi dan kadang dengan fibrosis kistik, walaupun pada
dewasa terdapat angka yang siqnifikan di kaitkan dengan non alergi.
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering
ditemukan di bagian THT-KL. Keluhan pasien yang datang dapat berupa
sumbatan pada hidung yang makin lama semakin berat. Kemudian pasien
juga mengeluhkan adanya gangguan penghidu dan sakit kepala. Untuk
mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain
perlu dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang
dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini
akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi,
gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.(2)

BAB II
ANATOMI dan FISIOLOGI
II. 1. Anatomi Hidung
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke
bawah :
1.

Pangkal hidung (bridge)

2.

Dorsum nasi

3.

Puncak hidung

4.

Ala nasi

5.

Kolumela

6.

Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa

dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares
dapat melebar dan menyempit.(3,4)

Kerangka tulang terdiri dari(4) :


1. Tulang hidung (os nasal)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal
Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu (4):
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
3. Tepi anterior kartilago septum
Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang
terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh(4,5) :
-

Superior : os frontal, os nasal, os maksila

- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris


mayor dan kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior


menjadi fleksibel(4).

Gambar 1. Gambaran anterolateral tulang hidung(3)

Kavum Nasi
Kavum nasi atau rongga hidung berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Batas batas kavum nasi:
Posterior

: berhubungan dengan nasofaring

Atap

: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale,


korpus sfenoidale dan sebagian os vomer

Lantai

: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir


horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini
lebih

lebar

daripada

bagian

atap.

Bagian ini

dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.


Medial

: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua


ruangan (dekstra

dan sinistra), pada bagian bawah

apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan

subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari


septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai
septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
Lateral

: terdapat 4 buah konka, yaitu konka inferior yang terbesar,


konka media, konka superior dan konka suprema yang
merupakan konka terkecil dan biasanya rudimenter.

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari


tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang
terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah
resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang
kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian
ini(4).

Gambar 2. Gambaran potongan sagital cavum nasi

Vaskularisasi
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A.
Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika(4).

Gambar 3. Perdarahan cavum nasi


Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan
bersama sama arteri. Juga terdapat pleksus kieselbach yang merupakan
anastomosis dari A.etmoidalis anterior, A.palatina mayor, A. sfenopalatina,
dan A.labialis superior(3,4).

Persarafan :
1.

Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N.


Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior

2.

Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari


ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina
kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

II.2 Histologi Hidung


Mukosa Hidung
Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks besilia,
bertingkat palsu (pseudo stratified), berbeda-beda pada berbagai bagian
hidung, tergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian
pula suhu, dan derajat kelembaban udara. Jadi, mukosa pada ujung
anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi
oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan epitel kulit vestibulum nasi.
Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks; silia pendek
dan agak iregular.sel-sel meatus media dan interior yang terutama
menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi.
Sinus mengandung epitel kubus dan silia yangg sama panjang dan jarak
antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga
mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa.
Lamina propria tipis pada daerah di mana aliranudara lambat dan lemah,
namun di daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret
dan sel goblet, yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan

10

ketebalan laimna propria. Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket
menangkap debu, benda asing dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja
silia benda-benda ini diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan
dihancurkan dilambung. Lisozim dan imunoglobulin A (IgA) ditemukan
pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap patogen.
Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam satu jam.
Silia struktur kecil mirip rambut bergerak serempak secara cepat ke arah
aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih
lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus per menit.(4)
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.(4,5)

11

Gambar 4.
Nasal Mucosa(6)
Silia
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir
sel-sel permukaan eptelium dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi,
atau sekitar 250 per sel pada saluran pernapasan atas.
Silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus, semuanya terbungkus dalam membran sel
berlapis tiga yang tipis dan rapuh. Masing-masing silium terdiri dari suatu
batang, ujung yang makin mengecil, dan korpus basalis. Tidak semua
mikrotubulus berlanjut hingga ke ujung silia. Kedua mikrotubulus sentral
tunggal tidak melewati bagian bawah permukaan sel. Namun, tepat
dibawah permukaan sel, tiap pasang mikrotubulus perifer bergabung
dengan mikrotubulus ketiga dalam korpus basalis, yaitu struktur yang

12

ditemukan dalam sitoplasma apikal. Triplet ini terus berjalan turun ke


dalam sitoplasma apikal sebagai radiks silia, dan perlahan-lahan
menghilang.(3,5)
Area Olfaktorius
Variasi antar individu yang besar mencirikan struktur regio penghidu;
perbedaan ini dapat menyangkut ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60
mikron) ukuran sel, dan vesikel olfaktorius. Pada manusia, epitel penhidu
bertingkat toraks terdiri dari tiga jenis sel: (1) sel saraf bipolar olfaktorius;
(2) sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya; dan (3) sejumlah
sel basal yang kecil, agaknya merupakan sel induk dari sel sustentakuler.
Masing-masing sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Dalam
lapisan epitel, sel-sel ini tersebar merata di antara sel-sel penyokong. Selsel penghidu ini merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang
mencapai permukaan tubuh. Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit
yang telah mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel,
membentuk apa yang disebut vesikel olfaktorius. Pada permukaan vesikel
terdapat 10 sampai 15 silia non motil. Ujung proksimal sel mengecil
membentuk suatu tonjolan yang halus berdiameter sekitar 0,1 mikron,

13

yaitu aksonnya. Akson ini bergabung dengan akson lainnya membentuk


saraf olfaktorius, yang menembus lamina kribriformis dan membentuk
bulbus olfaktorius dimana terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua.
Akson-akson neuron kedua mebentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke
otak untuk berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus
lainnya. Aparatus olfaktorius sentral merupakan struktur yang sangat
kompleks.(3,5)

II.3.Fisiologi hidung
1.

Sebagai jalan nafas


Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke
atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau
arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di
bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.

14

Perubahan tekanan udara hidung selama siklus pernapasan telah


diukur

memakai

rhinomanometri.

Selama

respirasi

tenang,

peruubahan tekanan udara di dalam hidung adalah minimal dan


normalnya tidak lebih dari 10-15 mm H2O, dengan kecepatan aliran
udara bervariasi antara 0 sampai 140 ml/menit.pada inspirasi, terjadi
penurunan tekanan; udara keluar dari sinus.sementara pada ekpirasi
tekanan sedikit meningkat; udara masukkedalam sinus. Secara
keseluruhan, pertukaran udara sinus sangat kecil,kecuali pada saat
mendengus, suatu mekanisme di mana hantaran udara ke membran
olfaktorius yang melapisi sinus meningkat.
2.

Pengatur kondisi udara (air conditioning)


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi
ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut
lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya.

15

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya


pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara
optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung
kurang lebih 37o C.
3.

Sebagai penyaring dan pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh:

1.

Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

2.

Silia
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring
di sebelah posterior, di mana kemudian akan ditelan atau
diekspektorans, merupakan kerja silia yang menggerakan lapisan
mukus dengan partikel yang terperangkap. Aliran turbulen dalam
hidung memungkinkan paparan yang sangat luas antara udara
inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan mukusnya, lapisan
mukus berupa selubung sekret kontinyu yang sangat kental, meluas

16

ke seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustakius, faring,


dan seluruh cabang bronkus.
Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi
partikel yang tertimbun dari udara inspirasi, juga memindahkan
panas, normalnya mukus menghangatkan udara inspirasi dan
mendinginkan ekpirasi, serta melembabkan udara isnpirasi dengan
lebih dari satu liter uap setiap harinya. Namun, bahkan dengan
jumlah

uap

demikian

sering

kali

tidak

memadai

untuk

melembabkan udara yang sangat kering, sering kali terdapat di


rumah-rumah dengan pemanasan selama musim dingin. Hal ini
dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai
ganguan hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan
oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada submukosa
hidung.
Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena
silia lebih aktif pada meatus media dan inferior yang terkandung,
maka cenderung menarik lapisan mukus dari lapisan meatus
komunis ke dalam celah-celah ini. Arah gerakan septum adalah
kebelakang dan agak ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung,

17

arahnya kebelakang dengan kecenderungan bergerak di bawah


konka inferior ke dalam meatus inferior. Pada sisi medial konka,
arah gerakan kebelakang dan kebawah, lewat dibawah tepi inferior
dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari daerah tak bersilia
pada sepertiga anterior hidung sebelumnya praktis lewat meatus.
Ini merupakan daerah yang paling banyak mengumpulkan
kontaminan udara.
Kecepatan gerak mukus yang ditentukan oleh kerja silia berbeda
di berbagai bagian hidung; pada segmen hidung anterior mungkin
hanya seperenam dari kecepatan segmen posterior, yaitu sekitar 1
hingga 20 mm/menit. Cacat mukosiliar baik yang diturunkan atau
didapat telah terbukti berkaitan dengan keadaan penyakit yang
bermakna.
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel
lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri.
Akan tetapi walaupun organisme hidup mudah dibiak dari segmen
hidung anterior, sulit untuk mendapat suatu biakan postnasal yang
positif. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus, bersifat
destruktif terhadap dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif

18

dalam membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah


permukaan. Membran sel pernapasan juga memberikan imunitas
induksi seluler.
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai
kebutuhan fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE.
Rinitis alergika terjadi bila alergen yang terhirup berkontak dengan
antibodi IgE sehingga antigen tersebut terfiksasi pada mukosa
hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan
dilepaskan mediator radang yang menimbulkan perubahan mukosa
hidung yang khas.
4

Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

19

5.

Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau.

6.

Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum
molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

20

BAB III
POLIP NASI

III.1 Definisi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa
lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih
keabuan, dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung
banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan penyakit tersendiri tapi
merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering
dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma.
Menurut Mackay yang dikutip dari Hamadi,terdapat 4 stadium
dari polip nasi yaitu: Stadium 0: tidak ada polip Stadium 1: polip terbatas
dalam meatus media tidak keluar ke rongga hidung tidak tampak dengan
pemeriksaan rinoskopi anterior hanya terlihat dengan nasoendoskopi.
Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus media dan tampak dirongga
hidung tetapi tidak memenuhi /menutupi rongga hidung. Stadium 3: polip
sudah memenuhi rongga hidung.
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis
kronik, rhinitis alergi, fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip

21

sangat bervariasi pada setiap individu, polip dapat berupa polip antrokoanal, polip jinak yang besar ataupun polip multipel yang dapat
merupakan lesi jinak atau merupakan suatu keganasan seperti: glioma,
hemangioma, papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma, karsinoma
nasofaring dan papiloma inverted.(2)

Gambar 5. Nasal Polyp

22

Tempat asal
Tumbuhnya polip terutama di bagian-bagian sempit di bagian atas
hidung, di bagian lateral konka media, dan sekitar muara sinus maksila
dan sinus etmoid. Di tempat inilah mukosa hidung saling berdekatan. Bila
ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai
polip dapat dilihat.
III.2 Epidemiologi
Di Amerika insiden polip nasi pada anak adalah 0,1%, namun insiden
ini meningkat pada anak-anak dengan fibrosis kistik yaitu 6-48%.
Insiden pada orang dewasa adalah 1-4% dengan rentang 0,2-28%.
Insiden di seluruh dunia tidak jauh berbeda dengan insiden di Amerika.
Polip nasi terjadi pada semua ras dan kelas ekonomi. Walaupun ratio pria
dan wanita pada dewasa 2-4: 1, ratio pada anak anak tidak dilaporkan.
Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi
dihubungkan dengan turunnya kualitas hidup seseorang. Tidak ada
perbedaan insiden polip nasi yang nyata diantara bangsa-bangsa di dunia
dan

diantara

jenis

kelamin.

23

Polip

multipel

yang

jinak

biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan lebih sering pada usia diatas 40
tahun. Polip nasi jarang ditemukan pada anak usia dibawah 10 tahun.(12,13)

Tabel 1. Hubungan jenis kelamin dengan angka kejadian polip nasi(13)


Diseases
Inflammatory Nasal Polyp-

Male

Female

Total

Ethmoidal

Anthrocoanal

11

Rhinosporidiosis

17

19

Benign tumours

Malignant tumours
Total

8
40

4
10

12
50

Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat bahwa insiden terjadinya massa
pada hidung terbanyak pada pria.

III.3 Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif
atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan

24

polip hidung belum diketahui dengan pasti. Polip berasal dari


pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang
kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat.
Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan
eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip
biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada
anak anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1.

Alergi terutama rinitis alergi.

2.

Sinusitis kronik.

3.

Iritasi.

4.

Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum


dan hipertrofi konka(8)

Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu :
1.

Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung


dan sinus.

2.

Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.

25

3.

Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema


mukosa hidung.

Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui


tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah
sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini
sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip.
Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari daerah
yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun
demikian polip juga dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau
sinus paranasal dan seringkali bilateral dan multipel.(9)
III.4 Patofisiologi
Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang timbul karena suatu
peradangan kronik yang berulang, kebanyakan terjadi di daerah meatus
medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga
mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses ini berlanjut, mukosa
yang sembab makin membesar dan kemudian turun kedalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.

26

Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan polip nasi.


Kerusakan epitel merupakan patogenesa dari polip. Sel-sel epitel
teraktivasi oleh alergen, polutan dan agen infeksius. Sel melepaskan
berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan perbaikan.
Epitel polip menunjukan hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus
yang berperan dalam obstruksi hidung dan rinorea.
Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian
menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat
juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan
sinus. Dalam teori Bernstein, perubahan inflamasi pertama terjadi pada
dinding lateral mukosa hidung atau sinus sebagai akibat interaksi virushost bakteri atau sekunder untuk aliran turbulen. Dalam kebanyakan
kasus, polip berasal dari daerah meatus tengah kontak, terutama celah
sempit di kawasan ethmoid anterior yang menciptakan aliran turbulen, dan
terutama bila dipersempit oleh peradangan mukosa. Ulserasi atau prolaps
dari submucosa dapat terjadi, dengan reepithelialization dan pembentukan
kelenjar baru. Selama proses ini, polip dapat dibentuk dari mukosa akibat
proses inflamasi tinggi sel epitel, sel endotel pembuluh darah, dan
fibroblas mempengaruhi integritas bioelectric saluran natrium di

27

permukaan luminal sel epitel pernafasan dalam mukosa hidung. Respon


untuk meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air dan
pembentukan polip.
Teori lain melibatkan ketidakseimbangan vasomotor atau epitel rusak.
Teori ketidakseimbangan vasomotor mendalilkan bahwa peningkatan
permeabilitas vaskuler menyebabkan detoksifikasi vaskular mast-sel
(misalnya, histamin). dampak jangka panjang produk dalam stroma polip
ditandai edema (terutama dalam polip gagang bunga) yang diperburuk
oleh terhalangnya drainase vena. Teori ini didasarkan pada sel stroma
miskin dari polip, yang buruk dan tidak memiliki saraf vasokonstriktor
vascularized.
Teori pecah epitel menunjukkan bahwa pecahnya epitel mukosa
hidung yang disebabkan oleh peningkatan jaringan turgor pada penyakit
(misalnya, alergi, infeksi). pecah menyebabkan mukosa lamina propria
prolaps, membentuk polip. Cacat yang mungkin diperbesar oleh efek
gravitasi atau obstruksi drainase vena, menyebabkan polip. Teori ini,
meskipun mirip dengan Bernstein, memberikan penjelasan yang kurang
meyakinkan untuk pembesaran polip teori natrium fluks didukung oleh

28

data

Bernstein.

Baik

teori

benar-benar

mendefinisikan

memicu

peradangan.(9,11)

Makroskopis(11)
Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuabuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif
(bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah
ke polip. bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip
dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun
warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung
jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di
meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat
Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar dinasofaring,
disebut polip koana.polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus

29

maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip
koana yang berasal dari sinus etmoid.

Mikroskopis(11)
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa
hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa
yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil,
neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh
darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat
mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi
epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi
2, yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.

30

Gambar 6. Gambaran endoskopi cavum nasi kiri, menunjukkan polip


pada prosesus uncinatus. Tampak jelas polip berada di tengah,
berwarna pucat dan putih berkilau.(3)

Antrochoanal polip adalah polip soliter yang tumbuh dari antrum


maxila. Killian 1906 adalah orang pertama yang menemukan antrochoanal
polip. Walaupun etiologinya belum diketahui secara pasti, namun alergi
dapat dijadikan salah satu faktor pencetus. Polip tersebut keluar dari
antrum maxila dan dapat prolaps melalui ostium asesorius kedalam kavum
nasi dan membesar ke arah posterior choana dan nasofaring.(8)

31

Gambar 7. Polip antrochoanal kiri yang menggantung pada orofaring(3)

III.5 Gejala Klinis


Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa
sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama
semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan
gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal,
maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri
kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan
iritasi di hidung. Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami
sumbatan hidung yang meningkat, hiposmia sampai anosmia, perubahan

32

pengecapan, dan drainase post nasal persisten. Sakit kepala dan nyeri pada
muka jarang ditemukan dan biasanya pada daerah periorbita dan sinus
maksila. Pasien polip dengan sumbatan total rongga hidung atau polip
tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif dan
pernafasan lewat mulut yang kronik.(11)
Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala
obstruktif hidung yang dapat berubah dengan perubahan posisi. Walaupun
satu atau lebih polip yang muncul, pasien mungkin memperlihatkan gejala
akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat ostium sinus.
Beberapa polip dapat timbul berdekatan dengan muara sinus, sehingga
aliran udara tidak terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap dalam sinus.
Dalam hal ini dapat timbul perasaan penuh di kepala, penurunan
penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus yang terperangkap tadi
cenderung terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin
perdarahan pada hidung.
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil
mungkin tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu
pemeriksaan rutin. Polip yang terletak posterior biasanya tidak
teridenfikasi pada waktu pemeriksaan rutin rinoskopi posterior. Polip yang

33

kecil pada daerah dimana polip biasanya tumbuh dapat menimbulkan


gejala dan menghambat aliran saluran sinus, menyebabkan gejala-gejala
sinusitis akut atau rekuren.
Gejala Subjektif:
v Hidung terasa tersumbat
v Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)
v Nyeri kepala
v Rhinore
v Bersin
v Iritasi di hidung (terasa gatal)
v Post nasal drip
v Nyeri muka
v Suara bindeng
v Telinga terasa penuh

34

v Mendengkur
v Gangguan tidur
v Penurunan kualitas hidup
Gejala Objektif:
v Oedema mukosa hidung
v Submukosa hipertropi dan tampak sembab
v Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau kebiruan
v Bertangkai(11)

BAB IV
DIAGNOSIS POLIP NASAL

35

Anamnesa
Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung
tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin
berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan
sukar membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan penciuman. Gejala
sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ didekatnya
berupa: adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri wajah, suara nasal
(bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan
penurunan kualitas hidup. Selain itu juga harus di tanyakan riwayat
rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat serta
makanan.(11)

Pemeriksaan Fisik
1.

Inspeksi

36

Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar.


Dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal
dari sel-sel etmoid.(11)
2. Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas
septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret
mukus dan polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan
dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang
dibasahi dengan larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi
yang berisi banyak pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip
tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus
etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.(9)

3. Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada
kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian
superior, yang menandakan adanya rinosinusitis.

37

38

Pemeriksaan penunjang
Naso endoskopi
Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus
baru. Polip stadium awal tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior

tetapi

tampak

dengan

pemeriksaan

nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat terlihat tangkai
polip yang berasal dari ostium assesorius sinus maksila.

Gambar 8. Gambaran endoskopi anterior sinistra cavum nasi,


tampak septum di sebelah kiri dan tampak polip antralchoanal pada
bagian tengah gambaran endoskopi.

Pemeriksaan Radiologi

39

Foto polos sinus paranasal (posisi waters, lateral, Caldwell dan AP)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di
dalam sinus, tetapi sebenarnya kurang bermanfaat pada kasus polip nasi
karena dapat memberikan kesan positif palsu atau negative palsu dan tidak
dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan
variasi anatomis di daerah kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi
computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas
hidung dan sinus paranasal

apakah

keadaan di

ada proses radang, kelainan

anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. Terutama pada


kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa,jika ada
komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama
bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan
koronal,sedangkan polip yang rekuren juga diperlukan potongan aksial.
CT ScanSangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di
hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi, polip, atau
sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan
pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.

Tes alergi

40

Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat


alergi lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.
Laboratorium
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sinusitis
alergi ditemukan eosinofil pada swab hidung, sedang pada non alergi
ditemukannya neutrofil yang menandakan adanya sinusitis kronis.
Temuan histologis

Pseudostratified ciliated columnar epithelium

Epithelial basement membrane yang menebal

Oedematous stroma

III.7 Diagnosis Banding


a.
b.
c.
d.
e.
f.

Cystic Fibrosis
Nuroblastoma
Neurofibromatosis
Rhabdomyosarcoma
Sinusitis
Angiofibroma Nasal

41

Polip nasi juga didiagnosis banding dengan konka polipoid, yang ciri
cirinya sebagai berikut:
-

Tidak bertangkai

Sukar digerakkan

nyeri bila ditekan dengan pinset

mudah berdarah

dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin)

Polip
Bertangkai, dapat digerakkan
Konsistensi lunak
Tidak nyeri bila ditekan
Tidak mudah berdarah
Berwarna putih kebiruan
Tidak
mengecil
pada

Polipoid Mukosa
Tidak bertangkai, sukar digerakkan
Konsistensi keras
Nyeri pada penekanan
Mudah berdarah
Berwarna merah muda
pemberian Mengecil pada pemberian vasokonstriktor

vasokonstriktor (adrenalin)

Pada

pemeriksaan

rinoskopi

anterior

cukup

mudah

untuk

membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian


vasokonstriktor yang juga harus hati hati pemberiannya pada pasien

42

dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi


sistemik, meningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan
hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.(7,9)

43

III.8 Penatalaksanaan
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi
inflamasi, maka penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang
tidak spesifik. Pada terapi medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid.
Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik ataupun intranasal.
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi
dalam waktu yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek
samping dan

kontraindikasi. Kortikosteroid oral adalah pengobatan

paling efektif untuk pengobatan jangka pendek dari polip nasi, dan
kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik dalam mengurangi
inflamasi polip.(10,11)
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk
spray steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan
polip

nasi

yang

kecil,

tetapi

secara

relatif

tidak

efektif untuk polip yang masif. Steroid intranasal paling efektif pada
periode post operatif untuk mencegah atau mengurangi relaps.
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi
pada polip yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat

44

diberikan antihistamin oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang


terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang ditandai dengan adanya sekret yang
mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik.
Pengobatan Medikamentosa
Berdasarkan

guideline

penatalaksanaan

polip

nasi

di

Indonesia,

pengobatan lini pertama pada kasus polip nasi adalah steroid oral dan
topikal. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut
juga polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya
kortikosteroid intranasal dan/atau oral selama 4-6 minggu. Bila reaksinya
baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Pada
polip nasi rekuren perlu dicari faktor alergi (kausatif). Jika polip sudah
sangat mengganggu pernafasan disarankan untuk terapi bedah yaitu
polipektomi. Pada pasien ini alergen yang mungkin berdasarkan
anamnesis adalah debu dan udara dingin. Untuk itu pasien perlu diberikan
edukasi untuk menghindari pajanan dengan alergen. Pemberian loratadin
1x10 mg sebagai antihistamin berguna untuk mengurangi reaksi alergi
polip akibat rhinitis alergi. (7.8 )

45

Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya


eosinofilia, jadi pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma
seharusnya respon dengan pengobatan ini.
Pasien dengan polip yang sedikir eosinofil mungkin tidak respon
terhadap steroid. Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak
direkomendasikan karena efek sampingnya yang merugikan ( seperti
gangguan pertumbuhan, Diabetes Melitus, hipertensi, gangguan psikis,
gangguan pencernaan, katarak, glukoma, osteoporosis). Pemberian topikal
kortikosteroid di berikan secara umum karena lebih sedikit efek yang
merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya
yang terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan
kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko penekanan
hipotalamus-pituari-adrenal

aksis,

pembentukan

katarak,

gangguan

pertumbuhan, perdarahan hidung, dan pada jarang kasus terjadi perforasi


septum.
Kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang biasa diberikan pada
pasien polip hidung. Namun, memberikan efek samping yang serius seperti
perdarahan usus bila diberikan dalam dosis yang besar dan dalam waktu

46

yang lama. Inhibitor COX-2 juga mempunyai efek anti inflamasi dan
dikenal tidak memberikan efek samping pada gastrointestinal.(14)
Pembedahan dilakukan jika:
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi
sinus
3. Polip berhubungan dengan tumor
4. Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang
gagal pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan
menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar
tetapi belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup
efektif untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada
kasus polip yang tersembunyi atau polip yang sedikit. Bedah sinus
endoskopik (Endoscopic Sinus Surgery) merupakan teknik yang lebih baik
yang

tidak

hanya membuang polip tapi juga membuka celah di

meatus media, yang merupakan

tempat asal polip yang tersering

47

sehingga akan membantu mengurangi angka kekambuhan. Surgical micro


debridement merupakan prosedur yang lebih aman dan cepat, pemotongan
jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan dengan visualisasi yang
lebih baik.(2,15)
Keputusan atas pembedahan ditentukan dari penemuan CT-Scan sinus
paranasal

sebelum

ethmoidectomy,

operasi.

Anterior

ethmoidectomy,

posterior

antrostomy meatus medius dan pembersihan resesus

frontalis dapat dilakukan pada semua pasien.


Bedah Sinus Endoskopi Fungsional ( BSEF ) merupakan tindakan
bedah invasif minimal pada hidung dan sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena lebih
efektif dan fungsional. Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah
dilakukan tindakan BSEF. Indikasi BSEF antara lain rinosinusitis kronis
yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa, rinosinusitis kronis
dengan komplikasi, rinosinusitis jamur yang invasif, rinosinusitis alergi
dengan komplikasi, polip antrokoana, mukosil, berbagai prosedur yang
dilakukan secara endoskopi seperti septoplasti, drainase abses periorbita,
penanganan epistaksis termasuk ligasi arteri sfenopalatina, dekompresi
orbita

48

III.9 Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap
berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang
multipel. Polip tunggal yang besar seperti polip antral-koanal jarang
terjadi relaps.
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya
juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang
paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen
penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau
tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung
kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan
cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

49

Skema diagnosis dan penatalaksanaan Polip Nasal

50

DAFTAR PUSTAKA

1. Fransina, R.Sedjawidada, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa, Abdul


Qadar

Punagi.

Ear

Nose

Throat

Departement,

Medical

Faculty,Hasanuddin University, Makassar The Indonesian Journal


of Medical Science Volume 1 No. 1 July-September 2008
2. Kevin T Kavanagh. Nasal polypectomy.All Rights Reserved
www.ent-usa.com
3. Soetjipto

D,

Mangunkusumo

Endang,

Retno

S.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung


Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta
2008.hal 118-122
4. Higler, Peter. Hidung

(Anatomi

dan

fisiologi

terapan).

Dalam:Effendi H, editor:BOEIS:Buku Ajar Penyakit THT.Edisi


keenam.Philadelphia:WB Saunders Company,1997.Hal 173-188
5. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and
Neck. Lea & Febiger 14th edition. Philadelphia 1991
6. Alper Nabi Erkan, MD, zcan akmak, MD, and Nebil Bal,
MD.Frontochoanal polyp article by All Rights
http://www.entjournal.com

51

Reserved

7. John E McClay GOOD. Nasal Polyps. Associate Professor of


Pediatric Otolaryngology, Department of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery, Children's Hospital of Dallas, University of
Texas

Southwestern

Medical

School.

update

Oct

22,

2008.http://www.medicine.com
8. Mangunkusumo,Endang, Retno S.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai
Penerbit FK-UI, Jakarta 2008.hal 123-125
9. J. Gulia, S. P. S. Yadav, N. Sharma, H. & A. Hooda. Ectopic Tooth
In Osteomeatal Complex Presenting With Nasal Polyps: A Case
Report. The

Internet

Journal

of

Otorhinolaryngology. 2010

Volume 12 Number 1
10. Bangladesh J Otorhinolaryngol,Article by :Abu Hena Mohammad
Parvez Humayun1, AHM Zahurul Huq2, SM Tarequddin Ahmed3,
Md. Shah Kamal4, Kyaw Khin U3, Nilakanta Bhattacharjee. Vol.
16, No. 1, April 2010
11. Fransina, R.Sedjawidada, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa, Abdul
Qadar Punagi Ear Nose Throat Departement, Medical
Faculty,Hasanuddin University, Makassar. The Indonesian
Journal of Medical Science Volume 1 No. 1 July-September
2008.

52

12. S. P. Gulati, Anshu, R. Wadhera & A. Deeo : Efficacy of


Functional Endoscopic Sinus Surgery in the treatment of
Ethmoidal polyps . The Internet Journal of Otorhinolaryngology.
2007 Volume 7 Number 1
13. Immunologic factors in patients with chronic polypoid sinusitis.
Nikakhlagh S, Ghafourian-Boroujerdnia M, Saki N, Soltan-Moradi
MR, Rahim F. Niger J Med. 2010 Jul-Sep;19(3):316-9.

53

Anda mungkin juga menyukai