Anda di halaman 1dari 6

Kekerasan pada anak belakangan ini kian marak diberitakan media massa

nasional. Para pelaku yang kemudian mendapat tindakan hukum nyaris sebagian
besar adalah orang-orang terdekat anak yang menjadi korban, bahkan tak jarang
adalah

orangtuanya

sendiri.

Tak

hanya

secara

fisik

anak-anak

tersebut

mengalami penderitaan, namun dampak psikis tentunya tak kalah hebat


mendera para korban. Tentunya, fakta yang ada ini terasa sangat tragis dan
ekstrem bagi umumnya orangtua. Tapi, hati-hati, jika orangtua tak pandai
menahan emosi dan menghadapi anak, orangtua bisa tergolong melakukan
kekerasan
Psikolog

pada

dari

anak

Pusat

walaupun

Krisis

bukan

Universitas

termasuk

Indonesia

(UI),

tindakan
Dini

kriminal.
Daengsari,

menjelaskan, kekerasan pada anak dalam kehidupan rumah tangga biasanya


dilakukan sebagai bentuk hukuman dari orangtua. "Seringkali orangtua tidak
bermaksud demikian namun dalam menerapkan pola disiplin pada anak
terkadang mereka menyakitinya secara fisik juga emosional secara verbal,"
katanya. Dini membagi bentuk kekerasan pada anak menjadi dua, yaitu secara
fisik dan non fisik. Kekerasan secara fisik yang sering tak sadar dilakukan
orangtua seperti mencubit, memukul atau mendorong karena anak dinilai telah
melakukan hal yang salah atau tidak sesuai dengan keinginan orangtua. Hal ini
dapat menyebabkan anak secara fisik terluka. Kedua, secara non fisikseperti
membentak atau memberi label negatif pada anak. Dibalik perlakuan tersebut
sebenarnya orangtua ingin memberitahukan konsekuensi atas kesalahan yang
dibuat anak melalui hukuman yang bentuknya terkadang mengandung unsur
kekerasan. Namun. Jelas Dini, hukuman secara nonfisik ini bisa lebih berdampak
serius

karena

dapat

mempengaruhi

perkembangan

emosi

anak

untuk

selanjutnya.
Sedangkan, psikolog pendidikan dan perkembangan anak, Dr Seto Mulyadi,
Msi, mengatakan tindak kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang

menimbulkan rasa sakit secara fisik dan psikis serta membuat anak merasa tak
nyaman. 'Besar kecilnya luka yang dialami anak tergantung pada intensitas
tindak kekerasan dilakukan oleh orangtua, karakteristik anak, dan pengalaman
hidupnya,''

kata

Ketua

Umum

Komnas

Perlindungan

Anak

ini.

Dini menerangkan seharusnya orangtua mempertimbangkan dampak dari


kekerasan pada anak kelak. Tak hanya berdampak pada luka fisik saja. "Kedua
jenis kekerasan ini sama-sama berdampak buruk bagi perkembangan emosional
anak," katanya. Pertama, akan timbul rasa benci dan dendam pada anak
terhadap orangtua sehingga menghambat kualitas hubungan orangtua-anak,
serta anak akan menjauhi atau memberontak orangtua. Kedua, perilaku
orangtua yang agresif dan kasar akan ditiru oleh anak. "Ada kemungkinan anak
bisa melakukan tindakan kekerasan di lingkungannya seperti menakut-nakuti
anak yang lebih muda usianya atau lebih lemah darinya," tambah Dini. Seto
menjelaskan, dampak kekerasan juga akan membentuk kepribadian baru pada
anak. Misalnya anak yang mulanya ceria menjadi mudah sedih atau sensitif.
Sedangkan dampak jangka panjangnya, akan mempengaruhi pembentukan
kepribadiannya seperti agresif dan pemberontak. Selain itu juga mempengaruhi
konsep dirinya, anak akan mempersepsikan dirinya selayaknya lingkungan
melabelinya seperti jika anak sering dibilang nakal atau bodoh, maka anak akan
berperilaku sesuai dengan label tersebut. 'Konsep diri ini akan berkembang ke
arah

yang

negatif

pada

anak,''

katanya.

Seto memaparkan, anak yang sering mendapat perlakuan kasar dari orang-orang
terdekatnya lambat laun rasa percaya diri dan harga dirinya akan terpuruk.
Sehingga dapat menghambat kemampuan dan keberanian anak untuk mencoba
hal-hal baru serta mengembangkan minat serta potensinya. Seperti pepatah
bilang, kalah sebelum berperang' begitu sebutannya bagi anak yang memiliki

konsep diri negatif. "Anak akan melakukan peniruan tindakan, dan berpikir
bahwa hidup harus dengan kekerasan," ujarnya. Untuk menghindari hal tersebut,
lanjut Seto, orangtua harus mengubah cara berpikir (mind framing) bahwa anak
adalah harta miliknya. Sehingga terkadang orangtua mengeksploitasi anak dan
menganggap anak tidak memiliki hak. 'Seharusnya orangtua berpikir bahwa
anak adalah titipan Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam mendidik
anak orangtua tak hanya melihat hasilnya saja tapi juga prosesnya,'' paparnya.

Dini mengatakan, oleh sebab itu sebaiknya orangtua mengenal

perkembangan kecerdasan dan psikologis anak berdasarkan usianya. Sehingga


orangtua tidak terburu-buru mencap perilaku anak dan mampu meredam
emosinya jika melihat anak melakukan penyimpangan. Misalnya, ketika usia
anak 3-4 tahun merupakan masa anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan
mengeksplorasi hal-hal yang dilihatnya seperti memegang stop kontak atau
membanting barang-barang. Orangtua jangan langsung membentak, mencap
bandel atau melampias-kan emosi melalui tindakan kekerasan. Sebaiknya
beritahu bahwa tindakan tersebut tidak benar dengan kata-kata atau bahasa
tubuh tanpa dikendalikan oleh emosi. "Berikan pengertian sesuai jangkauan
pemikiran anak, tanpa harus bertindak atau berkata kasar," kata Dini.
Terkadang orangtua ingin menunjukkan rasa tidak suka pada perilaku anak. Sahsah saja, sambung Dini, namun harus dilakukan dengan tidak mengikuti
emosinya sebagai bentuk ekspresi saja atau sinyal saja, seperti memukul pantat

atau menyentil tangannya dengan lembut terutama bagi anak yang masih
terlalu kecil atau belum dapat berkomunikasi secara verbal. Setelah itu, beritahu
tindakan yang benar atau sebaiknya anak lakukan. Mengatur perilaku anak agar
sesuai dengan aturan norma yang berlaku di suatu lingkungan tidak perlu
dengan kekerasan terutama jika anak sudah semakin besar anak sudah mampu
mengerti bila diberitahu secara verbal saja. Orangtua sebaiknya tidak melakukan
hukuman

demikian

terutama

di

hadapan

teman-temannya

karena

bisa

menjatuhkan harga diri anak. Sebelum memarahi atau menghukum anak


sebaiknya coba telaah alasannya melakukan tindakan tersebut seperti merebut
mainan dari temannya. "Dengan mengetahui perubahan psikologis anak,
orangtua bisa memahami apa yang diinginkan dan tindakan yang dibutuhkan
oleh

Dini

anak,termasuk

mengatakan,

ada

strategi

beberapa

pemberian

hukuman

hukuman,"

yang

bisa

kata

diberikan

Dini.

tanpa

dilatarbelakangi tindak kekerasan. Beberapa alternatif hukuman misalnya


dicabut haknya dalam melakukan hal yang disukainya, seperti mengurangi
jadwal menonton tv. Mengajarkan pada anak sesuatu ada konsekuensinya.
'Namun, jangan pelit juga melakukan reward sehingga anak akan lebih jelas
mengetahui hal-hal yang boleh dan tidak boleh,'' terangnya. Seto menjelaskan,
mendidik anak tidak harus dengan hukuman namun keteladanan dan kasih
sayang. Boleh saja orangtua memberi konsekuensi atas tindakan buruk atau
penyimpangan disiplin dengan cara mengurangi penghargaan (reward), misalnya
setiap anak tidur sesuai dengan jam malam maka akan diberi tanda bintang, jika
melanggar maka anak kehilangan satu bintang. "Yang perlu dipahami, setiap
penetapan disiplin dan aturan norma memerlukan diskusi dengan anak, jadi
bukan

sekedar

aturan

orangtua

saja,"katanya.

Sebaiknya orangtua juga mengenali kondisi emosinya saat akan menghadapi

anak yang melakukan kesalahan Tenangkan diri terlebih dulu agar orangtua bisa
mengelola emosinya ketika berhadapan dengan anak. 'Jangan sampai nantinya
orangtua bertindak tidak konsisten misal sebelumnya anak tidak dimarahi ketika
melakukan suatu tindakan yang menyimpang, namun karena sedang emosi
orangtua

jadi

Bagaimana

memarahi

jika

tindak

anak,''

kekerasan

katanya.

sudah

terjadi?

Dini menganjurkan orangtua masih bisa memperbaikinya dengan meminta maaf


dan berbuat hal-hal yang bisa menenangkan anak, seperti memeluk atau
menyapa anak dengan kasih sayang. Ketika orangtua meminta maaf, anak akan
belajar bahwa kekerasan merupakan tindakan yang salah. Hal ini akan
mengajarkan anak membedakan mana tindakan yang benar dan yang salah.
Selain
Berikut

itu
ini

minta

anak

beberapa

untuk

contoh

kasus

mengingatkan
dan

cara

orangtua.

menghadapinya:

1.Anak menumpahkan susunya, tindakan anda: Jangan berteriak atau langsung


memukul

anak.

mungkin

anak

tidak

sengaja

melakukannya.

Minta

dia

membersihkan tumpahan itu sambil berkata hati-hati nak'. Kemudian berikan


segelas

susu

lagi.

2. Jika Anda melihat anak memukul temannya: Segera pindahkan anak dari grup
mainnya. Berikan waktu baginya untuk meluapkan emosi lalu diskusikan tindakannya. Sebagai hukumannya, jangan izinkan bermain kembali, sampai anak
benar-benar

mengerti

dan

menyesal

bahwa

tindakannya

itu

salah.

3. Aduh tangan anak tak bisa diam!: Cobalah bersikap realistis, di masa ini anak
memang memiliki rasa keingintahuan yang besar dan senang bereks-plorasi.
Namun berilah pengertian, jika piring atau gelas pecah maka akan melukainya.
4. Huh! Anakku tidak bisa jaga barang selalu hilang: Jika anak menghilangkan
barang akibat kecerobohannya. Anak berhak menerima konsekuensi bahwa dia

tidak akan dibelikan barang yang dihilangkan lagi sampai anak menunjukkan
rasa

tanggung

jawabnya.

5. Anak rewel saat di ajak makan di retsoran atau mengunjungi arisan keluarga:
Segera asingkan anak dari lingkungan tersebut, jika anak Anda masih berusia 24 tahun. mungkin anak belum nyaman dengan lingkungannya. Jika sudah lebih
besar, hindari memanjakan atau memarahinya, sebaiknya beritahu bahwa
dengan tindakan yang demikian orang lain akan enggan mengundangnya ke
suatu

acara.

Selain orangtua, Kak Seto mengingatkan, anggota keluarga lainnya seperti


pengasuh, tante, om atau sepupu juga berpotensi melakukan tindak kekerasan
di rumah. Sebaiknya orangt
ua juga membuka dialog dengan anggota keluarga, bahwa kekerasan dapat
berakibat buruk pada anak. Jadi setiap anggota keluarga memiliki pola berpikir
yang sama, bagaimana mendidik dan mengasuh anak. Waspadai juga lingkungan
masyarakat, lanjut Seto, beri pengertian pada anak lingkungan luar belum tentu
aman.

Namun

jangan

menakut-nakuti

anak,

persenjatai

anak

dengan

pengetahuan yang cukup seperti diperkenalkan dengan pendidikan seks sedini


mungkin untuk menghindari tindak pelecehan seksual atau anak harus ditemani
dengan teman atau orang yang bisa dipercaya

Anda mungkin juga menyukai