Anda di halaman 1dari 2

Membunuh Indonesia

Jangan baca kalau tidak ingin kehidupan nyaman anda terganggu.


Begitu kata Eno letto dalam prolog buku Membunuh Indonesia.
Kalimat itu tepat jika anda memang tidak siap menerima bagaimana
kekuatan modal asing mampu mengendalikan regulasi di negeri ini.
Buku bertebal 157 halaman ini menjelaskan penghancuran aset
bangsa Indonesia yang mengulangi pola-pola yang hampir serupa
seperti kopra, garam dan kini pada industri kretek, sebuah produksi
asli Indonesia yang terhantam oleh ketidakperdulian negara akan
asetnya yang luar biasa. Tidak hanya dalam sisi pencitraan dengan
klaim-klaim kesehatan, namun juga melalui regulasi-regulasi yang
disponsori pihak asing.
Sungguhlah miris jika melihat suatu produk industri dalam negeri
yang benar-benar merupakan produk asli Indonesia dari sejarah,
bahan baku hingga pekerjanya, yang telah jelas-jelas terbukti
ketangguhannya (dapat dilihat dari tidak terpengaruhnya industri ini
dari terpaan krisis moneter
1998-1999) bukannya mendapat
dukungan dari negara (pemerintah), namun justru ditekan habis
melalui regulasi-regulasi yang perlahan namun pasti akan
menghancurkan industri ini beserta elemen-elemen didalamnya, jika
baik negara maupun warganegara Indonesia tetap tidak perduli.
Membaca buku Membunuh Indonesia dipadukan dengan Muslihat
Kapitalis Global dan Nicotine War, benar-benar merusak
pemikiran saya tentang munculnya pencitraan-pencitraan rokok
(baca : kretek) sebagai produk yang dianggap berbahaya bagi
kesehatan yang awalnya sayapun kira itu benar, ternyata hanyalah
pola manipulasi suatu politik ekonomi besar, untuk menciptakan
sterotipe negatif terhadap produk ini.
Secara tidak langsung pencitraan rokok (kretek) membuat
warganegara Indonesia hanya melihat industri ini dari sisi personal
sebagai konsumen dan efek yang diciptakannya jika mengkonsumsi
produk ini. Mulai dari klaim merusak kesehatan, benda yang
membuat adiktif
(kecanduan) hingga memang layak jika
diberangus demi kesehatan. Jika kita sebagai warganegara melihat
dari sisi seperti itu, mengapa makanan cepat saji (fast food) dari
luar seperti merk-merk terkenal penyedia hamburger dan ayam

goreng yang jelas-jelas dikatakan sebagai junk food (makanan


sampah) oleh warganegara asalnya menjadi makanan bergengsi di
negeri ini. Pahadal jika dilihat dari sisi kesehatan merekapun juga
telah terbukti menjadi sumber kolesterol (zat yang menjadi alasan
hancurnya industri kopra Indonesia).
Jika dikatakan zat adiktif, mengapa banyak perokok mampu
menunaikan ibadah puasanya tanpa satu batang rokokpun, tanpa
memperlihatkan ataupun merasakan efek-efek samping yang
seharusnya terlihat jika ini memang zat adiktif?
Buku-buku ini membuka mata saya bahwa kretek tidaklah
sesederhana itu. Kretek merupakan suatu aset yang menyokong
kehidupan ribuan warganegara Indonesia mulai dari petani, pekerja
hingga para pedagang kretek.
Kretek merupakan suatu sejarah dalam kehidupan negara ini. Kretek
juga budaya bangsa ini. Kretek juga merupakan aset ekonomi yang
hebat untuk pemasukan negara ini.
Semua pencitraan dan sterotipe negatif yang diciptakan ternyata
hanyalah sebuah kepentingan perebutan pasar nikotin (untuk
detailnya silahkan baca buku Nicotine War) para industri farmasi
asing. Dengan gelotoran dana besar dari perusahaan-perusahaan
farmasi ini semua proses pencitraan ini menjadi lancar (untuk
detailnya silahkan baca buku Muslihat Kapitali Global).
Pertanyaannya kini, bagaimana anda ingin melihat kretek kini?
Apakah seperti yang ingin mereka harapkan? Hingga silahkan saja
industri ini hancur layaknya kopra dan garam.
Ataukah melihat sisi lain yang tersembunyi dibalik pencitraan ini?
Dan sama-sama kita perjuangkan aset bangsa ini agar tidak hanya
menjadi kenangan kelak...

Anda mungkin juga menyukai