Anda di halaman 1dari 9

EPILEPSI

Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi
sendiri adalah suatu manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang
abnormal, berlebihan dan sinkron, dari neuron yang terutama terletak pada corteks
serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul intermiten dan selflimited.
Sindroma epilepsi adalah penyakit epilepsy ditandai oleh sekumpulan gejala yang
timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, factor presipitasi usia saat
awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa).
Epidemiologi
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien
baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun
akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. kematian dapat berhubungan lengsung dengan
kejang, misalnya ketika terjadi serangan kejang tidak terkontrol, dan diantara serangan
pasien tidak sadar atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena
kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi (sudden unexplained death in
epilepsy, SUDEP) diasumsikan berhubungan dengan aktifitas kejang dan kemungkinan
besar karena disfungsi kardiorespirasi.
Etiologi
1. Idiopatik; sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsy idiopatik
2. Faktor herediter; ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sclerosis tuberose, neurofibrimatosis, angiomatosis
ensefalotrigeminal, fenilketonurea, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Faktor genetik; pada kejang demam dan breath holding spells
4. Kelainan kongenital otak: atrofi, paronsefali, agenesis korpus kalosum.

5. Gangguan

metabolik:

komplikasi

DM,

ketidakseimbangan

elektrolit,

hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia, defisiensi nutrisi,


Phenylketonuria (pada bayi), uremia.
6. Gagal ginjal
7.

Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplasmosis.

8. Trauma: kontusio serebri, hemtoma subaraknoid, hematoma subdural.


9. Neoplasma otak dan selaputnya.
10. Stroke, kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
11. Keracunan : timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air.
12. Lain-lain: obat-obatan, alkohol, penyakit degeneratif, penyakit darah, gangguan
keseimbangan hormon, degenerasi serebral, dan lain-lain.
Faktor Presipitasi
Faktor yang mempermudah terjadinya serangan kejang, yaitu:
Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air
panas.
Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik
Faktor mental: stres dan gangguan emosi.
Patofisiologi
Secara umum, epilepsi terjadi kerena menurunnya potensial membran sel saraf
akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik, atau toksik, yang selanjutnya
menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang
merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal telepasnya muatan listrik yang
terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu.
Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik
sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan
merembes keluar dari permukaan otak daripada selama tidur.

Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor
serebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari
meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan
setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu, pada tempat itu akan terjadi lepas muatan
listrik sel-sel saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu
untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi.
Hal ini merupakan mekanisme epilepsi fokal yang biasanya simptomatik.
Pada epilepsi idiopatik, tipe grand mal, secara primer muatan muatan listrik
dilepaskan oleh nuklei intralaminares talami, yang dikenal sebagai inti centrecephalic.
Inti merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens
ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik menentukan
derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada
grandmal, dimana etiologinya belum diketahui, terjadi lepas muatan listrik dari inti-inti
intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini
menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang
memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran
hilang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian
rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti
intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada
otot skeletal yang dikenal sebagai petit mal.

Manifestasi Klinis
Menurut Commision of Classification and Terminology of International League
Against Epilepsy (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsy sebagai berikut:
I.

Kejang Parsial (fokal, lokal)


A. Kejang persial sederhana; kejang parsial dengan kesadaran tetap normal.
1. Dengan gejala motorik
Fokal motorik tidak menjalar: kejang sebatas pada satu bagian
tubuh saja.
Fokal motorik menjalar: kejang dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson
Versif: gejang disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
Postural: kejang disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu

Disertai gangguan fonasi: kejang disertai arus bicara yang terhenti


atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.
2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; kejang disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan
bangkitkan yang disertai vertigo.
Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum
Visual: terlihat cahaya
Auditoris: terdengar sesuatu
Gustatoris: terkecap sesuatu
Disertai vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, membera, piroleksi, dilatasi pupil)
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata,
kata atau bagian kalimat
Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah
mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa
melihatnya lagi
Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah
Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut
Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara
musik, melihat statu fenomena tertentu dan lain-lain.
B. Kejang parsial kompleks; kejang ini disertai gangguan kesadaran.
1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.

Dengan gejala parcial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada


golongan A1-A4 diikuti menurunya kesadaran
Timbul

automatisme.

Automatisme

yaitu

gerakan-gerakan,

perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya dengan gerakan


mengunyah-nguyah,

menelan-nelan,

wajah

muka

berubah

seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegangmegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu,
berbicara, dll.
2. Serangan parsial sederhana dengan penurunan kesadaran sejak
serangan; kesadaran menurun sejak permulaan serangan.
Hanya dengan penurunan kesadaran
Dengan automatismo.
C. Kejang parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,
tonik, klonik)
1. Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang
generalisata
2. Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi kejang
generalisata
3. Kejang parsial sederhana yang menjadi kejang parsial kompleks
lalu berkembang menjadi kejang generalisata.
II.

Kejang Generalisata (konvulsif atau nonkonvulsif)


A. 1.. Kejang lena (Absence)
Pada kejang ini, kegiatan yang sedang dilakukan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tidak ada reaksi
bila diajak bicara. Biasanya serangan ini berlangsung selama -1/2
menit dan biasanya dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran

Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya


dijumpai pada kelompok mata atas, sudut mulut, atau otot-otot
lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas hingga tampak mengulai.
Dengan komponen tonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala,
badan, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang
Dengan automatisme
Dengan komponen autonom
Gejala-gejala diatas dapat berdiri sendiri atau kombinasi.
2. Kejang lena tidak khas
Dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
B. Kejang mioklonik
Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemas sebagian otot atau semua otot-otot, sesekali atau berulangulang. Kejang ini dapat terjadi pada semua umur.
C. Kejang klonik
Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
klojot. Dijumpai terutama pada anak.
D. Kejang tonik
Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku, juga terdapat pada anak.

E. Kejang tonik-klonik
Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang terkenal
dengan nama grand mal.
F. Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Kejang ini terutama tejadi pada anak-anak.
III.

Kejang tak tergolongkan


Termasuk golongan ini adalah serangan pada bayi berupa gerakan bola
amta yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sementara.

Pemeriksaan penunjang
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif
yang dapat memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas
epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing,
gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos
kepala, yang berguna untuk mendeteksi adanya fraktur tulang tengkorak; CT-Scan kepala.
Yang berguna untuk mendeteksi adanya infark, hematoma, tumor, hidrosefalus,
sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastika adanya
kelainan sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia,dll.

Kejang Tonik Klonik


Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu
kejang. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira -1/2 menit diikuti kejang klojot di seluruh badan.

Serangan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
kerena hembusan nafas. Mungkin pula pasien miksi ketika mendapat serangan. Setelah
kejang berhenti pasien tertidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran
yang masih rendah, atau menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri
kepala.
Status Epileptikus
Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus-menerus lebih
dari 30 menit atau dua atau lebih bangkitan, dimana diantara dua bangkitan tidak terdapat
pemulihan kesadaran, hal ini merupakan status mengancam. Dalam praktek klinis
didefinisikan sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10
menit. Penanganan kejang harus segera dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu
kejang.

Anda mungkin juga menyukai