Anda di halaman 1dari 24

1.

pengertian Hukum
Yang dimaksud dengan hukum adalah salah satu norma yang ada dalam masyarakat.
Pelanggaran norma hukum memiliki sanksi yang lebih tegas. Pengertian hukum sangat
beragam, sehingga kita harus mengetahui apa saja pengertian hukum dari berbagai
sudut pandang yang berbeda. Adapun dibawah ini akan dikaji pengertian hukum
menurut para ahli dibidangnya.
1.

Plato : Hukum adalah seperangkat peraturan-peraturan yang tersusun dengan


baik dan teratur dan bersifat mengikat hakim dan masyarakat.

2.

Immanuel Kant : Hukum adalah segala keseluruhan syarat dimana seseorang


memiliki kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan
kehendak bebas dari orang lain dan menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.

3.

Achmad Ali : Hukum merupakan seperangkat norma mengenai apa yang benar
dan salah, yang dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah, baik yang tertuang
dalam aturan tertulis maupun yang tidak, terikat dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat secara menyeluruh, dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan
norma itu.

4.

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja : Hukum adalah keseluruhan kaidah serta


semua asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat dan bertujuan untuk
memelihara ketertiban serta meliputi berbagai lembaga dan proses guna mewujudkan
berlakunya kaidah sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat.

5.

P. Borst : Hukum merupakan keseluruhan peraturan bagi perbuatan manusia di


dalam kehidupan bermasyarakat. Dimana pelaksanaannya bisa dipaksakan dengan
tujuan mendapatkan keadilan.

6.

Mr. E.M. Meyers : Menurutnya hukum ialah aturan-aturan yang


didalamnya mengandung pertimbangan kesusilaan. Hukum ditujukan kepada

tingkah laku manusia dalam sebuah masyarakat dan menjadi acuan atau
pedoman bagi para penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
7. Prof. Dr. Van Kan : Menyatakan bahwa hukum merupakan keseluruhan
peraturan hidup yang sifatnya memaksa untuk melindungi kepentingan
manusia di dalam masyarakat suatu negara.
8. S.M. Amin : Hukum adalah sekumpulan peraturan yang terdiri dari norma
dan sanksi-sanksi. Tujuannya ialah mengadakan ketertiban dalam
pergaulan manusia dalam suatu masyarakat, sehingga ketertiban dan
keamanan terjaga dan terpelihara.
9. J.C.T. Simorangkir : Hukum merupakan segala peraturan yang sifatnya
memaksa dan menentukan segala tingkah laku manusia dalam
masyarakat dan dibuat oleh suatu lembaga yang berwenang.
10.
Drs. E. Utrecht, S.H. : Menyatakan bahwa hukum adalah suatu
himpunan peraturan yang didalamnya berisi tentang perintah dan
larangan, yang mengatur tata tertib kehidupan dalam bermasyarakat dan
harus ditaati oleh setiap individu dalam masyarakat karena pelanggaran
terhadap pedoman hidup itu bisa menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah suatu negara atau lembaga.
11.Leon Duguit : Mengungkapkan bahwa hukum ialah seperangkat aturan
tingkah laku para anggota masyarakat, dimana aturan tersebut harus
diindahkan oleh setiap masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
bersama dan apabila dilanggar akan menimbulkan reaksi bersama
terhadap orang yang melakukan pelanggaran hukum tersebut.
12.
Sunaryati Hatono : Menurutnya hukum tidak menyangkut
kehidupan pribadi seseorang dalam suatu masyarakat, tetapi jika
menyangkut dan mengatur berbagai kegiatan manusia dalam
hubungannya dengan manusia lainnya, dengan kata lain hukum ialah
mengatur berbagai kegiatan manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.
13.
A. Ridwan Halim : Hukum ialah segala peraturan tertulis ataupun
tidak tertulis, yang pada intinya segala peraturan tersebut berlaku dan
diakui sebagai peraturan yang harus dipatuhi dan ditaati dalam hidup
bermasyarakat.
14.
R. Soerso : Hukum adalah sebuah himpunan peraturan yang dibuat
oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata tertib
kehidupan bermasyarakat yang memiliki ciri perintah dan larangan yang

sifatnya memaksa dengan menjatuhkan sanksi-sanksi hukuman bagi


pelanggarnya.
15.
Tullius Cicerco : Hukum ialah akal tertinggi yang ditanamkan oleh
alam pada diri setiap manusia untuk menetapkan segala sesuatu yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
16.
M.H. Tirtaatmidjaja : Hukum adalah keseluruhan aturan atau norma
yang harus diikuti dalam berbagai tindakan dan tingkah laku dalam
pergaulan hidup. Bagi yang melanggar hukum akan dikenai sanksi, denda,
kurungan, penjara atau sanksi lainnya.
17.
Abdulkadir Muhammad : Hukum merupakan segala peraturan baik
tertulis maupun tidak tertulis yang memiliki sanksi tegas terhadap
pelanggarannya.
18.
Abdul Wahab Khalaf : Menyatakan bahwa hukum merupakan
tuntutan Allah berkaitan dengan perbuatan orang yang telah dewasa
menyangkut perintah, larangan dan kebolehannya untuk melaksanakan
atau meninggalkannya.
19.
Aristoteles : Mengatakan bahwa hukum hanyalah sebagai
kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat tetapi juga hakim bagi
masyarakat. Dimana undang-undanglah yang mengawasi hakim dalam
melaksanakan tugasnya untuk menghukum orang-orang yang bersalah
atau para pelanggar hukum.
20.
Karl Max : Hukum merupakan suatu cerminan dari hubungan
hukum ekonomis suatu masyarakat dalam suatu tahap perkembangan
tertentu.
2. TUJUAN HUKUM MENURUT PENDAPAT AHLI

1. Purnadi dan Soerdjono Soekanto,

tujuan hukum adalah kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi

2. Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn,

tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamain diantara
manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,

kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yg merugikan.

3. Prof. Soebekti, S.H

Dalam buku Dasar-dasar hukum dan Pengadilan tujuan hukum adalah bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara yaitu
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan para rakyatnya. Hukum melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan
keadilan dan ketertiban. Keadilan lazim dilambangkan dengan neraca keadilan, dimana dalam keadaan yang sama, setiap orang
harus mendapatkan bagian yang sama pula.

4.Aristoteles,

hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya. Anggapan ini berdasarkan
etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja.

5.Soejono Dirdjosisworo,

tujuan hukum adalah melindungi individu dalam hubngannya dengan masyarakat, sehingga dengan demikian dapat diiharapkan
terwujudnya keadaan aman, tertib dan adil

6. Roscoe Pound,

hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat artinya hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of social engeneering),
Intinya adalah hukum disini sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi
maupun dalam hidup masyarakat.

7.Bellefroid,

tujuan hukum adalah menambah kesejahteraan umum atau kepentingan umum yaitu kesejahteraan atau kepentingan semua
anggota2 suatu masyarakat.

8.Van Kant,

hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu. Hukum juga menjaga dan
mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi
hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan dengan
perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

9.Suharjo (mantan menteri kehakiman),

tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya
untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusia dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang
dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara
tidak adil.
Usaha mewujudkan pengayoman ini termasuk di dalamnya diantaranya :- mewujudkan ketertiban dan keteraturan- mewujudkan
kedamaian sejati- mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat- mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat

10. Geny

Dalam Science et technique en droit prive positif, hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Dan sebagai unsur
daripada keadilan adalah kepentingan daya guna dan kemanfaatan

3. Penggolongan Hukum menurut bentuknya


Jenis hukum ini terbagi menjadi dua, yaitu
1)

Hukum tertulis

Merupakan hukum yang diterapkan ke dalam peraturan

perundangan. Hukum tertulis ini dapat

ditinjau dari hukum tertulis yang dikodifikasikan serta hukum tertulis yang tak dikodifikasikan.
2)

Hukum tak tertulis

Merupakan hukum yang hidup pada keyakinan di masyarakat, akan tetapi secara tidak tertulis.
Hukum tak tertulis ini pula dikatakan sebagai hukum kebiasaan. Namun hukum dipatuhi selayaknya
seperti peraturan perundangan yang berlaku.

4. MACAM (PEMBEDAAN) SUMBER-SUMBER HUKUM


Beberapa pakar secara umum membedakan sumber-sumber hukum yang ada ke dalam (kriteria)
sumber hukum materiil dan sumber hukum formal, namun terdapat pula beberapa pakar yang
membedakan sumber-sumber hukum dalam kriteria yang lain, seperti :

a. Menurut Edward Jenk , bahwa terdapat 3 sumber hukum yang biasa ia sebut dengan istilah
forms of law yaitu :
1. Statutory;
2. Judiciary;
3. Literaty.
b. Menurut G.W. Keeton , sumber hukum terbagi atas :
1. Binding sources (formal), yang terdiri :
- Custom;
- Legislation;
- Judicial precedents.
2. Persuasive sources (materiil), yang terdiri :
- Principles of morality or equity;
- Professional opinion.
SUMBER HUKUM MATERIIL & SUMBER HUKUM FORMAL
Pada umumnya para pakar membedakan sumber hukum ke dalam kriteria :
a. Sumber hukum materiil; dan
b. Sumber hukum formal.
Menurut Sudikno Mertokusumo , Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu
diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum,
misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan
keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional,
keadaan geografis, dll.
Sedang Sumber Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan
peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU,
perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.
SUMBER HUKUM FORMAL
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum
yang akan mengikat masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata

mengingat cara untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum positif,
dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut.
Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum menjadi aturan-aturan
hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat. Jadi sumber hukum formal ini
merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.
Yang termasuk Sumber-sumber Hukum Formal adalah :
a. Undang-undang;
b. Kebiasaan;
c. Traktat atau Perjanjian Internasional;
d. Yurisprudensi;
e. Doktrin.

5. Tata perundang-undangan diatur dalam :


1.

Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai


sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundangundangan Republik Indonesia.

Urutannya yaitu :
1)

UUD 1945;

2)

Ketetapan MPR;

3)

UU;

4)

Peraturan Pemerintah;

5)

Keputusan Presiden;

6)

Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.

Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.


2.

Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Undang-Undang.

Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :


1)

UUD 1945;

2)

Tap MPR;

3)

UU;

4)

Peraturan pemerintah pengganti UU;

5)

PP;

6)

Keppres;

7)

Peraturan Daerah;

Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.


3.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah
sebagai berikut :
1)

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2)

UU/Perppu;

3)

Peraturan Pemerintah;

4)

Peraturan Presiden;

5)

Peraturan Daerah.

Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.


4.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1)

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2)

Ketetapan MPR;

3)

UU/Perppu;

4)

Peraturan Presiden;

5)

Peraturan Daerah Provinsi;

6)

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Definisi :
1.

Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma


hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.

2.

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar (konstitusi) yang
tertulis yang merupakan peraturan negara tertinggi dalam tata urutan Peraturan
Perundang-undangan nasional.

3.

Ketetapan MPR merupakan putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR, yang
terdiri dari 2 (dua) macam yaitu : Ketetapan yaitu putusan MPR yang mengikat baik ke
dalam atau keluar majelis, Keputusan yaitu putusan MPR yang mengikat ke dalam
majelis saja.

4.

Undang-Undang (UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh


Dewan Perwakilan Rakyat dengan Persetujuan bersama Presiden.

5.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah Peraturan


Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, dengan ketentuan : Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut; DPR
dapat menerima/menolak Perppu tanpa melakukan perubahan; Bila disetujui oleh DPR,
Perrpu ditetapkan menjadi Undang-Undang; Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

6.

Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan


oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

7.

Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan


oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

8.

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang


dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan Gubernur.

9.

Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan


yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan Bupati/Walikota.

6. Struktur Hukum.

Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan. Struktur hukum merupakan institusionalisasi
kedalam beradaan hukum. Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti

Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum yang secara khusus
diatur oleh undang-undang seperti KPK.
Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain.
Termasuk dalam struktur hukum yakni hirarki peradilan umum di Indonesia dan unsur struktur yang
meliputi jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim lainnya.
Yang dimaksud dengan Lembaga-Lembaga Negara adalah alat perlengkapan Negara sebagaimana dimaksudkan
oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut:

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR)


Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah salah satu lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggotaDewan Perwakilan Daerah. Dahulu sebelumReformasi
MPR merupakan Lembaga Negara Tertinggi, yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Daerah,
dan Utusan Golongan.
Jumlah anggota MPR periode 20092014 adalah 692 orang, terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD.
Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji.
TUGAS DAN WEWENANG MPR
Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar)
Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil
Presiden dalam masa jabatannya.
Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden
dalam masa jabatannya.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.
Anggota MPR memiliki hak mengajukan usul perubahan pasal-pasal UUD, menentukan sikap dan pilihan dalam
pengambilan putusan, hak imunitas, dan hak protokoler. Setelah Sidang MPR 2003, Presiden dan wakil presiden
dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi oleh MPR. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota
negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil
Presiden
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan
Presiden/Wakil Presiden
sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan
dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.

PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, dan dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh

Wakil Presiden. (Pasal 4) Presiden berhak mengajukan RUU, dan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan UU (Pasal 5).

TUGAS DAN WEWENANG PRESIDEN


Memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL dan AU (Pasal 10).
Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain dengan persetujuan DPR, terutama
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi Negara (Pasal 11).
Menyatakan keadaan bahaya, yang syarat dan akibatnya ditetapkan dengan UU (Pasal 12).
Mengangkat dan menerima duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13).
Presiden memberikan grasi dengan pertimbangan MA, dan memberikan amnesty dan abolisi dengan pertimbangan
DPR (Pasal 14).
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan menurut UU (Pasal 15).
Presiden membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasehat dan pertimbangan kepada Presiden
(Pasal 16).
Presiden juga berhak mengangkat menteri-menteri sebagai pembantu Presiden (Pasal 17).

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)


Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraanIndonesia yang merupakan
lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. DPR memiliki fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang dipilih
berdasarkan hasil Pemilihan Umum. Masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat
anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
TUGAS DAN WEWENANG DPR
Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan
mengikutsertakannya dalam pembahasan
Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah
Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD
Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial
Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden
Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan
memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi
Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan
negara lain
Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Pada anggota DPR melekat hak ajudikasi dan legislasi yakni berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. Anggota DPR juga memiliki hak mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan
usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, DPR berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan

paksa (sesuai dengan peraturan perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa alasan yang
sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari (sesuai dengan peraturan perundang-undangan).
ALAT KELENGKAPAN DPR
Pimpinan
Kedudukan Pimpinan dalam DPR dapat dikatakan sebagai Juru Bicara Parlemen. Fungsi pokoknya secara umum
adalah mewakili DPR secara simbolis dalam berhubungan dengan lembaga eksekutif, lembaga-lembaga tinggi
negara lain, dan lembaga-lembaga internasional, serta memimpin jalannya administratif kelembagaan secara umum,
termasuk memimpin rapat-rapat paripurna dan menetapkan sanksi atau rehabilitasi. Pimpinan DPR bersifat kolektif
kolegial, terdiri dari seorang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPR dalam Sidang
Paripurna DPR.
Komisi
Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR,
substansinya dikerjakan di dalam komisi. Setiap anggota DPR (kecuali pimpinan) harus menjadi anggota salah satu
komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan
anggota terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh komisi.
Pada periode 2009-2014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas dan pasangan kerja masingmasing:
Komisi I, membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.
Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria.
Komisi III, membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia, dan keamanan.
Komisi IV, membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
Komisi V, membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan pedesaan
dan kawasan tertinggal.
Komisi VI, membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah), dan badan
usaha milik negara.
Komisi VII, membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan lingkungan.
Komisi VIII, membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
Komisi IX, membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.
Komisi X, membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan.
Komisi XI, membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan lembaga keuangan bukan
bank.
Badan Musyawarah
Bamus merupakan miniatur DPR. Sebagian besar keputusan penting DPR digodok terlebih dahulu di Bamus,
sebelum dibahas dalam Rapat Paripurna sebagai forum tertinggi di DPR yang dapat mengubah putusan Bamus.
Bamus antara lain memiliki tugas menetapkan acara DPR, termasuk mengenai perkiraan waktu penyelesaian suatu
masalah, serta jangka waktu penyelesaian dan prioritas RUU).
Pembentukan Bamus sendiri dilakukan oleh DPR melalui Rapat Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR.
Anggota Bamus berjumlah sebanyak-banyaknya sepersepuluh dari anggota DPR, berdasarkan perimbangan jumlah
anggota tiap-tiap Fraksi. Pimpinan Bamus langsung dipegang oleh Pimpinan DPR.
Badan Anggaran
Badan Anggaran DPR dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap yang memiliki
tugas pokok melakukan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Susunan keanggotaan Badan
Anggaran ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan DPR. Susunan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas
anggota-anggota seluruh unsur Komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota Fraksi.
Badan Kehormatan
Badan Kehormatan (BK) DPR merupakan alat kelengkapan paling muda saat ini di DPR. BK merupakan salah satu
alat kelengkapan yang bersifat sementara. Pembentukan DK di DPR merupakan respon atas sorotan publik terhadap
kinerja sebagian anggota dewan yang buruk, misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan konflik
kepentingan.

BK DPR melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR,
dan pada akhirnya memberikan laporan akhir berupa rekomendasi kepada Pimpinan DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau merehabilitasi nama baik Anggota. Rapat-rapat Dewan Kehormatan
bersifat tertutup. Tugas Dewan Kehormatan dianggap selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada Pimpinan
DPR.
Badan Legislasi
Badan Legislasi (Baleg) merupakan alat kelengkapan DPR yang lahir pasca Perubahan Pertama UUD 1945, dan
dibentuk pada tahun 2000. Tugas pokok Baleg antara lain: merencanakan dan menyusun program serta urutan
prioritas pembahasan RUU untuk satu masa keanggotaan DPR dan setiap tahun anggaran. Baleg juga melakukan
evaluasi dan penyempurnaan tata tertib DPR dan kode etik anggota DPR.
Badan Legislasi dibentuk DPR dalam Rapat paripurna, dan susunan keanggotaannya ditetapkan pada permulaan
masa keanggotaan DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Keanggotaan Badan Legislasi
tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan Komisi, keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT),
dan keanggotaan Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP).
Badan Urusan Rumah Tangga
Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR bertugas menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPR. Salah satu
tugasnya yang berkaitan bidang keuangan/administratif anggota dewan adalah membantu pimpinan DPR dalam
menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPR, termasuk kesejahteraan Anggota dan Pegawai Sekretariat Jenderal
DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah.
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan tahun sidang. Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial,
yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota
BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
BKSAP bertugas: Membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara
DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang
menghimpun parlemen dan/atau a nggota parlemen negara lain;
Menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
Mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri;
Memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.
Panitia Khusus
Jika dipandang perlu, DPR (atau alat kelengkapan DPR) dapat membentuk panitia yang bersifat sementara yang
disebut Panitia Khusus (Pansus). Komposisi keanggotaan Pansus ditetapkan oleh rapat paripurna berdasarkan
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pansus bertugas melaksanakan tugas tertentu yang ditetapkan oleh
rapat paripurna, dan dibubarkan setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan
selesai. Pansus mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk selanjutnya dibahas dalam rapat paripurna.
DPR dalam permulaan masa keanggotaan dan permulaan tahun sidang DPR membuat susunan dan keanggotaan
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang beranggotakan paling sedikit tujuh orang dan paling banyak
sembilan orang atas usul dari fraksi-fraksi DPR yang selanjutnya akan ditetapkan dalam rapat paripurna dengan
tugas untuk penelaahan setiap temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dan untuk itu DPR diberikan hak-hak interpelasi, angket,
menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat serta imunitas (Pasal 20).
Fungsi DPR adalah sebagai berikut:
Fungsi legislasi berkaitan dengan wewenang DPR dalam pembentukan undang-undang.
Fungsi anggaran, berwenang menyusun dan menetapkan RAPBN bersama presiden.

Fungsi pengawasan, melakukan pengawasan terhadap pemerintah.


DPR diberikan hak-hak yang diatur dalam pasal-pasal UUD 1945, antara lain:
Hak interpelasi, hak DPR untuk meminta keterangan pada presiden.
Hak angket, hak DPR untuk mengadakan penyelidikan atas suatu kebijakan Presiden/ Pemerintah.
Hak menyampaikan pendapat.
Hak mengajukan pertanyaan.
Hak Imunitas, hak DPR untuk tidak dituntut dalam pengadilan.
Hak mengajukan usul RUU
Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (Pasal 21). Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan Perpu, dan pada masa persidangan DPR berikutnya Perpu tersebut harus dimintakan persetujuan DPR.
Apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perpu harus dicabut(Pasal 22). Anggota DPR dapat diberhentikan dari
jabatannya, dengan syarat-syarat dan tata cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 22B).

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)


Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu, setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggta
DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 22C).
DPD berhak mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahasnya yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat-daerah, serta memberi pertimbangan atas RUU APBN
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D). DPD dapat melakukan pengawasan terhadap UU
yang usulan dan pembahasannya dimiliki oleh DPD.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa Anggota DPD mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
Hak
Menyampaikan usul dan pendapat;
Memilih dan dipilih;
Membela diri;
Imunitas;
Protokoler;
Keuangan dan administratif.
Mengamalkan Pancasila;
Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan
perundang-undangan;
Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah;
Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan
Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.
Kewajiban
Berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu mempertegas fungsi politik legislatif Anggota DPD RI yang meliputi
representasi, legislasi dan pengawasan yang dicirikan oleh sifat kekuatan mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat
otoritatif atau mandat rakyat kepada Anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau binding yaitu ciri melekatnya
pemikiran dan langkah kerja Anggota DPD RI yang semata-mata didasarkan pada kepentingan dan keberpihakan
pada rakyat daerah.

KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU)


Dalam rangka pelaksanaan Pemilu agar terselenggara sesuai asas (Iuberjudil), maka dibentuklah sebuah komisi

pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (Pasal 22E). KPU selain ada ditingkat pusat, juga terdapat
KPU daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota.

BANK SENTRAL
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya
diatur dengan UU (Pasal 23D).

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)


Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara
diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil
pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal
28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang
berkedudukan sementara dikota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang
pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya,
Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua
instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang
Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi
pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan
dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap
mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R.
Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1
Agustus 1949.
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal
14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah
satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang
sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS
berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Netherland Indies Civil
Administration (NICA).
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas
Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan
berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS.
Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari
Algemene Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945.
Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa
Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan
konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa
Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan
ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS
No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk
menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai
tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
(PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa
Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas
penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing
sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.

Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi
semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya
baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari
MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa
eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain
menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal
keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah
diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian
dalamPerubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E,
23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara,
yaitu;
UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara
UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

MAHKAMAH AGUNG (MA)


Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan :
Peradilan Umum pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Negeri, pada tingkat banding dilakukan
olehPengadilan Tinggi dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
Peradilan Agama pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Agama, pada tingkat banding dilakukan
olehPengadilan Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
Peradilan Militer pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Militer, pada tingkat banding dilakukan
olehPengadilan Tinggi Militer dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
Peradilan Tata Usaha negara pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha negara, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan
diangkat oleh Presiden. Ketuanya sejak 15 Januari 2009 adalah Harifin A. Tumpa.
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem
karier (hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi.
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat
persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan, dan dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, agama, militer, tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24). MA berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU. Hakim Agung
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Calon Hakim Agung diusulkan komisi yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh
Presiden. Ketua dan Wakil MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung (Pasal 24A).

KOMISI YUDISIAL (KY)


Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai

wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Anggota komisi yudisial harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela. Anggota komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR (Pasal 24B).

MAHKAMAH KOSNTITUSI (MK)


ahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Sejarah berdirinya MK diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka
menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk
sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah
melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari
kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan
Umum
Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran olehPresiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilu. MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil menurut UUD. MK mempunyai 9 anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan Presiden masing-masing 3 orang diajukan oleh MA, DPR, dan Presiden. Ketua dan wakil
ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
Negara (Pasal 24C0). MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala
kewenangannya dilakukan oleh MA (Pasal III AP).
Saat ini masih banyak pihak belum memahami secara utuh tatanan kelembagaan negara dalam Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 sehingga sering timbul perdebatan publik dan masalah hubungan antarlembaga negara.
Apalagi, lembaga- lembaga negara telah mengalami perubahan mendasar hasil UUD 1945 Perubahan yang tentu
tidak dapat dipahami berdasarkan paradigma UUD 1945 sebelum perubahan. Perubahan mendasar yang
memengaruhi tatanan kelembagaan negara adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sebelum perubahan,kedaulatan rakyat
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Perubahan tersebut mengakibatkan :
MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi.
Lemmbaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sesuai dengan
kedudukan,tugas,dan fungsi masing- masing.Hal tersebut mengakibatkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 1978
tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/ atau antar-Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara tidak berlaku lagi. Kelembagaan negara berdasarkan UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kategori.Pertama, lembaga-lembaga utama yang melaksanakan cabang kekuasaan tertentu. Kedua, lembagalembaga negara yang bukan pelaksana salah satu cabang kekuasaan, tetapi keberadaannya diperlukan untuk
mendukung salah satu lembaga pelaksana cabang kekuasaan tertentu.
Lembaga-lembaga yang ditentukan untuk melaksanakan kekuasaan tertentu tanpa mengatur nama dan
pembentukan lembaganya.
Lembaga yang ditentukan secara umum dan menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada undang-undang.Kelima,
lembaga-lembaga yang berada di bawah presiden untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu.Keenam, lembaga-

lembaga di tingkat daerah. Berdasarkan pembagian fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD
1945,dapat diketahui lembaga-lembaga negara yang melaksanakan tiap kekuasaan tersebut.
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi adalah presiden. Pemegang kekuasaan legislatif adalah
DPR.Untuk kekuasaan yudikatif ditentukan pelakunya adalah MA dan MK. Selain lembaga-lembaga negara tersebut,
terdapat lembaga negara lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara dan kedudukannya sederajat.
Lembaga negara lain tersebut adalah MPR yang memegang kekuasaan mengubah dan menetapkan UUD,BPK
sebagai pelaksana kekuasaan auditif serta DPD yang walaupun tidak memegang kekuasaan legislatif memiliki peran
dalam proses legislasi (co-legislator).
Dengan demikian lembaga-lembaga itu sesungguhnya adalah bagian dari organisasi pemerintahan secara nasional
walaupun ada yang menjalankan fungsi legislasi di tingkat daerah. Jika penataan lembaga negara melalui ketentuan
peraturan perundang undangan telah dilakukan, setiap lembaga negara dapat menjalankan wewenang sesuai
dengan kedudukan masing-masing. Hal itu akan mewujudkan kerja sama dan hubungan yang harmonis demi
pencapaian tujuan nasional dengan tetap saling mengawasi dan mengimbangi agar tidak terjadi penyalahgunaan
dan konsentrasi kekuasaan.

7. Sistem

a.
b.
c.
d.
a.
b.
a.

Hukum

Sistem adalah perangkat unsur yang saling berkaitan sehingga membentuk totalitas.
Selain itu pengertian hukum adalah peraturan atau tata tertib yang mempunyai sifat
memaksa, mengikat, dan mengatur hubungan manusiadan manusia lainnya dalam
masyarakat dengan tujuan menjamin keadilan dalam pergaulan hidup dalam
bermasyarakat. Hukum yang berlaku di indonesia di sebut hukum nasional. Tata
hukum nasional itu terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis.
Mochtar kusumaatmadja seorang pakar hukum menjelaskan bahwa Hukum adalah
keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup dalam
masyarakat yangbertujuan memelihara ketertiban serta meliputi lembaga-lembaga dan
proses guna mewujudkan berlakunya kaidah itu sebagai kenyataan dalam masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, hukum adalah norma yang bersumber dari pemerintah
atau negara.
Tujuan memahami tata hukum adalah untuk mengetahui perbuatan atau tindakan
manakah yang bertentangan atau sesuai dengan hukum. Selain itu, tujuan memahami
tatahukum, yaitu untuk memehami kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah
kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenangnya itu sudah sesuai dengan hukum.
Hukum dibuat oleh badan-badan resmi dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan
tersebut , mengakibatkan diambilnya tindakan yang berupa sangsi tertentu.
Berdasarkan pengertian atau definisi hukum maka dapat diambil kesimpualan
bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu sebagai berikut:
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
Peraturan yang dibuat oleh badan-badan resmi;
Peraturan yang bersifat memeksa;
Adanya sangsi yang tegas atas pelanggaran peraturan tersebut;
Adapun ciri-ciri dari hukum yaitu sebagai berikut:
adanya perintah atau larangan ;
perintah atau larangan tersebut akan di taati oleh setiap orang;
Selain itu, hukum mempunyai fungsi terhadap subjek hukum, yaitu sebagai berikut;
menjamin kepastian hukum bagi setiap orang dalam masyarakat;

b. menjamin ketertiban, ketrentaman, kedamaian, keadialan, kemakmuran, kebahagiaan,


dan kebenaran;
c. menjaga tidak terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam masyarakat.

8. Budaya Hukum
Hukum pada dasarnya tidak hanya sekedar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana
yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi hendaknya
hukum dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan masyarakat
melalui pola tingkah laku warganya. Hal ini berarti hukum sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut
dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan
perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada 3 persoalan mendasar tentang kultur/budaya hukum
yaitu:
Persoalan yang pertama adalah persoalan yang berkaitan dengan hukum sebagai suatu
sistem, dimana hukum itu dinilai dari 2 sisi yang berbeda yaitu:
1. Hukum dilihat sebagai suatu sistem nilai, dimana keseluruhan hukum dalam rangka
penegakan hukum didasarkan pada grundnorm yang kemudian menjadi sumber nilai
sekaligus pedoman bagi penegakan hukum itu sendiri;
2. Hukum dilihat sebagai bagian dari masyarakat (realitas sosial), dimana hukum tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakat karena dalam hal ini, hukum merupakan
salah satu subsistem dari subsistem-subsistem sosial lainnya.
Adapun Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu sistem memiliki
komponen-komponen sebagai berikut :
1. Struktur yaitu berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum untuk
mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri seperti : pengadilan negeri, pengadilan
administrasi, dan sebagainya;
2. Substansi berupa norma-norma hukum yang digunakan oleh para penegak hukum
maupun mereka yang diatur;
3. Kultur hukum berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat tentang hukum yang secara
keseluruhan mempengaruhi seseorang untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukum.
Hukum sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya, dimana
hukum itu merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam
masyarakat itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi
sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya.
Menurut Emile Durkheim, hubungan antara hukum dengan masyarakat dapat dilihat dari 2
tipe masyarakatnya yang berbeda antara lain :

1. Masyarakat dengan solidaritas mekanik yang didasarkan pada sifat kebersamaan


diantara anggotanya sehingga hukum bersifat represif yang berfungsi mempertahankan
kebersamaan tersebut;
2. Masyarakat dengan solidaritas organik yang didasarkan pada sifat individualisme dan
kebebasan anggotanya sehingga menyebabkan hukum menjadi bersifat restitutif yang
hanya berfungsi untuk menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat.
H.L.A. Hart juga mengemukakan 2 tipe masyarakat yaitu :
1. Masyarakat yang didasarkan pada primary rules of obligation, dimana masyarakatnya
hanya terdiri dari komunitas kecil sehingga kehidupannya hanya berdasar atas kekerabatan
saja. Tipe masyarakat ini tidak membutuhkan peraturan yang resmi dan terperinci sehingga
tidak ada pula diferensiasi maupun spesialisasi badan penegak hukum;
2. Masyarakat yang didasarkan pada secondary rules of obligation, dimana masyarakatnya
sudah tegolong modern sehingga diperlukan adanya diferensiasi dan institusional di bidang
hukum yang menyebabkan pola penegakan hukumnya diliputi dengan unsur birokrasi.
Jika kita melihat kenyataan yang ada, perkembangan hukum di Indonesia ternyata tidak
diikuti dengan perkembangan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan terjadinya
ketidakcocokan antara nilai-nilai yang dipilih oleh pemerintah yang sengaja disiapkan
untuk sistem hukum modern dengan nilai-nilai yang telah dihayati oleh masyarakat yang
masih bersifat tradisional sehingga mengakibatkan masyarakat kita belum siap menerima
sistem hukum modern tersebut dan berakibat pula hukum yang dibuat oleh pemerintah
menjadi tidak bermakna bagi masyarakat.
Persoalan kedua adalah persoalan tentang fungsi hukum kaitannya dengan pengaruh
budaya hukum. Hukum dewasa ini tidak cukup hanya berfungsi sebagai kontrol sosial saja,
melainkan hukum diharapkan mampu untuk menggerakkan masyarakat agar bertingkah
laku sesuai dengan cara/pola baru demi tercapainya tujuan yang dicita-citakan. Berkaitan
dengan hal tersebut, diperlukan adanya kesadaran hukum dari masyarakat sebagai
jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku anggota
masyarakat. Kondisi yang demikian mengakibatkan apa yang telah diputuskan melalui
hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik dalam masyarakat karena tidak sejalan
dengan nilai, pandangan, dan sikap yang telah dihayati oleh masyarakat. Perkembangan
yang terjadi di Indonesia dapat dilihat bahwa struktur sosial bangsa ternyata tidak sesuai
dengan hukum modern yang dipilih oleh penguasa sehingga berakibat banyak terjadi
kepincangan pelaksanaan hukum modern itu sendiri. Menurut Lon Fuller, ada 8 prinsip
legalitas yang harus diikuti dalam membuat hukum meliputi :
1.

Harus ada peraturannya terlebih dahulu;

2.

Peraturan itu harus diumumkan;

3.

Peraturan itu tidak boleh berlaku surut;

4.

Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat;

5.

Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;

6.

Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;

7.

Peraturan harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah;

8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dengan peraturan
yang telah dibuat.
Pedoman yang harus kita pegang dalam hal ini, sebaik apapun hukum yang dibuat pada
akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap
dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat dipastikan
akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan munculnya
berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin
disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh
undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih
memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan
pandangan dalam kehidupan mereka. Daniel S. Lev kemudian menjelaskan tentang sistem
hukum dan budaya hukum, dimana menurutnya sistem hukum itu menekankan pada
prosedur, sedangkan budaya hukum sendiri terdiri dari 2 komponen yaitu :
- Nilai-nilai hukum prosedural yang berupa cara-cara pengaturan masyarakat dan
manajemen konflik;
- Nilai-nilai hukum substansial yang berupa asumsi-asumsi fundamental mengenai
distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, terutama mengenai
apa yang adil dan tidak menurut masyarakat.
Suatu sistem hukum dapat dikatakan efektif apabila tingkah laku manusia di dalam
masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan hukum yang berlaku.
Paul dan Dias dalam hal ini mengemukakan 5 syarat yang harus dipenuhi untuk
mengefektifkan sistem hukum, antara lain :
1.

Mudah tidaknya makna aturan hukum itu untuk dipahami;

2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan hukum yang
bersangkutan;
3.

Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan hukum;

4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau oleh
masyarakat tetapi juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa;
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan masyarakat bahwa aturan
dan pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
Jika kita melihat kenyataan yang ada di Indonesia, terutama di daerah pedesaan terlihat
jelas bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum berbeda dengan nilai-nilai yang
telah melekat dalam kehidupan masyarakat desa. Hal ini mengingat tingkat pengetahuan
masyarakat desa masih rendah sehingga mereka sulit memahami apa yang dikehendaki
oleh hukum. Dalam menghadapi kondisi seperti ini, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu : Peranan birokrasi pelaksana yaitu kepala desa sangat penting artinya

untuk membuat hukum menjadi efektif dalam masyarakat, Perlunya komunikasi hukum
yang dijalankan dengan baik agar masyarakat memahami hukum yang ada, Sarana
penyampaian isi suatu peraturan hukum harus memadai agar masyarakat dapat
berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum. Selain itu, keefektifan hukum juga dapat
dicapai dengan cara menanamkan nilai-nilai baru melalui proses pelembagaan agar dapat
menjadi pola tingkah laku baru dalam rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat.
Kiranya dapat dipahami bahwa usaha untuk menanamkan budaya hukum yang baru dapat
tercapai jika proses pelembagaannya telah dilakukan secara baik dan sungguh-sungguh
demi terciptanya kesadaran hukum masyarakat.
Persoalan ketiga adalah peranan kultur/budaya hukum terhadap bekerjanya hukum, ini
berarti menyangkut bagaimana cara pembinaan kesadaran hukum. Masalah pembinaan
kesadaran hukum erat kaitannya dengan berbagai faktor, khususnya sikap para pelaksana
hukum artinya para penegak hukum memiliki peranan yang besar dalam membina
pertumbuhan kesadaran masyarakat. Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti
kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum dan berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku anggota
masyarakatnya. Lawrence M. Friedman menyebutnya sebagai bagian dari kultur hukum.
Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa meskipun ada unsur-unsur baru dalam peraturan
hukum, tetap saja masyarakat kita yang sebenarnya adalah pemegang peran (adressat)
berpola tingkah laku sesuai dengan kesadaran hukumnya sendiri. Hal ini berarti apa yang
menjadi cita-cita pembuat undang-undang nyatanya belum terwujud. Ada 3 variabel utama
yang menurut Seidman dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang akan
bertindak sesuai dengan peraturan hukum atau tidak, yaitu :
-

Apakah normanya telah disampaikan (sosialisasi produk hukum);

Apakah normanya serasi dengan tujuan yang diterapkan bagi posisi itu (sinkronisasi
produk hukum);
Apakah si pemegang peran digerakkan oleh motivasi yang menyimpang (faktor
motivasi).
Teori dari Seidman itu mengajarkan bahwa para pemegang peran dapat memiliki motivasi,
baik yang berkehendak maupun yang tidak berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan
norma. Sementara itu, pemegang peran juga dapat memiliki tingkah laku yang mungkin
konform maupun yang mungkin tidak konform. Teori ini kemudian dikenal sebagai teori
penyimpangan. Terjadinya ketidakcocokan antara peranan yang diharapkan oleh norma
dengan tingkah laku yang nyata dari masyarakat sebagaimana dijelaskan oleh teori
penyimpangan di atas, dikarenakan fungsi hukum tidak lagi hanya sekedar sebagai kontrol
sosial saja melainkan sebagai sarana untuk membentuk pola tingkah laku yang baru
sehingga melahirkan masyarakat baru yang dicita-citakan. Berdasarkan konsep yang
modern, fungsi hukum seperti ini digunakan sebagai sarana untuk melakukan social
engineering. Namun sayangnya, fungsi hukum sebagai social engineering ternyata tidak
selalu didukung oleh kehidupan sosial dimana hukum itu diterapkan sehingga harus
ditunjang dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang tinggi. Kenyataan yang sering
kita temui adalah masih banyaknya faktor inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum serta

keengganan dalam menerapkan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dan kebiasaankebiasaan lain yang kurang mendukung dalam menaati hukum.
Dengan demikian, pembinaan kesadaran hukum hendaknya berorientasi pada usaha untuk
memasyarakatkan nilai-nilai yang mendasari peraturan hukum yang bersangkutan serta
memperhatikan faktor komunikasi hukumnya agar isi peraturan hukum tersebut dapat
diketahui oleh masyarakat luas sebagai sasaran dari peraturan hukum itu sendiri.

B.

Penegakan Hukum

Menurut Soejono Soekamto, Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan


nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan
mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap
akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup. Karena itu tegaknya hukum dapat
ditandai oleh beberapa faktor yang saling terkait sangat erat yaitu:
1. Pertama, Hukum dan aturannya sendiri, sehingga diperlukan adanya keserasian antara
peraturan perundang-undangan yang ada.
2. Kedua, fasilitas pelaksanaan hukumnya yang memadai, sebab sering kali hukum sulit
ditegakkan bahkan tak tertangani karena fasilitas untuk menegakkannya tidak memadai
ataupun tidak tersedia.
3. Ketiga, Kesadaran dan kepastian hukum serta perilaku masyarakat itu sendiri.
4. Keempat, Mental aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah pelaku hukum secara
langsung seperti polisi, jaksa, pengacara, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan
sebagainya karena pada dasarnya penegakan hukum sangat tergantung pada mentalitas
para aparatur penegak hukumnya.
Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa penegakan hukum selain ditentukan oleh aturanaturan hukumnya sendiri, fasilitas, mentalitas aparat penegak hukum, juga sangat
tergantung kepada faktor kesadaran dan kepatuhan masyarakat, baik secara personal
maupun dalam komunitas sosialnya masing-masing. Pada akhirnya kembali pada unsur
manusianya (budaya) juga yang menentukan corak yang sebenarnya; in the last analysis it
is the human being that counts. Sehingga adanya hukum yang baik dan benar tidak
otomatis menjamin kehidupan masyarakat yang baik dan benar. Adanya polisi, jaksa,
hakim, pengacara sebagai penegak hukum langsung dan formal belumlah menjamin
tegaknya hukum dan berlakunya rule of law. Adanya parlemen sekalipun dipilih lewat
pemilu dengan ongkos besar belum otomatis demokrasi tumbuh. Di samping itu, penting
juga untuk dipikirkan sarana apa saja yang dibutuhkan agar peraturan hukum itu dapat
dijalankan dengan baik. Kesadaran hukum dapat juga ditingkatkan dengan cara memberi
contoh untuk masyarakat melalui peranan para penegak hukum seperti polisi dan hakim,
mengingat masyarakat kita masih bersifat paternalistik. Jika semua faktor tersebut di atas
dapat dilaksanakan dengan baik, tentunya peraturan hukum akan dapat ditegakkan karena
kesadaran hukum masyarakat sudah dibina sedemikian rupa sehingga dapat memperkecil
kemungkinan terjadinya penyimpangan tingkah laku yang tidak sesuai dengan hukum.

Anda mungkin juga menyukai