Teori ini menetapkan titik temu antara asumsi media tentang kebutuhan publik akan informasi dan
harapan publik terhadap informasi yang disajikan oleh media. Tetapi ini tidak selalu berhasil, dan
yang kerap teradi adalah media mensetting pikiran khalayak. Jadi apa yang dianggap penting oleh
media, maka akan dianggap penting pula oleh masyarakat.
2.
Teori kegunaan dan kepuasan memandang pengguna media mempunyai kesempatan untuk
menentukan pilihan-pilihan media sumber beritanya. Dalam hal ini, pengguna media berperan aktif
dalam kegiatan komunikasi untuk memenuhi kepuasannya.
Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media
untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk suprarasional dan sangat selektif. Menurut para pendirinya, Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael
Gurevitch (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1984), uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan
secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumbersumber lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau ke terlibatan pada
kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Perkembangan teori Uses and Gratification Media dibedakan dalam tiga fase (dalam Rosengren dkk.,
1974), yaitu:
1. Fase pertama ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974) memberikan deskripsi tentang
orientasi subgroup audiens untuk memilih dari ragam isi media. Dalam fase ini masih
terdapat kelemahan metodologis dan konseptual dalam meneliti orientasi audiens.
2. Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi variabel-variabel sosial dan
psikologis yang diperkirakan memberi pengaruh terhadap perbedaan polapola konsumsi
media. Fase ini juga menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian gratifikasi
media.
3. Fase ketiga, ditandai adanya usaha menggunakan data gratifikasi untuk menjelaskan cara
lain dalam proses komunikasi, dimana harapan dan motif audiens mungkin berhubungan.
Kristalisasi dari gagasan, anggapan, temuan penelitian tentang Uses and Gratification Media
mengatakan, bahwa kebutuhan social dan psikologis menggerakkan harapan pada media massa atau
sumber lain yang membimbing pada perbedaan pola-pola terpaan media dalam menghasilkan
pemuasan kebutuhan dan konsekuensi lain yang sebagian besar mungkin tidak sengaja.
Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Baran dan Davis, 2000) menguraikan lima
elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikut:
1. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan.
2. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di
tangan audiens
3. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens
4. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media,
kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan
penggunaan itu.
5. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk.
3.
Audiens (Receiver/R) dalam teori ini dipandang bersikap pasif dan segala informasi yang diterima,
dengan sendirinya juga audiens terpengaruhi sikapnya. Makanya teori ini disebut teori jaum
hipodermik, karena daya serap audiens yang efektif seperti sedang menerima suntikan. Pada
dasarnya, model ini berpendapat bahwa pesan langsung diterima dan seluruhnya diterima oleh
penerima.
4.
Setiap orang memiliki daya selektifitas yang tinngi dalam menerima terpaan media massa sehingga
antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menerima informasi dari media
tersebut. Bukan menonton demo buruh, tergantung kelompok).
5.
Kumpulan, kelompok, atau kategori-kategori sosial yang ada di masyarakat akan memberikan
tanggapan yang seragam terhadap terpaan media.
6.
Teori memandang adanya kecenderungan minoritas mengambil sikap diam di tengah situasi yang
didominasi mayoritas. Diam dapat berarti, menyesuaikan pendapat dengan mayoritas atau
menyembunyikan pendapat agar tidak terisolasi dalam kepungan mayoritas.
Teori Spiral Keheningan ini dapat diuraikan sebagai berikut: individu memiliki opini tentang berbagai
isu. Akan tetapi, ketakutan akan terisolasi menentukan apakah individu itu akan mengekspresikan
opini-opininya secara umum. Untuk meminimalkan kemungkinan terisolasi, individu-individu itu
mencari dukungan bagi opini mereka dari lingkungannya, terutama dari media massa.
Media massa dengan bias kekiri-kirian mereka memberikan interpretasi yang salah pada
individu-individu itu tentang perbedaan yang sebenarnya dalam opini publik pada berbagai isu.
Media mendukung opini-opini kelompok kiri dan biasanya menggambarkan kelompok tersebut
dalam posisi yang dominan.
Sebagai akibatnya, individu-individu itu mungkin mengira apa yang sesungguhnya posisi mayoritas
sebagai opini suatu kelompok minoritas. Dengan berlalunya waktu, maka lebih banyak orang akan
percaya pada opini yang tidak didukung oleh media massa itu, dan mereka tidak lagi
mengekspresikan pandangan mereka secara umum karena takut akan terisolasi. Selama waktu
tersebut, karena mayoritas yang bisu tetap diam, ide minoritas mendominasi diskusi. Yang terjadi
kemudian, apa yang pada mulanya menjadi opini minoritas, di kemudian hari dapat menjadi
dominan.
7.
Teori ini menempatkan orang yang memiliki informasi atau penemuan sebagai orang yang memiliki
potensi mempengaruhi secara massal. Pada pilihan yang inovatif: Sebuah Analisis Ekonomi dari
Dinamika Teknologi, Mario Amendola dan Jean-Luc Gafford bandingkan proses inovasi dengan difusi
dari inovasi sebagai sejauh dan kecepatan yang akan digunakan untuk melanjutkan ekonomi yang
unggul untuk mengadopsi teknik. Difusi atau penyesuaian ini dapat seketika atau bertahap.
8.
Salah satu teoritikus komunikasi massa yang pertama dan paling terkenal adalah Harold Lasswell,
dalam artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model komunikasi yang sederhana dan sering
dikutif banyak orang yakni: Siapa (Who), berbicara apa (Says what), dalam saluran yang mana ( in
which channel), kepada siapa (to whom) dan pengaruh seperti apa (what that effect) (Littlejhon,
1996).
9.
Teori ini berawal dari hasil penelitian Paul Lazarsfeld dkk mengenai efek media massa dalam
kampanye pemilihan umum tahun 1940. Studi ini dilakukan dengan asumsi bahwa proses stimulus
bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil penelitian menunjukan sebaliknya. Efek
media massa ternyata rendah dan asumsi stimulus respon tidak cukup menggambarkan realitas
audience media massa dalam penyebaran arus informasi dan menentukan pendapat umum.
ilmu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada
tindakan komunikasi.
Karya Shannon dan Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Peran g Dunia II di Bell
Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri adalah insiyiur di sana yang
berkepentingan atas penyampaian pesan yang cermat melalui telepon. Kemudian Weaver
mengembangkan konsep Shannon ini untuk diterapkan pada semua bentuk komunikasi. Titik kajian
utamanya adalah bagaimana menentukan cara di mana saluran (channel) komunikasi digunakan
secara sangat efisien. Menurut mereka, saluran utama dalam komunikasi yang dimaksud adalah
kabel telepon dan gelombang radio.
Latar belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan Weaver ini tampak dalam penekanan
mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon, faktor yang terpenting dalam keberhasilan
komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang disampaikan-seperti pada mazhab semiotika,
tetapi lebih pada berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses transmisi.
Penjelasan Teori Informasi Secara Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi . Teori informasi ini
menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat melalui saluran atau media
dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang
mendesain transmitter, receiver, dan code untuk memudahkan efisiensi informasi.
media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama
terhadap semua media.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan
institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat.
Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan
sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang
dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.
Riset Eksperimen
Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah
kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset eksperimen
tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan
membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan -rekannya di
Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh
tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam
tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di
setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang,
kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan tindakan
vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan ke lompok kedua dan ketiga. Hal ini
membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.
Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena sampel
yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya
untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan
untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di
dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).
Survey
Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai
metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kem ampuan
dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih
representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak
faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan
seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh berikut.
Riset Ethnografi
Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam
waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan
khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama
dalam aplikasi penelitian.
hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan yang
diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum.
Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya dapat
berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori kultivasi sangat menonjol dalam
kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa
yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan seharihari sehingga mendominasi lingkungan simbolik kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang
realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail, 1996 : 254)