Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

VCT - HIV
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD KardinahTegal

DiajukanKepada :
dr. Sri Primawati Indraswari, Sp. KK

Oleh :
Cahyo Guntoro
030.06.047
RSUD KARDINAH TEGAL
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2012

1 | Page

LembarPengesahan
REFERAT
MONITORING EVALUASI KEGIATAN KLINIK VCT DI RSUD KARDINAH
Oleh :

Cahyo Guntoro
030.06.047

Telah diselesaikan tanggal: Juni 2012

Dokter Pembimbing

dr. Sri Primawati Indraswari, Sp. KK

BAB I
2 | Page

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)


merupakan pandemi yang sedang dialami oleh seluruh negara. Jumlah orang dengan HIV/
AIDS meningkat dari 36,6 juta orang pada tahun 2002 menjadi 39,4 juta orang pada tahun
2004.1 Data Departemen Kesehatan (Depkes) menujukkan bahwa, jumlah penderita yang
terinfeksi HIV dan AIDS di Indonesia yang dilaporkan dari April 1987 hingga Desember
2008, sebanyak 6554 penderita terinfeksi HIV dan 16.110 orang menderita AIDS. Data
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Tengah (Jateng), menunjukkan dari tahun 1993
hingga tahun 2008, terdapat 1915 kasus HIV/AIDS, dengan perincian 1375 penderita HIV,
540 penderita AIDS, serta yang telah meninggal dunia sebanyak 215 orang.2 Jumlah penderita
HIV di Kota Semarang selama periode 1993 hingga 2009 tercatat sebanyak 997 orang, 115
orang penderita AIDS, dan 25 orang di antaranya telah meninggal dunia.3
Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia dalam empat tahun terakhir mengalami perubahan
dari low level epidemic menjadi concentrated level epidemic, yang ditunjukkan dari survei
pada subpopulasi tertentu dimana prevalensi HIV di beberapa provinsi telah melebihi 5%
secara konsisten. Jika tidak ada upaya penanggulangan HIV/AIDS secara bermakna,
diperkirakan pada tahun 2015 jumlah kasus AIDS akan menjadi 1.000.000 orang dengan
kematian 350.000 orang. Penularan dari subpopulasi berperilaku berisiko kepada isteri atau
pasangannya akan terus berlanjut. Diperkirakan pada akhir tahun 2015 akan terjadi penularan
HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan oleh ibu yang sudah
terinfeksi HIV (Depkes 2008).
Salah satu program yang dilaksanakan untuk mencegah penularan HIV/AIDS adalah
Voluntary Counseling and Testing (VCT).

VCT adalah kegiatan konseling yang

menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah


penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan
ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait HIV/AIDS. VCT juga merupakan
pintu masuk kepada segala macam pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan
HIV/AIDS.4

3 | Page

BAB I
Voluntary Counseling and Testing (VCT)

a. Definisi Konseling dalam VCT


Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV&AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan
memastikan pemecahaman berbagai masalah terkait dengan HIV&AIDS.

4 | Page

Peran

VCT

VCT
Merupakan pintu masuk penting untuk pencegahan dan perawatan HIV
Perencanaan
masadepan
Perawatan
anakyatim
piatu
Pewarisan

Penerimaan
serostatus,
coping &
perawatan
diri

Mem
fasilitasi
perubahan
perilaku

Voluntary
Normalisasi
HIV/AIDS

Rujukan
dukungan
sosialdan
sebaya
Sumber: WHO, adaptasi

Counselling

Memfasilitasi
intervensi
MTCT

Testing

Terapi
pencegahan
&
perawatan
reproduksi

Manajemen
dini
infeksi
oportunistik
&
IMS;introduksi
ARV

Gambar 2.1 Skema Pelayanan VCT


Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and
Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu
masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV&AIDS berkelanjutan.
1) Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari
pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik
kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling,
dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART.
5 | Page

2) VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif
dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri
akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV&AIDS, mempelajari status dirinya, dan
mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran
infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
3)

Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah
klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.
b. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV&AIDS Sukarela (VCT)
1) Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan, dan
tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak ditangan klien. Kecuali
testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh
dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk
testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen
pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan asuransi kesehatan.

2) Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.


Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien.
Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor
dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan
klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat
dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya
dengan seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.
3) Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif.
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti
pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT
dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan
tahapan penerimaan hasil testing positif.
4) Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.
6 | Page

WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat


digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti
oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang
disetujui oleh klien.

c. Sasaran Konseling dan Testing HIV&AIDS Sukarela (VCT)


Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah
dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain.
Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan Klien dan
bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan dimana klien akan berperan aktif
didalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama
mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang
HIV&AIDS, perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil
negatif atau positif.

d. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV & AIDS Sukarela (Voluntary
Counseling Test = VCT)
Prinsip ini diatur oleh Kepmenkes RI nomor 1507/Menkes/SK/X/2005 sebagai
berikut:
1) Sukarela dalam melakukan testing HIV
2) Ini berarti keputusan testing di tangan klien, kecuali testing HIV donor darah di
unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh, dan sel. Atas dasar sukarela
inilah tidak direkomendasikan untuk testing wajib bagi pasangan yang akan
menikah, pekerja seksual, Intravenous Drug User (IDU), rekrutmen pegawai/tenaga
kerja Indonesia dan asuransi kesehatan.
3) Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialis
4) Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif
5) Testing merupakan salah satu komponen dari VCT
6) WHO dan Depkes RI memberikan pedoman testing HIV. Penerimaan hasil testing
diikuti konseling pascatesting oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang
disetujui klien.
7 | Page

BAB II
HIV

II. 1 Definisi

8 | Page

HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis
dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk
limfosit yang disebut "sel T-4" atau disebut juga "sel CD-4". Virus HIV ini hidup didalam 4
cairan tubuh manusia, yaitu: Cairan darah, Cairan sperma, Cairan vagina dan Air susu Ibu.
Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan orang dengan
HIV/AIDS amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit
yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah
bahkan meninggal. Oleh karena penyakit yang menyerang bervariasi, AIDS kurang tepat jika
disebut penyakit. Definisi yang benar adalah sindrom atau kumpulan gejala penyakit.
Masa inkubasi HIV sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang,
rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun
jumlah HIV semakin bertambah dan sel CD4 semakin menurun. Ketika sistem kekebalan
tubuh sudah dalam keadaan parah, seorang Odha akan mulai menampakkan gejala-gejala.
HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara tertentu, tanpa peduli kebangsaan, ras, jenis
kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonomi maupun orientasi seksual.
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. AIDS
disebabkan oleh adanya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dalam tubuh.
1. Cara Penularan.
a. Lewat Cairan Darah.

9 | Page

Melalui transfusi darah / produk darah yg sudah tercemar HIV Lewat pemakaian
jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya
pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika Suntikan Melalui pemakaian jarum
suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain, misalnya : peyuntikan obat, imunisasi,
pemakaian alat tusuk yang menembus kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial wajah.
b. Lewat Cairan Sperma dan Cairan Vagina
Melalui hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus), tanpa
menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan
vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan darah,
yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus.
c. Lewat Air Susu Ibu
Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan
lewat vagina; kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke
bayi (Mother-to-Child Transmission) ini berkisar hingga 30%, artinya dari setiap 10
kehamilan dari ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif.
Secara langsung (transfusi darah, produk darah atau transplantasi organ tubuh yang
tercemar HIV) l Lewat alat-alat (jarum suntik, peralatan dokter, jarum tato, tindik, dll) yang
telah tercemar HIV karena baru dipakai oleh orang yang terinfeksi HIV dan tidak disterilisasi
terlebih dahulu.
Karena HIV - dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi orang lain- ditemukan
dalam darah, air mani dan cairan vagina Odha. Melalui cairan-cairan tubuh yang lain, tidak

10 | P a g e

pernah dilaporkan kasus penularan HIV (misalnya melalui: air mata, keringat, air liur/ludah,
air kencing).
Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang terinfeksi HIV tanpa memakai
kondom l Melalui transfusi darah l Melalui alat-alat tajam yang telah tercemar HIV (jarum
suntik, pisau cukur, tatto, dll) l Melalui ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada janin yang
dikandungnya atau bayi yang disusuinya.
Dalam satu kali hubungan seks secara tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV
dapat terjadi penularan. Walaupun secara statistik kemungkinan ini antara 0,1% hingga 1%
(jauh dibawah risiko penularan HIV melalui transfusi darah) tetapi lebih dari 90% kasus
penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seks yang tidak aman.
Karena kegiatan sehari-hari Odha tidak memungkinkan terjadinya pertukaran cairan
tubuh yang menularkan HIV. Kita tidak tertular HIV selama kita mencegah kontak darah
dengan Odha dan jika berhubungan seks, kita melakukannya secara aman dengan memakai
kondom. Seorang Odha kelihatan biasa, seperti halnya orang lain karena tidak menunjukkan
gejala klinis. Kondisi ini disebut "asimptomatik" yaitu tanpa gejala. Pada orang dewasa
sesudah 5-10 tahun mulai tampak gejala-gejala AIDS.
Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling berisiko menularkan HIV, karena
epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina,
sehingga HIV lebih mudah masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal,
perempuan lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh.
Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di dalam vagina, kesempatan
HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut,
juga dapat masuk ke aliran darah melalui saluran kencing pasangannya.
11 | P a g e

2. AIDS tidak ditularkan melalui


a. Makan dan minum bersama, atau pemakaian alat makan minum bersama.
b. Pemakaian fasilitas umum bersama, seperti telepon umum, WC umum, dan kolam
renang.
c. Ciuman, senggolan, pelukan dan kegiatan sehari-hari lainnya. Lewat keringat, atau
gigitan nyamuk
B. Epidemiologi
Memperingati 20 tahun penelitian HIV, jurnal Nature Medicine menerbitkan edisi
khusus dengan tema HIV/AIDS. Penerbitan ini bersamaan dengan International AIDS
Society Conference on HIV Pathogenesis and Treatment yang diadakan di Paris, Juli 2003.
Penelitian mengenai HIV dimulai pada 1983 saat kelompok peneliti Perancis yang
diketuai Luc Montagnier menduga bahwa ada hubungan antara retrovirus dengan AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). Setahun berikutnya, Robert C Gallo dan kawankawan berhasil mengisolasi retrovirus dari pasien AIDS. Virus ini kemudian diberi nama HIV
(Human Immunodeficiency Virus).
Sampai saat ini diperkirakan, penderita AIDS berjumlah lebih dari 42 juta jiwa.
Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di
kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 5,6 juta. Total
lebih dari 20 juta jiwa telah meninggal karena AIDS.Sejak penemuannya, ribuan peneliti di
seluruh dunia telah ikut berperan dalam penelitian HIV. Lebih dari 125 ribu artikel tentang
HIV telah dipublikasi, namun masalah AIDS masih belum terpecahkan. Beberapa usaha telah
dilakukan, baik pencegahannya maupun pengobatannya. Vaksin untuk pencegahan misalnya,
12 | P a g e

telah dikembangkan tapi belum cukup efektif. berbagai obat juga telah dikembangkan dan
diaplikasikan secara klinik, tapi masih belum cukup efektif untuk menyembuhkan pasien
HIV/AIDS.
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25
juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha
diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia
produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan
jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370
ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang
meninggal karena AIDS. (WHO,2010 ).
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya
sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya
disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO, 2010)
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah
kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
(Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa
13 | P a g e

Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated
level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru
AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali
lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di
Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS
dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah
mencapai angka 16.110 kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008,
sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan,
dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari
dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus
pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus
AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 2029 tahun (50,82%), disusul kelompok usia
3039 tahun. (Depkes RI, 2008)
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah
kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI
Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan
masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177
kasus AIDS. (Depkes RI,2008)
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember
2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia
227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan
14 | P a g e

meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC
sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus,
dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus.
(Depkes RI,2008)
Data penderita HIV RSUD Kardinah Tegal berdasarkan jenis kelamin pada periode
Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 15 penderita laki-laki, dan 25 penerita perempuan, Juli 2009Juni 2010 sebanyak 29 penderita laki-laki, dan 27 penderita perempuan, serta juli 2010-juni
2011 sebanyak 35 penderita laki-laki dan 14 penderita perempuan.

Gambar2.1 Bagan Penderita HIV RSU Kardinah Tegal

Data penderita HIV RSUD Kardinah Tegal berdasarkan kelompok usia pada periode
Juli 2008-Juni 2009 tercatat semua penderita berusia 40 tahun, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak
7 penderita berusia <15 tahun, dan 49 penderita berusia 15-49 tahun, serta juli 2010-juni 2011
sebanyak 2 penderita berusia <15 tahun, 45 penderita berusia 15-49 tahun, dan 2 penderita
berusia >49tahun.

15 | P a g e

Gambar2.2 Bagan penderita HIV RSUD Kardinah Tegal berdasarkan usia

Data penderita HIV RSUD Kardinah Tegal berdasarkan daerah asalnya pada periode
Juli 2008-Juni 2009 tercatat 7 penderita berasal dari kota Tegal, 26 penderita dari Kab.Tegal,
3 penderita dari Brebes, 2 penderita dari Pemalang, 2 penderita dari Indramayu. Pada Juli
2009-Juni 2010 sebanyak 15 penderita kota Tegal, 23 penderita dari Kab.Tegal, 16 penderita
dari Brebes, 1 penderita dari Pemalang, 1 penderita dari daerah lainnya. Pada Juli 2010-Juni
2011 sebanyak 12 penderita berasal dari kota Tegal, 21 penderita dari Kab.Tegal, 1 penderita
dari Brebes, 12 penderita dari Indramayu, dan 3 penderita dari daerah lainnya.

16 | P a g e

Gambar.2.3 Bagan Daerah Asal Penderita HIV RSUD Kardinah Tegal

Penyakit penyerta pasien penderita HIV RSU Kardinah Tegal dari Juli 2008 Juni
2011 meliputi pasien HIV dengan anemia tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009
sebanyak 1 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 5 penderita, dan pada Juli 2010-Juni
2011 sebanyak 4 penderita. Pasien HIV dengan gastroenteritis kronis tercatat pada periode
Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 11 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 13 penderita, dan
pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 14 penderita. Pasien HIV dengan tuberkulosis paru
tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009

sebanyak 9 penderita, Juli 2009-Juni 2010

sebanyak 9 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 16 penderita. Pasien HIV
dengan kandidiasis tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 2 penderita, Juli
2009-Juni 2010 sebanyak 5 penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 15 penderita.
Pasien HIV dengan

dermatitis tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009

penderita, Juli 2009-Juni 2010


17 | P a g e

sebanyak 2 penderita, dan pada

sebanyak 3

Juli 2010-Juni 2011

sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan sarkoma kapossi ercatat pada periode Juli 2008Juni 2009 sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan kelainan otak tercatat pada periode Juli
2008-Juni 2009 sebanyak 2 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 1 penderita, dan pada
Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 5 penderita. Pasien HIV dengan stomatitis tercatat pada
periode Juli 2008-Juni 2009
8penderita, dan pada

sebanyak 10 penderita, Juli 2009-Juni 2010

Juli 2010-Juni 2011

sebanyak

sebanyak 4penderita. Pasien HIV dengan

kondiloma tercatat pada periode Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV
dengan ulkus genital tercatat pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 1 penderita, dan
Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan pneumonia tercatat pada
periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan hepatitis B tercatat
pada periode Juli 2008-Juni 2009 sebanyak 1 penderita, Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 3
penderita, dan pada Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan koma
tercatat pada periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 0 penderita, dan pada Juli 2010-Juni
2011 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan hepatomegali tercatat pada periode Juli
2009-Juni 2010 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan colitis tercatat pada periode Juli
2009-Juni 2010 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan gizi buruk tercatat pada periode
Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 2 penderita. Pasien HIV dengan dermatitis seboroik tercatat
pada periode Juli 2009-Juni 2010 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan keputihan
tercatat pada periode Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan sifilis
tercatat pada periode Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita. Pasien HIV dengan Gonore
tercatat pada periode Juli 2010-Juni 2011 sebanyak 1 penderita.

18 | P a g e

Gambar2.4 penyakit penyerta HIV di RSUD Kardinah Tegal periode Juli 2008 sampai dengan Juni 2011

Tabel2.1 Penyakit penyerta HIV di RSUD Kardinah Tegal Periode Juli 2008 sampai
dengan Juni 2011
No

Penyakit penyerta

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Anemia
Gastroenteritis kronis
Tuberkulosis paru
Kandidiasis
Dermatitis
Sarkoma Kapossi
Kelainan Otak
Stomatitis
Kondiloma
Ulkus Genital
Pneumonia
Hepatitis B
Koma
Hepatomegali
Colitis
Gizi buruk
Dermatitis seboroik
Keputihan
Sphilis
Gonorrhea

19 | P a g e

Juli 2008 Juni


2009
(Jumlah
Penderita)
1
11
9
2
3
2
2
10
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0

Juli 2009 Juni


2010
(Jumlah
Penderita)
5
13
9
5
2
0
1
8
0
2
0
3
1
1
1
2
1
0
0
0

Juli 2010
Juni 2011
(Jumlah
Penderita)
4
14
16
15
2
0
5
4
1
0
0
2
1
0
0
0
0
1
1
1

Total

43

55

71

C. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. VIrus ini diketemukan oleh
montagnier, seorang ilmuwan perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus
dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV).
Gallo (national Institute of Health, USA 1984) menemukan Virus HTLV-III (Human T
Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut
dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International
Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun
1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan
berbeda dengan HIV-1 secara genetic maupun antigenic. HIV-2 dianggap kurang pathogen
dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu disebut sebagai HIV saja.
D. Patogenesis
HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk ke
dalam sel, virus ini berikatan dengan receptor (CD4) yang ada di permukaan sel. Artinya,
virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4 pada permukaannya.
Karena biasanya yang diserang adalah sel T lymphosit (sel yang berperan dalam sistem imun
tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di
permukaannya (CD4+ T cell).

20 | P a g e

Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan kemudian
melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses reverse
transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim
reverse transcriptase.
Proses sampai step ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang
menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan
DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses
ini dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang
terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus.
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi
sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi
secara otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi
diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus
seumur hidup (a life long infection).
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai
vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya,
vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan
akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri.
E. Manifestasi klinis
1. Gejala infeksi HIV
Pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti
flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam minggu pertama
21 | P a g e

setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, skait
menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan
selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak
muncul gejala.
Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare
berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan
pembengkakan di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi
penurunan berat badan secara cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih dari 1 bulan disertai
panas badan yang hilang timbul atau terus menerus.
2. Tanda-tanda seorang tertular HIV
Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa menandai apakah seseorang telah
tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang
(5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di
dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan gejala penyakit tertentu dan ini disebut
masa HIV positif. Bila seseorang terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian
memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes pertama tersebut belum tentu
dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini disebabkan kaena tubuh kita
membutuhkan waktu sekitar 3 - 6 bulan untuk membentuk antibodi yang nantinya akan
dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode jendela) . Dalam
masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam tubuhnya (walau
pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV melalui perilaku
yang disebutkan di atas tadi. Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang
yang sudah sampai pada tahapan AIDS adalah:

22 | P a g e

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat


b. Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
c. Diare berkepanjangan (lebih dri satu bulan)
Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa :
a. Batuk berkepanjagan (lebih dari satu bulan)
b. Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
c. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher,
ketiak dan lipatan paha.
3. Perbedaan antara HIV dan AIDS, yaitu:
HIV adalah Human Immuno Deficiency Virus, suatu virus yang menyerang sel darah
putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah
terserang infeksi/penyakit.
AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan
gejala penyakit yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun,oleh karena adanya virus HIV
di dalam darah
Infeksi HIV/AIDS berbahaya, karena telah banyak pengidap HIV/AIDS yang
meninggal
a. Gejala muncul setelah 2 - 10 tahun terinfeksi HIV.
23 | P a g e

b. Pada masa anpa gejala sangat mungkin menularkan kepada orang lain.
c. Setiap orang dapat tertular HIV/AIDS.
d. Belum ada vaksin dan obat penyembuhnya.
Perjalanan Penyakit dan Gejala yang Timbul
a. Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum membentuk antibodi
secara sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah
tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan masa jendela
b. Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes darah sudah menunjukkan
adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak timbul
gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dia tampak sehat.
c. Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala AIDS
sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2 tahun dan kemudian
meninggal
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Darah
Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia pada 1985. Baru setelah tes
dapat diperoleh, muncul berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes tersebut.
Umumnya, orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang setuju dengan tes secara
sukarela dan mereka yang mengusulkan tes wajib.

24 | P a g e

Gagasan wajib melakukan tes itu ditolak oleh sebagian besar negara akibat biaya dan
masalah logistik yang terkait. Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba (75 persen
warga dites), Bulgaria (45 persen dites) dan bekas Uni Soviet (30 persen). Karena HIV tidak
ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari (yaitu, bukan virus yang diangkut udara) tetapi
melalui perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh penduduk dilihat sangat mahal, secara
ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat menimbulkan perlakuan tidak adil.
Di negara lain, kelompok tertentu dijadikan sasaran dan dites, sering kali tanpa
persetujuan dari yang bersangkutan. Kelompok ini mencakup narapidana, pekerja seks,
pengguna narkoba dalam tempat pemulihan, dan perempuan hamil.
Penolakan terhadap tes wajib berarti program harus mengembangkan strategi untuk
membujuk orang yang berisiko terinfeksi HIV untuk melakukan tes HIV karena akan
bermanfaat untuk mereka.
Orang yang mengusulkan tes sukarela secara luas menganggap bahwa jika seseorang
mengetahui apakah ia terinfeksi HIV atau tidak akan menjadi unsur penting dalam
mendorong terjadinya perubahan. Berarti, orang dengan HIV akan menerapkan penggunaan
narkoba atau hubungan seks yang lebih aman untuk melindungi pasangannya, dan orang yang
memakai narkoba bersamanya. Untuk mereka yang HIV-negatif, ini akan mendorong
perubahan perilaku agar meyakinkan bahwa mereka tidak tertular HIV di masa yang akan
datang.
Sebaliknya, ada yang menganggap bahwa setiap orang yang menyuntik narkoba dan
melakukan seks yang tidak aman harus mengubah perilakunya, terlepas apakah mereka HIVpositif atau tidak. Karena pesannya sama, tes tidak dibutuhkan dan dapat meningkatkan

25 | P a g e

perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada melakukan tes secara massal,
mereka mengusulkan program pendidikan massal sebagai gantinya.
Banyak negara di Asia melakukan gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan surveilans
sentinel.
2. Bagaimanakah tes HIV dipakai?
Umumnya tes HIV dipakai dalam dua cara: untuk surveilans masyarakat (surveilans
sentinel) dan untuk diagnosis perorangan. Surveilans masyarakat biasanya dilakukan dengan
melakukan tes intensif (skrining) terhadap kelompok kunci dalam masyarakat agar
mengetahui luasnya penyebaran infeksi HIV. Ini dapat dilakukan dengan mengadakan
skrining HIV pada perempuan hamil atau pasien IMS, agar mengetahui berapa yang
terinfeksi HIV pada waktu tertentu: skrining ulangan di kemudian hari dapat menunjukkan
cepatnya HIV menyebar dalam masyarakat tertentu itu. Orang yang dites dengan cara ini
tidak diberitahukan hasil tesnya dan hasilnya juga anonim (tanpa nama).
Tes perorangan adalah untuk mereka yang merasa mungkin telah terpajan oleh HIV
melalui praktek penyuntikan, seks yang berisiko, atau dari transfusi darah. Tes seperti ini
harus mencakup konseling prates dan pascates (untuk informasi lebih lanjut lihat ini).
Melakukan tes memungkinkan orang untuk mengubah perilakunya sehingga mereka tidak
menularkan virus itu (jika hasil tesnya positif) atau, jika hasil tes mereka negatif, untuk
meyakinkan mereka supaya tidak tertular virus ini di masa mendatang. Tes juga bisa berarti
bahwa orang mungkin mendapatkan saran-saran berkaitan dengan kesehatan mereka,
pengobatan untuk infeksi oportunistik seperti TB, dan informasi tentang bagaimana
mengurangi kemungkinan menularkan virus pada bayinya yang belum lahir, saat melahirkan
atau ketika menyusui.
26 | P a g e

G. Pencegahan dan Pengobatan


1. Pencegahan
a. Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan
atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka
b. Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang tidak
memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan penularan HIV)
c. Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga
keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.
d. Abstinensi ( puasa, tidak melakukan hubungan seks)
e. Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada
pasangannya
f. Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan
seks aman termasuk menggunakan kondom
Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
a. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur)
harus disterilisasi dengan benar
b. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain
2. Pengobatan

27 | P a g e

Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak


dipraktikkan sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obatobat ini biasanya adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti
inhibitor reverse transcriptase dan protease.
Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan.
Obat yang merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun
1987. Setelah itu dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir.
Sampai saat ini Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan
penggunaan sekitar 20 jenis obat-obatan.
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya
karena pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang
resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS
saat ini, yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun demikian,
cara ini juga masih belum efektif.
Zidovudin (ZDV) : Merupakan analog nukleosida, dan bekerja pada enzim reverse
transcriptase. CDC telah menyarankan pemakaian obat ini untuk infeksi HIV. Dosis: 500-600
mg/hari, pemberian setiap 4 jam @ 100 mg,
Didanosin (DDI) : Belum ada rekomendasi pemberian DDI sebagai terapi pertama,
melainkan dipakai bila penderita tidak toleran terhadap ZDV, atau sebagai pengganti ZDV
dimana ZDV sudah amat lama dipakai, atau bila pengobatan dengan ZDV tidak mendapatkan
hasil. Dosis: 2x100 mg, setiap 12 jam (BB<60 Kg) atau 2x125 mg, setiap 12 jam (BB>60
Kg)

28 | P a g e

Dideoxycytidine (DDC, Zalcitabine): Diberikan sebagai kombinasi dengan ZDV,


tetapi belum cukup pengalaman untuk pemakaian tersebut. Dosis: 0,03 mg/KgBB, diberikan
setiap 4 jam.
Obat-obat lain: Berbagai jenis obat antiretroviral dikembangkan namun masih dalam
taraf penelitian. Yang cukup menjanjikan ialah derivat HEPT dan TIBO, yang menghambat
HIV-1 secara sangat spesifik, namun tidak HIV-2. Senyawa ini bekerja pada enzim reverse
transcriptase. Vaksin untuk mencegah penularan HIV sampai saat ini belum diketemukan.
Terapi kombinasi : Banyak ahli cenderung mempergunakan terapi kombinasi ZDV
dengan obat antiretroviral lain, misalnya: Triple: Saquinavir 1800 mg/hari (Ro.31-8959),
ZDV 600 mg/hari, DDC 2,5 mg/hari. Double: DDC+ZDV, DDC+saquinavir. Terapi
kombinasi terbukti memberikan hasil lebih baik dan mengurangi kemungkinan timbulnya
resistensi virus terhadap obat-obat antiretroviral tersebut.
Terapi gen
Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan dilakukan
dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa
berupa antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut
atau ribozyme yang berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA
target. Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi
menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense
ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA
sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil
diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan

29 | P a g e

antisense, ribozyme juga menghalangi produksi suatu protein tapi dengan cara menguraikan
mRNA-nya
Pendekatan yang dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi
imunologi karena tidak mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda
dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respons imun di dalam
tubuh.
Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan sistem pengiriman gen yang efisien
yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu,
sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan (gen asing) dan tidak
mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu
sendiri penjadi pilihan utama.
HIV sebagai Vector
Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen
asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari
Dana-Farber Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV
sebagai vektor untuk terapi gen berkembang pesat.
Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja sama dengan Julianna
Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel
dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial untuk replikasi
HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil menghambat perkembangbiakan HIV
dengan menggunakan ribozyme.

30 | P a g e

Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari
hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vektor yang bisa
mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti
otak, retina, hati, dan otot.
Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi vektor HIV untuk terapi
gen bisa diharapkan.
Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang
berfungsi menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan
ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga
lebih mudah digunakan.
Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA)
berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA terhadap
protein CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan
sebagai sistem pengiriman gen.
Penatalaksanaan Stadium Lanjut
Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak
komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa
penderita.
Zidovudin (ZDV)
Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada keadaan
penyakit yang berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke susunan
syaraf pusat (SSP). Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal
31 | P a g e

pada penderita dengan berat badan 70 Kg, diberikan ZDV 1000 mg, dalam 4-5 kali
pemberian.
Pengobatan Infeksi Oportunistik
Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang kompleks sehingga memerlukan
perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor dan kelompok-kelompok pendukung
lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi maka
jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam infeksi bersamaan. Keadaan ini memerlukan
pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul keadaan yang demikian maka sebaiknya
penanganan penderita dilakukan oleh sebuah tim.
Perawatan Fase Terminal
Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat
disembuhkan. Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase
terminal sebelum datangnya kematian.
Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan
hanyalah bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari
rasa mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.

32 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

33 | P a g e

1. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N, et al. Viral load and heterosexual
transmission of human immunodeficiency virus type 1. N Engl J Med 2000;342:921929
2. .Diagnoses of HIV/AIDS 32 states, 20002003. MMWR Morb Mortal Weekly Rep
2004;53:1106-10.
3. Palella FJ Jr, Delaney KM, Moorman AC, et al. Declining morbidity and mortality
among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. N Engl J
Med 1998;338:853-860.
4. CDC posts new HIV testing, referral guidelines. AIDS Alert 2002;17:2, 8-10.
5. Paltiel AD, Weinstein MC, Kimmel AD, et al. Expanded screening for HIV in the
United States -- an analysis of cost-effectiveness. N Engl J Med 2005;352:586-595.
6. Sanders GD, Bayoumi AM, Sundaram V, et al. Cost-effectiveness of screening for
HIV in the era of highly active antiretroviral therapy. N Engl J Med 2005;352:570585.
7. Bulterys M, Jamieson DJ, O'Sullivan MJ, et al. Rapid HIV-1 testing during labor: a
multicenter study. JAMA 2004;292:219-223.
8. Markowitz M, Mohri H, Mehandru S, et al. Infection with multidrug resistant, dualtropic HIV-1 and rapid progression to AIDS: a case report. Lancet 2005;365:10311038.
9. Goulder PJ, Walker BD. HIV-1 superinfection -- a word of caution. N Engl J Med
2002;347:756-758.
10. Davis KR, Weller SC. The effectiveness of condoms in reducing heterosexual
transmission of HIV. Fam Plann Perspect 1999;31:272-279.
11. Friis-Moller N, Sabin CA, Weber R, et al. Combination antiretroviral therapy and the
risk of myocardial infarction. N Engl J Med 2003;349:1993-2003. [Erratum, N Engl J
Med 2004;350:955.]
12. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1 infected adults and
adolescents. Panel on clinical practices for treatment of HIV infection (Department of
Health and Human Services).
13. Aberg JA, Gallant JE, Anderson J, et al. Primary care guidelines for the management
of persons infected with human immunodeficiency virus: recommendations of the
34 | P a g e

HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect
Dis 2004;39:609-629.
14. Mellors JW, Munoz A, Giorgi JV, et al. Plasma viral load and CD4+ lymphocytes as
prognostic markers of HIV-1 infection. Ann Intern Med 1997;126:946-954.
15. Hirsch MS, Brun-Vezinet F, Clotet B, et al. Antiretroviral drug resistance testing in
adults infected with human immunodeficiency virus type 1: 2003 recommendations of
an International AIDS Society-USA Panel. Clin Infect Dis 2003;37:113-128.

35 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai