Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya membahas mengenai MAKNA
BUDAYA TINGKEBAN DAN FUNGSINYA DALAM MASYARAKAT
Makalah ini dibuat dengan berbagai beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terima kasih telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menambah
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca dan bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan seni ritual jawa.

Surabaya, 10 Juni 2014

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang ...................................................................................................


Rumusan Masalah ..............................................................................................
Tujuan Penulisan ................................................................................................
Manfaat ..............................................................................................................

BAB II DASAR TEORI ................................................................................................


A. Pengertian tingkeban
B. Tujuan tingkeban
BAB III PEMBAHASAN ..............................................................................................
BAB IV PENUTUP .......................................................................................................
A. Kesimpulan ........................................................................................................
B. Saran ..................................................................................................................
C. Daftar Pustaka ....................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masyarakat jawa dalam kehidupannya selalu menyelaraskan antara keseimbangan
lahiriyah dan batiniyah. Salah satu bentuk untuk mencapai keselarasan hidup, masyarakat
jawa mencapainya lewat seni. Adapun seni yang dominan dan dianggap penting sebagai
pencapaian bentuk keselarasan itu melalui seni ritual ( jawa ), salah satunya adalah seni
ritual Tingkeban. Tingkeban adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan
guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap
terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan
harapan akan anak yang terlahir nanti. Tradisi Tingkepan ini hanya ada di Indonesia,
khusnya di Jawa. Masyarakat Jawa, menurut DR.K.H.Muhammad Ahmad Sahal
Mahfudh ,terkenal dengan tradisinya yang beragam, mulai dari yang bersifat ritual yang
berbau mistis sampai yang bersifat seremonial. Kalau kita cermati, tradisi yang ada
sekarang itu tidak terbentuk dengan sendirinya. Tradisi disamping dipengaruhi oleh pola
pikir sekarang, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh generasi pendahulu. Dengan
demikian ia selalu menghubungkan pada generasi pendahulu yang pada saat itu memiliki
faham dan agama atau kepercayaan yang berbeda beda sehingga tidak semua tradisi
sesuai dengan syari'at. Oleh karena itu sebagai pewaris tradisi, hendaknya selalu
menimbang terlebih dahulu dengan ukuran syariat. Rumitnya ritual tingkeban ini, hingga
memerlukan tenaga, pikiran, bahkan materi baik dalam persiapan maupun ketika
pelaksanaannya. Semua tahap-tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahaptahap yang harus dilalui. Mulai dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus
memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat
sekitar akan segera merespon negatif terhadap hal tersebut. Dari pemaparan tersebut,
penulis tertarik untuk mengambil judul Makna Budaya Tingkeban dan Fungsinya
Dalam Masyarakat Menurut Adat Jawa dan Islam karena merupakan tradisi warisan
leluhur yang masih dianggap sangat sakral.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana fungsi tingkeban Jawa bagi masyarakat ?
2. Bagaimanakah hubungan antara tradisi Tingkeban dengan ajaran Islam ?
3. Bagaimana sudut pandang filsafat (ontology, epitimologi, dan aksiologi) mengenai
pelaksanaan tingkeban ?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :


1. Mengungkapkan fungsi tingkeban bagi masyarakat
2. Mengetahui hubungan antara tradisi tingkeban dengan ajaran Islam
3. Menjelaskan sudut pandang filsafat (ontology, epistimologi, dan aksiologi) mengenai
pelaksanaan tingkeban.
D. MANFAAT
Manfaat dari pembelajaran kali ini adalah untuk menginformasikan kepada
masyarakat setempat agar dapat memahami tradisi tingkeban secara benar, baik
dipandang dari segi budaya maupun ajaran agama.

BAB II
DASAR TEORI

A. Pengertian Tingkeban
Sebagai ungkapan rasa syukur dalam menyambut berita gembira kehamilan
dari pasangan suami istri, dalam masyarakat Jawa terdapat suatu tradisi

yang

diperuntukkan bagi seorang wanita yang sedang mengandung, yaitu Tingkepan.


Tingkeban merupakan sebuah upacara adat jawa yang berkaitan dengan kelahiran.
Tingkeb (-an) mengandung arti kenduri ( selamatan orang hamil ) yang diselamati
ketika mengandung 7 bulan ( Praworoatmojo, 989:259). Tingkeban ini hanya
dilaksanakan apabila anak yang dikandung merupakan anak yang pertama Tingkeban

juga disebut sebagai mitoni yang artinya adalah hitungan bulan ketujuh Masyarakat
jawa percaya bahwa jabang bayi yang berumur tujuh bulan telah mempunyai raga
yang sempurna serta sudah mencapai proses penciptaan manusia tahap nyata dan
sempurna atau Sapta Kawasa Jati. Tingkeban mengandung makna memperkenalkan
seorang wanita ( Jawa ) kepada kehidupan sebagai Ibu. Di samping itu, tingkeban
mengandung makna suatu permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar bayi dalam
kandungan selamat. Tradisi tingkeban ini biasanya dilaksanakan di rumah mertua
yang mengandung bayi atau di rumah ibu yang sedang mengandung bayi.
B. Tujuan Tingkeban

a. Bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa


Sebagai umat muslim, kita harus senantiasa bersyukur atas segala
nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Dalam hal ini, kehamilan
merupakan kabar gembira bagi suami-istri. Karena, mereka diberi
kepercayaan untuk menjaga seorang anak yang akan dilahirkan di
dunia.

b. Mendoakan agar bayi lahir dengan lancar, cepat berjalan, dan


mendoakan agar bayi nanti menjadi anak yang sholeh sholehah,
berbakti kepada nusa bangsa.

BAB III
PEMBAHASAN
1. Fungsi Tingkeban bagi masyarakat
2. hubungan antara tradisi Tingkeban dengan ajaran Islam
Sebenarnya pelaksanaan Tingkeban berangkat dari memahami hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin
dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan
bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan
ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya.
Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan
permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut, maka kebiasaan orang
Jawa khususnya Yogya-Solo mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar
janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang soleh dan
solekhah.

Pada dasarnya tingkeban merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan sangat mulia,
karena di dalam ritual tingkeban terdapat permohonan doa kepada Gusti Allah. Dan
dikumandangkan kalimat-kalimat Shalawat Nabi merupakan bukti pelaksanaan tingkeban
secara Islami. Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam tradisi umat Islam di Ponorogo
dikenal dengan Berjanjen.
Berjanjen ini diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada Janin yang dikandung oleh
sang ibu sejak Si Jabang Bayi masih dalam kandungan seiring dengan ditiupkannya RUH
kepada Si Jabang Bayi.
3. Sudut Pandang mengenai pernikahan pada bulan suro (epistimologi, aksiologi dan
ontologi)
EPISTIMOLOGI
Masalah epistimologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kefilsafatan.
Perlu di perhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh
pengetahuan. Epistimologi atau teori pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat
dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode
kontemplatis dan metode dialektis. Jadi, epistimologi adalah bagian dari filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Objek material
dari epistimologi adalah pengetahuan dan objek formulanya adalah hakikat
pengetahuan itu.
AKSIOLOGI
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang
umumnya di tinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak
cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan maslah-masalah nilai yang khusus
seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama, dan epitilologi yang bersangkutan
dengan masalah kebenaran. Dalam aksiologi membahas untuk apa pengetahuan ilmu itu
di gunakan? Bagimana penentuan obyek yang di telaah bedasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana penentuan obyek yang telah di telaah bedasarkan pilihan-pilihan

moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang di gunakan dengan norma-norma moral
dan profesional? (filsafat etika).
ONTOLOGI
Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut
pandang, yaitu dari segi kuantitatif dan kualitatif. Orang dapat mempertanyakan,
Kenyataan itu tunggal atau jamak? yang demikian ini merupakan pendekatan
kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, Dalam babak terakhir,
apakah yang merupakan kenyataan itu? yang demikian ini merupakan pendekatan
kualitatif. Dalam hubungan tertentu, segenap masalah dibidang ontologi dapat
dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat umum, seperti Bagaimana
cara kita hendak membicarakan kenyataan. Dapat dipahami bahwa hakikat ontologi
adalah memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang
realitas mengontrol pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya pertanyaan,
kita jelas tidak akan memperoleh jawaban darimana kita nantinya akan membina
kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan disiplin tentang masalah
masalah pokoknya.
Dari berbagai simbol tindakan dan sesaji ritual tingkeban/mitoni demikian, memang
tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan-harapan keselamatan. Masyarakat Jawa
menganggap mitoni sebagai ritual yang patut diperhatikan secara khusus. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa makna dan fungsi cultural selamatan mitoni adalah: (1) untuk
mewariskan tradisi leluhur, agar tidak kesiku (mendapatkan marabahaya) dan (2) untuk
menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono apoapo) hidup yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk lain atau alam sekitar.
Selain itu, tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) menunjukkan karakter masyarakat Jawa
yang berpikir asosiatif.
Hakikatnya, tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Allah Swt. (Tuhan Yang
Maha kuasa). Sebagaimana ungkapan: jabang bayi lahir sageto welujeng selamet
ampunenten alangan sak tunggal penopo. Anak yang dikandung akan terlahir dengan
gangsar (mudah), sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan apa-apa. Ini
sebenarnya menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui tazkiyatun
nafsi (penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud pengabdian
diri kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha Kuasa).

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa Tingkeban merupakan ritual yang
dilaksanakan ketika kandungan seorang wanita mencapai usiatujuh bulan dan ia mengandung
yang pertama kali. Menurut Adat Jawa dalam pelaksanaan tingkeban yaitu ibu yang sedang hamil
tujuh bulan dilakukan pembacaan doa-doa khusus (seperti Surah Yusuf dan Maryam ) serta
menyediakan hidangan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
menurut ajaran islam, tingkeban bo

B. Saran
Masyarakat Jawa diperbolehkan untuk mengadakan tingkeban, asalkan tidak
menyalahi ajaran Islam.

Anda mungkin juga menyukai