Anda di halaman 1dari 13

2.

Penyakit jantung koroner


2.a. Etiologi dan Patofisiologi
Timbulnya PJK didasari oleh proses arterosklerosis yang bersifat progresif yang mana
proses tersebut telah dimulai sejak masa kana-kanak dan menjadi nyata pada dekade 3-4.
Lesi arterosklerosis, terutama terjadi pada lapisan paling dalam dari dinding arteri
yaitu lapisan intima. Lesi tersebut meliputi fatty streak, fibrous plaque, advance
(complicated) plaque.
Fatty streak, merupakan proses arterosklerosis yang telah dimulai pada masa kanakkanak dari terbentuknya lapisan/ timbunan kaya lemak. Lesi ini terdiri dari makrofag dan selsel otot polos yang mengandung lemak, yaitu kolesterol dan kolesterol oleat yang berwarna
kekuningan ---- disebut fatty streak. Fatty streak mula-mula tampak pada dinding aorta yang
jumlahnya semakin banyak pada usia 8-18 tahun dan baru nampak pada arteri koronaria pada
usia 15 tahun.
Fibrous plaque, merupakan kelanjutan dari fatty streak di mana terjadi proliferasi sel,
penumpukan lemak lebih lanjut dan terbentuknya jaringan ikat serta bagian dalam yang
terdiri dari campuran lemak dan sel debris sebagai akibat dari proses nekrosis. Lesi yang
semakin matang ini tampak pada usia sekitar 25 tahun. Secara makros lesi ini tampak
berwarna putih dengan permukaan semakin meninggi ke dalam lumen arteri. Bila lesi ini
semakin berkembang maka diameter lumen akan semakin sempit dan akan mengganggu
aliran darah. Pada fase ini terjadi proliferasi dari sel otot polos si mana sel ini akan
membentuk fibrous cap. Fibrous cap ini akan menutup timbunan lemak ekstraseluler dan sel
debris.
Advance plaque, fibrous plaque mendapat vaskularisasi baik dari lumen maupun dari
tunika media. Pada lesi yang telah lanjut jaringan nekrosis yang merupakan inti dari lesi
semakin membesar dan sering mengalami perkapuran, fibrous cap menjadi semakin tipis dan
pecah sehingga lesi ini akan mengalami ulserasi dan perdarahan serta terjadi trombosis yang
dapat menyebabkan oklusi aliran darah.
Ada beberapa teori terjadinya arterosklerosis, yaitu :
1. Respon to injury hypothesis; endotel yang intak (utuh) berfungsi sebagai barrier
yang bersifat permeable dan mempunyai sifat thromboresistant sehingga akan
menjamin aliran darah koroner berjalan lancar. Beberapa faktor seperti
hiperkolesterolemia, meningkatnya shear stress, merokok, hipertensi, diabetes,
toksin, immunologis, virus, bahan bersifat oksidan dapat merusak dinding endotel,
sehingga terjadi gangguan fungsi. Dengan terganggunya fungsi endotel, maka
fungsi barrier serta sifat thromboresistant terganggu dan memudahkan masuknya
lipoprotein (LDL teroksidasi) ke dinding arteri maupun makrofag. Interaksi antara
34

endothelia injury denga platelet, monosit dan jaringan ikat terutama collagen
menyebabkan terjadi penempelan platelet dan agregasi trombosit. Dengan adanya
kontak antara aliran darah dengan lapisan di bawah endotel akan merangsang
terjadinya proliferasi dan migrasi dari sel otot polos yang dirangsang oleh
pelepasan growth factors. Keadaan ini juga dipermudah karena pada keadaan
disfungsi endotel, produksi prostasiklin sebagai vasodilator dan trombus resisten
menurun. Dewasa ini, teori Response to injury hypothesis paling banyak
diterima.
2. Monoclonal hypotesis; hipotesis ini diusulkan oleh Benditt. Hipotesis ini menduga
bahwa proliferasi sel otot polos pada lesi arterosklerosis berasal dari satu sel
progenitor.
3. Lipogenic hypothesis; menurut hipoatesis ini, timbulnya proses arterosklerosis dan
progrefisitas proses tersebut terjadi karena peningkatan kadar LDL. Teori ini
didasarkan bahwa terjadi penumpukan lemak di dalam sel otot polos yang
mengalami proliferasi, dalam sel makrofag dan jaringan ikat ekstraseluler. Jadi
proses internalisasi kolesterol

dan esterifikasinya oleh sel sebagai akibat

meningkatnya kadar kolesterol dalam serum. Selanjutnya sel-sel tersebut akan


mengalami nekrosis sehingga akan terjadi pengeluaran kolesterol ke ruang
ektraseluler. Peningkatan kadar kolesterol LDL dan rendahnya kolesterol HDL
yang berlangsung lama akan mengakibatkan endothelial injury dan selanjutnya
berkembang menjadi arterosklerosis.
2.b. Manifestasi klinis
Penyakit jantung koroner dapat memberikan manifestasi klinis yang berbeda-beda.
Untuk dapat menetukan manifestasi klinisnya perlu melakukan pemeriksaan yan seksama.
Dengan memperhatikan klinis penderita, riwayat perjalanan penyakit, pemerikasaan fisik,
EKG saat istirahat, foto dada, pemeriksaan enzim jantung, sehingga dapat membedakan
subset klinis PJK. Manifestasi klinis PJK meliputi :
1. Silent Myocardial Ischemia (asimptomatik); kadang penderita PJK diketahui
secara kebetulan, misalnya disaat melakukan check up kesehatan. Kelompok
penderita ini tidak pernah mengeluh adanya nyeri dada (angina) baik pada saat
istirahat maupun pada saat akifitas. Secara kebetulan penderita menunjukan
adanya iskemia saat dilakukan latihan uji beban. Ketiak

EKG menunjukan

depresi dari segmen ST, penderita tidak mengeluh adanya nyeri dada. Pada
pemeriksaan fisik, foto thorax dan lain-lain dalam batas-batas normal. Mekanisme
silent iskemia diduga oleh karena, ambang nyeri yang meningkat, neuropati
35

otonomik (pada penderita diabetes),meningkatnya produksi endomorfin, derajat


stenosis yang ringan.
2. Angina pektoris
a. Angina pektoris stabil; pada gejala klinis di dapatkan nyeri dada saat
melakukan aktifitas, bersifat kronis (> 2 bulan). Nyeri pericordial terutama di
daerah retrostrenal, terasa seperti tertekan benda berat atau terasa panas,
seperti diremas, ataupun seperti tercekik. Rasa

nyeri sering menjalar ke

lengan kiri atas/ bawah bagian medial, ke leher, ke daerah maksila hingga ke
dagu atau

ke punggung, tetapi jarang menjalar ke lengan kanan. Nyeri

biasanya berlangsung singkat (1-5 menit) dan rasa nyeri hilang bial penderita
istirahat. Selain aktifitas fisik, nyeri dada dapat diprovokasi oleh stress/emosi,
anemia, udara dingin dan tirotoksikosis. Pada saat nyeri, sering disertai
keringat dingin. Rasa nyeri juga cepat hilang dengan pemberian obat golongan
nitrat. Jika ditelusuri, biasanya dijumpai beberapa faktor resiko PJK.
Pemeriksaan EKG sering normal (50-70% penderita). Dapat juga terjadi
depresi segmen ST atau adanya inversi gelombang T. Kelainan segmen ST
sangat nyata pada latihan uji beban. Berikut ini pengobatan pada angina
pektoris stabil :
Menjaga suplai oksigen selalu seimbang dengan kebutuhan oksigen

miokard
Pada subset klinis ini penderita tidak memerlukan rawat inap, tetapi
sangat penting ditekankan bahwa seorang dengan keluhan nyeri dada

memang benar-benar dalam keadaan angina yang stabil.


Medikamentosa;
- Golongan nitrat
- Kalsium antagonis
- Beta blocker
- Anti thrombogenik
Angigrafi koroner
PTCA
CABG
b. Angina pektoris tidak stabil; pada subset klinis ini, kualitas, lokasi, penjalaran
dari nyeri dada sama dengan angina pektroris stabil. Tetapi nyerinya bersifat
progresif dengan frekuensi timbulnya nyeri yang bertambah sering dan
lamanya nyeri semakin bertambah serta pencetus timbulnya keluhan juga
berubah. Sering timbul saat istirahat. Pemebrian nitrat tidak segera
menghilangkan keluhan. Keadaan ini didasari oleh patogenesisnya yang
36

berbeda dengan angina stabil. Angina tidak stabil sering disebut sebagai preinfraction sehingga penanganannya perlu monitoring yang ketat. Pada angina
tidak stabil, plaque arterosklerosis mengalami trombosis sebagai akibat plaque
rupture (fissuring), di samping itu di duga juga terjadi spasme namun belum
terjadi oklusi total atau oklusi bersifat intermiten. Pada pemeriksaan EKG,
didapatkan adanya depresi segmen ST, kadar enzim jantung tidak mengalami
peningkatan. Berikut ini penatalaksanaan dan pengobatan pada angina pektoris
tidak stabil :
Perlu dilakukan monitoring EKG 24 jam di ruang intensif (ICCU),

karena memiliki peluang besar untuk menjadi IMA.


Berikan obat anti nyeri
Oksigen
Anti trombotik
Nitrat
Kalsium antagonis
Beta bloker
Antikoagulan
Jika dengan obat-obat yang sudah intensif tersebut nyeri tetap
berlangsung

atau

progresif,

perlu

dipertimbangkan

dilakukan

angiografi koroner segera dan bila memungkinkan di lakukan PTCA


atau CABG.
c. Variant angina (Prinzmetal angina); pertama kali dikemukakan pada tahun
1959 digambarkan sebagai suatu sindroma nyeri dada sebagai akibat iskemia
miokard yang hampir selalu terjadi saat istirahat. Hampir tidak pernah
dipresipitasi oleh stress/emosi dan pada pemeriksaan EKG didapatkan adanya
elevasi segmen ST. Mekanisme iskemia pada variant angina terbukti
disebabkan karena terjadinya spasme arteri koroner. Kejadiannya tidak di
dahului oleh meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Hal ini dapat terjadi
pada arteri yang mengalami stenosis ataupun normal. Proses spasme biasanya
bersifat lokal hanya melibatkan satu aretri koroner, dan sering terjadi pada
daerah arteri koroner yang mengalami stenosis. Umumnya, variant angina
terjadi pada penderita lebih muda dibandingkan dengan angina stabil ataupun
angina tidak stabil. Seringkali juga tidak didapatkan adanya faktor resiko yang
klasik kecuali perokok berat. Serangan nyeri, umunya terjadi antara tengah
malam sampai jam 8 pagi dan rasa nyeri sangat hebat. Pada pemeriksaan fisik
jantung biasanya tidak ditemukan kelainan. Sedangkan pada pemeriksaan
37

EKG menunjukan adanya elevasi segmen ST (kunci diagnosis). Pada beberapa


penderita bisa di dahului depresi segmen ST sebelum akhirnya terjadi elevasi.
Kadang juga didaptkan perubahan gelombang T, yaitu gelombang T alternan,
dan tidak jarang disertai dengan aritmia jantung. Pengobatan yang dilakukan :
Nitrat (memiliki respon yang sangat baik)
Kalsium antagonis
Pemakaian beta bloker kadang-kadang dapat memperburuk keluhan

3.
4.
5.
6.
7.

penderita, terutama pada mereka yang arteri koronarianya normal.


Obat golongan alfa bloker cukup bermanfaat
Antitrombotik (asam salisilat) tidak bermanfaat bahkan memperberat

keluhan iskemia.
Infark miokard akut; telah dibahas sebelumnya
Dekompensasi kordis
Aritmia jantung
Suddent death (kematian mendadak)
Syncope

2.c. Prognosis
Tergantung dari manifestasi klinis
2.d. Faktor resiko
Faktor resiko PJK dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu :
1. Faktor resiko mayor
Hiperkolesterolemia
Hipertensi
Merokok
Diabetes
Genetik
2. Faktor resiko minor
Laki-laki
Obesitas
Kurang olah raga
Menepause
Lain-lain
2.e. Preventif

Menerapkan pola hidup sehat dan seimbang


Rajin untuk melakukan check up kesehatan

2.f. Epidemiologi
PJK/CAD merupakan salah satu penyakit jantung yang sangat penting, karena
penyakit ini diderita oleh jutaan orang dan merupakan penyebab kematian utama di beberapa
38

negara termasuk Indonesia. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat, dilaporkan jumlah


penderita PJK baru adalah 1,5 juta per tahun (satu penderita tiap 20 detik). PJK juga
merupakan penyebab disabilitas dan keerugian ekonomis yang tertinggi dibanding penyakit
lain. Diperkirakan dana yang dibelanjakan tiap tahunnya untuk perawatan PJK di USA adalah
sebesar 14 milyar US $ (sekitar 42 triliun rupiah). Di Indonesia belum ada data-data yang
jelas, tetapi menurut survey rumah tangga Dep.Kes tahun 1992, dilaporkan bahwa PJK
merupakan penyebab kematian nomor satu. Sampai saat ini penyebab yang pasti dari PJK
tidak jelas, beberapa faktor diduga sangat berpengaruh terhadap timbulnya PJK.

3.Hipertrofi ventrikel kiri dan kanan


Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan peningkatan kekakuan dinding terhadap
pengisian diastolik dan gelombang a (sistol atrium) yang menonjol pada EKG. Gagal
ventrikel kiri (disfungsi sistolik dan diastolik) dapat terjadi, seringkali tanpa dilatasi ventrikel.
Terapi dalam anti hipertensi terutama penghambat enzim pengkonversi angiotensin, telah
terbukti mengurangi hipertrofi ventrikel kiri jika tekanan darah diturunkan. PJK ssering
terjadi pada hipertensi, dan bersama dengan disfungsi ventrikel kiri mungkin menyebabkan
tingginya angka kematian penyakit jantung.

4. Emboli paru
4.a. Etiologi
Emboli paru ke dalam dua kelompok; (1). Udema paru karena penyakit diluar jantung,
(2). Udema paru dengan penyebab utama berasal dari jantung. Emboli paru kardiogenik,
merupakan penyulit dari kegagalan jantung kongestif. Keduanya dibedakan dengan
mengukur tekanan di artrial kiri atau pulmonary artery wegde pressure. Pada emboli paru
karena gangguan jantung, tekanan di atrial kiri meningkat.
4.b. Patofisiologi
Dinding pembuluh darah paru bersifat semi permeable. Air bergerak menyebrangi
dinding membran, apabila tidak ada keseimbangan kekuatan antara kedua bagian sisi
39

membran. Air yang masuk ke ruangan interstisial mempunyai dua jalan keluar, dengan
melalui saluran limfe atau masuk ke alveol.
Di dalam ruangan interstisial terdapat reseptor juxta kapiler yang peka terhadap
pembengkakan, rangsangan terhadap reseptor tersebut akan menimbulkan takipneu. Apabila
tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik benar-benar terganggu maka air meninggalkan
interstisial menuju ke alveol, surfaktan akan lepas dan alveol akan kolaps. Alveol yang kolaps
semula berbintik-bintik kemudian tergenang air, terjadi udem alveolar yang kemudian terisi
protein dan akhirnya juga darah. Setelah tekanan hidrostatik kapiler paru meningkat, maka
hubungan interendotel teregang dan protein mengalir ke intertisial. Apabila ini meningkat
terus maka udema akan menetap.
Jenis udema paru :
1. Udema paru karena jantung; peningkatan vena paru, memberikan

gangguan

vaskularisasi paru dengan akibat timbul sesak karena kegagalan jantung kongestif.
Karena sesak dapat memberikan rangsangan pada reseptor interstisial, sehingga
meningkatkan aliran limfe dengan menambah kontraksi limfe. Apabila keadaan ini
berlanjut endotel kapiler melebar dan merupakan jalan molekul-molekul ke
interstisial, keadaan ini merupakan udema interstisial. Apabila keadaan ini
berlanjut lagi, pada tekanan intravaskular yang meningkat dinding pemisah akan
menipis, sehingga cairan masuk ke alveol, ini merupakan udema alveolar.
2. Udema paru bukan karena jantung; ada beberapa keadaan klinik yang
berhubungan dengan udema paru yang disebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma, misal pada penyakit hati (sirosis hati), sindroma nefrotik. Tekanan
interstisial yang menurun dengan cepat akibat pengosongan udara dalam rongga
pleura akan menimbulkan udema paru. Demikian pula dengan tekanan intrapleura
yang terlalu negatif akan menimbulkan udema interstisial. Pembendungan limfe
akibat fibrosis keradangan atau keganasan dapat pula menimbulkan udema paru.
Beberapa penyebab lain misalnya, infeksi, aspirasi, shock, menimbulkan udema
paru difus yang berhubungan dengan hemodinamika.
3. Udema paru lain; tidak jelas penyebabnya, apakah peningkatan permeabilitas,
aliran limfe yang tidak adekuat ataupun ketidakseimbangan tekanan.
4.c. Keluhan pokok

Sesak nafas tiba-tiba


Sakit dada mirip infark miokard
Batuk non produktif
Hemoptisis
40

Pusing dan syncope


Ada riwayat predisposisi ( pasca operasi, imobilisasi lama, trauma, gangguan
koagulasi, penggunaan alat kontrasepsi oral)

4.d. Tanda penting


Sianosis
Udema dan nyeri pada kaki
Takipnue
Takikardi/fibrilasi atrium
Irama gallop S3 dan S4
Bising sistolis
Ronki
Hipotensi
Suhu badan naik
Hepatomegali
4.e. Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis
LED meningkat
Tekanan PO2 rendah, PCO2 normal atau naik
LDH, SGPT, SGOT naik
4.f. Pemeriksaan khusus
Foto thorax
Efusi pleura
Atelektasis paru
Tanda dari Hampton : hipovaskularisasi yang berbasis

pada pleura
Kasus masif ; Western Mark Sign

Scaning paru
Arteriografi paru
EKG
Inversi gelombang T
4.g. Komplikasi
Gagal nafas
Renjatan
4.h. Penatalaksanaan
Non medikamentosa
41

Istirahat
Perlu rawat inap
Pemberian oksigen 40-60%
Pengawasan tanda-tanda vital
Diet

Medikamentosa

Heparin iv/subkutan; iv --- 5000-10000 unit bolus, diteruskan 1300

unit/jam sampai 5 hari.


Heparin molekul rendah/subkutan ---- 175 unit/kgBB/24 jam selama 5-

6 hari
Obat alternatif
a. Wafarin dapat diberikan bersama-sama heparin. Dosis initial : 10
mg/hari selama 3-5 hari, di lanjutkan dengan dosis pemeliharaan 215 mg/hari sampai 1-3 bulan bahkan seumur hidup
b. Trombolitik (Streptokinase. Urokinase)
c. Dobutamin 2,5-10 g/kgBB/menit dan Dopamin

2,5

g/kgBB/menit bila hipotensi atau shock.

4.i. Terapi komplikasi


Emboliektomi
4.j. Prognosis
Hipertensi pulmonal
Mati mendadak. Prognosis bergantung pada :
penyakit dasarnya
diagnosis dan ketepatan terapi
Tanpa terapi mortalitas 30%, dengan terapi 3%

5.Kelainan Katup
Dalam waktu 50 tahun terakhir, telah terjadi pola penyebab penyakit jantung katup,
yakni penurunan yang nyata dari insiden penyakit jantung rematik dan peningkatan penyakit
katup degenratif berhubungan dengan usia. Bagaimanapun juga, penyakit jantung reumatik
masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan lebih

42

dari 12 juta penduduk dunia menderita demam rematik atau penyakit jantung katup dan lebih
dari 400.000 kasus kematian per tahun, terutama anak dan dewasa muda.
Penyakit jantung katup memberikan perubahan hemodinamik pada jantung kiri atau
kanan

atau

kedua

ventrikel.

Pada awalnya

sistem

kardiovaskuler

masih

dapat

mengkompensasi kondisi jantung yang overload. Namun pada akhirnya overload akan
menyebabkan disfungsi otot dan gagal jantung kongestif dan terkadang kematian mendadak.
5.a. Etiologi dan Patofisiologi
Merupakan istilah yang menggambarkan disfungsi jantung akibat abnormalitas strutur
atau fungsi katup jantung. Disfungsi katup jantung dapat menyebabkan pressure overload
akibat keterbatasan pembukaan katup atau volume overload akibat penutupan katup yang
tidak adekuat. Penyakit jantung katup dapat diklasifikasikan berdasarkan lesi patologis yaitu
obstruktif (stenosis) atau non-obstruktif (regurgitasi) atau berdasarkan patofisiologi sebagai
pressure overload atau volume overload.
Hasil penelitian menunjujkan bahwa tingkat keparahan lesi dari katup tidak
berhubungan dengan clinical outocome dari penyakit jantung katup, akan tetapi lebih banyak
ditentukan oleh respon ventrikel kiri terhadap beban tersebut. Atas dasar itu ada kesepakatan
bahwa ventrikel kiri pada penyakit katup jantung mempunyai peranan penting dan bisa
dianggap sebagai end organ demage, kerusakan pada organ terakhir yang menentukan/
melindungi fungsi jantung. Sebagai, contoh, pada penderita dengan aorta atau mitral
regurgitasi kronis, outocome setelah intervensi bedah dapat diprediksi dari hasil pemeriksaan
fungsi sistolik ventrikel kiri daripada tingkat keparahan regurgitasinya. Penderita yang
disertai gangguan disfungsi ventrikel pascakoreksi intervensi bedah, disfungsi ventrikelnya
tidak membaik tetapi menetap, bahkan mungkin memburuk.
Pada dasarnya lesi katup yang bersifat obstruktif harus segera dilakukan tindakkan
intervensi mengingat perubahan hemodinamik sering terjadi dan sukar diduga maupun diatasi
terutama bila dipacu oleh faktor pencetus (anemia, infeksi, dan aritmia).

43

44

5.b. Penatalaksanaan secara umum

Terapi medis sangat bermanfaat pada penderita yang tidak mungkin untuk
dilakukan intervensi bedah atau non bedah.
ACE inhibitor
Digoksin
Diuretik
Beta bloker
Antibioktik profilaksis

VII. KESIMPULAN
45

Berdasarkan data yang di dapat, maka working diagnosis yang dapat saya berikan
adalah angina pektoris stabil et causa PJK dengan disertai faktor resiko hipertensi dan
riwayat merokok pada pasien.

46

Anda mungkin juga menyukai