Disusun oleh:
Michael Hostiadi
(102011101076)
(102011101098)
Pembimbing:
dr.Bagas Kumoro, Sp.M
dr. Iwan Dewanto, Sp.M
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN..............................................................................
2.1 Definisi.......................................................................................................
2.2 Epidemiologi...............................................................................................
2.3 Etiologi.......................................................................................................
2.5 Patofisiologi................................................................................................
2.6 Diagnosis....................................................................................................
10
2.6.1 Anamnesis.........................................................................................
10
11
12
14
2.7 Penatalaksanaan..........................................................................................
16
18
22
22
22
22
25
27
BAB 3. KESIMPULAN.................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
33
BAB I
PENDAHULUAN
berbagai wilayah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala
atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya
infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili
retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,
2006)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut
lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun
2009, jumlah ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian
besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan
dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta
jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada
anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena
AIDS. (WHO,2010 )
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat
di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa subpopulasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika
suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai
daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).
Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan
kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana
terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15
tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju
peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352
kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.
(Mustikawati DE dkk, 2009 ).
Manifestasi okular. 94% dari pasien dengan HIV dapat memiliki masalah
pada mata seperti infeksi, kelainan vascular, neoplastic, neurological, dan lainnya.
Zoster oftalmologi dengan atau tidak dengan kelainan keratitis yang buruk
merupakan tanda awal. Kultur-negatif (kerato)konjungtivitis telah dilaporkan
terjadi pada 10% pasien. Kaposis sarcoma mengenai bagian cul-de-sac bawah
dari kongjungtiva (20% dari Kaposis sarcoma terjadi pada bagian itu). Infeksi
Cryptococcal mungkin juga dapat mengenai konjungtiva sebegai pertanda awal.
Koroiditis
yang
disebabkan
oleh
infeksi
treponema,
mycobacterium,
2.3 ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1).
Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop)
berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan Thelper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam
terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
Gambar 1: struktur virus HIV-1
rendah
selama
ditentukan
tidak
terkontaminasi
Darah, serum
Cairan amnion
darah
Mukosa seriks
Semen
Cairan
Muntah
Sputum
serebrospinal
Feses
Sekresi vagina
Cairan pleura
Saliva
Cairan peritoneal
Keringat
Cairan perikardial
Air mata
Cairan synovial
Urin
Sumber : Djauzi S, 2002
2.5 PATOFISIOLOGI
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang
menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan
berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan
gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk,
2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala)
yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan
tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik
seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, ODHA akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini
berarti telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya
didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti
oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang
disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover
HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun
tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi
HIV meluas ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi
insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran
darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,
2006)
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari
80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung
juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan
biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya
pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan
tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan
menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan
meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam
limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban
Z dkk, 2006)
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,
HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat
pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,
ditandai dengan penurunan viremia.
Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya
infeksi oportunistik.
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1. Anamnesis
Tabel 3. Daftar tilik riwayat pasien
10
11
12
malignum dan karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada
pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 4. Di RS Dr. Cipto
Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada ODHA
umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan,
dan diare, seperti pada tabel 5 .
Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala
Frekuensi
Demam lama
100 %
Batuk
90,3 %
Penurunan berat badan
80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan
78,8 %
Diare
69,2 %
Sesak napas
40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran
17,3 %
Gangguan penglihatan
15,3 %
Neuropati
3,8 %
Ensefalopati
4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005
2.6.3 Pemeriksaan penunjang
Tabel 6. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada
ODHA
Tes antibodi terhadap HIV (AI);
Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan
kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma
gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi
13
terapi (AIII);
Sumber : Yayasan Spiritia 2006.
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan
biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan
pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis
aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil
pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes
juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi
3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang
memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan
hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang
sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes
positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV
positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang
berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada
kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin
dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan
kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB
sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak
sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga nonreaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka
14
keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki
riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Table 7 : Alogaritma pemeriksaan HIV
Sumber : Depkes,2007
keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan
sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski
tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi
penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total
Lymphocyte Count TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika
15
tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi
ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)
Tabel 8. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
(<5000/ml),
trombositopeni
kronis
16
2.7 PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.
Jika
tidak
tersedia
17
Klinis
1
2
pemeriksaan CD4
Terapi
ARV
tidak
CD4
pertimbangkan
200
terapi
350/mm3,
sebelum
CD4
<200/mm3.
Terapi
ARV
dimulai
18
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi
S dkk,2002):
yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral
Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi
HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT
dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa
kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang
termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan
yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI,
2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa
PI pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di
Indoneesia di mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat
digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada
terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapatt T
dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
19
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT
+ 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena
dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa
digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.
stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila
NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan
NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masingmasing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada
tabel 11.
20
21
22
BAB III
MANIFESTASI HIV/AIDS PADA MATA
23
dari pasien ini memiliki Sarkoma Kaposi yang asimpomatik pada palpebra,
konjungtiva, dan yang paling jarang pada orbital.
Berdasarkan penilitan dari Biswas et al., yang meniliti 100 pasien dengan
HIV positif tidak dilakukan observasi pada kasus tunggal sarkoma kaposi pada
mata. Prevalensi tumor yang rendah di India mungkin berhubungan dengan kasus
kebiasaan homoseksual yang rendah pada negara ini. Pada pasien sarkoma kaposi
terdapar Human Virus 8 dengan atau tanpa infeksi HIV. Insidensi rendah pada
herpes virus 8 di India juga berkontribusi terhadap rendahnya kejadian tumor ini
di India. Sarkoma kaposi biasanya ditandai dengan adanya papul berwana ungu di
palpebra, bisa datar maupun sedikit menonjol. Pada beberapa waktu, lesi ini
merupaka bagian dari multifocal presentation. Sarkoma kaposi pada
konjungtiva memiliki kejadian lebih dari 1% pada pasien yang terinfeksi HIV.
Gejala yang khas adalah terdapat plak yang kemerahan pada konjungtiva yang
mirip pada perdarahan subkonjungtiva atau Chalazion. Lesi ini sering terdapat
pada daerah cul de sac. Meskipun lesinya kecil dapat menyebabkan masalah
kosmetik dan perasaan tidak enak, dimana ini dapat berhubungan dengan massa
dan perubahan kornea sekunder.
Sarkoma kaposi tidak menginvasi mata. Kebanyakan lesinya berkembang
secara perlahan dan berespon terhadap terapi obat sistemik. Terapi radiasi lebih
efektif, tetapi harga mahal dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan
konjungtivitis. Eksisi dan kemoterapi intralesi dengan vinblastine merupakan opsi
pengobatan lainnya. Jika terdapat keterlibatan sistemik maka perlu kemoterapi
secara sistemik.
b. Herpes Zoster Oftalmika
Reaktivasi dari virus varisela zoster yang laten pada bagian mata di saraf
trigeminal dapat menyebabkan herpes zoster oftalmika. Sering terjadi keterlibatan
nervus frontal. Ketika nervus pada nasosiliar terinfeksi, pasien biasanya
mengalami gejala berupa vesikel di ujung hidung yang disebut tanda Hutchinson.
Menurut penelitian tanda ini muncul pada 99% pasien.
24
Herpes zoster mucul pada pasien yang terinfeksi HIV sama seperti pada
pasien dengan depresi imunitas seluler pada pasien lymphoma dana pasien
menerima terapi immunosupresif. Karakteristik gejala prodormalnya meliputi
sakit kepala, malaise dan demam.
Pada individu yang lebih muda, ini merupakan tanda penting dari infeksi
HIV. Pada pasien yang berumur kurang dari 50 tahun dan terdapat herpes zoster
oftalmika terduga terkena infeksi HIV atau kondisi immunosupresif lainnya.
Herpes zoster oftalmikus memiliki gejala seperti terdapat ruam vesikobulosa dan
mungkin juga berhubungan dengan keratitis, skleritis, uveitis, retinitis, atau
ensefalitis. Keparahan pada ruam kulit merupakan hal penting untuk menjadi
parameter prognosis dari adanya hubungan dengan okular yang terinfeksi.
Entropion atau trikiasis merupakan hasil dari terinfeksi herpes zoster, karena virus
ini menyerang jaringan bagian dermal di palpebra sehingga dapat mengakibatkan
skar yang permanen.
Sampai saat ini rekomendasi untuk pengobatan herpes zoster oftalmika
adalah oral famciclovir 500 mg 3x sehari, valacyclovir 1g 3x sehri, atau acyclovir
800mg 5x sehari selama 7-10 hari, lebih baik lagi bila di mulai pemberian obatnya
72 jam pertama ketika muncul lesi dikulit. Pemberian antiviral topikal kurang
efektif. Pemberian acyclovir secara intravena merupakan indikasi dari pasien
dengan resiko penyebaran zoster yang lebih luas dikarenakan imunosupresi.
Kortikosteroid topikal dan siklopegik merupakan indikasi dari keratouveitis.
c. Moluskum Kontagiosum
Moluskum
kontagiosum
disebabkan
oleh
DNA
poxvirus
dan
mengakibatkan kulit dan membran mukus terdapat papul yang translusen dengan
umbilikasi sentral. Pada pasien dengan HIV kejadian sering muncul dan lesi
menjadi lebih besar dan sering menjadi lebih banyak jumlahnya dan berkembang
secara cepat. Keterlibatan palpebra biasanya terjadi pada 5% pasien yang
terinfeksi HIV. Biasanya multipel, bilateral, konfluen, dan dapat muncul kembali
6-8 minggu setelah pengangkatan. Opsi terapinya adalah cryotherapy, insisi,
kuretase dan eksisi.
25
26
intravena.
Pengobatannya
dengan
pemberian
oral
itraconazole,
27
Pada segmen posterior mata (retina, koroid, dan nervus optik) terpengaruhi
pada 50% pasien dengan AIDS. Penurunan visual, defek lapang pandang dan
photopsias merupakan gejala yang sering menyertai.
a. Retinitis Cytomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) adalah bagian dari kelompok herpes virus.
Cytomegalovirus merupakan salah satu patogen dan infeksi mononukleosis
terbanyak pada populasi dengan penurunan daya tahan tubuh (Heiden &
Saranchuk, 2011; Kirubakaran, 2003; Levi et al., 2006).
Infeksi yang disebabkan oleh CMV merupakan infeksi oportunistik yang
paling sering terjadi pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS). Semua bagian dari sistem visual berisiko terinfeksi CMV pada pasien
dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) atau AIDS. Retina
merupakan salah satu daerah yang paling sering terinfeksi CMV pada pasien
dengan HIV. Retinitis CMV adalah infeksi CMV pada retina yang dapat
menyebabkan hilangnya tajam penglihatan pada pasien dengan AIDS (Dunn,
2008; Jabs et al., 2002; Ljungmanet al., 2002; Stewart, 2010; Taylor, 2003).
Beberapa pasien menunjukkan influenza-like syndrome seperti demam, menggigil,
malaise, myalgia, dan arthralgia. Cytomegalovirus, mirip dengan virus herpes
lainnya, akan memasuki fase laten dan disupresi oleh imunitas tubuh.
Cytomegalovirus akan tetap berada pada fase laten kecuali pasien mengalami
penurunan daya tahan tubuh seperti AIDS, mengkonsumsi obat-obatan
imunosupresif untuk mencegah rejeksi transplant, atau kondisi autoimun seperti
Wegeners granulomatosis. Infeksi CMV berulang dapat menyebabkan colitis,
encephalitis, atau retinitis (Stewart, 2010; Suromo, 2007).
Ganciclovir merupakan gold standard pengobatan retinitis CMV.
Ganciclovir bekerja dengan menghambat sintesis DNA. Ganciclovir intravena
diberikan dengan dosis 5 mg/kgBB dua kali sehari selama 2 minggu sebagai terapi
induksi dan diikuti dengan terapi maintenance dengan dosis 5 mg/kgBB satu kali
sehari. Efek samping ganciclovir yaitu dapat menyebabkan kelainan hematologi
seperti neutropenia, anemia, dan trombositopenia serta toksisitas reproduksi
28
29
terganggu.
Uveitis anterior atau iridosiklitis, dan skleritis Gejala ini dapat mengikuti
kelainan pada segmen posterior mata yang mengalami serangan berulang
yang berat
tanpa pemberian
30
31
BAB IV
KESIMPULAN
janin.
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis
yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat
32
tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
menegakkan
diagnosis,
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside
33
DAFTAR PUSTAKA
34
10. Guyton AC, Hall JE. 2006. Reseptor dan Fungsi Neural Retina. Pada:
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9. Jakarta: penerbit EGC, p. 795811
11. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006
12. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan
dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
13. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
14. Gandahusada,S.
Toksoplasmosis,
1988,
Diagnosis
dan
Tatalaksana
manusia yang
Tatalaksana
Penanganan
Penanganan
manusia yang
35
Ilyas, G.D,Asbury,T.,Riordan,P.Oftalmologi
Umum.Edisi
34
No.2,
available