Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

PENYAKIT HIV PADA MATA

Disusun oleh:
Michael Hostiadi

(102011101076)

Tita Swastiana Adi

(102011101098)

Pembimbing:
dr.Bagas Kumoro, Sp.M
dr. Iwan Dewanto, Sp.M

SMF ILMU KESEHATAN MATA


RSD. dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2015

DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN..............................................................................

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................

2.1 Definisi.......................................................................................................

2.2 Epidemiologi...............................................................................................

2.3 Etiologi.......................................................................................................

2.4 Metode Penularan.......................................................................................

2.5 Patofisiologi................................................................................................

2.6 Diagnosis....................................................................................................

10

2.6.1 Anamnesis.........................................................................................

10

2.6.2 Pemeriksaan Fisik.............................................................................

11

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang....................................................................

12

2.6.4 Penilaian Imunologi..........................................................................

14

2.7 Penatalaksanaan..........................................................................................

16

2.7.1 Terapi Antiretroviral.........................................................................

18

BAB 3. Manifestasi HIV / AIDS di mata......................................................

22

3.1 Manifestasi HIV/AIDS pada mata..............................................................

22

3.1.1 Manifestasi di bagian orbita.............................................................

22

3.1.2 Manifestasi di bagian adneksa..........................................................

22

3.1.3 Manifestasi di segmen anterior.........................................................

25

3.1.4 Manifestasi di segmen posterior.......................................................

27

BAB 3. KESIMPULAN.................................................................................

31

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

33

BAB I
PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan


gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat
adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV). AIDS pertama kali
diidentifikasi pada tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia
Pneumocystis

carinii dan sarcoma Kaposi pada laki-laki muda homoseks di

berbagai wilayah

Amerika Serikat. Pada tahun 1983 Luc Montagnier

mengidentifikasi virus penyebab AIDS , sedangkan Robet Gallo menemukan virus


penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III.
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang
sedang berlibur ke Bali, kemudian jumlah ODHA terus meningkat mencapai
22.664 orang. (Depkes RI, 2008), namun hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan
dilakukan pengobatan.(UNAIDS, 2010). Selain berefek pada tubuh secara
keseluruhan, HIV/AIDS juga dapat mengenai bagian okular seperti infeksi,
kelainan vascular, neoplastic, neurological, dan lainnya.
Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan
pada upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus
AIDS yang memerlukan terapi ARV, maka strategi penanggulangan HIV/AIDS
dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan,
dukungan serta pengobatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala
atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya
infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili
retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,
2006)

2.2 EPIDEMIOLOGI
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut
lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun
2009, jumlah ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian
besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan
dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta
jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada
anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena
AIDS. (WHO,2010 )
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat
di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa subpopulasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika

suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai
daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).
Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan
kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana
terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15
tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju
peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352
kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.
(Mustikawati DE dkk, 2009 ).
Manifestasi okular. 94% dari pasien dengan HIV dapat memiliki masalah
pada mata seperti infeksi, kelainan vascular, neoplastic, neurological, dan lainnya.
Zoster oftalmologi dengan atau tidak dengan kelainan keratitis yang buruk
merupakan tanda awal. Kultur-negatif (kerato)konjungtivitis telah dilaporkan
terjadi pada 10% pasien. Kaposis sarcoma mengenai bagian cul-de-sac bawah
dari kongjungtiva (20% dari Kaposis sarcoma terjadi pada bagian itu). Infeksi
Cryptococcal mungkin juga dapat mengenai konjungtiva sebegai pertanda awal.
Koroiditis

yang

disebabkan

oleh

infeksi

treponema,

mycobacterium,

cryptococcus, histoplasma, dan pneumocystus biasanya ditemukan setidaknya di


autopsi.

2.3 ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1).
Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop)
berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan Thelper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam

terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS et al, 2005


Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV
global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP
dkk,2006)

2.4 METODE PENULARAN


Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah
melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan
adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh


. Risiko tinggi

Risiko masih sulit Risiko

rendah

selama

ditentukan

tidak

terkontaminasi

Darah, serum

Cairan amnion

darah
Mukosa seriks

Semen

Cairan

Muntah

Sputum

serebrospinal

Feses

Sekresi vagina

Cairan pleura

Saliva

Cairan peritoneal

Keringat

Cairan perikardial

Air mata

Cairan synovial

Urin
Sumber : Djauzi S, 2002

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan


cairan darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat
tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar
0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV
pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)
Tabel 2. Faktor risiko infeksi HIV
-

Penjaja seks laki-laki atau perempuan

Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan


transgender (waria)

Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.


Sumber : Depkes RI 2007

2.5 PATOFISIOLOGI

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang
menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan
berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan
gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk,
2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala)
yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan
tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik
seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, ODHA akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini
berarti telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya
didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti
oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang
disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover
HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun
tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi

HIV meluas ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi
insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran
darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,
2006)
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari
80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung
juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan
biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya
pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan
tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan
menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan
meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam
limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban
Z dkk, 2006)
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,
HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat
pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,
ditandai dengan penurunan viremia.
Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV

sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya
infeksi oportunistik.

2.6 DIAGNOSIS
2.6.1. Anamnesis
Tabel 3. Daftar tilik riwayat pasien

10

Sumber :Depkes RI 2007

2.6.2 Pemeriksaan fisik

11

Tabel 4 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007


Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik
atau kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma

12

malignum dan karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada
pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 4. Di RS Dr. Cipto
Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada ODHA
umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan,
dan diare, seperti pada tabel 5 .
Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala
Frekuensi
Demam lama
100 %
Batuk
90,3 %
Penurunan berat badan
80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan
78,8 %
Diare
69,2 %
Sesak napas
40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran
17,3 %
Gangguan penglihatan
15,3 %
Neuropati
3,8 %
Ensefalopati
4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005
2.6.3 Pemeriksaan penunjang
Tabel 6. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada
ODHA
Tes antibodi terhadap HIV (AI);
Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan
kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma
gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi

13

terapi (AIII);
Sumber : Yayasan Spiritia 2006.
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan
biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan
pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis
aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil
pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes
juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi
3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang
memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan
hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang
sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes
positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV
positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang
berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada
kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin
dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan
kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB
sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak
sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga nonreaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka

14

keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki
riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Table 7 : Alogaritma pemeriksaan HIV

Sumber : Depkes,2007

2.6.4 Penilaian Imunologi


Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam
menilai status imunitas ODHA dan

memudahkan kita untuk mengambil

keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan
sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski
tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi
penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total
Lymphocyte Count TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika

15

tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi
ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)
Tabel 8. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia

(Hb <8 g%), netropenia

(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

(<5000/ml),

trombositopeni

kronis

16

Sindroma wasting HIV


Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber : Depkes RI, 2007

2.7 PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.

Tabel 9. Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Bila tersedia pemeriksaan CD4

Jika

tidak

tersedia

17

Klinis
1
2

pemeriksaan CD4
Terapi

ARV

tidak

Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 diberikan


Bila jumlah total limfosit
<200
<1200
Jumlah

CD4

pertimbangkan

200
terapi

350/mm3,

sebelum

CD4

<200/mm3.
Terapi

Pada kehamilan atau TB:


3

ARV

dimulai

Mulai terapi ARV pada semua ibu tanpa memandang jumlah


limfosit total
hamil dengan CD4 350
Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru

atau infeksi bakterial berat


Terapi ARV dimulai tanpa memandang
jumlah CD4
Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi.


Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan
kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm 3 di mana terapi ARV harus dimulai
belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan
dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada
ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

2.7.1 Terapi Antiretroviral (ARV)

18

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi
S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:


zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti

evafirens dan nevirapin


Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV

yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral
Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi
HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT
dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa
kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang
termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan
yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI,
2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa
PI pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di
Indoneesia di mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat
digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada
terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapatt T
dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

19

Tabel 10 : Terapi ARV


Sumber : Depkes RI, 2007

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT
+ 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena
dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa
digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.

Namun AZT lebih disukai daripada

stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila
NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan
NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masingmasing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada
tabel 11.

Tabel 11. Pilihan obat ARV golongan NR

20

Sumber : Depkes RI, 2007

Tabel 12. Keuntungan dan kerugian obat ARV

21

Sumber : Depkes RI, 2007

22

BAB III
MANIFESTASI HIV/AIDS PADA MATA

3.1 Manifestasi infeksi HIV/AIDS pada mata


3.1.1 Menifestasi di bagian orbital
Manifestasi mata oleh karena infeksi HIV tidak terlalu sering terlihat.
Namun, pada beberapa kasus seperti orbital cellulitis dan ortbital lymphoma
telah dilaporkan. Pada kasus orbital selulitis sangat sering dikaitkan dengan
infeksi Aspergillus, diobati dengan obat antimikroba sistemik. Organisme lain
yang dilaporkan pada literatur yang dapat menyebabkan infeksi pada orbital pada
pasien dengan HIV termasuk Rhizopus, Toxoplasma gondii, dan Pneumocystis
carinii. Pada anak-anak mungkin terdapar episode rekuren dari orbital/peri-orbital
selulitis. Primary non-hodgkins lymphoma (NHL) pada orbital dan okular adnexa
merupakan penyakit yang jarang. Secara umum, resiko perkembangan dari NHL
lebih tinggi pada pasien yang telah terinfeksi HIV. Pada kasus yang dilaporkan
bahwa lymphoma memiliki respon yang baik terhadap radiotherapy. Namun, dosis
tinggi bisa berhubungan dengan komplikasi mata.

3.1.2 Manifestasi pada adneksa


Manifestasi di adneksa paling sering pada pasien yang telah terinfeksi HIV
adalah Kaposis sarcoma, herpes zoster ophtalmicus, moluskum kontagiosum, dan
konjungtiva mikrovasculopati. Kontungtiva skuamos sel-karsinoma.
a. Sarkoma Kaposi
Sarkoma kaposi adalah kasus tumor yang jarang terjadi. Setelah penyebaran HIV,
insidensi meningkat. Tumor sarkoma kaposi banyak vaskularisasi, tumor
mesenkim yang tidak sakit dimana dapat mempengaruhi kulit dan membran
mukosa dan terdapat pada 25% pasien yang terinfeksi dengan HIV. Sekitar 20%

23

dari pasien ini memiliki Sarkoma Kaposi yang asimpomatik pada palpebra,
konjungtiva, dan yang paling jarang pada orbital.
Berdasarkan penilitan dari Biswas et al., yang meniliti 100 pasien dengan
HIV positif tidak dilakukan observasi pada kasus tunggal sarkoma kaposi pada
mata. Prevalensi tumor yang rendah di India mungkin berhubungan dengan kasus
kebiasaan homoseksual yang rendah pada negara ini. Pada pasien sarkoma kaposi
terdapar Human Virus 8 dengan atau tanpa infeksi HIV. Insidensi rendah pada
herpes virus 8 di India juga berkontribusi terhadap rendahnya kejadian tumor ini
di India. Sarkoma kaposi biasanya ditandai dengan adanya papul berwana ungu di
palpebra, bisa datar maupun sedikit menonjol. Pada beberapa waktu, lesi ini
merupaka bagian dari multifocal presentation. Sarkoma kaposi pada
konjungtiva memiliki kejadian lebih dari 1% pada pasien yang terinfeksi HIV.
Gejala yang khas adalah terdapat plak yang kemerahan pada konjungtiva yang
mirip pada perdarahan subkonjungtiva atau Chalazion. Lesi ini sering terdapat
pada daerah cul de sac. Meskipun lesinya kecil dapat menyebabkan masalah
kosmetik dan perasaan tidak enak, dimana ini dapat berhubungan dengan massa
dan perubahan kornea sekunder.
Sarkoma kaposi tidak menginvasi mata. Kebanyakan lesinya berkembang
secara perlahan dan berespon terhadap terapi obat sistemik. Terapi radiasi lebih
efektif, tetapi harga mahal dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan
konjungtivitis. Eksisi dan kemoterapi intralesi dengan vinblastine merupakan opsi
pengobatan lainnya. Jika terdapat keterlibatan sistemik maka perlu kemoterapi
secara sistemik.
b. Herpes Zoster Oftalmika
Reaktivasi dari virus varisela zoster yang laten pada bagian mata di saraf
trigeminal dapat menyebabkan herpes zoster oftalmika. Sering terjadi keterlibatan
nervus frontal. Ketika nervus pada nasosiliar terinfeksi, pasien biasanya
mengalami gejala berupa vesikel di ujung hidung yang disebut tanda Hutchinson.
Menurut penelitian tanda ini muncul pada 99% pasien.

24

Herpes zoster mucul pada pasien yang terinfeksi HIV sama seperti pada
pasien dengan depresi imunitas seluler pada pasien lymphoma dana pasien
menerima terapi immunosupresif. Karakteristik gejala prodormalnya meliputi
sakit kepala, malaise dan demam.
Pada individu yang lebih muda, ini merupakan tanda penting dari infeksi
HIV. Pada pasien yang berumur kurang dari 50 tahun dan terdapat herpes zoster
oftalmika terduga terkena infeksi HIV atau kondisi immunosupresif lainnya.
Herpes zoster oftalmikus memiliki gejala seperti terdapat ruam vesikobulosa dan
mungkin juga berhubungan dengan keratitis, skleritis, uveitis, retinitis, atau
ensefalitis. Keparahan pada ruam kulit merupakan hal penting untuk menjadi
parameter prognosis dari adanya hubungan dengan okular yang terinfeksi.
Entropion atau trikiasis merupakan hasil dari terinfeksi herpes zoster, karena virus
ini menyerang jaringan bagian dermal di palpebra sehingga dapat mengakibatkan
skar yang permanen.
Sampai saat ini rekomendasi untuk pengobatan herpes zoster oftalmika
adalah oral famciclovir 500 mg 3x sehari, valacyclovir 1g 3x sehri, atau acyclovir
800mg 5x sehari selama 7-10 hari, lebih baik lagi bila di mulai pemberian obatnya
72 jam pertama ketika muncul lesi dikulit. Pemberian antiviral topikal kurang
efektif. Pemberian acyclovir secara intravena merupakan indikasi dari pasien
dengan resiko penyebaran zoster yang lebih luas dikarenakan imunosupresi.
Kortikosteroid topikal dan siklopegik merupakan indikasi dari keratouveitis.
c. Moluskum Kontagiosum
Moluskum

kontagiosum

disebabkan

oleh

DNA

poxvirus

dan

mengakibatkan kulit dan membran mukus terdapat papul yang translusen dengan
umbilikasi sentral. Pada pasien dengan HIV kejadian sering muncul dan lesi
menjadi lebih besar dan sering menjadi lebih banyak jumlahnya dan berkembang
secara cepat. Keterlibatan palpebra biasanya terjadi pada 5% pasien yang
terinfeksi HIV. Biasanya multipel, bilateral, konfluen, dan dapat muncul kembali
6-8 minggu setelah pengangkatan. Opsi terapinya adalah cryotherapy, insisi,
kuretase dan eksisi.

25

d. Konjungtiva squamos sel karsinoma


Menurut penelitian Agaba di Uganda menunjukkan korelasi antara
peningkatan kasus konjungtiva squamos sel karsinoma dan infeksi HIV. Tumor ini
juga berhubungan dengan terpaparnya sinar UV dan konjungtiva papillomavirus
dan biasanya terdapat di mata bagian limbus.
3.1.3 Manifestasi di Segmen Anterior
Pada segmen anterios mata (kornea, bilik mata depan, dan iris) bisa juga
terjadi perubahan bila terinfeksi HIV. Menurut penelitian lebih dari 50% pada
pasien yang terinfeksi HIV memiliki kelainan segmen anterior. Keratitis,
keratokonjungtivitis sika dan iridosiklitis adalah kejadian paling sering pada
segmen anterior.
a. Herpes Simplek keratitis
Herpes simplek keratitis telah dilaporkan pada pasien dengan AIDS, tetapi
peningkatan kejadian pada penyakit ini masih belum diketahui. Infeksi ini
memiliki predileksi di kornea periferal dan dapat menyebabkan ulserasi kornea.
Pada umumnya, perjalanan penyakit ini lebih lama pada pasien dengan AIDS dan
tingkat kekambuhannya juga lebih tinggi. Pilihan terapi untuk keratitis epitelial
berisi trifluridine topikal 6-8 kali perhari selama beberapa hari pertama.
Pemberian asiklovir oral juga efektif.
b. Varisela zoster virus keratitis
Seperti pada penjelasan sebelumnya, varisela zoster dapat berhubungan
dengan keratitis pada pasien dengan AIDS, dengan gejala peningkatan tekanan
okular. Biasanya, pasien juga terkena herpes zoster oftalmikus, meskipun ringan.
Seperti herpes simplek keratitis, perjalanan penyakit ini lebih lama pada pasien
dengan AIDS. Pengobatannya sama dengan zoster oftalmikus.

26

c. Infeksi bakteri dan jamur di kornea


Infeksi bakteri dan jamur biasanya lebih sering tejadi pada pasien yang
terinfeksi HIV. Keratitis jamur sekunder dan candida albicans pernah dilaporkan
pada pasien dengan HIV. Spesies candida lebih sering pada pasien pengguna obatobatan

intravena.

Pengobatannya

dengan

pemberian

oral

itraconazole,

albendazole, atau pemberian topikal fumagilin.


d. Keratokonjungtivitis sika
Lebih dari 20% pasien dengan infeksi HIV terkena keratokonjungtivitis,
biasa disebut dry eye syndrome. Ternyata hal ini tidak memiliki hubungan
dengan jumlah CD4+ atau dengan tingkat keparahan HIV. Gejala biasanya terdiri
dari perasaan tidak enak di tubuh, fotofobia dan penurunan visual. Hal ini
disebabkan karena destruksi primer maupun sekunder kelenjar lakrimal dan
inflamasi karena virus HIV. Terapinya diberikan air mata buatan, 6-8x sehari dan
obat tetes untuk lubrikasi.
e. Iridosiklitis
Pada pasien dengan HIV yang mengeluhkan fotofobia dan mata merah
bisa juga dikarenakan iridosiklitis. Keluhan ini memerlukan pemeriksaan okular
untuk mengetahui terjadinya infeksi pada segmen anterior maupun posterior. Hal
ini mungkin berhubungan dengan retina atau infeksi koroid dengan berbagai
macam organisme penyebab, seperti cytomegalovirus, herpes simplek virus,
varisela zoster virus, candida, cryptococcus, toxoplasma gondii, treponema
pallidum dan mycobakterium.
Pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi organisme
yaitu dengan menggunakan PCR dari aqueous humor atau vitreous. Sampel yang
diambil dari vitreous biasanya lebih tinggi sensitivitasnya. Pengobatan untuk
iridosiklitis tergantung dari agen yang menginfeksi.

3.1.4 Manifestasi di segmen posterior

27

Pada segmen posterior mata (retina, koroid, dan nervus optik) terpengaruhi
pada 50% pasien dengan AIDS. Penurunan visual, defek lapang pandang dan
photopsias merupakan gejala yang sering menyertai.
a. Retinitis Cytomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) adalah bagian dari kelompok herpes virus.
Cytomegalovirus merupakan salah satu patogen dan infeksi mononukleosis
terbanyak pada populasi dengan penurunan daya tahan tubuh (Heiden &
Saranchuk, 2011; Kirubakaran, 2003; Levi et al., 2006).
Infeksi yang disebabkan oleh CMV merupakan infeksi oportunistik yang
paling sering terjadi pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS). Semua bagian dari sistem visual berisiko terinfeksi CMV pada pasien
dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) atau AIDS. Retina
merupakan salah satu daerah yang paling sering terinfeksi CMV pada pasien
dengan HIV. Retinitis CMV adalah infeksi CMV pada retina yang dapat
menyebabkan hilangnya tajam penglihatan pada pasien dengan AIDS (Dunn,
2008; Jabs et al., 2002; Ljungmanet al., 2002; Stewart, 2010; Taylor, 2003).
Beberapa pasien menunjukkan influenza-like syndrome seperti demam, menggigil,
malaise, myalgia, dan arthralgia. Cytomegalovirus, mirip dengan virus herpes
lainnya, akan memasuki fase laten dan disupresi oleh imunitas tubuh.
Cytomegalovirus akan tetap berada pada fase laten kecuali pasien mengalami
penurunan daya tahan tubuh seperti AIDS, mengkonsumsi obat-obatan
imunosupresif untuk mencegah rejeksi transplant, atau kondisi autoimun seperti
Wegeners granulomatosis. Infeksi CMV berulang dapat menyebabkan colitis,
encephalitis, atau retinitis (Stewart, 2010; Suromo, 2007).
Ganciclovir merupakan gold standard pengobatan retinitis CMV.
Ganciclovir bekerja dengan menghambat sintesis DNA. Ganciclovir intravena
diberikan dengan dosis 5 mg/kgBB dua kali sehari selama 2 minggu sebagai terapi
induksi dan diikuti dengan terapi maintenance dengan dosis 5 mg/kgBB satu kali
sehari. Efek samping ganciclovir yaitu dapat menyebabkan kelainan hematologi
seperti neutropenia, anemia, dan trombositopenia serta toksisitas reproduksi

28

jangka panjang. Indikasi penggunaan ganciclovir oral adalah pencegahan retinitis


kolateral dan penyakit CMV non-okular pada pasien yang mendapatkan terapi
intraokular (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b; Stewart,
2010).
b. Toxoplasmosis Okular
Toxoplasmosis okular adalah suatu infeksi parasit sistemik disebabkan
oleh Toxoplasma gondii. Toksoplasmosis adalah penyebab korioretinitis paling
umum pada manusia dan merupakan 28 % dari kasus uveitis posterior. Gambaran
klinis
Gambaran klinik toxoplasmosis okular antara lain :
Gejala subyektif berupa:
a. Penurunan tajam penglihatan
Lesi retinitis atau retinokoroiditis di daerah sentral retina yang disebut
makula atau daerah antara makula dan N. optikus yang disebut
papilomuskular/bundle.
Terkenanya nervus optikus.
Kekeruhan vitreus yang tebal.
Edema retina
b. Biasa tidak ditemukan rasa sakit, kecuali bila sudah timbul gejala lain yang
menyertai yaitu iridosiklitis atau uveitis anterior yang juga disertai rasa silau.
Pada keadaan ini ,mata menjadi merah.
c. Floaters atau melihat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak oleh adanya
sel-sel dalam korpus vitreus.
d. Fotopsia, melihat kilatan-kilatan cahaya yang menunjukkan adanya tarikantarikan terhadap retina oleh vitreus.
Gejala obyektif berupa:
a. Mata tampak tenang.
Pada pemeriksaan oftalmoskop tampak gambaran sebagai berikut:
Retinitis atau retinikoroiditis yang nekrotik.
Lesi berupa fokus putih kekuningan yang soliter atau multipel, yang
terletak terutama di polus posterior, tetapi dapat juga di bagian perifer
retina.

29

Papilitis atau edema papil.


Kelainan vitreus atau vitritis. Pada vitritis yang ringan akan tampak sel-sel.
Sering sekali vitritis begitu berat, sehingga visualisasi fundus okuli

terganggu.
Uveitis anterior atau iridosiklitis, dan skleritis Gejala ini dapat mengikuti
kelainan pada segmen posterior mata yang mengalami serangan berulang
yang berat

Terapi toxoplasmosis okular


Regimen yang biasanya dipakai untuk pengobatan toxoplasmosis okular
terdiri dari 3 obat yaitu; pyrimethamine (loading dose: 50-100mg, treatment dose:
25-50 mg/ hari), sulfadiazine (loading dose: 2-4 g, treatment dose: 1 g 4x sehari),
dan prednisone (treatment dose: 0,5-1 mg/kgBB/hari, tergantung dari tingkat
keparahan inflamasi). Karena sulfonamid dan pyrimethamine menghambat
etabolisme asam folat, maka diberikan folinic acid (5mg/hari) untuk mencegah
terjadinya leukopenia dan trombositopenia yang merupakan akibadari pemberian
terapi obat pyrimethamine. Penggunaan kortikosteroid

tanpa pemberian

profilaksis antimikroba yang sesuai atau penggunaan triamcinolone acetonide


merupakan kontra indikasi karena dapat menyebabkan peningkatan keparahan
penyakit, dan tidak terkontrolnya inflamasi intra okular. Banyak oftalmologis
mulai menggunakan trimethoprim-sulfamethoxazole (treatment dose: 160mg/80
mg 2x sehari) dan pemberian prednisone sebagai terapi alternatif dengan alasan
biaya, dan anggapan bahwa trimethoprim-sulfamethoxasole memiliki tingkat
keamanan yang lebih baik.
Pemberian jangka panjang terapi trimethoprim-sulfamethoxazole (1 tablet
setiap 3 hari) menunjukkan penurunan resiko reaktivasi pada pasien dengan
toxoplasmic retinokoroiditis yang rekuren. Dengan strategi yang sama mungkin
berfungsi sebagai profilaksis pada pasien dengan toxoplasmosis okular dan
HIV/AIDS.

30

31

BAB IV
KESIMPULAN

AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena


penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS

merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.


Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia

ini yang terbebas dari HIV.


Pada tahun 2009, jumlah ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,
dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan

epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.


Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke
peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke

janin.
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis
yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat

menyebabkan gangguan imun yang progresif.


Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama,
50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13

32

tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,

dan kemudian meninggal


Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko
pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling
perlu dilakukan pada setiap ODHA saat kunjungan pertama kali ke sarana
kesehatan.

Hal

ini

dimaksudkan

untuk

menegakkan

diagnosis,

diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,


memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan

tata laksana selanjutnya.


Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan.

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside

reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah
AZT + 3TC + NVP
Terdapat berbagai manifestasi organ orbita pada pasien dengan HIV/AIDS

33

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Opthalmology, Staff. 2011-2012. Fundamentals and


Principles of Opthalmology. In: Basic and Clinical Science Course.
Section 2. San Francisco: American Academy of Opthalmology; p. 291302.
2. American Academy of Opthalmology, Staff. 2011-2012. Intraocular
Inflammation and Uveitis. In: Basic and Clinical Science Course. Section
9. San Francisco: American Academy of Opthalmology; p. 200-207; 226234
3. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012. Retina and
Vitreous. Basic and Clinical Science Course. Sec.12. San Francisco: AAO,
p. 203-211
4. Au Eong KG, Beatty S, Charles SJ. 1999. Cytomegalovirus retinitis in
patients with acquired immune deficiency syndrome. Postgrad Med J; 75:
585-590
5. Biron KK. 2006. Antiviral drugs for cytomegalovirus diseases. Antiviral
Research; 71: 154163
6. Bodaghi B, LeHoang P. 2005. Herpes Viruses in Ocular Inflammation. In :
Uveitis and immunological disorders. 3rd ed. Germany: Springer; 143-9
7. Costello M, Yungbluth M. 1998. Viral infection. In : Henry JB, editor.
Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 19th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 1083-114
8. De Clercq, E., Holy, A., 2005. Acyclic nucleoside phosphonates: a key
classof antiviral drugs. Nat. Rev. Drug Discov. 4, 928940
9. Dunn, JP. 2008. Ocular Manifestations. In: Volberding PA, Sande MA,
Lange J, Greene W, editors. Global HIV/AIDS medicine. China: Saunders
Elsevier.

34

10. Guyton AC, Hall JE. 2006. Reseptor dan Fungsi Neural Retina. Pada:
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9. Jakarta: penerbit EGC, p. 795811
11. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006
12. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan
dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
13. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
14. Gandahusada,S.
Toksoplasmosis,

1988,

Diagnosis

dan

Seminar sehari Penyakit-penyakit

ditularkan oleh hewan piaraan, Jakarta.


15. Gandahusada,S. 1988, Diagnosis dan
Toksoplasmosis,

Tatalaksana

manusia yang

Tatalaksana

Seminar sehari Penyakit-penyakit

Penanganan

Penanganan

manusia yang

ditularkan oleh hewan piaraan, Jakarta


16. Johns, K,J et al. Basic and Clinical Science Course: Retina and Vitreous;
Focal and Diffuse Chorioretinal Inflammation. United States: American
Academy Of Ophthalmology.2008.
17. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,
Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.
18. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].
Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id
19. Lima BR. 2004. Ophtalmic Manifestation of HIV Infection. Digital journal
of ophthalmology; 10: 1-14
20. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006

35

21. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib


AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
2009
22. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2007
23. Sidarta

Ilyas, G.D,Asbury,T.,Riordan,P.Oftalmologi

Umum.Edisi

14.Penerbit Widya Medika,Jakarta:2000.Hal 162-163,335.


24. Sidarta Ilyas, dkk, 2000, Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FK UI,
cetakan 2, Jakarta.
25. Suhardjo, Utomo PT, Agni AN. 2003. Clinical Manifestations of Ocular
Toxoplasmosis in Yogyakarta, Indonesia: Clinical Review of 173
Cases.Volume

34

No.2,

available

from http://www.erfilts.multiply.com.journalitem43-19kdiakses tanggal 13


Juni 2010
26. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:
executive summary. Geneva. 2010.
27. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

Anda mungkin juga menyukai