Anda di halaman 1dari 44

Get Homework/Assignment

Done

Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mioma uteri merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ
reproduksi wanita. Kejadian mioma uteri sebesar 20-40% pada wanita yang
berusia lebih dari 35 tahun dan sering menimbulkan gejala klinis berupa
menorrhagia dan dismenorea. Selain itu mioma juga dapat menimbulkan
kompresi pada traktus urinarius, sehingga dapat menimbulkan gangguan
berkemih maupun tidak dapat menahan berkemih (Memarzadeh, 2003).
Berdasarkan penelitian World health organisation (WHO) penyebab angka
kematian ibu karena mioma uteri pada tahun 2010 sebanyak 22 (1,95 %)
kasus dan tahun 2011 sebanyak 21 (2,04 %) kasus.
Di Indonesia pada tahun 2011 kasus mioma uteri di temukan sebesar
2,39 - 11,7% pada semua pasien kebidanan yang di rawat. Data statistik

menunjukkan 60% mioma uteri terjadi pada wanita yang tidak pernah hamil
atau hamil hanya satu kali.
Menurut perkiraan frekuensi mioma uteri dalam kehamilan dan
persalinan berkisar sekitar 1%; banyak mioma kecil tidak dikenal. Dalam
banyak kasus kombinasi mioma dengan kehamilan tidak mempunyai arti apaapa. Di pihak lain kombinasi itu dapat menyebabkan komplikasi obstetrik
yang besar artinya. Hal itu tergantung dari besarnya dan lokasinya.1
Penatalaksanaan mioma uteri dapat dilakukan dengan pemberian obatobatan (medisinalis) maupun secara operatif. Pemberian GnRH analog
merupakan terapi medisinal yang bertujuan untuk mengurangi gejala
perdarahan yang terjadi dan mengurangi ukuran mioma.1
Penatalaksanaan operatif terhadap gejala-gejala yang timbul atau
adanya pembesaran massa mioma adalah histerektomi. Di Amerika Serikat
diperkirakan 600.000 histerektomi dilakukan tiap tahunnya. Dengan semakin
berkembangnya tehnologi kedokteran, tindakan operatif pada mioma uteri
dapat dilakukan dengan bantuan alat laparoskopi maupun histeroskopi.1
Dehisensi luka setelah operasi merupakan suatu komplikasi serius dan
mengancam pasien. Dehisensi adalah gangguan atau kerusakan dari suatu
luka.2 Dimana berkisar dari kegagalan bagian yang lebih dalam pada sayatan
perut untuk bersatu, tidak dikenal dalam suatu perjalanan pasca operasi tetapi
kemudian mengakibatkan hernia insisional, dengan terjadinya "burst
abdomen" atau eviserasi pada dehisensi luka yang terjadi tiba-tiba dan disertai
dengan penonjolan isi perut, biasanya usus.
Dehisensi luka biasa terjadi pada sekitar 1% dari semua laparotomi. 2
Insiden ini sejalan lebih besar pada pasien yang memiliki faktor presdiposisi. 2
Misalnya, laporan terbaru menyatakan bahwa ada 7% wound disruption (21
dari 291) pada pasien yang menjalani laparotomi untuk karsinoma.
1.2 Tujuan
- Menambah pengetahuan tentang mioma uteri, dan dehisensi post operasi.

- Mengkaji ketepatan dan kesesuaian kasus yang dilaporkan dengan literatur


mengenai mioma uteri dengan komplikasi burst abdomen.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Mioma Uteri
Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel
jaringan otot polos, jaringan fibroid dan kolagen. Beberapa istilah untuk
mioma

uteri

antara

lain

fibromioma,

miofibroma,

leiomiofibroma,

fibroleiomioma, fibroma dan fibroid.2


2.2 Etiologi Mioma Uteri
Meskipun penyebab yang tepat dari mioma tidak diketahui, kemajuan
telah dibuat dalam pemahaman tentang faktor hormon, faktor genetik, faktor
pertumbuhan, dan biologi molekular dari tumor jinak.4 Faktor-faktor yang
mungkin bertanggung jawab untuk inisiasi perubahan genetik yang

ditemukan pada mioma termasuk kelainan intrinsik dari miometrium,


kongenital reseptor estrogen meningkat pada miometrium, perubahan
hormonal, atau respon terhadap cedera iskemik pada saat menstruasi. Tidak
bisa dipungkiri, perubahan genetik dipengaruhi oleh promotor (hormon) dan
efektor (growth factor).
Hormon
Estrogen dan progesteron muncul meningkatkan perkembangan
mioma. Mioma jarang diamati sebelum pubertas, yang paling lazim terjadi
selama tahun-tahun reproduksi, dan regresi setelah menopause. Faktor-faktor
yang meningkat secara keseluruhan yaitu estrogen, seperti obesitas dan
menarche dini, meningkatkan kejadian. Penurunan estrogen ditemukan
dengan latihan dan peningkatan paritas sebagai pelindung.5
Meskipun kadar estrogen dan progesteron sama pada wanita dengan
dan tanpa mioma, tingkat estradiol dalam mioma lebih tinggi daripada di
miometrium normal. Produksi de novo estrogen dalam jaringan mioma terjadi
karena peningkatan kadar aromatase, enzim yang mengubah androgen
menjadi estrogen. Rendahnya tingkat enzim yang mengkonversi estradiol
menjadi estron telah ditemukan di sel mioma dan dapat meningkatkan
akumulasi estradiol dalam sel, menyebabkan regulasi estrogen dan reseptor
progesteron, hiperresponsif estrogen, dan pertumbuhan miom. Konsisten
dengan ide ini, mioma menunjukkan indeks proliferasi lebih tinggi dari
miometrium normal sepanjang siklus menstruasi.5
Bukti biokimia, klinis, dan farmakologis mengkonfirmasi bahwa
progesteron penting dalam patogenesis mioma. Mioma telah meningkatkan
konsentrasi progesteron Reseptor A dan B dibandingkan dengan miometrium
yang normal.6
Perhitungan mitosis tertinggi ditemukan selama fase sekretorik pada
puncak produksi progesteron, dan jumlah mitosis lebih tinggi pada wanita
yang diobati dengan medroxyprogesterone asetat (MPA) daripada kelompok
kontrol yang tidak diobati.7,8 Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis

mengurangi ukuran mioma, tetapi progestin diberikan bersamaan dengan


GnRH mencegah penurunan ukuran. Satu studi menemukan bahwa
penggunaan progestin - kontrasepsi suntik berbanding terbalik dikaitkan
dengan risiko memiliki mioma.9 Mifepristone, progesteron-amodulator
reseptor, mengurangi ukuran mioma.10
Faktor Pertumbuhan
Faktor pertumbuhan, protein atau polipeptida yang diproduksi secara
lokal oleh sel otot polos dan fibroblas mengontrol proliferasi sel dan muncul
untuk merangsang pertumbuhan mioma, terutama meningkatkan matriks
ekstraseluler. Beberapa diidentifikasi sebagai faktor pertumbuhan mioma
yaitu transforming growth factor- (TGF-), faktor pertumbuhan fibroblast
dasar (bFGF), faktor pertumbuhan epidermal (EGF), faktor pertumbuhan
derivat platelet (PDGF), faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), faktor
pertumbuhan

insulin

(IGF),

dan

prolaktin. 4

Faktor

pertumbuhan

mempengaruhi sel-sel dalam cara yang kompleks, dan respon terhadap


kombinasi faktor pertumbuhan mungkin berbeda dari respon terhadap faktor
individu.
Banyak faktor pertumbuhan ini diekspresikan dalam mioma dan baik
untuk meningkatkan proliferasi otot polos (TGF-, bFGF), meningkatkan
sintesis DNA (EGF, PDGF), merangsang sintesis matriks ekstraseluler (TGF), meningkatkan mitogenesis (TGF-, EGF, IGF, prolaktin), atau
meningkatkan angiogenesis (bFGF, VEGF).4 Sangat mungkin bahwa faktor
pertumbuhan yang berhubungan dengan mioma akan ditemukan, dan itu
masih harus dilihat faktor-faktor yang akan menjadi penting.
2.3 Faktor Risiko Mioma Uteri
1.

Umur. Wanita

yang

paling

banyak

didiagnosis

dengan

mioma

berumur sekitar empat puluhan, namun tidak jelas apakah ini adalah
karena peningkatan pembentukan atau peningkatan pertumbuhan miom
sekunder terhadap perubahan hormonal selama ini.

2.

Faktor hormonal endogen. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan


meningkat (risiko relatif [RR] 1,24) dan menarche terlambat (> 16 tahun)

3.

4.

ditemukan berkurang (RR 0.68) dari resiko mioma uteri.11


Riwayat keluarga. Generasi perempuan tingkat pertama dengan mioma
memiliki 2,5 kali peningkatan risiko terkena mioma.12
Etnis. Sebuah studi besar melalui skrining pada sekelompok perempuan,
dengan mioma, melalui rekam medis, dan sonografi ditemukan bahwa
wanita Afrika - Amerika memiliki 2,9 kali risiko yang lebih besar memiliki
mioma

5.

daripada

wanita

Kaukasia,

dan

risiko ini tidak terkait dengan faktor risiko lain yang diketahui.13
Berat. Sebuah studi prospektif menemukan bahwa risiko mioma
meningkat 21% dengan setiap kenaikan 10 kg berat badan dan dengan

6.

meningkatnya indeks massa tubuh.14


Diet. Beberapa studi telah meneliti hubungan antara diet dengan kehadiran
atau pertumbuhan mioma. Satu studi menemukan bahwa daging sapi,
daging merah lainnya, dan ham meningkatkan kejadian mioma, tetapi

7.

sayuran hijau menurunkan kejadian mioma.15


Kontrasepsi oral. Tidak ada hubungan yang pasti antara kontrasepsi oral
dan kehadiran atau pertumbuhan mioma. Satu studi menemukan
peningkatan risiko mioma dengan kontrasepsi oral,16 tetapi sebuah
penelitian

8.

berikutnya

ditemukan

ada

peningkatan

risiko

dengan

penggunaan atau lamanya penggunaan.17


Kehamilan. Peningkatan paritas menurunkan kejadian dan jumlah kejadian
mioma.17 Melahirkan anak selama tahun-tahun midreproductive (usia 25
sampai

29

tahun)

memberikan

perlindungan

terbesar

terhadap

perkembangan mioma.
Pengaruh Mioma pada Kehamilan dan Persalinan
Terdapatnya mioma uteri mungkin mengakibatkan hal-hal sebagai
berikut:1
1. Mengurangi kemungkinan wanita menjadi hamil, terutama pada mioma
uteri submukosum;
2. Kemungkinan abortus bertambah;

3. Kelainan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yang besar dan
letak subserus;
4. Menghalang-halangi lahirnya bayi, terutama pada mioma yang letaknya di
serviks;
5. Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya di dalam
dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma; dan
6. Mempersulit lepasnya plasenta, terutama pada mioma yang submukus dan
intramural.
Pengaruh Kehamilan dan Persalinan pada Mioma Uteri
Sebaliknya, kehamilan dan persalinan dapat mempengaruhi mioma
uteri.1
1.

Tumor bertumbuh lebih cepat dalam kehamilan akibat hipertrofi dan


edema, terutama dalam bulan-bulan pertama, mungkin karena pengaruh

2.

hormonal. Setelah kehamilan 4 bulan tumor tidak bertambah besar lagi.


Tumor menjadi lebih lunak dalam kehamilan, dapat berubah bentuk dan
mudah terjadi gangguan sirkulasi di dalamnya, sehingga terjadi perdarahan
dan nekrosis, terutama di tengah-tengah tumor. Tumor tampak merah
(degenari merah) atau tampak seperti daging (degenerasio karnosa).
Perubahan ini menyebabkan rasa nyeri di perut yang disertai gejala-gejala
rangsangan peritoneum dan gejala-gejala peradangan, walaupun dalam hal
ini peradangan bersifat suci hama (sterile). Lebih sering lagi komplikasi
ini terjadi dalam masa nifas karena sirkulasi yang dialami oleh wanita

3.

setelah bayi lahir.


Mioma uteri subserosum yang bertangkai dapat mengalami putaran
tangkai akibat desakan uterus yang makin lama makin membesar. Torsi
menyebabkan gangguan sirkulasi yang nekrosis yang menimbulkan
gambaran klinik perut mendadak (acute abdomen).1

2.4 Patofisiologi Mioma Uteri


Mioma merupakan monoklonal dengan tiap tumor merupakan hasil
dari penggandaan satu sel otot. Etiologi yang diajukan termasuk didalamnya
perkembangan dari sel oto uterus atau arteri pada uterus, dari transformasi
6

metaplastik sel jaringan ikat, dan dari sel-sel embrionik sisa yang persisten.
Penelitian terbaru telah mengidentifikasi sejumlah kecil gen yang mengalami
mutasi pada jaringan ikat tapi tidak pada sel miometrial normal. Penelitian
menunjukkan bahwa pada 40% penderita ditemukan aberasi kromosom yaitu
t(12;14) (q15;q24). Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori
genioblast. Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada kelinci
percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan
maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat
dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau testosteron.
Pemberian agonis GnRH dalam aktu lama sehingga terjadi
hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada
pertumbhan mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh
estrogen terhadap reseptor dan faktir pertumbuhan lain. Terdapat bukti
peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor pertumbuhan epidermal
dan insulin like growth factor yang distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk,
telah mendemonstrasikan munculnya gen

yang

distimulasi

oleh

estrogen lebih banyak pada mioma daripada miometrium normal


dan mungkin penting pada perkembangan mioma. Namun buktibukti masih kurang meyakinkan karena tumor ini tidak mengalami regresi
yang bermakna setelah menopause sebagaimana yang disangka. Lebih
daripada itu tumor ini kadang-kadang berkembang setelah menopause bahkan
setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.
Mioma uteri umumnya bersifat multiple, berlobus yang tidak teratur
maupun berbentuk sferis.
Mioma uteri biasanya berbatas jelas dengan miometrium sekitarnya,
sehingga pada tindakan enukleasi mioma dapat dilepaskan dengan mudah dari
jaringan miometrium disekitarnya. Pada pemeriksaan makroskopis dari
potongan

transversal

berwarna

lebih

pucat

dibanding

miometrium

disekelilingnya, halus, berbentuk lingkaran dan biasanya lebih keras


dibandingkan jaringan sekitar dan terdapat pseudocapsule.2,18

Mioma dapat tumbuh disetiap bagian dari dinding uterus. Mioma


intramural adalah mioma yang terdapat didalam dinding uterus. Mioma
submukosum merupakan mioma yang terdapat pada sisi dalam dari kavum
uteri dan terletak dibawah endometrium. Mioma subserous adalah mioma
yang terletak di permukaan serosa dari uterus dan mungkin akan menonjol
keluar dari miometrium. Mioma subserous tidak jarang bertangkai dan
menjadi mioma geburt. Bila mioma subserous tumbuh ke arah lateral dan
meluas diantara 2 lapisan peritoneal dari ligamentum latum akan menjadi
mioma intraligamenter.2,3
2.5 Klasifikasi Mioma Uteri
Klasifikasi mioma dapat berdasarkan lokasi dan lapisan uterus yang
terkena.
1. Lokasi
Servical (2,6 %), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi
Istmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus
urinarius. Corporal (91%), merupakan lokasi paling lazim, dan seringkali
tanpa gejala.
2. Lapisan Uterus
Mioma uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasinya dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu :
a. Mioma uteri subserosa
Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan
saja, dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus
melalui tangkai. Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam
ligamentum latum dan disebut sebagai mioma intraligamenter.

Gambar 1. Klasifikasi Mioma Uteri (Faisal, 2005)

b. Mioma uteri intramural


Sering tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak
enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah bawah.
Kadang kala tumor tmbuh sebagai mioma subserosa dan kadangkadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot rahim dapat besar,
padat (jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan).
c. Mioma uteri submukosa
Terletak di bawah endometrium. Dapat pula bertangkai atau tidak.
Mioma bertangkai dapat menonjol melalui kanalis servikalis, dan pada
keadaan ini mudah menjadi torsi atau infeksi.
2.6 Gejala Klinis Mioma Uteri
Meskipun keberadaan mioma hampir tidak pernah berhubungan
dengan kematian, mioma dapat menyebabkan morbiditas dan mempengaruhi
kualitas hidup. Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35
50% pasien. Gejala yang disebabkan oleh mioma uteri tergantung pada
lokasi, ukuran dan jumlah mioma. Gejala dan tanda yarg paling sering adalah:
1. Perdarahan uterus yang abnormal.
Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang paling
sering terjadi dan paling penting. Gejala ini terjadi pada 30% pasien dengan
mioma uteri.
Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus
perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur. Menorrhagia dan atau
metrorrhagia sering terjadi pada penderita mioma uteri. Perdarahan abnormal
ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
Pada suatu penelitian yang mengevaluasi wanita dengan mioma uteri
dengan atau tanpa perdarahan abnormal, didapat data bahwa wanita dengan
perdarahan abnormal secara bermakna menderita mioma intramural (58%

banding 13%) dan mioma submukosum (21% banding 1%) dibanding dengan
wanita penderita mioma uteri yang asimptomatik.
Tabel 1.
Mekanisme Perdarahan Abnormal pada Mioma Uteri
1. Peningkatan ukuran permukaan endometrium.
2. Peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus.
3. Gangguan kontraktilitas uterus.
4. Ulserasi endometrium pada mioma submukosum.
5. Kompresi pada pleksus venosus didalam miometrium.
2. Nyeri panggul
Mioma uteri dapat menimbulkan nyeri panggul yang disebabkan oleh
karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang
bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang disebabkan mioma
subserosum. Tumor yang besar dapat mengisi rongga pelvik dan menekan
bagian tulang pelvik yaug dapat menekan saraf sehingga menyebabkan rasa
nyeri yang menyebar ke bagian punggung dan ekstremitas posterior.2
3. Penekanan
Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan terhadap
organ sekitar. Penekanan mioma uteri dapat menyebabkan gangguan
berkemih. Defekasi maupun dispareunia. Tumor yang besar juga dapat
menekan pembuluh darah vena pada pelvik sehingga menyebabkan kongesti
dan menimbulkan edema pada ekstremitas posterior.2
4. Disfungsi reproduksi
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih
belum jelas. Dilaporkan sebesar 27 40 % wanita dengan mioma uteri
mengalami infertilitas. Mioma yang terletak didaerah kornu dapat
menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio akibat
terjadinya oklusi tuba bilateral.

10

Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus


yang sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus.
Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan
disfungsi reproduksi. Gangguan implaltasi embrio dapat terjadi pada
keberadaan mioma akitrat perubahan histologi endometrium dimana terjadi
atrofi karena kompresi massa tumor.19
Tabel 2.
Mekanisme Gangguan Fungsi Reproduksi dengan Mioma Uteri
1. Gangguan transportasi gamet dan embrio.
2. Pengurangan kemampuan bagi pertumbuhan uterus.
3. Perubahan aliran darah vaskuler.
4. Perubahan hislologi endometrium.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik Mioma Uteri
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Haemoglobin : turun
Albumin

: turun

Lekosit
Eritrosit

: turun/meningkat
: turun

2. USG
Terlihat massa pada daerah uterus.
3. Vaginal Toucher
Didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa, konsistensi dan
ukurannya.
4. Sitologi
Menentukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma tersebut.,
5. Rontgen
Untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang dapat menghambat
tindakan operasi.
6. ECG

11

Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat mempengaruhi


tindakan operasi.
2.8 Diagnosis Mioma Uteri
a. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan antara lain :
Penderita seringkali mengeluh rasa berat dan adanya benjolan pada perut
bagian bawah, kadang mempunyai gangguan haid dan ada nyeri.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Pemeriksaan abdomen
Pada pemeriksaan abdomen uterus yang membesar dapat dipalpasi pada
abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan tetap, area perlunakan
memberi kesan adanya perubahan perubahan degeneratif. Mioma lebih
terpalpasi pada abdomen selama kehamilan. Perlunakan abdomen yang
disertai nyeri dapat disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal dari ruptur
vena pada permukaan tumor.
2) Pemeriksaan Pelvis
Pada pemeriksaan pelvis serviks biasanya normal. Namun, pada keadaan
tertentu, mioma submukosa yang bertangkai dapat mengawali dilatasi
serviks dan terlihat pada ostium servikalis. Uterus cenderung membesar,
tidak beraturan dan berbentuk nodul.
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis mioma uteri, sebagai berikut:
a) Ultra sonografi (USG), untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma,
ketebalan endometrium dan keadaan adneksa dalam rongga pelvis.
Mioma juga dapat di deteksi dengan computerized Tomografi Scanning
(CT) ataupun magnetic Resonance Image (MRI), tetapi kedua
pemeriksaan itu lebih mahal.
b) Foto bulk nier oversidth (BNO), intra vena pielografi (IVP)
pemeriksaan ini penting untuk menilai massa dirongga pelvis serta
menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter.
c) Histerografi dan histerokopi untuk menilai pasien mioma submukosa
disertai dengan infertilitas.

12

d) Laparoskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.


e) Laboratorium : hitung darah lengkap dan apusan darah, untuk menilai
kadar hemoglobin dan hematokrit serta jumlah leukosit.
f) Tes kehamilan adalah untuk tes hormon chorionic gonadotropin, karena
bisa membantu dalam mengevaluasi suatu pembesaran uterus, apakah
oleh karena kehamilan oleh karena adanya suatu mioma uteri yang
dapat menyebabkan pembesaran uterus menyerupai kehamilan.
Seringkali penderita mengeluh akan rasa berat dan adanya benjolan
pada perut bagian bawah. Pemeriksaan bimanual akan mengungkapkan
tumor pada uterus, yang umumnya terletak di garis tengah ataupun agak ke
samping, seringkali teraba berbenjol-benjol. Mioma subserosum dapat
mempunyai tangkai yang barhubungan dengan uterus.
Mioma intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas,
yang ditegakkan dengan pemeriksaan dengan uterus sonde. Mioma
submucosum kadang-kadang dapat teraba dengan jari yang masuk
kedalam kanalis servikali, dan terasa benjolan pada kavum uteri.
Diagnosis banding yang perlu kita pikirkan tumor abdomen di bagian
bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan. Mioma
submukosum dibedakan dengan suatu adenomiosis, khoriokarsinoma,
karsinoma korposis uteri atau suatu sarcoma uteri. USG abdominal dan
transvaginal dapat membantu dan menegakkan dugaan klinis.
2.9 Komplikasi Mioma Uteri
1. Degenerasi ganas
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6%
dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarcoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histology uterus
yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma
uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam
menopause.
2. Torsi (putaran tangkai)
13

Mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi


akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom
abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak
terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan dimana
terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum.
2.10 Penatalaksanaan Mioma Uteri
Secara umum penatalaksanaan mioma dibagi atas 2 metode :
1. Terapi Medisinal (hormonal)
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormon (GnRH) agonis
memberikan hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis yang ditimbulkan
oleh mioma uteri.
Pemberian GnRH agonis bertujuan untuk mengurangi ukuran rnioma
dengan jalan mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Dari suatu
penelitian rnultisenter didapati data pada pemberian GnRH agonis selama 6
bulan pada pasien dengan mioma uteri didapati adanya pengurangan volume
mioma sebesar 44%. Efek maksimal pernberian GnRH agonis baru terlihat
setelah 3 bulan. Pada 3 bulan berikutnya tidak terjadi pengurangan volume
mioma secara bermakna.20
Terapi hormonal lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat
progesteron akan mengurangi gejala perdarahan uterus yaug abnormal namun
tidak dapat mengurangi ukuran dari mioma.20
2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang
menimbulkan gejala. Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) dan American Society for Reproductive Medicine
(ASRM) indikasi pembedahan pada pasien dengan mioma uteri adalah :21
1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif.
2. Sangkaan adanya keganasan.
3. Pertumbuhan mioma pada masa menopause.
4. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba.

14

5. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.


6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.
7. Anemia akibat perdarahan.
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun
histerektomi.
a. Miomektomi
Miomektomi

sering

dilakukan

pada

wanita

yang

ingin

mempertahankan fungsi reproduksinya. Tindakan miomektomi dapat


dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun dengan laparoskopi.22
Pada laparotorni, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk
mengangkat mioma dari uterus.
Keunggulan melakukan miomektomi adalah lapangan pandang
operasi yang lebih luas sehingga penanganan terhadap perdarahan yang
mungkin timbul pada pembedahan miomektomi dapat ditangani dengan
segera.
Namun

pada

miomektomi

secara

laparotomi

resiko

terjadi

perlengketan lebih besar, sehingga akan rnempengaruhi faktor fertilitas pada


pasien. Disamping itu masa penyembuhan paska operasi juga lebih lama,
sekitar 4 - 6 minggu.23
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma
submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah
masa penyembuhan paska operasi (2 hari). Komplikasi operasi yang serius
jarang terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus,
ketidakseimbangan elektrolit dan perdarahan.24
Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi.
Mioma yang bertangkai diluar kavurn uteri dapat diangkat dengan mudah
secara laparoskopi.
Keunggulan laparoskopi adalah masa penyembuhan paska operasi
yang lebih cepat antara 2-7 hari.

15

Sampai saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan prosedur


standar bagi wanita dengan mioma uteri yang masih ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya.24
b. Histerektomi
Tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat dilakukan
dengan 3 cara yaitu dengan pendekatan abdominal (laparotomi), vaginal, dan
pada beberapa kasus secara laparoskopi. Tindakan histerektomi pada pasien
dengan mioma uteri merupakan indikasi bila didapati keluhan menorrhagia,
metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus
sebesar usia kehamilan 12 - 14 minggu.23
Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total
abdominal histerektomi (TAH) dan subtotal abdominal histerektomi (STAH).
Subtotal abdominal histerektomi dilakukan untuk menghindari resiko operasi
yang lebih besar seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter,
kandung kemih, rektum.
Histerektomi juga dapat dilakukan melalui pendekatan dari vagina,
dimana tindakan operasi tidak melalui insisi pada abdomen. Oleh karena
pendekatan operasi tidak melalui dinding abdomen, maka pada histerektomi
vaginal tidak terlihat parut bekas operasi sehingga memuaskan pasien dari
segi kosmetik.23
Salah satu tujuan melakukan histerektomi laparoskopi adalah untuk
mengalihkan prosedur histerektomi abdominal kepada histerektomi vaginal
atau histerektomi laparoskopi secara keseluruhan. Histerektomi vaginal
dengan

bantuan

laparoskopi

(Laparoscopically

assisted

vaginal

histerectomy/LAVH). Dan pada tahun l99l Semm memperkenalkan tehnik


classic intrafascial serrated edged macromrcellated hysterectomy (CISH)
tanpa colpotomy. Keunggulan dari CISH adalah mengurangi resiko trauma
pada ureter dan kandung kemih, perdarahan yang lebih minimal, waktu
operasi yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih rninimal dan masa
penyernbuhau yang cepat.25

16

Jadi, terapi yang terbaik untuk mioma uteri adalah melakukan


histerektomi. Dari berbagai pendekatan, prosedur histerektomi laparoskopi
memiliki kelebihan dimana resiko perdarahan yang lebih minimal, masa
peayembuhan yarg lebih cepat dan angka morbiditas yang lebih rendah
dibanding prosedur histerektomi abdominal.
Pada umumnya tidak dilakukan operasi untuk mengangkat mioma
dalam kehamilan. Demikian pula tidak dilakukan abortus provokatus. Apabila
terjadi degenerasi merah pada mioma dengan gejala-gejala seperti disebut
diatas, biasanya sikap konservatif dengan istirahat-baring dan pengawasan
yang ketat memberi hasil yang cukup memuaskan. Antibiotika tidak banyak
gunanya karena proses peradangannya bersifat suci hama. Akan tetapi,
apabila dianggap perlu, dapat dilakukan laparotomi percobaan dan tindakan
selanjutnya disesuaikan dengan apa yang ditemukan waktu perut dibuka.
Apabila mioma menghalang-halangi lahirnya janin, harus dilakukan seksio
sesarea. Dalam masa nifas mioma dibiarkan kecuali apabila timbul gejalagejala akut yang membahayakan. Pengangkatannya dilakukan secepatcepatnya setelah 3 bulan; akan tetapi pada saat itu mioma kadang-kadang
sudah demikian mengecil sehingga tidak memerlukan pembedahan.1
2.11 Komplikasi Pasca Operasi

Gangguan dapat terjadi setiap saat pada periode pasca operasi, tetapi
paling sering terjadi antara hari-hari pasca operasi kelima dan kedua belas.
Pada pasien dengan masalah gangguan penyembuhan dapat terjadi jauh di
kemudian hari. Ini dapat terjadi segera setelah jahitan kulit dibuka. 26,27 Jika
terjadi sebelum hari ketujuh, mungkin dianggap patognomonik dari
dehiscence. Pasien harus segera dibawa ke ruang operasi untuk menjalani
eksplorasi luka di bawah anestesi. Ketika saat operasi dihasilkan suatu
hematoma, dapat dievakuasi dan bagian dangkal luka resutured tanpa
menimbulkan bahaya, tetapi jika ada gangguan pada kenyataannya, luka
dapat

segera

resutured

dengan

risiko

minimal

dan

17

ketidaknyamanan kepada pasien. Dengan tidak adanya infeksi luka


resutured penyembuhan akan lebih cepat daripada luka primer.29
Pada beberapa pasien gangguan berat dan tiba-tiba, dimana terjadi
penonjolan usus melalui luka ke permukaan abdomen. 26 Pengobatan yang
tepat melindungi usus dengan handuk steril, segera pemberian narkotik,
intravena jika mungkin, dan segera dilakukan operasi.
Sebab-sebab terbukanya luka operasi pasca pembedahan ialah luka
tidak dijahit dengan sempurna, distensi perut, batuk atau muntah berat,
infeksi, dan debilitas si penderita. Jika hal-hal tersebut ditemukan, harus
waspada terhadap kemungkinan terbukanya luka operasi.
Adanya disrupsi luka operasi dicurigakan dengan adanya rasa nyeri
setempat, menonjolnya luka operasi, dan keluarnya cairan serosanguinolen.
Pada pemeriksaan dapat dilihat usus halus dalam luka, atau apabila jahitan
kulit tidak terbuka dapat diraba massa yang lembek di bawah kulit.
Setelah diagnosis ditetapkan, maka setelah diadakan persiapan
seperlunya, dilakukan reposisi isi rongga perut dan diadakan jahitan-jahitan
yang menembus semua lapisan dari kulit sampai dengan peritoneum dengan
sutra atau nilon kuat.30
Faktor Faktor Dalam Penyembuhan Luka

Dapat dibagi menjadi tiga kelompok : (1) sistemik, seperti anemia


berat, (2) lokal, seperti infeksi, atau teknik saat membuat dan menjahit
sayatan bedah, dan (3) pasca operasi, seperti distensi abdomen.
1. Sistemik
Hypoproteinemia, terutama hipoalbumin
Anemia
Defisiensi vitamin C
Terapi Steroid
Infeksi
Usia tua
2. Lokal

18

Hemostasi yang buruk


Persiapan darah
Tepi luka yang tidak rata
Tehnik membuat dan menutup insisi
3. Post Operasi
Batuk
Muntah
Distensi abdomen
Proses Penyembuhan Luka Pasca Operasi
Proses penyembuhan luka pasca operasi pada dasarnya adalah sama.
Proses fisiologis penyembuhan luka meliputi: respon inflamasi akut terhadap
cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi. 31 Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit atau jaringan parut mampu atau
tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas normal. Seluruh kegiatan
penyembuhan luka diatur oleh serangkaian reaksi yang kompleks. 32
Respon organisme terhadap kerusakan jaringan/organ serta usaha
pengembalian kondisi homeostasis sehingga dicapai kestabilan fisiologis
jaringan atau organ yang pada kulit terjadi penyusunan kembali jaringan kulit
ditandai dengan terbentuknya epitel fungsional yang menutupi luka. 33

Tahapan Penyembuhan Luka


Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi
atas :
Fase koagulasi : setelah luka terjadi, terjadi perdarahan pada daerah luka
yang diikuti dengan aktifasi kaskade pembekuan darah sehingga terbentuk
klot hematoma. Proses ini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase
inflamasi.
Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu
menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah
infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang
19

membentuk klot hematom mengalami degranulasi, melepaskan faktor


pertumbuhan seperti platelet derived growth factor

(PDGF) dan

transforming growth factor (TGF), granulocyte colony stimulating factor


(G-CSF), C5a, TNF, IL-1 dan IL-8. Leukosit bermigrasi menuju daerah
luka. Terjadi deposit matriks fibrin yang mengawali proses penutupan luka.
Proses ini terjadi pada hari 2-4.
Fase proliperatif : Fase proliperatif terjadi dari hari ke 4-21 setelah trauma.
Keratinosit disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi hubungan
desmosomal antara keratinosit pada membran basal menyebabkan sel
keratin bermigrasi kearah lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi
dengan matriks protein ekstraselular (fibronectin,vitronectin dan kolagen
tipe I). Faktor proangiogenik dilepaskan oleh makrofag, vascular
endothelial growth factor (VEGF) sehingga terjadi neovaskularisasi dan
pembentukan jaringan granulasi.
Fase remodeling : Remodeling merupakan fase yang paling lama pada
proses penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi
kontraksi luka, akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin
mikrofilamen yang memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan
luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling kolagen. Kolagen tipe III
digantikan kolagen tipe I yang dimediasi matriks metalloproteinase yang
disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada masa 3 minggu
penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan jaringan
normal.34

20

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Anamnesis
Identitas Pasien :
Nama

: Ny. M

Umur

: 36 tahun

Agama

: Islam

Pendidikan Terakhir : SMA


Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Suku

: NTB

Alamat

: Jl. Cipto Mangunkusumo RT. 17 Sengkotek

Masuk Rumah Sakit : 21 Januari 2013. Pukul. 11.00 WITA.


Keluhan Utama

: Nyeri pada perut bagian bawah.

Riwayat Penyakit Sekarang : Nyeri pada perut bagian bawah saat haid sejak + 1
tahun yang lalu. Nyeri dirasakan tembus hingga ke belakang. Nyeri dirasakan
makin bertambah berat sejak 3 bulan terakhir dan dirasakan juga saat pasien tidak
haid. Pasien juga mengeluhkan saat haid, darah yang keluar berlebih, sampai lebih
3 kali ganti pembalut per hari dan dialami hingga 6 hari. Saat BAK pasien
mengeluh sakit dan air kemih keluar sedikit-sedikit sejak 3 bulan yang lalu dan
sudah dibawa berobat ke dokter dan mendapatkan pengobatan. Tidak ada keluhan
BAB.
Riwayat Penyakit Dahulu

: Infeksi Saluran Kencing 3 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga : Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Asma (-).
Riwayat Menstruasi :
Usia Menarche

: 16 tahun.

Lama haid

: + 3 hari.

Jumlah darah haid

: 2 kali ganti pembalut per hari.

21

Status Perkawinan

Menikah 1 kali. Lama pernikahan 16 tahun. Usia pertama kali menikah 20 tahun.
Riwayat Obstetri :
1. 2004/3 bulan/abortus.
2. 2005/2 bulan/abortus.

Riwayat Keluarga Berencana :


Metode KB yang pernah di pakai : suntik 3 bulan selama + 1 tahun.
3.2 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Komposmentis, GCS E4V5M6

Tekanan Darah

: 100/70 mmHg

Frekuensi Nadi

: 78 kali per menit, regular, isi cukup, kuat angkat.

Frekuensi Nafas

: 19 kali per menit, regular

Suhu

: 36,1 oC aksilar

Kepala
Mata
Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil isokor 3 mm/3mm, Refleks cahaya (+/+)
Hidung
Deviasi septum nasi (-)
Pernapasan cuping hidung (-)
Telinga
Gangguan pendengaran (-)
Mulut
Sianosis (-)
Pucat (-)
Leher

22

Deviasi trakea (-)


Pembesaran KGB (-)
Thoraks

Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi ICS (-), Pelebaran ICS (-)
Palpasi : Gerakan dada simetris.
Perkusi
:
D
Sonor
Sonor
Sonor

S
Sonor
Sonor
Sonor

Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Ictus cordis tidak tampak


: Ictus cordis teraba
: batas jantung kanan : parasternal line ICS III dekstra,
batas jantung kiri : midclavicula line ICS V sinistra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat.
Palpasi
: Soefl, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-).
Nyeri tekan pada daerah simpisis (+).
Perkusi
: timpani di seluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+), edema (-)
Inferior
: Akral hangat (+), edema (-)
Pemeriksaan Ginekologi.
Inspeksi : Flat.
Palpasi

: Teraba massa (+) pada abdomen.


Nyeri tekan pada daerah simpisis.

3.3 Pemeriksaan Penunjang

23

Pemeriksaan Laboratorium
Darah lengkap 21 Januari 2013 :
Hemoglobin

: 12,8 gr/dl

Leukosit

: 8.000 /mm3

Hematokrit

: 40 %

Trombosit

: 318.000

BT

: 2

CT

: 8

Kimia darah :
Gula Darah Sewaktu

: 92 mg/dl

Ureum

: 29,8 mg/dl

Creatinin

: 0,6 mg/dl

Pemeriksaan Foto Thorax tanggal 1 Oktober 2012 :


Sinus, diaphragma dan cor normal.
Pulmo : corakan bronchovaskuler agak ramai, terutama paracardial. Hil agaknya
baik. Tidak tampak cavitas bercak ataupun pleural effusion.
Tidak tampak kelainan ossa thoracis.
Kesan : Thorax foto dalam batas normal.

Pemeriksaan USG tanggal 27 September 2012 :

24

Uterus : besar, ukuran total 8,7 x 14,2 cm, inhomogen dan difundusnya ada mass
dengan ukuran total 6,2 x 6,4 cm. Ada cysta di dekstra ukuran 6,2 x 7 cm.
Liver, gall bladder, pancreas, spleen, kedua kidney, urinary bladder dan caecum
tidak tampak kelainan. Tidak ada ascites intra abdomen et pelvis.
Kesan : Uterus mass, Suspect Myoma.
Cysta Ovarium Dextra.
3.4 Diagnosis :
Mioma Uteri, Kista Ovarium Dekstra.

WAKTU
21/01/13
11.00

OBSERVASI
Menerima pasien baru dari poli dengan diagnosis Mioma Uteri
Rencana laparotomi tanggal 23 Januari 2013.
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 78 x/i
Pernafasan
: 19x/i
Suhu : 36,1 oC
Konsul ke dr. Sp. OG, advis :
- Besok pasien dibawa ke poli jam 10.00 WITA
- Pro laparotomi

25

18.00

Tanda Vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 70 x/i
Pernafasan
: 20x/i
Suhu : 36,7 oC
Pasien dipindahkan ke ruang nifas.

22.00

Tanda Vital :
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Pernafasan
: 16x/i

Nadi : 72 x/i
Suhu : 36,4 oC

Tanda Vital :
Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 68 x/i

22/01/13
07.00
12.00
17.00
23-01-2013
07.00
09.00
15.20
15.30
17.00

17.45
19.00
19.45
20.00

Pernafasan
: 21x/i
Suhu : 36,2 oC
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 60 x/i
Pernafasan
: 19x/i
Suhu : 36 oC
Lapor dr. Sp. An, persiapan operasi :
- Siapkan darah WB 1 kolf.
Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/i

Pernafasan
: 22x/i
Suhu : 36 oC
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 x/i
Pernafasan
: 18x/i
Suhu : 36,8 oC
Pasien di antar ke OK.
Pasien di jemput dari OK.
Tekanan Darah : 100/60 mmHg Nadi : 60 x/i
Pernafasan
: 22x/i
Suhu : 36,2 oC
Pasien mengeluh menggigil. Mual dan muntah.
Rencana transfusi PRC 1 kolf.
Tekanan Darah : 100/60 mmHg Nadi : 72 x/i
Pernafasan
: 24x/i
Suhu : 35,1 oC
Akral dingin.
Urin Tampung = 1150 cc/5 jam.
Lapor dr. Jaga, advis :
- Guyur RL 200 cc dalam 10 menit.
- Injeksi Ranitidin 1 amp (ekstra).
Infus RL hangat 20 tetes per menit.
Tekanan Darah : 120/80 mmHg Nadi : 74 x/i
Pernafasan
: 24x/i
Suhu : 36,2 oC
Skin test Cefotaxim. Hasil (-).
Injeksi Cefotaxim 1 gr IV.
Injeksi Alinamin F 1 ampul IV.
Injeksi Antrain 1 ampul IV.

26

24/1/2013
00.15

Pasien mual dan muntah.


Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Pernafasan

: 22x/i

Nadi : 86 x/i

Suhu : 36,5 oC

Lapor dr. Jaga, advis :

00.20
04.00
06.00
Hb : 5,6
10.00
10.15
12.00
15.45
18.00
25-01-2013
06.00
20.00
21.00
26-01-2013
11.00
19.00
27-01-2013
07.00
18.00
28-01-2013
07.00

Posisi baring setengah duduk.


Injeksi Ranitidin 1 amp IV.
Injeksi Metoclopramide 1 amp diencerkan 5 cc IV pelan.
Memberikan injeksi Ranitidin 1 ampul IV.
Memberikan injeksi Metoclopramide 1 amp diencerkan 5 cc IV.
Injeksi Cefotaxim 1 ampul IV.
Injeksi Alinamin F 1 ampul IV.
Injeksi Antrain 1 ampul IV.
Tekanan Darah : 110/60 mmHg Nadi : 60 x/i
Pernafasan
: 19x/i
Suhu : 36 oC
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Pernafasan
: 24x/i
Transfusi PRC 1 kolf ke I.

Nadi : 84 x/i
Suhu : 37 oC

Injeksi Cefotaxim 1 ampul IV.


Injeksi Alinamin F 1 ampul IV.
Injeksi Antrain 1 ampul IV.
Transfusi darah PRC 1 kolf ke II.
Tekanan Darah : 130/90 mmHg Nadi : 87 x/i
Pernafasan
: 21x/i
Suhu : 36,2 oC
Tekanan Darah : 110/70 mmHg Nadi : 86 x/i
Pernafasan
: 24x/i
Suhu : 37,4 oC
Hb : 7,7 g/dl.
Tekanan Darah : 130/80 mmHg Nadi : 92 x/i
Pernafasan
: 24x/i
Suhu : 37,5 oC
Oral Paracetamol 1 tab pro transfusi.
Transfusi darah PRC 1 kolf (III).
Hb : 8,8 g/dl.
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Pernafasan
: 24x/i
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Pernafasan
: 21x/i
Transfusi darah PRC 1 kolf (IV)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Pernafasan
: 20x/i

Nadi : 84 x/i
Suhu : 37 oC
Nadi : 78 x/i
Suhu : 37,1 oC
Nadi : 80 x/i
Suhu : 37,2 oC

Tekanan Darah : 140/80 mmHg Nadi : 84 x/i


Pernafasan
: 24x/i
Suhu : 36,1 oC
Tekanan Darah : 130/90 mmHg Nadi : 87 x/i
Pernafasan
: 19x/i
Suhu : 36 oC

27

Luka operasi terbuka. Tampak lemak hingga omentum.


09.00

Lapor dr. Sp. OG, advis :


- Repair ulang luka operasi di OK IGD.

11.00

Pasien diantar ke OK IGD.


Hb : 8,8 g/dL.
Siapkan darah PRC II Kolf.

Laporan Operasi :
Tanggal operasi

: 23 Januari 2013

Waktu operasi

: 12.10 14.40 WITA

Macam operasi

: Operasi besar, elective

Diagnosis pre-operasi

: Tumor Uterus + Kista Ovarium Dekstra

Diagnosis post-operasi : Tumor Uterus + Kista Ovarium Dekstra


Nama/Macam operasi

: HT SOD

Laporan Operasi
1.
2.
3.
4.

Mengkaji ulang indikasi operasi.


Memberikan informed consent pada pasien dan keluarga.
Pasien disiapkan di atas meja operasi dan diberi anastesi general.
Dilakukan disinfeksi dinding abdomen dengan alkohol dan betadine,

5.

kemudian lapangan operasi dipersempit dengan duk steril.


Dibuat insisi mediana sepanjang + 12 cm, lapis demi lapis (kutis, subkutis,
lemak, fascia transversalis, M. Obliqus Externus, M. Rektus Abdominalis, M.

6.

Pyramidalis, M. Obliqus Internus, M. Transversal Abdominalis, Peritonium).


Tampak uterus besar, terdapat perlekatan dengan uterus, konsul Sp. BU (dr.

7.
8.

Elvis, Sp. BU).


Bebaskan perlekatan.
Dipisahkan vesika urinaria dengan operator kemudian disisihkan dengan

9.

menggunakan hak.
Dilakukan histerektomi dan salpingooporektomi dekstra dengan ukuran + 10

10.
11.
12.
13.

cm.
Ovarium kiri drilling.
Dilakukan eksplorasi untuk melihat perdarahan dan dilakukan kaulter.
Membersihkan rongga abdomen dengan NaCl 0,9 %.
Menjahit lapisan dinding abdomen dengan jahitan lapis demi lapis.
a. Peritoneum dengan catgut plain 2.0
b. Otot dengan catgut plain 2.0
28

c. Fascia dengan vycril 1.0


d. Lemak dengan catgut plain 2.0
e. Subcutis dengan vycil 3.0
14. Permukaan abdomen dibersihkan dengan NaCl 0,9%.
15. Luka ditutup dengan kassa steril, wound dress, kemudian ditutup dengan
plester.
16. Dilakukan balance cairan.
Terapi Post Operasi :
Infus ringer laktat 32 tetes per menit
Antibiotik : Injeksi Cefotaxim 1 gram/8 jam/IV
Injeksi Alinamin F 1 ampul/8 jam/IV
Injeksi Antrain 1 ampul/8 jam/IV
Pronalges Supp II/Rectal.
Tranfusi darah PRC 2 kolf.
Cek Hb 4 jam post transfuse darah.
Bila Hb < 8 g/dl transfusi lagi 2 kolf darah.

Follow up Ruangan :
Tanggal 24 Januari 2013.
Keluhan : Mual (+), muntah (+), nyeri pada bekas luka operasi, BAK (-),
BAB (-), Flatus (+). Keluhan lain (-).
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum

= sedang

Tekanan Darah

= 160/100 mmHg

Nadi

= 98 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

= 22 kali per menit

Suhu

= 36,4 oC per aksila

Konjungtiva Anemis

= +/+

Bising usus

=+

Diagnosis : Mioma Uteri + Kista Ovarium Dekstra Post HT SOD hari ke - 1.


Penatalaksanaan :
29

Cek Hb

Infus ringer laktat 20 tetes per menit


Injeksi cefotaxim 3 x 1 gram IV
Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul IV
Injeksi ondansentron 2 x 1 ampul IV
Injeksi alinamin F 3 x 1 ampul IV

Tanggal 25 Januari 2013


Keluhan : Mual (+), muntah (+), nyeri pada bekas luka operasi, BAK (-), BAB (-)
Keluhan lain (-)
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum

= sedang

Tekanan Darah

= 150/100 mmHg

Nadi

= 96 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

= 21 kali per menit

Suhu

= 36,6 oC per aksila

Konjungtiva Anemis

= +/+

Bising Usus

=+

Diagnosis : Mioma Uteri + Kista Ovarium Dekstra Post HT SOD hari ke - 2.


Penatalaksanaan :
-

Infus ringer laktat 20 tetes per menit


Injeksi cefotaxim 3 x 1 gram IV
Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul IV
Injeksi ondansentron 2 x 1 ampul IV
Injeksi alinamin F 3 x 1 IV

Tanggal 26 Januari 2013


Keluhan : Mual (+), muntah (+), nyeri bekas luka operasi, BAK (+), BAB (+),
keluhan lain (-).
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum

= sedang

Tekanan Darah

= 130/80 mmHg

Nadi

= 84 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

= 21 kali per menit

30

Suhu

= 36, 4 oC per aksila

Konjungtiva Anemis

= -/-

Diagnosis : Mioma Uteri + Kista Ovarium Dekstra Post HT SOD hari ke - 3.


Penatalaksanaan :
-

Lepas infus terpasang penflon


Injeksi cefotaxim 3 x 1 gram IV
Injeksi ondansentron 2 x 1 ampul IV
Oral antasida sirup 3 x 1C
Lepas kateter

Tanggal 28 Januari 2013


Keluhan : Nyeri pada bekas luka operasi.
Mual (+), muntah (+). Keluhan lain (-).
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum

= sedang

Tekanan Darah

= 140/80 mmHg

Nadi

= 84 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

= 22 kali per menit

Suhu

= 36, 6 oC per aksila

Konjungtiva anemis

= -/-

Saat ganti perban, terlihat keluar lemak hingga omentum.


Diagnosis : Mioma Uteri + Kista Ovarium Dekstra Post HT SOD hari ke - 5.
Burst Abdomen.
Penatalaksanaan :
-

Observasi
Rencana perbaikan luka operasi di OK IGD
Siapkan darah PRC 2 kolf

Laporan Operasi :
Tanggal operasi

: 28 Januari 2013

Waktu operasi

: 12.30 13.30 WITA

Macam operasi

: Operasi sedang, emergency

Diagnosis pre-operasi

: Burst Abdomen

31

Diagnosis post-operasi : Post Repair Burst Abdomen


Nama/Macam operasi

: Repair ulang luka operasi

Terapi Post Operasi :


Infus ringer laktat 20 tetes per menit
Injeksi cefotaxim 3 x 1 gr IV mulai pukul 20.00 WITA
Injeksi ketorolac 3 x 1 gr IV mulai pukul 20.00 WITA
Drip metronidazole 3 x 1 gr
Drip tradosik 3 x 1 ampul dalam ringer laktat
Injeksi metoclopramide 3 x 1 gr IV
Jika mual, ekstra injeksi granon 1 ampul IV
Jika batuk, oral codein 3 x 1 tablet
Mobilisasi bertahap
Diet TKTP
Drip Neurosanbe 1 ampul per hari dalam ringer laktat
Bila masih mual muntah konsultasi dengan dokter Spesialis Penyakit Dalam
Transfusi darah PRC 2 kolf

Follow up Ruangan :
Tanggal 29 Januari 2013
Keluhan : Mual (+), muntah (+), BAK (+), BAB (-). Keluhan lain (-)
Pemeriksaan Fisik :
Tekanan Darah = 120/70 mmHg
Nadi

= 82 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

= 22 kali per menit

Suhu

= 36,8 oC per aksila

Diagnosis : Mioma Uteri + Kista Ovarium Dekstra Post HT SOD hari ke 6 dan
Post Re-Hecting hari ke - 1.
Penatalaksanaan :
-

Drip tradosik 3 x 1 ampul dalam infus ringer laktat


32

Injeksi cefotaxim 3 x 1 gram IV


Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul IV
Injeksi metoclopramide 3 x 1 ampul IV
Oral antasida sirup 3 x 1C
Diet lunak
Lepas kateter

Tanggal 30 Januari 2013


Keluhan : Nyeri luka operasi. Mual (+), muntah (-). Keluhan lain (-).
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum

= sedang

Tekanan Darah

= 110/60 mmHg

Nadi

= 78 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

= 19 kali per menit

Suhu

= 36,6 oC per aksila

Konjungtiva anemis

= -/-

Diagnosis : Mioma Uteri + Kista Ovarium Dekstra Post HT SOD hari ke 7 dan
post Re-Hecting hari ke-2.
Penatalaksanaan :
-

Drip tradosik 3 x 1 dalam infus ringer laktat


Injeksi cefotaxim 3 x 1 gram IV
Injeksi metoclopramide 3 x 1 amp IV
Oral antasida sirup 3 x 1C

Tanggal 31 Januari 2013


Keluhan : Mual (+), muntah (-). Nyeri bekas luka operasi. Batuk kering, BAK (+),
BAB (+).
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum = baik
Tekanan Darah = 110/60 mmHg
Nadi

= 74 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

= 18 kali per menit

Suhu

= 36 oC per aksila

33

Diagnosis : Mioma Uteri + Kista Ovarium Dekstra Post HT SOD hari ke 8 dan
post Re-Hecting hari ke-3.
Penatalaksanaan :
-

Infus di lepas terpasang penflon


Injeksi cefotaxim 3 x 1 gram IV
Oral asam mefenamat 3 x 500 mg
Oral antasida sirup 3 x 1C
Oral DMP sirup 3 x 1C

Tanggal 1 Februari 2013


Keluhan : Mual (-), muntah (-). Nyeri bekas luka operasi. Batuk kering, BAK (+),
BAB (+).
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum

= Baik

Tekanan Darah

= 120/70 mmHg

Nadi

= 82 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

= 18 kali per menit

Suhu

= 36,5 oC.

Konjungtiva anemis

= (-/-)

Diagnosis : Mioma Uteri + Kista Ovarium Dekstra Post HT SOD hari ke 9 dan
post Re-Hecting hari ke-4.
Penatalaksanaan :
-

Oral cefadroxil tablet 2 x 1


Oral asam mefenamat 3 x 500 mg
Oral antasida sirup 3 x 1C
Oral DMP sirup 3 x 1C
Pasien pulang

34

BAB IV
PEMBAHASAN
Teori
Kasus
- Perdarahan uterus yang abnormal, - Saat haid, darah yang keluar berlebih,
gejala klinis paling sering terjadi.

> 3 kali ganti pembalut per hari dan

Siklus perdarahan haid yang teratur

dialami hingga 6 hari.

dan tidak teratur. Menorrhagia dan - Nyeri pada perut bagian bawah saat
atau metrorrhagia sering terjadi pada

haid sejak + 1 tahun yang lalu. Nyeri

penderita mioma uteri.


- Mioma uteri dapat menimbulkan nyeri

dirasakan tembus hingga ke belakang.

panggul disebabkan karena degenerasi


akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi
dari mioma yang bertangkai maupun

Nyeri dirasakan makin bertambah


berat sejak 3 bulan terakhir dan
dirasakan juga saat pasien tidak haid.
- Saat BAK pasien mengeluh sakit dan

akibat kontraksi miometrium yang

air kemih keluar sedikit-sedikit.


disebabkan mioma subserosum.
- Riwayat obstetri : pasien mengalami
- Penekanan mioma uteri dapat
dua kali abortus.
menyebabkan gangguan berkemih.
Defekasi maupun dispareunia.

35

- Disfungsi

reproduksi.

Dilaporkan

sebesar 27 40 % wanita dengan


mioma uteri mengalami infertilitas.
Pemeriksaan USG :

Hasil USG :

Terlihat massa pada daerah uterus.

Uterus mass, Suspect Myoma.


Cysta Ovarium Dextra

Pasien Ny. M, usia 36 tahun, datang ke Spesialis Kandungan dengan


keluhan nyeri pada perut bagian bawah sejak + 1 tahun yang lalu, dimana
nyeri dirasakan saat pasien haid ataupun tidak haid. Setelah dianamnesis lebih
dalam dan dilakukan pemeriksaan ginekologi serta dilakukan pemeriksaan
penunjang, pasien didiagnosis mioma uteri dengan kista ovarium dekstra,
sehingga pada penanganannya dipilih tindakan operasi yaitu histerektomi
salpingooforektomi dekstra. Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) dan American Society for Reproductive Medicine
(ASRM) indikasi pembedahan pada pasien dengan mioma uteri adalah terjadi
perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif, sangkaan
adanya keganasan, pertumbuhan mioma pada masa menopause, infertilitas
karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba, nyeri dan
penekanan yang sangat menganggu, gangguan berkemih maupun obstruksi
traktus urinarius, serta anemia.
Menurut Thompson (1997), tindakan histerektomi pada pasien dengan
mioma uteri merupakan indikasi bila didapati keluhan menorrhagia,
metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus
sebesar usia kehamilan 12 - 14 minggu.
Pada pasien Ny. M, di hari ke-5 post histerektomi salpingooforektomi
dekstra, pasien mengalami komplikasi post operasi, yaitu terjadi burst
abdomen, dimana jahitan bekas operasi terbuka hingga bagian omentum
terlihat di luar abdomen. Hal ini terjadi, dikarenakan setelah post operasi
histerektomi salpingooforektomi dekstra, pasien mengalami muntah yang
hebat dan tidak membaik walaupun diberi antiemetik. Dimana muntah hebat
merupakan salah satu faktor penyebab terjadi komplikasi post operasi yaitu
36

burst abdomen. Setelah diketahui mengalami komplikasi post operasi, segera


dilakukan operasi emergency berupa repair hecting pada pasien. Dan setelah
perawatan hari ke-9 pasien membaik dan pulang.
Mayo (1995) menyebutkan komplikasi pasca operasi dapat terjadi
setiap saat, tetapi paling sering terjadi antara hari-hari pasca operasi kelima
dan kedua belas. Menurut Winkjosastro (2007) sebab-sebab terbukanya luka
operasi pasca pembedahan ialah luka tidak dijahit dengan sempurna, distensi
perut, batuk atau muntah berat, infeksi, dan debilitas si penderita. Jika hal-hal
tersebut ditemukan, harus waspada terhadap kemungkinan terbukanya luka
operasi. Perlu dilakukan reposisi isi rongga perut dan diadakan jahitan-jahitan
yang menembus semua lapisan dari kulit sampai dengan peritoneum dengan
sutra atau nilon kuat sesegera mungkin.

37

BAB V
PENUTUP
Pasien wanita Ny. M, usia 36 tahun, berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan ginekologi dan pemeriksaan penunjang didiagnosis dengan
mioma uteri dengan kista ovarium dekstra, dan untuk penatalaksanaannya
dipilih histerektomi salpingooforektomi dekstra. Dari anamnesis, pemeriksaan
ginekologi, diagnosis beserta penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai
dengan literatur.

38

DAFTAR PUSTAKA

1.

Winkjosastro. H. Penyakit dan Kelainan Alat kandungan dalam Ilmu


Kebidanan Edisi III. Jakarta: Bina Pusaka. 2007; 30:421-425.

2. Budi R. H. Mioma Uteri dalam Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38.


No. 3. Medan: Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
USU RSUP H. Adam Malik. 2005; p:254-259
3.

Michael S. Eisenstat, M.D. Stanley O. Hoerr, M.D. Causes and Management


of Surgical Wound Dehiscence. p:33-42.

4.

William H. Parker, M.D. Etology, Symptomatology and Diagnosis Of Uterine


Myomas. California: Departement of Obstetrics and Gynecology, UCLA
School of Medicine. 2007. 87: p725-736.

5.

Edward E. Wallach, MD, and Nikos F. Vlahos, MD. Uterine Myomas: An


Overviewof Development, Clinical Features, and Management. American
college of Obstetricians and Gynecologist. 2004. 104: p393-406.

6.

Pranoto, Ibnu. Histerektomi Vaginal sebagai cara Pengangkatan Kandungan


untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Wanita.

7.

Januadi, E Judi. 9 Keluhan Usai Sesar dan Mengatasinya. Jakarta: RS


Subroto.

39

8.

Budi R. H. Laparoskopi pada Kista Ovarium dalam Majalah Kedokteran


Nusantara Volume 38. No. 3. Medan: Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam Malik. 2005; p:260-263.

9.

Winkjosastro. H. Prinsip Prinsip Pembedahan dalam Ilmu Kandungan


Edisi II. Jakarta: Bina Pusaka 2007; 24:670-672.

10. Said, Syahrul; Taslim N.A; dan Bahar B. Gizi dan Penyembuhan Luka.
Indonesia Academic Publishing. 2013.

1.

Winkjosastro. H. Penyakit dan Kelainan Alat kandungan dalam Ilmu


Kebidanan Edisi III. Jakarta: Bina Pusaka 2007; 30:421-425.

2.

Memarzadeh S, Broder MS. Wexler AS, Pernoll ML. Leiomyoma of the


uterus. In: Current obstetric & Gynecologic. diagnostic & treatment,
Decherney AH, Nathan L, editors. Ninth edition. Lange Medical Books, New
York. 2003.p: 693 - 701.

3.

Wattiez A, Cohen SB. Selvaggi L. Laparoscopy hysterectomy. Curr Opin


Obstet Gynecol 2002:14:417 -22.

4.

Flake GP, Andersen J, Dixon D. Etiology and pathogenesis of uterine


leiomyomas: a review. Environ Health Perspect 2003;111:103754.

5.

Cook JD, Walker CL. Treatment strategies for uterine leiomyoma: the role of
hormonal modulation. Semin Reprod Med 2004;22:10511.
40

6.

Englund K, Blanck A, Gustavsson I, Lundkvist U, Sjoblom P, Norgren A, et


al. Sex steroid receptors in human myometrium and fibroids: changes during
the menstrual cycle and gonadotropin-releasing hormone treatment. J Clin
Endocrinol Metab 1998;83:40926.

7.

Kawaguchi K, Fujii S, Konishi I, Nanbu Y, Nonogaki H, Mori T. Mitotic


activity in uterine leiomyomas during the menstrual cycle. Am J Obstet
Gynecol 1989;160:63741.

8.

Tiltman AJ. The effect of progestins on the mitotic activity of uterine


fibromyomas. Int J Gynecol Pathol 1985;4:8996.

9.

Wise LA, Palmer JR, Harlow BL, Spiegelman D, Stewart EA, AdamsCampbell LL, et al. Reproductive factors, hormonal contraception, and risk
of uterine leiomyomata in African-American women: a prospective study. Am
J Epidemiol 2004;159:11323.

10. Murphy AA, Morales AJ, Kettel LM, Yen SS. Regression of uterine
leiomyomata to the antiprogesterone RU486: dose-response effect. Fertil
Steril 1995;64:18790.Nisolle M, Gillerot S, Casanas-Roux F, Squifflet J,
Berliere M, Donnez J. Immunohistochemical study of the proliferation index,
oestrogen receptors and progesterone receptors A and B in leiomyomata and
normal myometrium during the menstrual cycle and under gonadotrophinreleasing hormone agonist therapy. Hum Reprod 1999;14:284450.
11. Marshall LM, Spiegelman D, Goldman MB, Manson JE, Colditz GA,
Barbieri RL, et al. A prospective study of reproductive factors and oral
contraceptive use in relation to the risk of uterine leiomyomata. Fertil Steril
1998;70:4329.
12. Schwartz SM, Marshall LM, Baird DD. Epidemiologic contributions to
understanding the etiology of uterine leiomyomata. Environ Health Perspect
2000;108(Suppl 5):8217.

41

13. Marshall LM, Spiegelman D, Barbieri RL, Goldman MB, Manson JE, Colditz
GA, et al. Variation in the incidence of uterine leiomyoma among
premenopausal women by age and race. Obstet Gynecol 1997;90:96773.
14. Ross RK, Pike MC, Vessey MP, Bull D, Yeates D, Casagrande JT. Risk
factors for uterine fibroids: reduced risk associated with oral contraceptives.
Br Med J (Clin Res Ed) 1986;293:35962.
15. Chiaffarino F, Parazzini F, La Vecchia C, Chatenoud L, Di Cintio E, Marsico
S. Diet and uterine myomas. Obstet Gynecol 1999;94:3958.
16. Samadi AR, Lee NC, Flanders WD, Boring JR 3rd, Parris EB. Risk factors
for self-reported uterine fibroids: a case-control study. Am J Public Health
1996;86:85862.
17. Parazzini F, Negri E, La Vecchia C, Chatenoud L, Ricci E, Guarnerio P.
Reproductive factors and risk of uterine fibroids. Epidemiology 1996;7: 440
2.
18. Thompson JD, Rock JA. Leiomyomata uteri and myomectomy. In: Te Linde's
Operative Gynecology. Rock JA, Thompson JD. editors. Lippincott-Raven
Publishers, Philadelphia. 1997. p: 731 - 70.
19. Stoval DW. Clinical symptomatology of uterine leiomyoma. Clin Obstet
Gynecol 2001;44:364 -71.
20. Baziad A. Endokrinologi ginekologi. Edisi kedua. Media Aesculapius,
Jakarta, 2003. p:151 - 57.
21. Hurst BS, Matthews ML, Marshburn PB. Laparoscopic myomectomy for
symptomatic uterine myomas. Fertil Steril 2005;83(l): 1 -22.
22. Murphy AA, NamnoumAB. Diagnostic and operative laparoscopy. In: Te
Linde's Operative Gynecology, Rock JA, Thompson JD, editors. LippincottRaven Publishers, Philadelphia, l997. p: 389 - 413.

42

23. Thompson JD, Warshaw J. Hysterectomy. In: Te Linde's Operative


Gynecology, Rock JA, Thompson JD, editors. Lippincott-Raven Publishers,
Philadelphia, 1997. p:771 - 854.
24. Tulandi T. Modern surgical approaches to female reproductive tract. Hum
Reprod Update 1996;2(5):419 - 427.
25. Falcone T. Bedaiwy MA. Minimally invasive management of uterine fibroids.
Curr Opin Obstet Gynecol 2002;14;401 - 07.
26. Maingot R. Management of the wound. Abdominal Operations. Edited by R
Maingot. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc., 1964; 2: p 29-50.
27. Mayo CW, Lee MJ Jr. Separation of abdominal wounds. AMA Arch Surg
1951; 62: p 883-894.
28. Mendoza CB Jr, Watne AL, Grace JE, et al. Wire versus silk: choice of
surgical wound closure in patients with cancer. Am J Surg 1966; 112: p 839845.
29. Savlov ED, Dunphy JE: The healing of the disrupted and resutured wound.
Surgery 36: 362-370, 1954.
30. Winkjosastro. H. Prinsip Prinsip Pembedahan dalam Ilmu Kandungan Edisi
II. Jakarta: Bina Pusaka 2007; 24:670-672.
31. Morison, Maya J. Seri Pedoman Praktis: Manajemen Luka. Jakarta : EGC.
2004; p 1.
32. Boyle M. Pemulihan Luka. Jakarta : EGC. 2008; p 37.
33. Regauer S, Compton CC. Cultured Keratonocyte Sheet Enhance Spontaneous
Reepithelization in a Dermal Explant Model of Partial Thickness Wound
Healing. J Invest Dermatol. 1990; 95;341-346.
34. Hunt KT. Wound Healing. In: Doherty MG. Current Surgical Diagnosis and
Treatment. 12th Ed. McGraw-Hills, USA. 2003; p75-87.

43

Anda mungkin juga menyukai