Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan
PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7
propinsi2 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rhinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien,
69%nya adalah sinusitis (PERHATI, 2006).
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga
penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan
yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis
ini. Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara
epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya
dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial, komplikasi ini terjadi
akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari.
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal
diatas. Terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi,
mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan
operasi (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus
paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Laszlo, 1997).
Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi),
sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus
sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus
paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis,
dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
2.2. Anatomi
Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk
sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara
(ostium) ke dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada
masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus
frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus
maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara
dan
semua
bermuara
di
rongga
hidung
melalui
ostium
masing-masing
(Pletcher&Golderg, 2003).
Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis
dan sphenoidalis. Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan
sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai
perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan sinus sphenoidalis berkembang
mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-superior rongga hidung. Sinussinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis
kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis tengah
(Damayanti&Endang, 2002).
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta
vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a.
sfenopalatina. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid. Fungsi
sinus paranasal adalah (Pletcher&Golderg, 2003):
a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara
sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang
b.
c.
d.
e.
akan terdesak.
Sebagai pengatur udara (air conditioning).
Peringan cranium.
Resonansi suara.
Membantu produksi mukus.
(medical-dictionary.thefreedictionary.com)
Gambar 2.1
Sinus paranasalis tampak depan dan samping
Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris,
sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis (Shyamal,1996).
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi (Rukmini&Herawati, 2000):
a. Grup Anterior :
Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
Ostia di meatus medius
Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
Ostia di meatus superior
Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring
2.2.1. Sinus Maksilaris
a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris
arcus I.
b. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang
apexnya pada pars zygomaticus maxillae.
c. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang
dewasa.
d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):
1) Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis)
sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
2) Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.
3) Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
e. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa
sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.
2.2.2 Sinus Frontalis
a. Sinus frontalis mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel
resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus ini dapat
terbentuk atau tidak.
b. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya
2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.
Tidak simetris kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
c. Volume pada orang dewasa 7cc.
d. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
e. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003) :
1) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
2) Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.
3) Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
f. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang
berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri
carotis inernal. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan
supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus
trigeminus
2.2.3 Sinus Ethmoid
a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
b. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 715 cellulae, dindingnya tipis.
c. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung
dan mata
e. Suplai darah berasal dari arteri carotis internal dan eksternal. Inervasi mukosa
berasal dari nervus trigeminus.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
2.3. Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang)
maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase
dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang
sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam
sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus
merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.
2.4. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas:
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2:
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang
sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)
2.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus
juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
pertahanan
terhadap
kuman
yang
masuk
bersama
udara
pernafasan
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat
bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan
negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan
terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
(http://doctorcayoo.blogspot.com/2009/07/sinusitis-5.html)
Gambar 2.2
Patofisiologi Sinusitis
2.6.Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
Kriteria Mayor
a. Sekret nasal yang purulen
b. Drainase faring yang purulen
c. Purulent Post Nasaldrip
d. Batuk
e. Foto rontgen (Watersradiograph atau
Kriteria Minor
a. Edem periorbital
b. Sakit kepala
c. Nyeri di wajah
d. Sakit gigi
e. Nyeri telinga
f. Sakit tenggorok
air fluid level) : Penebalan lebih 50%
g. Nafas berbau
dari antrum
h. Bersin-bersin bertambah sering
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
opaksifikasi dari mukosa sinus
dan bakteri
k. Ultrasound
(Pletcher&Golderg, 2003)
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan
2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis
sinusitis akut
2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus
dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan
pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan
pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis (Pletcher&Golderg,
2003).
b. Imaging
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis
dengan
menunjukan
suatu
penebalan
mukosa,
air-fluid
level,
dan
(Alford,2008)
Gambar 2.3
Posisi Caldwell
b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah
untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum
maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus
medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 dengan film
proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan pandangan terhadap
semua sinus paranasal.
(Putz&Pabst, 2000)
Gambar 2.4.
Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka
(Alford, 2008)
Gambar 2.5
Posisi Waters
c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.
(Alford, 2008)
Gambar 2.6
Posisi lateral
2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,
menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis
sinusitis akut (Pletcher SD, 2003) .
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah
sebagai berikut (Arif et all, 2001) :
a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta
gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir
ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi
hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak
ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus
maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo&Soetjipto,
2002).
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai
dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak
mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di
dahi dan depan telinga (Arif et all, 2001).
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang
berbau
busuk.
Batuk
iritatif
non
produktif
seringkali
ada
(Mangunkusumo&Soetjipto,2002).
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan.
Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung (Arif et all, 2001).
c) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis
mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi
bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi
sinus lainnya (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid
anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang
ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan
ringan atau seperti meraba beludru (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah,
pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid
jarang
timbul
pembengkakan,
kecuali
bila
ada
komplikasi
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan
sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak
ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus
melakukan penatalaksanaan yang sesuai (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih
5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa
memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut
dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit,
sehingga
tampak
lebih
suram
dibanding
sisi
yang
normal
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan
tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level)
pada sinus yang sakit (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau
meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan
tampak
sinus
yang
sakit,
suram
atau
gelap
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari
faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi
imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis
apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya
sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan
tuba eustachius.
d) Ada nyeri atau sakit kepala.
e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis
atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental,
purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor
atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris.
Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman
aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus
dan fuso bakterium.
4. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada
daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya
Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis
(sinus penuh dengan cairan)
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA
dan
Lateral.
Posisi
Waters,
maksud
posisi
Waters
adalah
untuk
perifer.
f) Tumor
2.7.Penatalaksanaan
2.7.1 Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi medikamentosa
berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni
golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat
dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan
antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan
maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin
klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi
tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14
hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau
naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
c.
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short
Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan
tindakan pencucian sinus cara Proetz (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
2.7.3 Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan,
diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan
teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi
kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak
membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan
bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka
evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai
kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar
dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
DAFTAR PUSTAKA