_____
Matahari masih meringkuk sabar dibalik punuk si hitam kelam. Membentuk
remang cenderung kelam pada setiap sisi kota tanpa terkecuali.
Mendung senyap setia hadir pertanda akan turun hujan. Bahkan meski
jarum jam baru saja membentuk sudut sembilan puluh derajat kearah barat
laut, sang dewa gelap telah tanpa gentar mempertontonkan
keangkuhannya, tak membiarkan sosok lain dibalik punggung menunjukkan
kebolehan. Awal musim gugur memang seyogianya begitu. Bak anak kecil,
terang gelap beradu kebolehan. Sama-sama ingin berlabel sang pemenang.
Tapi toh nyatanya gelap memang lebih diberkati.
Tak ada yang salah dengan itu. Ya, bahkan mungkin telah menjadi hal yang
teramat lumrah bagi kota yang bermil-mil jauhnya dari garis khatulistiwa.
Birmingham. Salah satu kota dari jejeran kota di Inggris Raya yang
senyatanya tak sepadan dengan kota lain disudut tropis sana. Tentu dalam
urusan kontribusi cahaya matahari.
Tapi dibalik kenyataan yang telah mengakar nyaris sembilan belas tahun
sejak tubuhku tercecah ditempat ini. Sejak aku dengan tanpa logika
memaksa keluar dari kungkungan rahim ibu yang telah mengantungku
selama sembilan bulan, dengan tanpa logika pula aku berharap akan ada
sesuatu yang berbeda di musim gugur tahun ini. Setidaknya, aku berharap
sang terang akan menang dalam satu periode.
Mengenyampingkan kenyataan orang-orang bertubuh tinggi, berkulit putih
dan berambut pirang disekelilingku, yang bak peramal cuaca ulung,
menyelipkan benda bernama payung diantara sekumpulan barang yang
mereka bawa. Tapi apa peduliku? Aku tak sesiaga orang-orang ber-ras
kaukasoid itu. Karena senyatanya bagiku awan gelap diatas sana hanya
kedok kekalahan sang gelap dan awal kemenangan sang terang.
Percayalah aku bukan peramal cuaca yang amat ulung. Bukan pula pawang
hujan dengan berbagai benda aneh penangkal rintik air langit. Aku hanya
bermodal sebait doa yang kusebut mantra, yang bahkan telah
kudengungkan sejak bangkit dari alam mimpi pagi tadi. Setidaknya aku
~ To be Continue ~