Anda di halaman 1dari 5

MERANCANG IT GOVERNANCE DENGAN COBIT & SARBANES-OXLEY

DALAM KONTEKS BUDAYA INDONESIA


Josua Tarigan, josuat@petra.ac.id
Universitas Kristen Petra
Siwalankerto 121-131 Surabaya
ABSTRAK
Skandal keuangan yang terjadi dalam Enron, Worldcom, Xerox yang melibatkan beberapa KAP yang termasuk
dalam the big five mendapatkan respon dari Kongres Amerika Serikat, salah satunya dengan diterbitkannya
undang-undang (Sarbanex-Oxley Act) yang diprakarsai oleh senator Paul Sarbanes (Maryland) dan
wakil rakyat Michael Oxley (Ohio) yang telah ditandatangani oleh presiden George W. Bush. Dalam SarbanexOxley Act diatur tentang Akuntansi, pengungkapan dan pembaharuan tatakelola, yang mensyaratkan adanya
pengungkapan yang lebih banyak mengenai informasi keuangan, keterangan tentang hasil-hasil yang dicapai
manajemen, kode etik bagi pejabat di bidang keuangan, pembatasan kompensasi ekskutif dan pembentukan komite
audit yang independen. Dalam tatakelola yang baik, peranan IT Governance (tatakelola TI) merupakan hal yang
sangat penting, dalam konteks organisasi bisnis yang berkembang, kebutuhan akan TI bukan merupakan barang
yang langka, dalam konteks ini tatakelola yang baik membutuhkan IT Governance yang baik. COBIT (control
objective for information and related technology) dapat digunakan sebagai tools yang digunakan untuk
mengefektifkan implementasi Sarbanes-Oxley Act. COBIT terdiri dari 4 domain, yakni planning-organization
(PO), acquisition-implementation (AI), Delivery-support (DS) dan Monitoring (M).
COBIT & Sarbanex-Oxley merupakan tools yang telah banyak diterapkan dalam konteks dunia eropa dan negara
lain diluar asia. Dalam konteks Asia, khususnya Indonesia banyak faktor yang perlu diperhatikan, khususnya faktor
psikologis masyarakat yang ada, yakni faktor budaya. Faktor budaya merupakan hal yang signifikan perlu
dipertimbangkan dalam merancang IT governance, dimana hal ini mempengaruhi keberhasilan dalam
mengimplementasikan konsep IT Governance yang ada.
Kata kunci:Skandal keuangan, IT Governance, COBIT, Sarbanes-Oxley

1.

IT GOVERNANCE

1.1. Merancang IT Governance dengan SarbanesOxley


Survei yang dilakukan oleh PriceWaterhouseCoopers
terhadap investor-investor internasional di Asia,
menunjukkan bahwa Indonesia dinilai sebagai salah
satu yang terburuk dalam bidang standar-standar
akuntansi
dan
pertanggungjawaban
terhadap
pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan
transparansi serta proses-proses kepengurusan. Hal
senada dalam kajian yang berbeda menunjukkan
bahwa tingkat perlindungan investor di Indonesia
merupakan yang terendah di Asia Tenggara (FCGI).
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pasar modal di indonesia masih
rendah. Kendalan dan ketepatan informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan perusahaan
(termasuk disklosur), merupakan hal yang penting

untuk mendapatkan kepercayaan dari investor di


pasar modal.
Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP117/M-MBU/2002 secara resmi memerintahkan
seluruh BUMN untuk menerapkan prinsip-prisip
Good Corporate Governance (GCG) secara konsisten
dalam day-to-day operasional organisasi BUMN.
Dengan demikian, Indonesia merupakan negara lain
selain Amerika yang menerapkan mandatory system
of corporate governance. Jika membandingkan
dengan apa yang terjadi dengan negara-negara seperti
Australia, Inggris, Belanda, dan Jerman yang
memilih sistem sukarela (voluntary system) yang
merupakan terjemahan dari prinsip "setuju atau
menjelaskan kenapa tidak setuju"; di Inggris prinsip
ini dikenal dengan "comply or explain", sedangkan
orang Australia menyebutnya dengan "if not, why
not" (Miko: 2006). Mandatory system merupakan
prinsip yang mulai diberlakukan di Amerika setelah
tragedi runtuhnya perusahan-perusahaan raksasa

Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia


3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung

25

seperti Enron dan WorldCom dengan mengeluarkan


undang-undang
(Sarbanex-Oxley
Act)
yang
diprakarsai oleh senator Paul Sarbanes (Maryland)
dan wakil rakyat Michael Oxley (Ohio), dan telah
ditandatangani oleh presiden George W. Bush.
Dalam Sarbanex-Oxley Act diatur tentang Akuntansi,
pengungkapan & pembaharuan tatakelola, yang
mensyaratkan adanya pengungkapan yang lebih
banyak mengenai informasi keuangan, keterangan
tentang hasil-hasil yang dicapai manajemen, kode
etik bagi pejabat di bidang keuangan, pembatasan
kompensasi ekskutif dan pembentukan komite audit
yang independen.
Memang tidak dapat dipungkiri, apa yang dilakukan
oleh pasar modal di Amerika, belum sepenuhnya
terjadi di Indonesia. Namun sebenarnya prinsipprinsip dasar dari Sarbanes-Oxley act sebenarnya
relevan untuk diterapkan di Indonesia, sesuai dengan
semangat GCG, yakni peningkatan transparansi,
peningkatan tanggung jawab untuk terus menerus
menyempurnakan sistem internal control perusahaan
dan peningkatan efektifitas dan indepedensi auditor
eksternal merupakan hal yang sangat dibutuhkan di
Indonesia. Pada saat ini di Indonesia, memang tidak
memiliki undang-undang yang mengatur industri
audit sekomprehensif Sarbanes-Oxley, namun
beberapa peraturan yang secara terpisah dikeluarkan
IAI, Bank Indonesia dan BAPEPAM memiliki
beberapa kesamaan dengan komponen dari SarbanesOxley, walaupun terkesan terpisah-pisah (Muntoro:
2006).
Peningkatan transparansi menuju tatakelola yang baik
dengan Sarbanes-Oxley memang sesuatu yang tidak
dapat disangkal, namun hal yang tidak dapat
dipungkiri jika terdapat beberapa kendala ketika
Indonesia akan mencoba mengadopsi SarbanesOxley. Kajian yang perlu dilakukan beberapa pihak
yang berwenang dengan melihat penyesuaian yang
perlu dilakukan agar undang-undang tersebut dapat
tercapai ketika diterapkan di Indonesia. Dengan tetap
melihat pengalaman di Amerika, tentu saja dapat
dilihat
penyusunan
undang-undang
dan
pengimplementasiannya bukan merupakan pekerjaan
yang mudah, namun dengan melihat manfaat undangundang Sarbanes-Oxley dalam jangka panjang, hal
ini merupakan sesuatu yang harus dikerjakan.

belanja TI dengan pertumbuhan 5% atau US$916


milyar ditahun 2004 (IDC, 2005). Sarbanes-Oxley
Act mewajibkan eksekutif perusahaan menyatakan
pertanggung-jawaban mereka dalam membangun,
mengevaluasi dan memonitor efektifitas sistem
pengendalian intern dimana fungsi TI sangat
signifikan untuk mencapai tujuan ini.
Dalam membangun sistem pengendalian intern yang
dapat diandalkan, sangat berkaitan dengan IT
Governance yaitu pemilihan dan pengembangan TI
yang memadai. Melihat kasus fraud yang terjadi pada
bank-bank di negara kita, cenderung disebabkan
karena lemahnya pemilihan dan pengembangan TI
sehingga menghasilkan Sistem Informasi (SI) yang
tidak handal. Lemahnya Sistem Informasi (SI) tidak
memungkinkan terjadinya deteksi dini (warning sign)
atas kecurangan kecil yang mulanya dilakukan secara
coba-coba. Kecurangan kecil meningkat menjadi
kecurangan besar karena pelaku mempunyai
kesempatan dan mengetahui kelemahan sistem
pengendalian intern yang ada dalam organisasi,
disamping faktor keserakahan. Menurut Fox dan
Zonneveld (2003), Building a strong internal control
within IT can help an organization to enhance the
understanding of IT among executives, make better
business decisions within higher quality and more
timely information, align project initiatives with
business requirements, prevent loss of resources and
the probability of system breach, contribute to the
compliance of other regulatory requirements, such as
those for privacy, gain competitive advantage
through more efficient and effective operations,
optimize operations with an integrated approach to
security, availability, and processing integrity,
enhance risk management competencies and
prioritization of initiatives. Dalam hal ini dapat
disimpulkan dalam tatakelola yang baik, paranan IT
Governance (tatakelola TI) merupakan hal yang
sangat penting, dalam konteks organisasi bisnis yang
berkembang kebutuhan akan TI bukan merupakan
barang yang langka. COBIT (control objective for
information and related technology) dapat digunakan
sebagai tools yang digunakan untuk mengefektifkan
implementasi IT Governance, yakni sebagai
management guideline dengan menerapkan seluruh
domain yang terdapat dalam COBIT, yakni planningorganization (PO), acquisition-implementation (AI),
Delivery-support (DS) dan Monitoring (M)

1.2. Merancang IT Governance dengan COBIT


Kesadaran IT Governance di Amerika meningkat
setelah kasus skandal keuangan yang terjadi di
Amerika sehingga keluarlah the Sarbanes-Oxley Act
di tahun 2002 untuk mengembalikan stakeholder
confidence. Hal ini terbukti dengan meningkatnya

Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia


3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung

26

2.

PENERAPAN SARBANES-OXLEY DAN


COBIT DALAM KONTEKS BUDAYA
INDONESIA

sebagai object, tidak melihat subyek manusia sebagai


pelaksana dari sistem tersebut.
2.2. Faktor Budaya dalam IT Governance

2.1. The Corporate Reporting Supply Chain


Konsep dari the corporate reporting supply chain
(perhatikan gambar 1), sebuah model yang
menggambarkan proses pembuatan laporan keuangan,
hingga penggunaan laporan tersebut untuk
pengambilan keputusan. Dalam proses pembuatan
laporan keuangan, manajemen dan pucuk pimpinan
dari perusahaan berada di awal dari seluruh rangkaian
proses sistem pelaporan tersebut, yakni pihak yang
berada di urutan pertama dari keseluruhan proses
penyampaian laporan keuangan kepada masyarakat,
sekaligus merupakan pihak yang berada pada posisi
paling dominan dalam menentukan hitam-putih atau
abu-abunya segala bentuk laporan keuangan yang

THE CORPORATE REPORTING SUPPLY CHAIN

Preparing Fin.
Statements

Approved Fin.
Statements

Company
Executives

Attesting Fin.
Statements

Boards of
Directors

Broadcasting
Fin. Statements

Independent
Auditors

AnalysingFin.
Statements

Information
Distributors

Making
decisions

Third Party
Analysts

Investors
and Other
Stakeholders

Ketika berbicara IT Governance dalam konteks


budaya Indonesia, maka pola pikir yang digunakan
dalam pembahasan adalah pola pikir budaya lembaga
organisasi, baik organisasi profit maupun organisasi
non-profit. Hal ini disebabkan implementasi IT
Governance dilakukan dalam organisasi, yakni
organisasi yang berada di Indonesia, sehingga
pembahasan implementasi IT Governance akan
mengacu pada pengaruh budaya indonesia dalam
mempengaruh orang-orang yang berada dalam
organisasi
tersebut.
Organisasi-organisasi
di
Indonesia adalah sebuah lembaga yang terdiri dari
banyak karyawan yang merupakan individu yang
berasal dari latar belakang budaya yang beraneka
ragam. Kondisi inilah yang harus diperhatikan oleh
para manajemen lini atas, ketika mencoba
mengimplementasikan konsep, sistem maupun
kebijakan baru, dalam hal ini Sarbanes-Oxley dan
COBIT. Kondisi budaya yang ada di Indonesia
sangat berbeda dengan kondisi yang ada di luar
Indonesia, seperti Amerika maupun Eropa.
Latarbelakang budaya ini akan menyebabkan
perbedaan kondisi psikologis karyawan yang ada
dalam masing-masing organisasi.

Standard Setters
Market Regulators
Enabling Technologies

GAMBAR 1.
THE CORPORATE REPORTING SUPPLY CHAIN

akan disampaikan kepada masyarakat, dengan kata


lain pihak yang cukup dominan dalam menentukan
tata kelola yang baik (good corporate governance).
Namun model diatas juga menggambarkan
bagaimana tatakelola yang baik (good corporate
governance) sangat ditentukan oleh 3 elemen, yakni
Standard Setters (Sarbanes-Oxley Act), Market
Regulators (BAPEPAM) dan Enabling Technologies
(COBIT). Ketiga elemen ini memegang peranan yang
tidak kalah penting dalam mendukung terlaksanannya
tatakelola yang baik. Mendesain tatakelola yang baik
di Indonesia dengan mengadopsi Sarbanes-Oxley Act
dan COBIT, tetap harus memperhatikan beberapa
kondisi yang sesuai dengan masyarakat Indonesia,
sehingga terdapat beberapa penyesuaian yang harus
dilakukan. Pandangan yang salah kerapkali terjadi,
ketika benchmarking yang dilakukan semata-mata
yang melihat sistem (Sarbanes-Oxley dan COBIT)

Budaya merupakan satu set nilai, penuntun,


kepercayaan, pengertian, norma, falsafah, etika, dan
cara berpikir. Budaya yang ada di suatu lingkungan,
sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan
pribadi yang berada di dalam lingkungan tersebut.
Setiap lingkungan tempat tinggal memiliki budaya
yang dibuat oleh nenek moyang dan diturunkan
secara turun temurun dari generasi ke generasi untuk
dianut dan dilestarikan bersama. Kebudayaan
Indonesia secara sempit dapat didefinisikan sebagai
seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum
terbentuknya Indonesia pada tahun 1945. Seluruh
kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan
beraneka ragam suku-suku di Indonesia adalah
merupakan bagian integral daripada kebudayaan
Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang beraneka
ragam yang sangat dipengaruhi oleh 3 kebudayaan
besar, yakni kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India
dan kebudayaan Arab. Namun, dalam studi dan
realita yang ada, keanekaragaman kebudayaan
indonesia, seringkali menimbulkan permasalahan dan
kendala tersendiri dalam kehidupan organisasi.
Kondisi ini menjadi perhatian yang cukup signifikan
ketika sebuah organisasi mengimplementasikan
Sarbanes-Oxley dan COBIT dalam konteks budaya
Indonesia. Berikut beberapa kendala yang dapat

Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia


3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung

27

terjadi, menjadi perhatian penting bagi manajemen,


khususnya pimpinan lini puncak organisasi:
1. Budaya kemauan dan kemampuan karyawan
dalam
melakukan
adaptasi
terhadap
perkembangan terbaru dalam hal pengetahuan
dan kebudayaan yang masih rendah. Kondisi ini
akan menyebabkan: (1) keterbatasan dalam
menyerap serta mengembangkan pengetahuan
baru yang positif sekaligus (2) kemudahan
karyawan untuk terprofokasi dengan isu-isu yang
dianggap mengancam eksistensinya.
2. Paradigma masyarakat Indonesia terhadap
pendidikan,
yakni
lebih
menekankan
pengembangan intelektual dengan mengabaikan
pengembangan
kecerdasan
emosional,
pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai
budaya. Kondisi ini akan menyebabkan para
karyawan lebih terfokus pada kegiatan yang
pragmatis, yang memberikan manfaat materiil
yang lebih mudah teramati dan terukur. Selain
sikap pragmatis, kendala ini juga akan
menyebabkan paradigma terhadap sanksi formal
menjadi lebih ditakuti daripada sanksi moral,
sehingga ketaatan yang terlihat pada karyawan
ketika melakukan sistem dan kebijakan baru,
sebenarnya hanya merupakan kebijakan semu.
Kondisi yang berbeda akan terjadi ketika control
dari lini puncak mulai berkurang, dimana
ketaatan atas sistem dan kebijakan baru akan
berkurang bahkan sangat lemah.
3. Kebiasaan
masyarakat
Indonesia
untuk
memaksimalkan komunikasi yang terjadi antara
tiap lini manajemen masih sangat kurang.
Kondisi ini seringkali terjadi karena adanya
budaya
saling
menghormati
yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara
atasan dan bawahan, sehingga hubungan antara
tiap lini manajemen terjadi sebagai hubungan
antara majikan dan pembantu, bukan sebagai
partner kerja.
4. Adanya gejala societal crisis on caring, yakni
krisis pengasuhan dan kepedulian dalam
masyarakat karena tingginya mobilitas sosial
dan transformasi kultural yang ditangkap dan
diadopsi secara terbatas. Kondisi sangat
memungkin untuk terjadi dalam kondisi
perkotaan, yakni kondisi kerja yang selalu
disertai dengan target dan deadline. Hal ini
sebenarnya dampak dari kurangnya komunikasi
antar lini manajemen yang ada.
Beberapa solusi yang dapat dilakukan pihak
manajemen, khususnya lini puncak manajemen
berkaitan dengan kendala yang dihadapi dalam
implementasi Sarbanes-Oxley dan COBIT dalam
konteks budaya :

1.

2.

3.

4.

Mendesain budaya kerja yang berbasis


pembelajar, yakni mendorong setiap karyawan
untuk memiliki kemampuan dan kemauan dalam
mempelajari suatu pengetahuan dan pengalaman
yang baru. Kondisi yang terjadi pada perusahaan
TNT patut diajungi jempol, dimana TNT
berhasil menjadi juara 1, untuk kategori
perusahaan pilihan karyawan sebagai perusahaan
ternyaman dan terbaik. Salah satu kondisi adalah,
TNT mendesain budaya kerja yang berbasis
pembelajar, dimana setiap orang berkesempatan
untuk menempati semua posisi yang ada dalam
perusahaan tersebut. Realita ini terlihat dari
karyawan yang memulai karir dari bagian
resepsionis dapat menjadi sales executive, sejauh
memenuhi kriteria yang ada dan mengikuti tes
yang dilakukan oleh manajemen TNT.
Peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat
tentang perbedaan budaya dan dampaknya dalam
pekerjaan, dengan berbagai model pengenalan
ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi
masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku
khusus tiap individu.
Peningkatan peran lini puncak manajemen
sebagai media komunikasi, untuk melakukan
sensor secara substantif yang berperan sebagai
korektor terhadap penyimpangan norma sosial
yang dominan, dengan melancarkan tekanan
korektif terhadap subsistem yang mungkin
keluar
dari
keseimbangan
fungsional.
Pengungkapan skandal atau perbuatan yang
merugikan kepentingan umum dan melecehkan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh karyawan
harus dilakukan oleh lini puncak manajemen
dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan.
Strategi pendidikan yang berbasis budaya,
bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga
manusia harus selalu merupakan subyek
sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya
perubahan.
Khususnya
training
maupun
pelatihan yang dilakukan organisasi, diperlukan
adanya paradigma baru yang dpat menyajikan
model dan strategi pembelajaran yang dapat
menseimbangkan proses homonisasi yang
melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam
konteks lingkungan
ekologinya, yang
memerlukan terasahnya kemampuan intelektual
untuk menghadapi tantangan dengan pendidikan
sebagai proses humanisasi yang lebih
menekankan manusia sebagai makhluk sosial
yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas
budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa
mengelola
konflik,
dan
menghargai
kemajemukan dan perbedaan, serta dapat tegar
terhadap arus perubahan dengan mempertajam
sense of belonging, self of integrity, sense of

Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia


3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung

28

participation dam sense of responsibility sebagai


langkah adapatasi terhadap implementasi konsep,
sistem maupun kebijakan baru yang akan
diimplementasikan oleh organisasi, seperti
Sarbanes-Oxley dan COBIT.
3. REFERENSI
[1]FCGI, Tata Kelola Perusahaan, Forum for
Corporate Governance in Indonesia.
[2] IT Governance Institute, COBIT Framework.
[3] Herwidayatmo, Pedoman Penyajian dan
Pengungkapan Laporan Emiten/ Perusahaan Publik
dan Tanggung Jawab Direksi atas Penyajian Laporan
Keuangan, BAPEPAM
[4] Dewi Fadjarsarie, IT Governance: sudah
cukupkah dipahami para banker kita, Bank
Indonesia.
[5] Amaradani, Cultural Studies, available at:
http://www.kunci.or.id/teks/01cs.htm
[6] AIMS Consulting, Memanfaatkan Budaya
Perusahaan,
available
at;
http://www.aimsconsultants.com/html/article1.html
[7] AIMS Consulting, Perilaku Penunjang
Penerapan Teknologi Informasi, available at;
http://www.aimsconsultants.com/html/article7.html
[8] Budhi Santoso, Corak dan
Indonesia, Universitas Indonesia

Kebudayaan

[9] Endang Poewarti, Pemahaman psikologi


Masyarakat Indonesia Sebagai Upaya Menjembatani
Permasalahan Silang Budaya, available at:
www.ialf.edu/kipbipa/papers/EndangPoerwanti.doc
[10] Ronny Kusuma Muntoro, "Sarbanes-Oxley Act,
Mungkinkah diterapkan di Indonesia", Usahawan,
Februari 2006.
[11]Yuswohady, Good Enterprise Governance,
Warta Ekonomi, 12 Mei 2005
[12] Miko Kamal, Good Cooperate Governance dan
Pengadilan, Republika On-line, 21 Maret 2006

Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia


3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung

29

Anda mungkin juga menyukai