Anda di halaman 1dari 17

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP

IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

Ferry Maulana Prateja (105120407111030)


Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Brawijaya, Jalan Veteran, Malang, 65145, Indonesia
E-mail: maulanafp@gmail.com

ABSTRAK
Konflik Darfur yang dipandang sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk
pada abad ke-21, pada dasarnya memiliki relasi erat dengan dimensi lingkungan.
Dimensi lingkungan yang dimaksud adalah keadaan environmental scarcity, yang
mengakibatkan sumber daya terbarukan seperti air, lahan subur, dan hutan
menjadi komoditas yang langka di Darfur. Kelangkaan ini diakibatkan oleh relasi
kompleks antara faktor alam dan manusia di Darfur. Faktor alam yang
menyebabkan terjadinya environmental scarcity di Darfur adalah degradasi
lingkungan yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan pemanasan global,
sedangkan faktor manusianya terletak pada sistem sosial yang digunakan oleh
penduduk Darfur dalam melakukan eksplorasi sumber daya terbarukan.
Environmental scarcity yang muncul di Darfur selanjutnya menimbulkan berbagai
dampak sosial di tengah masyarakat Darfur baik di bidang politik, sosial,
ekonomi, dan budaya. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan konflik Darfur
meletus pada tahun 2003. Konflik Darfur digolongkan ke dalam group-identity
conflict karena aktor-aktor yang terlibat di dalam konflik ini merupakan
kelompok-kelompok identitas berdasarkan etnis, suku, dan ras. Konflik Darfur
pada tahun 2003 merupakan manifestasi dari perebutan akses sumber daya
terbarukan yang semakin langka di Darfur.

Kata Kunci: Environmental scarcity, sumber daya terbarukan, konflik Darfur

ABSTRACT
Darfur conflict is one of the worst humanitarian crisis in 21st century, have a
substantial bound with environmental dimension. The environmental dimension is
the occurrence of environmental scarcity, which affected renewable resources
such as waters, fertile soils, and forests to be rare commodities in Darfur. The

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

scarcity is impacted by a complex relation between natural and human factors.


Global warming and climate change are the natural factor which impacted
environmental scarcity, on the other hand the human factor lies on the social
system which is used to explore the renewable resources in Darfur.
Environmental scarcity is the root cause of social effects in the middle of
Darfurian society, including political, social, economical, and cultural effect. The
effects escalated Darfur conflict in 2003. Darfur conflict is classified as a groupidentity conflict because the actors whose involved are the identities groups
contained ethnicities, tribes, and races. Darfur conflict in 2003 is a manifestation
to competing to gain an access of renewable resources which getting scarce in
Darfur.

Keywords: Environmental scarcity, renewable resources, Darfur conflict

1. LATAR BELAKANG MASALAH


Konflik Darfur diklaim sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk
pada awal abad ke-21. Perang yang berkecamuk di wilayah Barat Sudan ini
sedikitnya telah meregang 300.000 nyawa, dan 6.000.000 orang lainnya dipaksa
mengungsi, menurut perkiraan-perkiraan yang dirilis oleh PBB. Catherine Simon
menarasikan konflik ini dengan beragam kepiluan nan miris, di mana kekerasan
fisik dan seksual bahkan dialami oleh anak-anak dan perempuan di Darfur selama
konflik ini berlangsung. 1 Konflik ini telah menyedot perhatian publik
internasional bukan hanya untuk sekedar mewartakan kengerian konflik ini.
Usaha-usaha mediasi, asistensi, dan restrukturisasi diinisiasi oleh aktor-aktor
internasional. Bahkan banyak ahli tergugah untuk meneliti akar permasalahan
konflik ini, dengan tujuan untuk melakukan upaya pencegahan bagi eskalasi
konflik di belahan bumi lainnya.
Para ahli dalam penelitiannya masing-masing mencapai beragam konklusi,
sesuai dengan bidang dan keahlian utama yang dimilikinya. Terdapat sebagian

CatherineSimon,InTheMiseryofDarfur,IndexonCensorship(2005)34:197,tersediadalam:
http://ioc.sagepub.com/content/34/1/197.full.pdf+html,diaksespada8Oktober2013.

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

ahli yang menyimpulkan bahwa konflik Darfur pada dasarnya disebabkan oleh
faktor politik, ekonomi, dan historis yang sangat kental, serta memiliki relasi
kompleks pula dengan wilayah regional Afrika, terutama negara-negara yang
bertetangga dengan Sudan. 2 Penjelasan dari para ahli tersebut cukup mampu
untuk menggambarkan latar belakang dari konflik Darfur. Meski demikian,
terdapat aspek lain yang selama ini masih dianggap sebagai faktor pelengkap saja
di dalam konflik Darfur, yakni aspek lingkungan.
Aspek lingkungan di dalam konflik Darfur dapat dikatakan merupakan
salah satu aspek yang cukup krusial. Hal ini disebabkan karena sumber daya
terbarukan di Darfur berupa air, lahan subur, dan hutan, telah memenuhi prasyarat
sebagai komoditas yang diistilahkan Gareth Hardin sebagai the commons. Konflik
Darfur, memiliki korelasi kompleks dengan perebutan the commons, oleh aktoraktor yang memiliki kepentingan untuk mengamankan aksesnya di tengah
keadaan degradasi lingkungan yang semakin dahsyat.
Tulisan ini mencoba untuk mengupas dimensi lingkungan dalam konflik
Darfur, yang selanjutnya memiliki relasi kompleks dengan

dampak-dampak

sosial yang terjadi di tengah masyarakat, sebelum konflik Darfur bermanifestasi


menjadi konflik bersenjata. Konflik Darfur akan coba dipetakan kembali
menggunakan logika-logika dalam perspektif lingkungan. Keadaan lingkungan di
Darfur akan disajikan sebagai salah satu alternatif narasi, dalam menjelaskan akar
dari konflik Darfur yang terjadi di Sudan pada tahun 2003.

2. RUMUSAN PERTANYAAN
Bagaimana korelasi antara kelangkaan sumber daya terbarukan di Darfur berupa
air, lahan subur, dan hutan dengan konflik bersenjata di Darfur pada tahun 2003?

Contoh, lihat Joyce Apsel, The Complexity of Destruction in Darfur: Historical Processes and
Regional Dynamics, Hum Rights Rev (2009) 10:239259, tersedia dalam:
http://search.proquest.com/docview/194788460?accountid=46437, Dwight D. Murphey, Do
Something About Darfur: A Review of the Complexities, The Journal of Social, Political, and
Economic
Studies;
Summer
2008;
33,
2,
pg.
229,
tersedia
dalam:
http://search.proquest.com/docview/216799854/fulltextPDF/1421BFC88A91A9C4FBF/2?account
id=46437, dan Aleksi Ylnen, Grievances and the Roots of Insurgencies: Southern Sudan and
Darfur,Peace,ConflictandDevelopment:AnInterdisciplinaryJournal,Vol.7,July2005,tersedia
dalam:
http://www.bradford.ac.uk/ssis/peaceconflictanddevelopment/issue7/Rootsof
insurgences.pdf,diaksespada3Desesmber2013.

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

3. KERANGKA TEORITIK
Tulisan ini menggunakan model Environmental Scarcity-Violent Conflict
yang dikembangkan oleh Thomas F. Homer-Dixon. Terdapat tiga tahapan utama
di dalam model Homer-Dixon, yakni genesis of scarcity, social effects, dan violent
conflict. 3 Genesis of scarcity merupakan tahapan yang menganalisis mengenai
keadaan kelangkaan sumber daya terbarukan yang terjadi di suatu daerah tertentu.
Kelangkaan sumber daya terbarukan diakibatkan karena adanya relasi kompleks
antara faktor ideasional dan faktor fisik dalam eksplorasi sumber daya terbarukan
yang diterapkan oleh penduduk sekitar, serta faktor keadaan lingkungan.
Faktor-faktor tersebut selanjutnya akan memicu keadaan sumber daya
terbarukan, yang oleh Homer-Dixon dibedakan ke dalam tiga jenis yakni supplyinduced, demand-induced, dan structural scarcity. 4 Supply-induced scarcity
adalah keadaan di mana kelangkaan sumber daya terbarukan diakibatkan karena
semakin menipisnya jumlah ketersediaan sumber daya terbarukan. Faktor yang
mempengaruhinya adalah relasi kompleks faktor manusia dan alam, yang
mengakibatkan kemampuan produksi sumber daya terbarukan menjadi semakin
menurun baik secara kuantitas maupun kualitas.
Demand-induced

scarcity

merupakan

keadaan

kelangkaan

yang

disebabkan karena peningkatan jumlah permintaan terhadap sumber daya


terbarukan. Determinan utama yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah
karena adanya ledakan populasi di daerah tersebut, sehingga kebutuhan konsumsi
akan secara otomatis juga meningkat. Structural scarcity yakni kelangkaan akibat
adanya halangan struktur sosial, sehingga kelompok tertentu yang memiliki relasi
kuasa yang lebih lemah mengalami kelangkaan sumber daya terbarukan yang
lebih buruk dibandingkan kelompok yang lebih berkuasa baik secara politik,
ekonomi, maupun budaya.
Ketiga jenis kelangkaan di atas akan menghasilkan environmental scarcity,
yang selanjutnya akan mengakibatkan munculnya dampak-dampak sosial di
tengah masyarakat. Social effect yang merupakan tahapan kedua ini antara lain
akan menghasilkan migrasi, pengurangan produktivitas ekonomi dan elite-rent

ThomasF.HomerDixon,Environment,Scarcity,andViolence,NewJersey:PrincetonUniversity
Press, 1999,hal.134.
4
Ibid,hal.4748.

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

seeking, serta segmentasi sosial dan pelemahan institusi-institusi sosial. 5 Migrasi


terjadi akibat adanya perbandingan kualitas hidup (salah satunya faktor
lingkungan) yang didapatkan di daerah tujuan dengan daerah asal, semakin tinggi
gapnya maka motivasi untuk bermigrasi akan semakin tinggi pula.
Pengurangan produktivtas ekonomi bukan hanya membahas mengenai
menurunnya sektor ekonomi akibat adanya kelangkaan sumber daya terbarukan,
tetapi juga tidak tercapainya potensi ekonomi secara maksimal. Elite-rent seeking
adalah sebuah keadaan di mana para elite politik justru mencari profit dalam
keadaan kelangkaan sumber daya terbarukan. Segmentasi sosial merupakan
pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan etnis, ras, suku, agama, dan terkadang
partai politik, guna lebih menjamin aksesnya terhadap sumber daya terbarukan
yang semakin langka.
Pelemahan institusi sosial yakni menurunnya kapasitas negara akibat
adanya kelangkaan sumber daya terbarukan melalui empat cara. Pertama, tidak
direalisasikannya ekspektasi komitmen politik dan finansial yang tinggi dari
masyarakat, dalam sektor perbaikan lingkungan. Kedua, terjadinya tarik ulur
kepentingan golongan antara elite-elite politik dari pemerintahan yang tengah
berkuasa. Ketiga, adanya friksi-friksi sosial di tengah masyarakat. Keempat,
penurunan pada sektor pendapatan pajak neagra.
Dampak-dampak sosial yang terjadi di tengah masyarakat dapat semakin
meruncing dan memunculkan konflik yang lebih massive. Homer-Dixon
menggolongkan konflik yang muncul menjadi tiga varian, yakni group-identity
conflicts, coups detat, dan insurgency. 6 Group-identity conflict adalah konflik
horizontal yang terjadi antara kelompok-kelompok sosial yang tersegmentasi
berdasarkan etnis, ras, suku, agama, dan terkadang partai politik di tengah
masyarakat. Coups detat yaitu konflik yang diiringi dengan terjadinya kudeta
terhadap pemerintahan yang tengah berkuasa. Insurgencies merupakan konflik
vertikal antara kelompok tertentu yang tidak memiliki relasi kuasa dengan
pemegang status quo, dengan tujuan untuk menggulingkan rezim yang tengah
berkuasa.

5
6

Ibid,hal.80.
Ibid,hal.141147.

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

Terdapat tiga langkah pencegahan di dalam diagram model yang dibuat


oleh Thomas F. Homer Dixon, yakni first-stage, second-stage, dan third-stage
interventions. Dixon tidak menjelaskan secara khusus mengenai first-stage
interventions dan third-stage interventions di dalam bukunya. Sedangkan secondstage interventions adalah langkah pencegahan yang dilakukan setelah terjadinya
environmental scarcity. Langkah ini memiliki dua strategi utama, strategi pertama
masyarakat dapat terus menggunakan sumber daya yang menipis secara lebih
bijak dan menyediakan alternatif lain bagi kelompok masyarakat yang tidak
mendapatkan akses terhadap sumber daya langka tersebut, sedangkan strategi
kedua

menekankan

penghentian

penggunaan

sumber

daya

sehingga

menghilangkan ketergantungan terhadap seumber daya yang semakin langka


tersebut dan memicu munculnya sumber daya alternatif bagi masyarakat. 7

4. PEMBAHASAN
4.1. Faktor Ideasional dan Fisik pada Masyrakat Darfur
Mayoritas penduduk Darfur yang berprofesi sebagai petani, menggunakan
sistem pertanian tradisional tadah hujan. Sistem pertanian tadah hujan merupakan
sistem ladang berpindah ketika kualitas kesuburan lahan telah berkurang, yang
dipadankan pula dengan sistem transhumance, yakni metode pengembaraan
dengan hewan ternak serta menanam produk pertanian yang berumur pendek
(cepat panen) sebagai pemenuhan kebutuhan pokok, serta sistem pertanian
menetap yang juga melibatkan penggembalaan hewan ternak sebagai jaminan
ketersediaan makanan bagi para petani dan penggembala ketika musim kering
datang. 8 Sistem pertanian tradisional ini memang tidak melakukan ekspansi
secara besar-besaran, tetapi keadaan alam yang telah semakin terdegradasi
mengakibatkan sistem ini berkontibusi pada kelangkaan sumber daya terbarukan.
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim tentunya menjamah
pula wilayah Darfur, sehingga bentuk pertanian tradisional ini tidak lagi relevan
dengan upaya pelestarian lingkungan. Sistem pertanian tadah hujan dengan ladang

Ibid,hal.107.
GovernmentofSudan,30Juni2003,Sudan:StabilizationandReconstructionCountryEconomic
Memorandum(VolumeI),tersediadalam:http://www.fmoh.gov.sd/English/Reports/doc/cem%2
0part%201.pdf,diaksespada:1April2013.
8

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

berpindah, tidak berkontribusi terhadap upaya perbaikan lingkungan, sehingga


dampaknya lahan pertanian yang ditinggalkan justru semakin rentan terdegradasi
dan tak jarang mengalami penggurunan (desertification). Implikasinya adalah
lahan subur semakin berkurang, terganggunya siklus hidrologi, dan pembalakan
hutan menjadi tidak terhindarkan.
Sistem pertanian tadah hujan menggunakan teknologi yang sangat minim
karena kemiskinan yang tersebar luas seantero Sudan. Kemiskinan ini berkorelasi
pula dengan kualitas sumber daya manusia di Darfur, di mana melek huruf dan
pendidikan formal menjadi hal yang sangat mahal. Hal ini berdampak terhadap
transfer teknologi dan pengetahuan mengenai agrikultur yang sangat rendah di
Darfur, sehingga teknologi dan pengetahuan agrikultur yang lebih harmonis
dengan alam sulit berkembang di wilayah ini. Sisem pertanian tadah hujan
menjadi salah satu determinan yang cukup signifikan dalam mempengaruhi
degradasi lingkungan di Darfur, akibat faktor alam secara global yang juga
semakin terdegradasi.
4.2. Supply-induced Scarcity di Darfur
Ketersediaan air, lahan subur, dan hutan di Darfur terus mengalami
penurunan dalam beberapa periode terakhir. Bagian Utara Darfur, daerah El
Fasher tepatnya, curah hujan yang pada periode awal (1946-1975) berkisar pada
272,36mm menurun drastis menjadi 178,90mm pada periode kedua (1976-2005),
atau berkurang sebanyak -93,46mm (-34%). 9 Nyala, Selatan Darfur, mengalami
penurunan sebanyak -72,21mm atau -16%, sedangkan di El Geneina, Barat
Darfur, penurunan mencapai angka -136,50mm atau -24%. 10
Lahan subur di Darfur juga semakin menurun akibat adanya ekspansi pada
bidang pertanian yang mencapai angka 0,91 juta hektar pada tahun 1994/952001/02. 11 Peningkatan lahan pertanian di daerah Um Chelutta, Selatan Darfur
misalnya, yang mencapai 138% antara tahun 1978-2000, telah menyebabkan

United Nations Environment Program, Juni 2007, Sudan: PostConflict Environmental


Assessement,tersediadalam:http://www.unep.org/sudan/postconflict/,diaksespada:13Maret
2013.
10
Ibid.
11
Mahgoub G. Zaroug, 2006, Country Pasture/Forage Resource Profiles: Sudan, tersedia dalam:
http://www.fao.org/ag/AGP/AGPC/doc/Counprof/PDF%20files/Sudan_English.pdf, diakses pada:
30Januari2014.

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

penurunan drastis dari rangeland sebanyak 56% dan lahan hutan 32%. 12 Sistem
pertanian tadah hujan semakin memperburuk keadaan lingkungan karena tidak
terdapat upaya dalam perbaikan lingkungan.
Ketika lahan subur dan rangeland semakin menipis, pembalakan hutan
menjadi hal yang perlu dilakukan akibat tuntutan pemenuhan kebutuhan
agrikultur. Darfur telah mengalami deforestasi sebanyak 1,19% setiap tahunnya
pada periode 1973-2000, dengan jumlah total 30,3% dari luas hutan yang terdapat
di Darfur pada periode yang sama. 13 Studi ini menggunakan sampel luas lahan
hutan sekitar 2.500km2 di setiap areanya. Daerah Jebel Marra mengalami
penyusutan lahan hutan sejumlah 29,4%, sementara daerah Timbisquo berkurang
sebanyak 29,1%, dan daerah Um Chelutta merosot hingga 32,4% pada periode
1973-2000.
4.3. Demand-induced Scarcity di Darfur
1.503.000 orang menghuni Darfur Utara dengan angka pertumbuhan
populasi mencapai 3,2% pada periode 1998-2003, Darfur Barat memiliki
1.614.000 orang penduduk dengan angka pertumbuhan 2,4% pada periode yang
sama, dan jumlah populasi dan angka pertumbuhan tertinggi terdapat di Darfur
Selatan, masing-masing 2.859.000 orang dan 3,5%. 14 Berdasarkan data
kependudukan ini, wilayah Darfur memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.970.000
orang dengan angka pertumbuhan rata-rata sebesar 3,03%. Hal ini juga berarti
bahwa Darfur dihuni oleh sekitar 20% dari seluruh penduduk Sudan, jika
mengacu pada jumlah penduduk Sudan di tahun 2003 yang mencapai 30,3 juta
orang.
Angka pertumbuhan populasi yang cukup tinggi di Darfur mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan terhadap sumber daya terbarukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan konsumsi yang juga semakin melesat tajam. Total konsumsi
dan penggunaan air Sudan pada tahun 1990, diperkirakan sekitar 15,5km3,
kemudian meningkat pada tahun 1995 menjadi 17,8km3, dan kembali meningkat

12

UnitedNationsEnvironmentProgram,op.cit.
Ibid.
14
GovernmentofSudan,30Juni2003,Sudan:StabilizationandReconstructionCountryEconomic
Memorandum
(Volume
II),
tersedia
dalam:
http://www.fmoh.gov.sd/English/Reports/doc/cem%20part%202.pdf, diakses pada: 1 Februari
2014.
13

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

pada tahun 2000 menjadi 27,22km3. 15 Penggunaan terbesar adalah sektor


agrikultur yakni pada tahun 1990, 1995, dan 2000, masing-masing mencapai 96%,
94,38%, dan 96,07% dari total kebutuhan air. 16
Kebutuhan terhadap lahan subur juga mengalami peningkatan drastis,
ditandai dengan terus meningkatnya lahan pertanian di Sudan. Total lahan
pertanian permanen pada tahun 1992, 1997, dan 2002 masing-masing sebesar
115.000 hektar, 117.000 hektar, dan 125.000 hektar. 17 Permintaan lahan subur
yang meningkat memicu pula pembalakan hutan, sehingga hutan juga semakin
menipis seperti yang telah dibahas sebelumnya.
4.4. Structural Scarcity di Darfur.
Komposisi kekuasaan politik Sudan pada era modern, merupakan
manifestasi dari serangkaian proses sejarah panjang, dimulai dari invasi yang
dilakukan oleh Sultan Muhammad Ali Pasha pada 1820-1821, Perang Mahdiyya
1881-1885, dan kolonialisasi Inggris pada tahun 1898-1956. 18 Sejarah panjang
yang dialami Sudan, kemudian membentuk sebuah sistem kuasa politik yang telah
mengakar kuat, di mana bangsa Arab menguasai sektor-sektor pemerintahan, dan
etnis-etnis Afrika tidak terwakili secara politik. Gerakan-gerakan perlawanan
mulai muncul ke permukaan guna menuntut kesetaraan akses politik dan ekonomi
di Sudan. Ketidakstabilan pun terjadi, bukan hanya berasal dari luar pemerintahan,
tetapi juga dari dalam Pemerintah Sudan sendiri.
Ketidakstabilan ini diwarnai oleh perang sipil yang berkorbar di Sudan
Selatan yang diinisiasi oleh S.P.L.A. (Sudan People Liberation Army), dan kudeta
militer yang sedikitnya terjadi tiga kali di negeri ini. Kudeta ketiga dilakukan oleh
Jenderal Omar al-Bashir yang menggulingkan Presiden Sadiq al-Mahdi pada
tahun 1989, dan berkuasa hingga saat ini di Sudan. Salah satu kebijakan
kontroversial yang diambilnya adalah menghapuskan seluruh partai politik selain

15

FAO,
2013,
AQUASTAT
Database
(Water
Use),
tersedia
dalam:
http://www.fao.org/nr/water/aquastat/data/query/results.html?csv=1, diakses pada:2 Februari
2014.
16
Ibid.
17
FAO,
2013,
AQUASTAT
Database
(Land
Use),
tersedia
dalam:
http://www.fao.org/nr/water/aquastat/data/query/results.html?csv=1, diakses pada:2 Februari
2014.
18
RichardBarltrop,DarfurandTheInternationalCommunity:TheChallengesofConflictResolution
inDarfur,NewYork:I.B.Tauris,2011,hal.1314.

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

partainya yakni NIF (National Islamic Front), sehingga mekanisme check and
balances tidak terjadi dalam Pemerintah Sudan.
4.5. Migrasi Penduduk dari Luar Sudan
Tren penurunan imigran yang masuk ke Sudan terjadi sejumlah 1.273.141
orang pada tahun 1990, menjadi 1.111.143 orang pada tahun 1995, dan kembali
menurun menjadi 853.867 orang pada tahun 2000. 19 Meski secara umum jumlah
imigran di Sudan mengalami penurunan pada periode 1990-2000, tidak secara
otomatis menurunkan tensi segmentasi sosial yang dapat menimbulkan friksifriksi di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan populasi di
Sudan sendiri mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Meski tren penurunan terjadi pada migrasi di Sudan, akan tetapi
setidaknya migrasi turut ambil bagian dalam peningkatan jumlah populasi di
Sudan. Ledakan populasi inilah yang selanjutnya semakin meningkatkan potensi
friksi sosial di masyarakat, mengingat sumber daya terbarukan semakin langka.
Persaingan di tengah masyarakat dalam mendapatkan akses air, lahan, subur, dan
hutan di Darfur menjadi tidak terhindarkan.
4.6. Penurunan Produktivitas Ekonomi Sudan
Sektor agrikultur, kehutanan, perikanan, dan perburuan merupakan sektor
ekonomi dengan persentase tertinggi yang berkontribusi terhadap GDP Sudan.
Sektor tersebut menyumbang sebesar 39,1% GDP Sudan, di mana sektor lainnya
bahkan tidak sampai memiliki persentase setengah dari angka persentase sektor
agrikultur. 20 Hal ini mengindikasikan bahwa sektor agrikultur merupakan sektor
ekonomi yang paling strategis bagi perekonomian Sudan.
Kelangkaan air, lahan subur, dan hutan telah terbukti mereduksi angka
produksi komoditas agrikultur utama di Sudan seperti sorgum, gandum, milet,
wijen, kacang tanah, kapas, dan bunga matahari di Sudan, meskipun angka
penurunannya tidak akan langsung terlihat secara signifikan. Penurunan produksi
secara massive misalnya terjadi pada perbandingan tahun 1988/89 dengan
1989/90. Produksi Sorgum menurun dari 4,425 juta ton menjadi 1,536, milet dari

19

United Nations. International Migrant Stock: The 2008 Revision, tersedia dalam:
http://esa.un.org/migration/p2k0data.asp,diaksespada:27Maret2013.
20
GovernmentofSudan,30Juni2003,Sudan:StabilizationandReconstructionCountryEconomic
Memorandum(VolumeII),op.cit.

10

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

496.000 ton menjadi 161.000 ton, wijen dari 194.000 menjadi 140.000 ton,
kacang tanah dari 587.000 ton menjadi 218.000 ton, kapas dari 329.000 menjadi
261.000 ton dan bunga matahari dari 46.000 ton menjadi 22.000 ton, sedangkan
gandum baru mengalami penurunan pada periode 1991/92-1992/93, dari 895.000
ton menjadi 453.000 ton. 21
4.7. Elite-rent Seeking Sudan
Transparency International, lembaga yang berbasis di Berlin, Jerman
setiap tahunnya merilis daftar negara-negara dengan tingkat korupsi terendah
hingga tertinggi. Pada tahun 2003 lembaga tersebut melakukan riset di 133 negara
di seluruh dunia. Hasilnya cukup miris, di mana tingkat korupsi di Sudan menurut
Transparency International berada pada urutan 106 dengan skor Corruption
Perception Index (CPI) sebesar 2.3. 22
Laporan di atas menjelaskan mengenai posisi Sudan pada tahun 2003 yang
dengan kata lain dikategorikan sebagai negara dengan praktik korupsi tinggi. Skor
dari CPI yang dimiliki Sudan sangat rendah, dari nilai tertinggi 10.0, Sudan hanya
mendapatkan poin 2.3. Sudan masuk ke peringkat jajaran terbawah yakni 106, di
mana peringkat terendah adalah urutan ke-133.
4.8. Segmentasi Sosial di Darfur
Penduduk Sudan yang berjumlah 30,3 juta jiwa pada tahun 2003, tersebar
di seluruh wilayah Sudan dan sebanyak 1.976.000 jiwa memadati tiga negara
bagian di wilayah Darfur (Darfur Utara, Barat, dan Selatan). Pluralitas menjadi
salah satu indikator yang dimiliki oleh masyarakat Darfur. Masyrakat Darfur
terdiri dari setidaknya 36 jenis kelompok etnis yang saling berinteraksi di bawah
Pemerintah Sudan di Khartoum.
Terdapat sekitar 1.060.000 orang etnis non-Arab yang terdiri dari
Zaghawa, Masalit, dan Fur di Darfur pada tahun 2003, di mana ketiga etnis Afrika
tersebut berjumlah sekitar 54% dari total seluruh penduduk Darfur, yang memiliki
tingkat pluralitas yang cukup tinggi dengan 36 etnis yang menduduki wilayah

21

Ibid.
Transparency International, Corruption Perception Index 2003, tersedia dalam:
http://www.integriteitoverheid.nl/fileadmin/BIOS/data/Publicaties/Downloads/Corruption%20P
erception%20Index%20_Transparancy%20International_2003.pdf,diaksespada:1April2013.

22

11

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

ini. 23 Sedangkan 46% lainnya merupakan jumlah kumulatif dari etnis-etnis lain
yang jumlahnya berbeda-beda dan sebagian besar terdiri dari bangsa Arab yang
juga memiliki suku-suku tertentu pula di dalamnya. Pluralitas ini tentu membawa
potensi friksi sosial yang semakin besar di dalam masyarakat Darfur, ditambah
lagi dengan terjadinya environmental scarcity di wilayah ini.
UNEP mencatat setidaknya terdapat 19 konflik-konflik horizontal di
Darfur pada periode 1990-2000, yang dilatarbelakangi oleh perebutan lahan
pertanian, penggembalaan, akses air, wilayah administrasi, dan kuasa politik yang
sifatnya lokal, di mana sebagian besar melibatkan etnis Zaghawa, Masalit, dan
Fur. 24 Skala konflik yang ditimbulkan memang belum cukup signifikan, karena
konflik-konflik yang muncul tidak terorganisir dengan baik dan sifatnya sangat
sporadis. Meski demikian, hal ini telah cukup membuktikan bahwa segmentasi
sosial yang diiringi dengan keadaan environmental scarcity di Darfur, telah
membawa potensi friksi sosial yang cukup tinggi di wilayah ini.
4.9. Weakened Institution di Sudan
Alokasi APBN dalam memperbaiki keadaan lingkungan di Sudan
memiliki tren penurunan, dan merupakan faktor pertama yang dapat menurunkan
kapasitas Pemerintah Sudan sebagai institusi sosial. Hal ini dikarenakan tidak
direalisasikannya

ekspektasi

masyarakat

mengenai

perbaikan

degradasi

lingkungan, sehingga social capital masyarakat semakin rendah. Pemerintah


Sudan telah menunjukkan komitmen politik dan fiskal yang sangat rendah,
padahal tuntutan masyarakat mengenai perbaikan di sektor lingkungan cenderung
tinggi. Anggaran bagi sektor agrikultur, irigasi, dan suplai air minum pada tahun
1998 misalnya, dialokasikan sebesar 0,09%, 0,34%, dan 0,03% dari persentase
GDP, pada prakteknya menurun menjadi 0,01%, 0,19%, dan 0,01% saja dari
persentase GDP. 25

23

Data dikutip dan diolah dari dua sumber, yakni Government of Sudan, 30 Juni 2003, Sudan:
StabilizationandReconstructionCountryEconomicMemorandum(VolumeII),op.cit.danCultural
Survival,
The
Peoples
of
Darfur,
tersedia
dalam:
http://www.culturalsurvival.org/publications/voices/32/peoplesdarfur, diakses pada: 1 April
2013.
24
UnitedNationsEnvironmentProgram,op.cit.
25
GovernmentofSudan,30Juni2003,Sudan:StabilizationandReconstructionCountryEconomic
Memorandum(VolumeI),op.cit.

12

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

Aktor-aktor pembuat kebijakan di Sudan justru saling bekerja sama demi


mendapatkan profit di tengah kelangkaan sumber daya terbarukan. Hal ini
merupakan faktor kedua yang melemahkan kapasitas Pemerintah Sudan. Rezim
Pemerintah Sudan di bawah Presiden Omar al-Bashir terus berusaha melemahkan
lawan-lawan

politiknya

demi

melanggengkan

kekuasaannya

di

dalam

pemerintahan. Pembagian Darfur ke dalam tiga wilayah administrasi menjadi


bukti nyata usaha tersebut, mengingat secara historis Darfur merupakan basis
kekuatan dari salah satu partai lain di Sudan, yakni Umma Party. 26
Konflik-konflik horizontal yang marak terjadi di Darfur, menjadi faktor
ketiga yang semakin melemahkan kapasitas Pemerintah Sudan. Masyarakat
Darfur yang kehilangan kepercayaan terhadap rezim pemerintah yang berkuasa,
lebih memilih jalan anarkis dalam rangka memperebutkan akses sumber daya
terabarukan yang semakin langka. Pemerintah Sudan telah kehilangan social
capital di tengah masyarakat, sehingga legitimasi dan kredibilitasnya akan
semakin menurun. Konflik-konflik horizontal berlatar belakang kompetisi
terhadap akses sumber daya terbarukan seperti air dan lahan subur untuk
penggembalaan seperti yang telah dibahas sebelumnya, menjadi bukti empiris
bahwa friksi-friksi sosial memang terjadi di Darfur.
Penurunan social capital juga akan mempengaruhi perilaku masyarakat
Sudan dalam membayar pajak. Terdapat pola fluktuatif dalam persentase
pendapatan pajak Pemerintah Sudan terhadap GDP, dan ini merupakan faktor
terakhir yang melemahkan kapasitas Pemerintah Sudan. Pajak yang merupakan
salah satu instrumen nyata dari partisipasi politik, dapat merepresentasikan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap rezim yang tengah memerintah. Sehingga pola
fluktuatif dalam pembayaran pajak yang ditunjukkan oleh masyarakat Sudan,
mengindikasikan tingkat kepercayaan yang juga menurun terhadap Pemerintah
Sudan. Penurunan pendapatan pajak dari persentasenya terhadap GDP Sudan
antara lain terjadi pada tahun 1990/91, 1993/94, 1994/95, 1996,1997, dan 2000,
dengan angka persentase berturut-turut 5%, 5,7% 3,8%, 5,6%, 5,4%, dan 5,5%,
menurun dari persentase-persentase pada tahun sebelumnya. 27

26

RichardBarltrop,loc.cit.,hal.31.
GovernmentofSudan,30Juni2003,Sudan:StabilizationandReconstructionCountryEconomic
Memorandum(VolumeII),op.cit.

27

13

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

4.10. Group-Identity Conflict di Darfur pada Tahun 2003


Segmentasi sosial di Darfur merupakan hasil dari relasi kompleks
tingginya pluralitas dan sejarah panjang yang mewarnai hubungan antarkelompok etnis di wilayah ini. Darfur yang dihuni sekitar 36 kelompok etnis
berbeda telah lama terpolarisasi dan membentuk karakter we-they dalam relasi
sosial antar-kelompok etnis. Environmental scarcity yang telah lama melanda
wilayah ini, menjadikan kelompok-kelompok etnis ini semakin memiliki ikatan
yang kuat (inward looking). Hal ini diperlukan karena ikatan kuat dalam
kelompok etnis akan lebih menjamin individu-individu tersebut mendapatkan
akses lebih terhadap air, lahan subur, dan hutan yang semakin menjadi komoditas
langka di Darfur. Selain itu, kompetisi antar-kelompok yang seringkali berakhir
menjadi konflik-konflik sporadis dan berskala kecil juga menjadi pertimbangan
untuk penduduk Darfur memilih bergerak secara berkelompok. Structural scarcity
yang juga merupakan hasil dari sejarah panjang mengenai relasi kuasa di Sudan,
menjadikan pilihan untuk bergerak berkelompok berdasarkan identitas semakin
kuat, karena adanya kesamaan latar belakang dalam nilai, norma, struktur sosial,
serta persamaan nasib antar-anggota di dalam kelompok etnis.
Konflik-konflik horizontal menjadi hal yang tidak terhindarkan, ketika
segmentasi sosial dan polarisasi berdasarkan kelompok identitas semakin kental di
tengah masyarakat Darfur. Sejarah mencatat begitu banyak konflik horizontal
yang bermunculan di wilayah ini. Bahkan berdirinya negara modern Sudan yang
ditandai dengan kemerdekaan pada tahun 1956, belum mampu meredam konflik
horizontal yang merupakan manifestasi dari perebutan akses sumber daya
terbarukan yang semakin langka. Konflik-konflik horizontal yang kerap kali
terjadi ini, justru mengerucut menjadi sebuah konflik yang berskala besar dan
lebih terorganisir, dan dikenal dunia sebagai salah satu bencana kemanusiaan
terburuk di era modern, yakni konflik Darfur pada tahun 2003.

5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan sebuah alternatif narasi
mengenai proses di balik meletusnya konflik Darfur, yang merupakan

14

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

salah satu bencana kemanusiaan terbesar di era modern. Konflik Darfur


yang selama ini dipandang sebagai konflik yang sangat kental dengan
nuansa politik dan ekonomi, ternyata juga memiliki sisi lain yang belum
banyak dieksplorasi secara mendalam, yakni dimensi lingkungan.
Selain faktor-faktor domestik, dimensi lingkungan di Sudan tidak dapat
dilepaskan dari degradasi lingkungan yang melanda seluruh dunia, dalam
bentuk pemanasan global dan perubahan iklim. Fenomena internasional ini
begitu signifikan dalam mempengaruhi musim tanam dan panen, kapasitas
air hujan, dan tentunya keadaan kelangkaan air, lahan subur, dan hutan
bukan hanya di Darfur atau Sudan, akan tetapi di seluruh pelosok bumi.
Komitmen politik dalam perbaikan lingkungan dari pemerintah yang
berkuasa perlu direalisasikan guna mengantisipasi meletusnya konflikkonflik bersenjata lainnya di negara-negara selain Sudan, akibat dari
degradasi lingkungan dan kelangkaan sumber daya terbarukan.
5.2. Saran
Pada intervensi tahap pertama, Pemerintah Sudan harus berperan aktif
dalam melakukan edukasi terhadap masyarakat Darfur mengenai
fenomena lingkungan yang tengah berkembang di ranah global, yakni
perubahan iklim dan pemanasan global.
Pada intervensi tahap kedua, Pemerintah Sudan dapat melakukan
intervensi dan mengakuisisi setiap lahan subur dan sumber air yang
tersedia di Darfur.
Pada intervensi tahap ketiga, penghentian eskalasi konflik menjadi hal
yang paling krusial. Pemerintah Sudan harus melakukan mediasi terhadap
kelompok-kelompok etnis yang tengah berkonflik dalam memperebutkan
akses sumber daya terbarukan yang semakin langka.
Konflik kontemporer baik vertikal maupun horizontal, domestik maupun
internasional, atau yang melibatkan aktor tradisional maupun nontradisional, dapat dikaji menggunakan model yang sama di dalam
penelitian ini. Sebut saja seperti konflik Libya, konflik Tunisia, konflik
Suriah, konflik Mesir, dan yang terbaru konflik Ukrania misalnya, sangat
mungkin untuk dibahas dengan menggunakan perspektif lingkungan.

15

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barltrop, Richard. (2011). Darfur and The International Community: The
Challenges of Conflict Resolution in Darfur. New York: I. B. Tauris.
Homer-Dixon, Thomas F. (1999). Environment, Scarcity, and Violence. New
Jersey: Princeton University Press.
Jurnal
Anonymous,

Government

of

Sudan.

(2003).

Sudan:

Stabilization

and

Reconstruction Country Economic Memorandum (Volume I) [online].


Tersedia dalam: <http://www.fmoh.gov.sd/English/Reports/doc/cem%20p
art%201.pdf>. [Diakses pada: 1 April 2013].
Anonymous,

Government

of

Sudan.

(2003).

Sudan:

Stabilization

and

Reconstruction Country Economic Memorandum (Volume II) [online].


Tersedia dalam: http://www.fmoh.gov.sd/English/Reports/doc/cem%20par
t%202.pdf>. [Diakses pada: 1 Februari 2014].
Anonymous. (2007). Sudan: Post-Conflict Environmental Assessement [online].
Tersedia dalam: <http://www.unep.org/sudan/post-conflict/>. [Diakses
pada: 13 Maret 2013].
Apsel, Joyce. The Complexity of Destruction in Darfur: Historical Processes and
Regional Dynamics dalam Hum Rights Rev (2009) [online]. Tersedia
dalam: <http://search.proquest.com/docview/194788460?accountid=46437
>. [Diakses pada 8 Oktober 2013].
Murphey, Dwight D. Do Something About Darfur: A Review of the
Complexities dalam The Journal of Social, Political, and Economic
Studies

(2008).

Tersedia

dalam:

<http://search.proquest.com/docview/216799854/fulltextPDF/1421BFC88
A91A9C4FBF/2?accountid=46437>. [Diakses pada 3 Desember 2013].
Simon, Catherine. In The Misery of Darfur dalam Index on Censorship (2005)
[online]. Tersedia dalam: <http://ioc.sagepub.com/content/34/1/197.full.pd
f+html>. [Diakses pada 8 Oktober 2013].
Ylnen, Aleksi. Grievances and the Roots of Insurgencies: Southern Sudan and
Darfur dalam Peace, Conflict and Development: An Interdisciplinary

16

KORELASI ENVIRONMENTAL SCARCITY TERHADAP GROUP


IDENTITYCONFLICTDIDARFUR,SUDANTAHUN2003
HubunganInternasional
FISIP

Journal

Vol.

(July

2005).

FerryMaulanaPrateja
(105120407111030)
UniversitasBrawijaya

Tersedia

dalam:

<http://www.bradford.ac.uk/ssis/peace-conflict-and-development/issue7/Roots-of-insurgences.pdf>. [Diakses pada 3 Desesmber 2013].


Zaroug, Mahgoub G. Country Pasture/Forage Resource Profiles: Sudan [online].
(2006). Tersedia dalam: <http://www.fao.org/ag/AGP/AGPC/doc/Counpro
f/PDF%20files/Sudan_English.pdf>. [Diakses pada: 30 Januari 2014].
Website
Cultural

Survival,

The

Peoples

of

Darfur

[online].

Tersedia

dalam:

<http://www.culturalsurvival.org/publications/voices/32/peoples-darfur>.
[Diakses pada: 1 April 2013].
FAO. (2013). AQUASTAT Database (Land Use) [online]. Tersedia dalam:
<http://www.fao.org/nr/water/aquastat/data/query/results.html?csv=1>.
[Diakses pada: 2 Februari 2014].
FAO. (2013). AQUASTAT Database (Water Use) [online]. Tersedia dalam:
<http://www.fao.org/nr/water/aquastat/data/query/results.html?csv=1>.
[Diakses pada: 2 Februari 2014].
FAO.

Forest

Area

Statistics:

Sudan

[online].

Tersedia

dalam:

<http://www.fao.org/forestry/country/32185/en/sdn/>. [Diakses pada 26


November 2013].
Transparency International. Corruption Perception Index 2003 [online]. Tersedia
dalam: <http://www.integriteitoverheid.nl/fileadmin/BIOS/data/Publicaties
/Downloads/Corruption%20Perception%20Index%20_Transparancy%20I
nternational_2003.pdf>. [Diakses pada: 1 April 2013].
United Nations. International Migrant Stock: The 2008 Revision [online].
Tersedia dalam: <http://esa.un.org/migration/p2k0data.asp>. [Diakses
pada: 27 Maret 2013].

17

Anda mungkin juga menyukai