Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

GuillainBarr syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala dengan onset yang akut
yang merupakan penyakit yang dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh yang menyerang
sistem saraf perifer. GBS pertama kali dijelaskan oleh Landry pada tahun 1859, kemudian
oleh Eichorst pada tahun 1877, dan Leyden pada tahun 1880 yang menjelaskan mengenai
neuropati perifer. Pada tahun 1916, Guillain dan Barre menjelaskan mengenai karakteristik
temuan CSF dimana ditemukan peningkatan konsentrasi protein namun tanpa disertai
dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami kelemahan.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat menyerang
semua umur. Insidensi GBS bervariasi, diperkirakan kejadian tahunan keseluruhan GBS di
Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-lakidan wanita memiliki rasio 3: 2. Beberapa infeksi telah terlibat dalam perkembangan GBS.
Sekitar dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal
telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti yang paling kuat
adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga telah dilaporkan pada infeksi
berikut dengan Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, cytomegalovirus, dan
Epstein-Barr.
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia
pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat
asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan
kemudian menghilang sama sekali.2,3 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari
ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun
minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. 1,2
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala
yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal. 3
Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak

anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak
yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.2,3
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac
arrest, facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.
Hipertensi terjadi pada 10 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
1,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
GuillainBarr syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu kelainan
sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya
sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif.2,4 GuillainBarr syndrome ini memiliki beberapa subtipe yaitu:4
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan klinis
patologi multifocal peripheral demyelination yang dapat dipengaruhi baik oleh
mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat progresif dengan
kelemahan tubuh yang simetris, dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia.
2. Acute motor axonal neuropathy disebabkan oleh adanya antibodi yang terbentuk dalam
tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson
saraf motorik perifer tanpa disertai adanya proses demyelinisasi. Berhubungan dengan
infeksi Campylobacter jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy memiliki mekanisme yang sama dengan Acute
motor axonal neuropathy tetapi terdapat proses degenerasi aksonal sensoris, sehingga
pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4. Miller Fisher syndrome terjadi proses demyelinisasi, dimana antibodi imunoglobulin G
merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher syndrome merupakan kasus
yang jarang terjadi, yang memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia
dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan
ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus.
3

5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana kasus ini sangat
jarang terjadi. Gejalanyaberupa gejala otonom khususnya pada kardiovaskuler dan visual,
kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini.

2.2 Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin,
material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut dengan demyelinisasi.
Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau
berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan
menyerang beberapa saraf. 2,4
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.2
Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang disebabkan oleh
reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu
yaitu organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang
mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibodi antigangliosida
yang akan menyerang saraf. Antibodi spesifik yang dirangsang dan area targetnya dalam
saraf dapat menjelaskan subtipe yang berbeda dari GBS. Kurang dari satu per 1.000 pasien
dengan Infeksi C. jejuni menyebabkan GBS, dimana faktor host memainkan peran penting
dalam proses patologis. Namun, penelitian belum mengidentifikasi faktor yang
meningkatkan suatu risiko individu terkena GBS. GBS telah terbukti menyebabkan gejala
melalui daerah multifokal dari sel infiltrat mononuklear dalam saraf perifer. AIDP
merupakan subtipe paling umum dari GBS,pada kondisi ini terjadi kerusakan myelin yang
dominan, sedangkan pada akut neuropati motorik akson, nodus Ranvier menjadi
sasarannya.4

2.3 Epidemiologi
Diperkirakan kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per
100.000 orang. Insiden meningkat terus dari 0,62 per 100.000 orang pada mereka yang lebih
muda dari sembilan tahun menjadi 2,66 per 100.000 orang pada mereka 80-89 tahun. Laki4

laki-dan wanita memiliki rasio 3: 2. Beberapa infeksi telah terlibat dalam perkembangan
GBS. Sekitar dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala
gastrointestinal telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti
yang paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga telah
dilaporkan pada infeksi berikut dengan Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae,
cytomegalovirus, dan Epstein-Barr.2,4,5
2.4 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya GuillainBarr syndrome sebenarnya masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya
antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen
infeksius pada saraf tepi, adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan didapatkannya
penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang
menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.6
Perjalanan penyakit GuillainBarr syndrome umumnya diawali oleh kejadian atau
faktor pemicu lain seperti infeksi, vaksinasi dan trauma, yang paling sering adalah infeksi.
Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel
Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel
limfosit T. Sel limfosit T ini selanjutnya mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan
memproduksi autoantibodi spesifik yang dapat merusak atau mendestruksi mielin maupun
akson dari saraf tepi. Destruksi tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan
sinyal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah
dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.6,7,8
Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah virus
dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya
sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Teori lain mengatakan
bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada
memiliki sifat yang sama dengan myelin.7

Teori - teori tersebut diperjelas dengan adanya empat faktor utama yang diketahui
berperan dalam perjalanan penyakit GBS, antara lain antibodi antigangliosida, mimikri
molekular dan reaktivitas silang, aktivasi komplemen, dan faktor penjamu (host).8

2.4.1 Antibodi antigangliosida


Pada lebih dari separuh pasien GBS, ditemukan antibodi serum terhadap berbagai
gangliosida di saraf tepi, meliputi LM1, GM1, GM1b, GM2, GD1a, Ga1Nac-GD1a, GD1b,
GD2, GD3, GT1a, dan GQ1b. Sebagian besar antibodi spesifik terhadap subtipe dari GBS
itu sendiri. Antibodi GM1, GM1b, GD1a dan Ga1Nac-GD1a berhubungan dengan GBS
motorik murni atau varian aksonal. Sedangkan antibodi GD3, GT1a, GQ1b berhubungan
dengan oftalmoplegi dan Miller Fisher Syndrome (MFS) (Tabel 1)8

Tabel 1 Spektrum subtipe GBS dan serum antibodi antigangliosida


Subtipe

Antibodi

Acute inflammatory

Tidak diketahui

demyelinating
poliradiculoneuropathy (AIDP)
Acute motor (and sensory)

GM1, GM1b, GD1a dan

axonal neuropathy (AMAN /

Ga1Nac-GD1a

AMSAN)
MFS dan GBS overlapping

GD3, GT1a, GQ1b

syndrome

2.4.2 Mimikri molekuler dan reaksi silang

Campylobacter jejuni yang diisolasi dari pasien GBS dapat mengekspresikan lipooligosakarida (LOS) pada dinding bakteri, menyerupai karbohidrat dari gangliosida.
Mimikri molekuler ini membentuk antibodi antigangliosida yang menyerang saraf perifer.
Tipe mimikri gangliosida C.jejuni

berbeda beda, tergantung spesifisitas antibodi

antigangliosida dan berhubungan dengan subtipe GBS. C.jejuni yang diisolasi dari pasien
GBS motorik atau aksonal umumnya mengekspresikan GM-1like dan GD1a-like LOS. Di
sisi lain, C.jejuni yang diisolasi dari pasien dengan optalmoplegi atau MFS biasanya
mengekspresikan GD3-like, GT1a-like atau GD1c-like LOS. Berbagai antibodi pada pasien
pasien tersebut umumnya memiliki reaksi silang dan mengenali LOS seperti gangliosida
atau kompleks gangliosida.8,9

2.4.3 Aktivasi Komplemen


Studi post mortem menunjukkan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada lokasi
kerusakan saraf, seperti pada axolemma pada pasien AMAN dan membran sel Schwann
pada pasien AIDP. Beberapa antibodi antigangliosida sangat toksik terhadap saraf perifer.
Dalam studi percobaan, efek menyerupai -latrotoxin dapat diinduksi pada tikus percobaan,
dikarakteristikkan dengan pelepasan secara dramatis, menyebabkan deplesi neurotransmiter
tersebut pada ujung saraf, blokade transmisi saraf, dan paralisis saraf-otot. Ujung saraf dan
sel Schwann perisinaptik juga akan dihancurkan. Antibodi terhadap GM-1 mempengaruhi
kanal natrium pada nodus Ranvier pada saraf perifer kelinci. Hal - hal tersebut nampaknya
bergantung pada aktivasi komplemen dan pembentukan membran attack complex (MAC)
efek neurotoksisk akibat antibodi tersebut dapat dihambat oleh imunoglobulin dan inhibitor
komplemen eculizumab.8

2.4.4 Faktor Penjamu


Kurang dari 1 per 1000 pasien dengan infeksi C jejuni akan menderita GBS. Meskipun
bebrapa waktu terjadi peningkatan insiden, namun tidak pernah dilaporkan adanya epidemik
atau wabah GBS. Faktor penjamu mungkin mempengaruhi suseptibilitas terhadap GBS,
atau perluasan kerusakan saraf dan keluaran yang dihasilkan. Single-nucleotide
polymorphisms (SNPs) tidak memiliki hubungan yang konsisten dengan suseptibilitas
7

terhadap GBS. Namun, SNP tersebut nampaknya memiliki peranan sebagai faktor yang
memodifikasi penyakit. Terdapat hubungan antara keparahan penyakit atau keluaran dan
SNP pada gen yang mengkode mannose-binding lectin, Fc gamma receptor III, matrix
metalloproteinasi 9, dan TNF-.8,9

Gambar 1 Imunobiologi dalam perjalanan penyakit GBS


9

2.5 Manifestasi Klinis


GBS dapat menimbulkan gejala gejala di daerah multifokal dari infiltrasi sel monuklear
pada saraf perifer. Lokasi dan keparahan inflamasi berkaitan dengan manifestasi klinis. Pada
AIDP, mielin lebih dominan mengalami kerusakan, sedangkan pada AMAN, nodus ranvier
merupakan target inflamasi.9
GBS akan menimbulkan paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia
pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat
asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan
kemudian menghilang sama sekali.7
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan
saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi pada masing masing individu, mulai
dari kelemahan sampai pada kuadriplegia flaksid.7,9
Kelemahan lanjut dapat melibatkan otot otot respiratorik dan sekitar 25% pasien
yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Kegagalan respirasi lebih umum terjadi pada
pasien dengan progresi gejala yang cepat, kelemahan anggota gerak atas, disfungsi otonom,
atau kelumpuhan bulbar. Kelemahan biasanya mencapai puncak pada minggu kedua, diikuti
dengan fase plateu dengan durasi yang bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi
dengan gejala disabilitas sisa. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus, biasanya
meliputi kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan pada susunan saraf
pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling
sering (50%) adalah bilateral facial palsy.7,9
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala
yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal.
Gejala sensoris ini umumnya ringan, kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN.7,9
Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama pada
anak anak. Nyeri, terutama saat bergerak, dilaporkan pada 50 89% pasien GBS. Nyeri
yang dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching atau cramping / kaku
(menyerupai sciatica) pada otot yang terserang, sering memburuk pada malam hari. Nyeri
10

bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal
pada lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda.7,9
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Gejala
otonom terjadi pada dua per tiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan darah (hipotensi
atau hipertensi),

takikardi, aritmia jantung bahkan cardiac arrest, ortostasis,

facial

flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas gastrointestinal. Hipertensi
terjadi pada 10 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.7,9
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai
BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan
tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).7
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus
dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan
aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot interkostal. Tanda rangsang
meningeal seperti tanda kernig dan kaku kuduk mungkin dapat ditemukan. Refleks
patologis seperti refleks Babinski umumnya negatif.7,8 Secara lebih ringkas, subtipe dan
gejala GBS dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Gambaran klinis dan patologis subtipe GBS 9
Subtipe
AIDP

Gambaran patologis
- Demielinisasi

(Acute
inflammatory

demyelinating
polyradiculopathy)

Gambaran klinis
- Subtipe yang paling sering terjadi

perifer multifokal

(lebih dari 90% pasien GBS di

Remielinisasi yang

Amerika Serikat)

lambat

Kelumpuhan simetris dan progresif

Mekanisme

Hiporefleksia atau arefleksia

AMAN atau AMSN meliputi sekitar

humoral

dan

AMAN

(Acute

seluler
Antibodi

motor

Axonal

antigangliosida GM1,

5-10% kasus GBS.

GD1a, Ga1Nac-GD1a, -

Berhubungan erat dengan infeksi

GD1b pada axon saraf

C.jejuni; lebih sering terjadi saat

motorik perifer; tidak

musim panas, pada pasien pasien

ada demielinisasi

muda dan China atau Jepang.

Neuropathy)

11

Hanya gejala motorik yang hilang

AMSAN

(Acute

Refleks tendon dalam dapat tidak

muncul
Menyerupai AMAN, namun yang lebih

Mekanisme

motor-sensory

menyerupai neuropati dominan yaitu keterlibatan sensorisnya.

axonal neuropathy)

axonal motorik akut,

Miller

Fisher

Syndrome

namun

dengan

degenerasi

axonal

sensorik.
- Demielinisasi
-

Antibodi

IgG -

melawan

Jarang (3% GBS di Amerika serikat)


Optalmoplegi bilateral
Ataksia

gangliosida GQ1b, -

Arefleksia

GD3, dan GT1a

Kelemahan

facial,

bulbar

(50%

kasus)

Acute

autonomic

Mekanisme tidak jelas

neuropathy

Kelemahan badan dan ektremitas

(50% kasus)
Subtipe yang paling jarang

Gejala

otonomik,

terutama

kardiovaskuler dan visual


-

Hilangnya sensoris

Penyembuhan lama, dapat inkomplit

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan hasil LED umumnya normal atau sedikit
meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal, haemoglobin dalam batas normal, pada
darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang
imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut,
dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat
sedikit atau normal. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur
jaringan.

12

Pemeriksaan cairan Serebrospinal (CSS)


Yang paling khas adalah pada pemeriksaan cairan cerebrospinal, dimana ditemukan adanya
kenaikan kadar protein ( 1 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh
Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada kebanyakan kasus,
pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein
mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik
dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10
leukosit mononuclear/mm. 10

Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf (KHS) dan Elektromiografi (EMG)


Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir
minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu pertama serangan
gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal laten (75%), konduksi
blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi
penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal laten (92%) dan
penurunan kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas
tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik distal yang menandai blok konduksi distal
dan prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian
proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Degenerasi aksonal
dengan potensial fibrilasi yang dapat dijumpai 2-4 minggu setelah onset gejala telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada
pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan
yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG. 13

Pemeriksaan patologi anatomi


Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel
13

radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat,
mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel limfosit
dan sel mononuclear lain juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ
lainnya.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari ke 13
setelah timbulnya gejala. Lumbosacral MRI akan memperlihatkan peningkatan pada akar
nervus cauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut. 12,13
Pemeriksaan lain
Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah Elektrokardiografi (EKG) yang
biasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan yang ditemukan tidak
diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum Creatinin Kinase (CK) biasanya normal
atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau pengukuran kapasitas vital paru biasanya
menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending). Intubasi
dan mekanisme ventilasi harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada dibawah 15
mL/kg/BB atau tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak
diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya
denervation atrophy.

2.7 Diagnosis
Diagnosis GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni:10
Fase Progresif
14

Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua hingga tiga minggu sejak timbulnya
gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini, akan
timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala
bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang muncul pada penderita.
Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Fase Plateau
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan
tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada pasien biasanya
didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan sendi. Keadaan umum
penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi.
Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan
fungsi yang masih ada. Pengawasan rutin terhadap tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis haruslah dilakukan.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa
pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
Fase Penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin, dan
gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan
kekuatan dan pergerakan otot yang normal dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang
berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul
relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan.
Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan perjalanan fase-fase,
Kriteria Diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
15

Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan untuk diagnosis GBS.
12,13

Gejala utama
-

Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa

disertai ataxia
Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan
-

Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu,

50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, 90% dalam 4 minggu.
Biasanya simetris
Adanya gejala sensoris yang ringan
Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat
terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar,kadang < 5% kasus

neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.


Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala

vasomotor.
Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah progresifitas berhenti.
penyembuhan umumnya fungsionil dapat kembali

Pemeriksaan LCS
-

Peningkatan protein
Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik
-

Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Gejala yang menyingkirkan diagnosis


-

Kelemahan yang sifatnya asimetri


Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
Gejala sensoris yang nyata

16

2.8 Diagnosis Banding


Antara diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan: 11,12
Miastenia gravis akut: Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis
dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada
miastenia, otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas serta tidak didapati defisit
sensorik ataupun arefleksia.
Thrombosis arteri basilaris: Dapat dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil masih
reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark batang
otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski.
Paralisis periodik: Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot
pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. Pada GBS, terdapat paralisis umum yang mendadak
dan boleh menyebabkan paralisis otot respirasi.
Botulisme: Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang
terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia, disertai dengan pupil yang non-reaktif
pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GBS.
Tick paralysis: Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi
pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.
Porfiria intermiten akut: Terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun pada
pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam aminolevulinik
delta. Pada GBS, terdapat keterlibatan paralisis otot respirasi, namun hasil pemeriksaan urin
dalam batas normal.
Neuropati akibat logam berat: Umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat
kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS.
Cedera medulla spinalis: Ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan
paralisis sfingter. Gejala hampir sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks tendon
akan menghilang.

17

Poliomyelitis: Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti
oleh paralisis flasid asimetrik.
Mielopati servikalis: Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul
paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta
refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam
melawan gaya gravitasi.

2.9 Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi
beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).14
Perawatan intensif di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai adalah hal yang
paling penting. Selain pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi umum, diperlukan
juga perawatan aktif.14
Sebuah review dari database Cochrane menunjukkan bahwa plasma exchange (PE)
atau pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg) memiliki efektifitas yang
ekuivalen dalam upaya penyembuhan pasien GBS jika pengobatan diberikan dalam 2
minggu setelah onset kelemahan. Sekitar 10% pasien membutuhkan pemberian pengobatan
ulangan karena mereka mengalamikelemahan sekunder setelah keadaan membaik setelah
pemberian terapi dengan plasma exchange (PE) atau IVIg yang pertama.14
Dalam banyak kasus karena alasan praktis (misalnya karena resiko yang rendah dan
aplikasi yang mudah), pengobatan dengan IVIg saat ini menjadi terapi lini pertama pada
pasien GBS.14
Hal lain yang penting adalah memulai fisioterapi pada fase awal untuk mencegah
berbagai permasalahan sekunder seperti kekakuan sendi. Rehabilitasi adalah sangat penting
dan harus dilakukan setelah pasien stabil dan memungkinkan untuk melakukan berbagai
macam gerakan dan mengikuti program latihan.14
18

Terapi Farmakologi

Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.15
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil yang
baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti
200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan
saat awal onset gejala (minggu pertama)15
Pengobatan imunosupresan15:
a

Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.15
Pada penelitian tentang terapi immunoglobulin intravena pada kasus GBS pada anak
yang dilakukan oleh Korinthenberg et al. ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada
kasus ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi memberikan peningkatan
pada kecepatan onset perbaikan klinis.16
Efek samping IVIg pada percobaan tersebut dikatakan ringan tetapi tidak sering
terjadi. Reaksi alergi, gangguan fungsi hati yang bersifat sementara, hipertonik, meningitis
aseptik, proteinuria, gangguan fungsi ginjal, dan peningkatan viskositas serum dilaporkan
pada orang dewasa dan anak yang mendapat terapi dengan IVIg.16
b

Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:


19

merkaptopurin (6-MP)

azathioprine

cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopesia, muntah, mual dan sakit kepala.16
Manajemen nyeri cukup sulit, namun karbamazepin atau gabapentin dapat membantu.
Dosis untuk karbamazepin yaitu 300mg/hari, dan untuk gabapentin 15mg/kgBB/hari.
Asetaminofen atau obat NSAID dapat dicoba sebagai terapi pertama pada sindrom GuillainBarre tetapi biasanya kurang efektif.17,18
2

Terapi Suportif
Respirasi harus diawasi secara ketat dan bila perlu lakukan trakeostomi. Penggunaan

ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telahterjadi paralysis otot-otot
respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini. Apabila terjadi
kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-lambung
(NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan. Monitor elektrokardiografi
juga harus secara rutin diperhatikan untuk mendeteksi gangguan fungsi jantung. Fisioterapi
aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat gerak, menjaga
fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan. Fisioterapi pasif setelah terjadi masa
penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot.14,19

2.10 Komplikasi
GuillainBarr Syndrome merupakan salah satu penyebab terbanyak dari paralisis
neuromuskular. Antara komplikasi lain yang boleh terjadi adalah gagal nafas, hipotensi,
tromboembolisme, pneumonia, aritmia jantung, aspirasi, retensi urin, gangguan psikiatri
misalnya depresi, polinneuropatia karena defisiensi metabolik (hipokalemia), dekubitus dan
kelumpuhan otot pernafasan. Kebanyakan pasien GuillainBarr Syndrome meninggal
20

dikarenakan gangguan otonom; henti jantung menjadi penyebab paling sering, bertanggung
jawab pada 20-30% kematian.15,18

2.11 Prognosis
Prognosis dari GuillainBarr Syndrome sendiri sulit untuk diprediksi pada pasien
individual karena variasi subsantasial dari gejala sisanya. Usia tua, sering dilaporkan dengan
prognosis yang buruk. Keparahan GuillainBarr Syndrome ditentukan pada fase awal
penyakit.20
Menurut pembelajaran RCT, telah diinvestigasi bahwa efek IVI atau PE pada pasien
yang tidak dapat berjalan dapat disimpulkan bahwa 20% pasien tetap tidak dapat berjalan
tanpa bantuan setelah 6 bulan. Pemeriksaan neurofisiologis dilaporkan membantu dalam
menilai resiko gagal nafas, yang mana paling tinggi pada pasien dengan pengurangan
kapasitas vital pada lebih dari 20% dan tanda-tanda dimielinasi sebagai pertanda oleh
pengurangan aksi potensial gabungan saraf peroneal proksimal atau distal.20
Gangguan konduksi saraf peroneal dan usia yang diatas 40 tahun merupakan predictor
tunggal dari ketidakmampuan selama 6 bulan. Baru-baru ini, dikembangkan sebuah system
scoring klinis yang sederhana (EGOS) yang dengan mudah digunakan pada pasien tingkat
akut. Ini juga secara akurat dapat memprediksi kesempatan untuk berjalan sendiri (tanpa
bantuan) setelah 6 bulan dan dapat dikalkulasikan selama 2 minggu pertama dari onset
penyakit berdasarkan usia, adanya diare yang mendahului dan skor cacat GuillainBarr
Syndrome. Berdasarkan EGOS sendiri, Kesempatan untuk sembuh pada pasien individual
bervariasi dari 1% sampai 83%. Akurasi dari skala ini dikonfirmaikan dalam sebuah
pembelajaran kohort pada pasien dengan GuillainBarr Syndrome. EGOS dapat digunakan
untuk memberikan informasi kepada pasien itu sendiri tentang prognosisnya, dan juga dapat
digunakan dalam percobaan pengobatan terbaru yang lebih spesifik pada pasien dengan
prognosis buruk dari GuillainBarr Syndrome.20
Hadden dan Gregson melaporkan bahwa GuillainBarr Syndrome yang didahului
infeksi Campylobacter jejuni cenderung memiliki penyakit yang lebih berat dan prognosis
yang lebih buruk jika dibandingkan dengan organisme atau antisenden lainnya. Prognosis
buruk yang lama juga bisa diperberat oleh faktor-faktor seperti usia tua, penyakit
21

penyebabnya, tingkat keparahan penyakit GuillainBarr Syndrome (apakah pasien


menggunakan ventilasi mekanik atau onset penyakitnya cepat), dan infeksi dengan
Campylobacter jejuni. Diperkirakan bahwa respon imun terhadap suatu infeksi yang
disebabkan oleh Campylobacter jejuni menyebabkan peningkatan degenerasi aksonal yang
bisa memperberat penyakit tidak secara menyeluruh.18

BAB III
PENUTUP

22

GuillainBarr Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai


adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Beberapa penelitian
menunjukkan beberapa faktor pencetus yang terlibat, diantaranya infeksi virus, vaksinasi,
dan beberapa penyakit sistemik. Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi
otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan. Terapi farmakoterapi dan
terapi fisik, prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi
aksonal, dan umur pasien. Tatalaksana untuk GuillainBarr Syndrome diantaranya
pasmaferesis dan IVIg serta terapi suportif. Penegakan diagnosis lebih dini akan
memberikan prognosis yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

23

1.

Burns, TM. Guillain Barre Syndrome. Department of Neurology, University


of Virginia, Charlottesville,Virginia. Thieme Medical Publishers. 2008; 28(2): 152-167.

2.

Ahadinarahma. Guillain Barre Syndrome. Rumah Sakit Angkatan Laut.


2014; 1-4

3.

Fokke C, Van den Berg S, Judith D, Christa W. Diagnosis of Guillain-Barre


syndrome andvalidation of Brighton criteria. Oxford University Press on behalf of the
Guarantors of Brain. Brain A Journal Of Neurology. 2014; 137: 133-147.

4.

Anne DW, Gretchen D. Guillain Barre Syndrome. University of Kansas


School of Medicine. American Academy of Family Physician. 2013; 87 (3): 191-7.

5.

Pieter AVD. Guillain Barre Syndrome. University Medical Center Rotterdam,


The Netherlands. Orpanet Encyclopedia. 2004: 1-5.

6.

Mardjono M. Sidharta P.GuillainBarr syndrome. Dalam: Neurologi Klinis


Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2000.p. 42, 87,176,421.

7.

Budihardja D. Guillain-Barre Syndrome. 2012. [Diakses tangal : 29


November 2014] Diunduh dari : http://www.docstoc.com/docs/110158954/Anak-RSALGuillain-Barre-syndrome-Debby-Budihardja

8.

Van Doorn P A, Ruts L, Jacobs B C. Clinical features, pathogenesis and


treatment of Guillain-Barre Syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939-50.

9.

Walling A D, Dickson G. Guillain-Barre Syndrome. American Family


Physician 2013; 87(3): 191-7.

10.

Emedicine Staff. Guillan-Barre Syndrome. Available from: URL :


http://www.emedicinehealth.com/guillain-barre_syndrome/article_em.htm.

[diakses

tanggal 5 Desember 2014]. Last update ; 2009.


11.

University Maryland Medicine. Guillain Barre Syndrome. Available from :


URL : http://www.umm.edu/nervous/guillain.htm. [diakses tanggal 5 Desember 2014].
Last update ; 2003.

24

12.

"Guillain-Barr Syndrome Fact Sheet," NINDS. Publication date July 2011.


NIH

Publication

No.

11-2902.

Available

from:

URL:

http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/detail_gbs.htm#267003139 [diakses tanggal 8


Desember 2014]
13.

Guillain-Barre Syndrome: Pathological, Clinical, and Therapeutical Aspects


By Silvia Iannello (Halaman 88 96)

14.

Bianca van den Berg, Pieter A. van Doorn.

GuillainBarr syndrome:

pathogenesis, diagnosis, treatment and prognosis. 15 July 2014. Citasi dari


www.nature.com/nrneurol/journal/v10/n8/abs/nrneurol.2014.121.html
15.

McGrogan A, Madle GC. The epidemiology of Guillain-Barr syndrome


worldwide. A systematic literature review. Neuroepidemiology 2009; 32: 150-163.

16.

Korinthenberg R, Schessl J. Intravenously administered immunoglobulin in


the treatment of childhood Guillain-Barr syndrome: a randomized trial. Pediatric
2005;116;8-14.

17.

David J. Wang, David A. Boltz. No evidence of a link between influenza


vaccines and Guillain-Barre syndromeassociated antiganglioside antibodies. 2011.

18.

McClellan, K., Armeau, E. Recognizing Guillain-Barr Syndrome in the


Primary Care Setting. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice. Jan
2007.

19.

dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy clinic dan Picky Eaters Clinic
Jakarta. Penatalaksanaan Rehabilitasi Medis, Terapi okupasi atau Fisioterapi Pada
Penyakit

Guillain-Barre

Syndrome.

Citasi

dari

http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-barre-syndrome-gbspenatalaksanaan-rehabilitasi-medis-terapi-okupasi-atau-fisioterapi/
20.

Pieter A. van Doorn, Erasmus MC. Diagnosis, treatment and prognosis of


Guillain-Barr syndrome (GBS). Department of Neurology, Rotterdam, The
Netherlands. 2013.

25

Anda mungkin juga menyukai