GBS
GBS
PENDAHULUAN
GuillainBarr syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala dengan onset yang akut
yang merupakan penyakit yang dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh yang menyerang
sistem saraf perifer. GBS pertama kali dijelaskan oleh Landry pada tahun 1859, kemudian
oleh Eichorst pada tahun 1877, dan Leyden pada tahun 1880 yang menjelaskan mengenai
neuropati perifer. Pada tahun 1916, Guillain dan Barre menjelaskan mengenai karakteristik
temuan CSF dimana ditemukan peningkatan konsentrasi protein namun tanpa disertai
dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami kelemahan.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat menyerang
semua umur. Insidensi GBS bervariasi, diperkirakan kejadian tahunan keseluruhan GBS di
Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-lakidan wanita memiliki rasio 3: 2. Beberapa infeksi telah terlibat dalam perkembangan GBS.
Sekitar dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal
telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti yang paling kuat
adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga telah dilaporkan pada infeksi
berikut dengan Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, cytomegalovirus, dan
Epstein-Barr.
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia
pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat
asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan
kemudian menghilang sama sekali.2,3 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari
ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun
minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. 1,2
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala
yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal. 3
Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak
anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak
yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.2,3
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac
arrest, facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.
Hipertensi terjadi pada 10 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
1,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
GuillainBarr syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu kelainan
sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya
sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif.2,4 GuillainBarr syndrome ini memiliki beberapa subtipe yaitu:4
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan klinis
patologi multifocal peripheral demyelination yang dapat dipengaruhi baik oleh
mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat progresif dengan
kelemahan tubuh yang simetris, dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia.
2. Acute motor axonal neuropathy disebabkan oleh adanya antibodi yang terbentuk dalam
tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson
saraf motorik perifer tanpa disertai adanya proses demyelinisasi. Berhubungan dengan
infeksi Campylobacter jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy memiliki mekanisme yang sama dengan Acute
motor axonal neuropathy tetapi terdapat proses degenerasi aksonal sensoris, sehingga
pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4. Miller Fisher syndrome terjadi proses demyelinisasi, dimana antibodi imunoglobulin G
merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher syndrome merupakan kasus
yang jarang terjadi, yang memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia
dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan
ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus.
3
5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana kasus ini sangat
jarang terjadi. Gejalanyaberupa gejala otonom khususnya pada kardiovaskuler dan visual,
kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini.
2.2 Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin,
material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut dengan demyelinisasi.
Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau
berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan
menyerang beberapa saraf. 2,4
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.2
Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang disebabkan oleh
reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu
yaitu organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang
mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibodi antigangliosida
yang akan menyerang saraf. Antibodi spesifik yang dirangsang dan area targetnya dalam
saraf dapat menjelaskan subtipe yang berbeda dari GBS. Kurang dari satu per 1.000 pasien
dengan Infeksi C. jejuni menyebabkan GBS, dimana faktor host memainkan peran penting
dalam proses patologis. Namun, penelitian belum mengidentifikasi faktor yang
meningkatkan suatu risiko individu terkena GBS. GBS telah terbukti menyebabkan gejala
melalui daerah multifokal dari sel infiltrat mononuklear dalam saraf perifer. AIDP
merupakan subtipe paling umum dari GBS,pada kondisi ini terjadi kerusakan myelin yang
dominan, sedangkan pada akut neuropati motorik akson, nodus Ranvier menjadi
sasarannya.4
2.3 Epidemiologi
Diperkirakan kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per
100.000 orang. Insiden meningkat terus dari 0,62 per 100.000 orang pada mereka yang lebih
muda dari sembilan tahun menjadi 2,66 per 100.000 orang pada mereka 80-89 tahun. Laki4
laki-dan wanita memiliki rasio 3: 2. Beberapa infeksi telah terlibat dalam perkembangan
GBS. Sekitar dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala
gastrointestinal telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti
yang paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga telah
dilaporkan pada infeksi berikut dengan Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae,
cytomegalovirus, dan Epstein-Barr.2,4,5
2.4 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya GuillainBarr syndrome sebenarnya masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya
antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen
infeksius pada saraf tepi, adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan didapatkannya
penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang
menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.6
Perjalanan penyakit GuillainBarr syndrome umumnya diawali oleh kejadian atau
faktor pemicu lain seperti infeksi, vaksinasi dan trauma, yang paling sering adalah infeksi.
Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel
Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel
limfosit T. Sel limfosit T ini selanjutnya mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan
memproduksi autoantibodi spesifik yang dapat merusak atau mendestruksi mielin maupun
akson dari saraf tepi. Destruksi tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan
sinyal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah
dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.6,7,8
Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah virus
dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya
sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Teori lain mengatakan
bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada
memiliki sifat yang sama dengan myelin.7
Teori - teori tersebut diperjelas dengan adanya empat faktor utama yang diketahui
berperan dalam perjalanan penyakit GBS, antara lain antibodi antigangliosida, mimikri
molekular dan reaktivitas silang, aktivasi komplemen, dan faktor penjamu (host).8
Antibodi
Acute inflammatory
Tidak diketahui
demyelinating
poliradiculoneuropathy (AIDP)
Acute motor (and sensory)
Ga1Nac-GD1a
AMSAN)
MFS dan GBS overlapping
syndrome
Campylobacter jejuni yang diisolasi dari pasien GBS dapat mengekspresikan lipooligosakarida (LOS) pada dinding bakteri, menyerupai karbohidrat dari gangliosida.
Mimikri molekuler ini membentuk antibodi antigangliosida yang menyerang saraf perifer.
Tipe mimikri gangliosida C.jejuni
antigangliosida dan berhubungan dengan subtipe GBS. C.jejuni yang diisolasi dari pasien
GBS motorik atau aksonal umumnya mengekspresikan GM-1like dan GD1a-like LOS. Di
sisi lain, C.jejuni yang diisolasi dari pasien dengan optalmoplegi atau MFS biasanya
mengekspresikan GD3-like, GT1a-like atau GD1c-like LOS. Berbagai antibodi pada pasien
pasien tersebut umumnya memiliki reaksi silang dan mengenali LOS seperti gangliosida
atau kompleks gangliosida.8,9
terhadap GBS. Namun, SNP tersebut nampaknya memiliki peranan sebagai faktor yang
memodifikasi penyakit. Terdapat hubungan antara keparahan penyakit atau keluaran dan
SNP pada gen yang mengkode mannose-binding lectin, Fc gamma receptor III, matrix
metalloproteinasi 9, dan TNF-.8,9
bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal
pada lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda.7,9
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Gejala
otonom terjadi pada dua per tiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan darah (hipotensi
atau hipertensi),
facial
flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas gastrointestinal. Hipertensi
terjadi pada 10 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.7,9
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai
BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan
tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).7
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus
dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan
aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot interkostal. Tanda rangsang
meningeal seperti tanda kernig dan kaku kuduk mungkin dapat ditemukan. Refleks
patologis seperti refleks Babinski umumnya negatif.7,8 Secara lebih ringkas, subtipe dan
gejala GBS dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Gambaran klinis dan patologis subtipe GBS 9
Subtipe
AIDP
Gambaran patologis
- Demielinisasi
(Acute
inflammatory
demyelinating
polyradiculopathy)
Gambaran klinis
- Subtipe yang paling sering terjadi
perifer multifokal
Remielinisasi yang
Amerika Serikat)
lambat
Mekanisme
humoral
dan
AMAN
(Acute
seluler
Antibodi
motor
Axonal
antigangliosida GM1,
GD1a, Ga1Nac-GD1a, -
ada demielinisasi
Neuropathy)
11
AMSAN
(Acute
muncul
Menyerupai AMAN, namun yang lebih
Mekanisme
motor-sensory
axonal neuropathy)
Miller
Fisher
Syndrome
namun
dengan
degenerasi
axonal
sensorik.
- Demielinisasi
-
Antibodi
IgG -
melawan
gangliosida GQ1b, -
Arefleksia
Kelemahan
facial,
bulbar
(50%
kasus)
Acute
autonomic
neuropathy
(50% kasus)
Subtipe yang paling jarang
Gejala
otonomik,
terutama
Hilangnya sensoris
12
radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat,
mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel limfosit
dan sel mononuclear lain juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ
lainnya.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari ke 13
setelah timbulnya gejala. Lumbosacral MRI akan memperlihatkan peningkatan pada akar
nervus cauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut. 12,13
Pemeriksaan lain
Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah Elektrokardiografi (EKG) yang
biasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan yang ditemukan tidak
diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum Creatinin Kinase (CK) biasanya normal
atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau pengukuran kapasitas vital paru biasanya
menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending). Intubasi
dan mekanisme ventilasi harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada dibawah 15
mL/kg/BB atau tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak
diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya
denervation atrophy.
2.7 Diagnosis
Diagnosis GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni:10
Fase Progresif
14
Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua hingga tiga minggu sejak timbulnya
gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini, akan
timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala
bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang muncul pada penderita.
Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Fase Plateau
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan
tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada pasien biasanya
didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan sendi. Keadaan umum
penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi.
Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan
fungsi yang masih ada. Pengawasan rutin terhadap tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis haruslah dilakukan.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa
pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
Fase Penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin, dan
gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan
kekuatan dan pergerakan otot yang normal dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang
berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul
relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan.
Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan perjalanan fase-fase,
Kriteria Diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
15
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan untuk diagnosis GBS.
12,13
Gejala utama
-
Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
-
50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, 90% dalam 4 minggu.
Biasanya simetris
Adanya gejala sensoris yang ringan
Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat
terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar,kadang < 5% kasus
vasomotor.
Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah progresifitas berhenti.
penyembuhan umumnya fungsionil dapat kembali
Pemeriksaan LCS
-
Peningkatan protein
Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
-
16
17
Poliomyelitis: Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti
oleh paralisis flasid asimetrik.
Mielopati servikalis: Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul
paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta
refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam
melawan gaya gravitasi.
2.9 Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi
beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).14
Perawatan intensif di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai adalah hal yang
paling penting. Selain pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi umum, diperlukan
juga perawatan aktif.14
Sebuah review dari database Cochrane menunjukkan bahwa plasma exchange (PE)
atau pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg) memiliki efektifitas yang
ekuivalen dalam upaya penyembuhan pasien GBS jika pengobatan diberikan dalam 2
minggu setelah onset kelemahan. Sekitar 10% pasien membutuhkan pemberian pengobatan
ulangan karena mereka mengalamikelemahan sekunder setelah keadaan membaik setelah
pemberian terapi dengan plasma exchange (PE) atau IVIg yang pertama.14
Dalam banyak kasus karena alasan praktis (misalnya karena resiko yang rendah dan
aplikasi yang mudah), pengobatan dengan IVIg saat ini menjadi terapi lini pertama pada
pasien GBS.14
Hal lain yang penting adalah memulai fisioterapi pada fase awal untuk mencegah
berbagai permasalahan sekunder seperti kekakuan sendi. Rehabilitasi adalah sangat penting
dan harus dilakukan setelah pasien stabil dan memungkinkan untuk melakukan berbagai
macam gerakan dan mengikuti program latihan.14
18
Terapi Farmakologi
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.15
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil yang
baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti
200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan
saat awal onset gejala (minggu pertama)15
Pengobatan imunosupresan15:
a
Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.15
Pada penelitian tentang terapi immunoglobulin intravena pada kasus GBS pada anak
yang dilakukan oleh Korinthenberg et al. ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada
kasus ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi memberikan peningkatan
pada kecepatan onset perbaikan klinis.16
Efek samping IVIg pada percobaan tersebut dikatakan ringan tetapi tidak sering
terjadi. Reaksi alergi, gangguan fungsi hati yang bersifat sementara, hipertonik, meningitis
aseptik, proteinuria, gangguan fungsi ginjal, dan peningkatan viskositas serum dilaporkan
pada orang dewasa dan anak yang mendapat terapi dengan IVIg.16
b
Obat sitotoksik
merkaptopurin (6-MP)
azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopesia, muntah, mual dan sakit kepala.16
Manajemen nyeri cukup sulit, namun karbamazepin atau gabapentin dapat membantu.
Dosis untuk karbamazepin yaitu 300mg/hari, dan untuk gabapentin 15mg/kgBB/hari.
Asetaminofen atau obat NSAID dapat dicoba sebagai terapi pertama pada sindrom GuillainBarre tetapi biasanya kurang efektif.17,18
2
Terapi Suportif
Respirasi harus diawasi secara ketat dan bila perlu lakukan trakeostomi. Penggunaan
ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telahterjadi paralysis otot-otot
respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini. Apabila terjadi
kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-lambung
(NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan. Monitor elektrokardiografi
juga harus secara rutin diperhatikan untuk mendeteksi gangguan fungsi jantung. Fisioterapi
aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat gerak, menjaga
fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan. Fisioterapi pasif setelah terjadi masa
penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot.14,19
2.10 Komplikasi
GuillainBarr Syndrome merupakan salah satu penyebab terbanyak dari paralisis
neuromuskular. Antara komplikasi lain yang boleh terjadi adalah gagal nafas, hipotensi,
tromboembolisme, pneumonia, aritmia jantung, aspirasi, retensi urin, gangguan psikiatri
misalnya depresi, polinneuropatia karena defisiensi metabolik (hipokalemia), dekubitus dan
kelumpuhan otot pernafasan. Kebanyakan pasien GuillainBarr Syndrome meninggal
20
dikarenakan gangguan otonom; henti jantung menjadi penyebab paling sering, bertanggung
jawab pada 20-30% kematian.15,18
2.11 Prognosis
Prognosis dari GuillainBarr Syndrome sendiri sulit untuk diprediksi pada pasien
individual karena variasi subsantasial dari gejala sisanya. Usia tua, sering dilaporkan dengan
prognosis yang buruk. Keparahan GuillainBarr Syndrome ditentukan pada fase awal
penyakit.20
Menurut pembelajaran RCT, telah diinvestigasi bahwa efek IVI atau PE pada pasien
yang tidak dapat berjalan dapat disimpulkan bahwa 20% pasien tetap tidak dapat berjalan
tanpa bantuan setelah 6 bulan. Pemeriksaan neurofisiologis dilaporkan membantu dalam
menilai resiko gagal nafas, yang mana paling tinggi pada pasien dengan pengurangan
kapasitas vital pada lebih dari 20% dan tanda-tanda dimielinasi sebagai pertanda oleh
pengurangan aksi potensial gabungan saraf peroneal proksimal atau distal.20
Gangguan konduksi saraf peroneal dan usia yang diatas 40 tahun merupakan predictor
tunggal dari ketidakmampuan selama 6 bulan. Baru-baru ini, dikembangkan sebuah system
scoring klinis yang sederhana (EGOS) yang dengan mudah digunakan pada pasien tingkat
akut. Ini juga secara akurat dapat memprediksi kesempatan untuk berjalan sendiri (tanpa
bantuan) setelah 6 bulan dan dapat dikalkulasikan selama 2 minggu pertama dari onset
penyakit berdasarkan usia, adanya diare yang mendahului dan skor cacat GuillainBarr
Syndrome. Berdasarkan EGOS sendiri, Kesempatan untuk sembuh pada pasien individual
bervariasi dari 1% sampai 83%. Akurasi dari skala ini dikonfirmaikan dalam sebuah
pembelajaran kohort pada pasien dengan GuillainBarr Syndrome. EGOS dapat digunakan
untuk memberikan informasi kepada pasien itu sendiri tentang prognosisnya, dan juga dapat
digunakan dalam percobaan pengobatan terbaru yang lebih spesifik pada pasien dengan
prognosis buruk dari GuillainBarr Syndrome.20
Hadden dan Gregson melaporkan bahwa GuillainBarr Syndrome yang didahului
infeksi Campylobacter jejuni cenderung memiliki penyakit yang lebih berat dan prognosis
yang lebih buruk jika dibandingkan dengan organisme atau antisenden lainnya. Prognosis
buruk yang lama juga bisa diperberat oleh faktor-faktor seperti usia tua, penyakit
21
BAB III
PENUTUP
22
DAFTAR PUSTAKA
23
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
[diakses
24
12.
Publication
No.
11-2902.
Available
from:
URL:
14.
GuillainBarr syndrome:
16.
17.
18.
19.
dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy clinic dan Picky Eaters Clinic
Jakarta. Penatalaksanaan Rehabilitasi Medis, Terapi okupasi atau Fisioterapi Pada
Penyakit
Guillain-Barre
Syndrome.
Citasi
dari
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-barre-syndrome-gbspenatalaksanaan-rehabilitasi-medis-terapi-okupasi-atau-fisioterapi/
20.
25