Anda di halaman 1dari 133

Bab 1.

Pendekar Budiman
Published by Eve1yn on 2005/5/22 (435 reads)

Hujan salju hampir berhenti, tapi deru angin belum lagi mereda.
Sebuah kereta kuda muncul dari utara, roda-roda kereta yang menggelinding cepat itu menggilas
hancur batu es yang berserakan di tengah jalan, tapi tidak dapat memecahkan kesunyian yang
meliputi jagat raya ini.
Li Sun-hoan, penumpang di dalam kereta, menggeliat kemalas-malasan sambil menguap, kedua
kakinya yang diselonjorkan di atas jok kereta yang berlapiskan kulit berbulu halus diluruskan
sebisanya.
Meski, di dalam kabin kereta terasa sangat hangat dan santai, tapi perjalanan ini sesungguhnya
teramat panjang dan terlalu kesepian, dia sudah merasa penat lelah, bahkan juga bosan dan benci.
Selama hidupnya dia paling benci kepada kesepian, tapi dia justru selalu berkawan dengan
kesepian.
Hidup manusia ini memang serba kontradiksi, penuh pertentangan. Setiap orang pasti pernah
mengalami apa boleh buat.
Li Sun-hoan menarik napas, dari pojok dikeluarkannya sebotol arak. Ia menenggak arak itu
langsung dari botol, lalu berbatuk-batuk dengan keras. Batuk yang terus-menerus membuat
wajahnya yang pucat itu menampilkan semu merah semacam gejala penyakit, seperti api neraka
yang membakar jiwa dan raganya.
Setelah botol arak sudah kosong, ia mengambil sebilah pisau kecil dan mulai mengukir sebuah
patung. Pisau kecil itu sangat tipis dan tajam, jari tangannya panjang dan kuat.
Patung yang diukirnya berbentuk kepala orang perempuan. Di bawah pisaunya yang tajam dan
tangan yang terampil, profil patung dan garis-garisnya tertampak menjadi begitu indah, begitu
serasi, dan seperti hidup.
Bukan saja si "dia" telah diberinya garis-garis yang menarik, juga diberikan jiwa dan sukma, sebab
jiwa dan sukmanya sendiri tanpa terasa telah mengeluyur pergi di bawah goresan pisaunya.
Dia tidak tenang lagi. Sudut matanya penuh keriput, setiap garis keriput itu penuh mengandung
kedukaan dan kemalangan hidupnya. Hanya matanya saja masih tetap menunjukkan kemudaannya.
Inilah sepasang mata yang aneh, berwarna seperti kehijau-hijauan, mata siwer, mata yang indah
bagai tangkai pohon Liu di bawah embusan angin musim semi, hangat dan lincah. Tapi juga seperti
air laut di bawah terik sinar matahari di musim panas. Mata yang penuh gairah hidup.
Bisa jadi lantaran sepasang matanya inilah sehingga dia dapat hidup sampai sekarang.
Akhirnya patung itu selesai diukirnya. Ia pandang patung itu dengan termangu-mangu, entah sudah
berapa lama ia pandang patung itu, mendadak ia membuka pintu kereta dan melompat turun.
Segera kusir kereta, seorang lelaki kekar, membentak dan menahan lari kudanya.
Muka lelaki kekar ini bercambang lebat, sinar matanya setajam mata elang. Tapi ketika sorot
matanya beralih ke arah Li Sun-hoan, seketika sinar matanya berubah menjadi lembut, bahkan
penuh rasa simpati, jujur dan setia.

*****
Li Sun-hoan menggali sebuah lubang pada tanah bersalju itu, ditanamnya patung yang baru saja
diukirnya itu. Kemudian ia berdiri termangu-mangu pula di depan gundukan salju.
Jarinya seakan-akan beku, mukanya juga tambah merah oleh hawa yang semakin dingin itu.
Tubuhnya juga penuh ditaburi bunga salju, namun dia tidak merasakan dingin sedikit pun. Yang
tertanam di bawah gundukan salju itu seolah-olah seorang yang paling karib dengan dia, ketika ia
menanam si "dia" di situ, jiwanya sendiri seakan-akan berubah tiada artinya lagi.
Melihat kelakuan Li Sun-hoan ini, jika orang lain tentu akan terheran-heran, namun bagi si kusir,
lelaki kekar bercambang lebat itu, agaknya sudah terbiasa. Ia cuma berkata dengan suara lembut,
"Hari sudah hampir gelap, perjalanan masih jauh, silakan Siauya lekas naik ke atas kereta!"
Meski usia Li Sun-hoan sekarang tidak dapat dikatakan muda lagi, namun sebutan "Siauya" atau
tuan muda masih tetap digunakan oleh lelaki bercambang atau berewok itu.
Perlahan Li Sun-hoan membalik tubuh, dilihatnya di samping kereta ternyata ada bekas kaki orang
berlalu.
Dari bekas kaki itu dapat diketahui bahwa pejalan kaki ini datang jauh dari utara sana, sendirian,
lalu menuju ke depan sana dengan sendirian pula.
Bekas kaki itu sangat dalam, jelas sudah sangat jauh orang ini berjalan, sudah lelah dan kehabisan
tenaga. Tapi dia masih terus berjalan tanpa berhenti.
Li Sun-hoan menghela napas panjang, gumamnya, "Dalam keadaan begini, di bawah cuaca sedingin
ini, tak tersangka masih juga ada orang menempuh perjalanan di tanah penuh bersalju ini. Kuyakin
dia pasti seorang yang sebatang kara dan seorang yang harus dikasihani."
Lelaki bercambang itu tidak menanggapi, tapi di dalam hati diam-diam berpikir dengan menyesal.
"Tidakkah kau sendiri pun sebatang kara dan perlu dikasihani? Mengapa engkau selalu bersimpati
terhadap orang lain dan melupakan dirinya sendiri ...."
*****
Di bawah jok masih banyak potongan kayu cemara yang keras, Li Sun-hoan mulai memahat lagi.
Gerak tangannya sangat terampil, pisaunya juga sangat tajam, hasil kerjanya menjadi cepat pula,
sebab patung yang diukirnya selalu orang itu-itu saja, patung orang perempuan yang sama.
Perempuan yang diukirnya itu tidak saja telah menduduki hati sanubarinya, juga telah menguasai
raganya.
Hujan salju akhirnya berhenti, hawa bertambah dingin, suasana juga semakin sunyi. Untunglah di
tengah desir angin dingin itu sayup-sayup mulai terdengar serentetan suara orang berjalan.
Meski suara langkah kaki orang itu jauh lebih ringan daripada telapak kaki kuda, tapi suara inilah
yang sedang dinanti-nantikan oleh Li Sun-hoan, maka biarpun betapa ringan suara itu tetap tak
terlepas dari telinganya.
Ia menyingkap tabir yang terbuat dari kulit berbulu halus dan membuka jendela, segera dilihatnya
sesosok bayangan manusia yang berjalan sendirian di depan sana.

Sangat lambat orang itu berjalan, tapi tidak pernah berhenti. Meski terdengar suara gemertak roda
kereta dan ringkik kuda, tetap tidak menoleh.
Orang ini tidak membawa payung, juga tidak bertopi, bunga salju yang cair mengalir ke mukanya
dan menyusup ke lehernya, padahal dia hanya memakai selapis baju yang sangat tipis.
Namun dia tetap berjalan dengan tegak, orang ini seperti gemblengan dari baja, salju, dingin, lelah,
penat, lapar, semuanya tak dapat menundukkan dia.
Sesudah keretanya melampaui ke depan barulah Li Sun-hoan dapat melihat wajahnya.
Alisnya sangat tebal, matanya besar, bibirnya yang tipis terkatup rapat, hidungnya yang mancung
itu membuat wajahnya kelihatan lebih lonjong dan kurus.
Raut wajah ini mudah mengingatkan orang kepada batu karang yang keras, kukuh dan dingin, tidak
menaruh perhatian terhadap urusan apa pun, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Tapi wajah ini pun wajah yang paling cakap yang pernah dilihat Li Sun-hoan seumur hidup, meski
tampaknya masih terlalu muda, belum cukup masak, tapi sudah mempunyai semacam daya tarik
yang kuat.
Sinar mata Li Sun-hoan seperti menampilkan senyuman, dia membuka pintu kereta dan berucap,
"Naiklah, boleh kau menumpang keretaku!"
Cara bicara Li Sun-hoan biasanya selalu cekak aos, ringkas singkat, tidak suka bertele-tele.
Menghadapi tanah bersalju yang luas seakan-akan tak berkutub ini, maksud baik Li Sun-hoan ini
sebenarnya sukar ditolak oleh siapa pun jua.
Tak terduga, jangankan menerima undangannya, bahkan melirik sekejap padanya saja tidak, anak
muda itu masih terus melangkah ke depan tanpa menggubrisnya, seperti tidak pernah mendengar
orang mengajak bicara padanya.
"Apakah kau tuli?" Li Sun-hoan berkata pula.
Mendadak tangan anak muda itu meraba tangkai pedang yang terselip di pinggangnya, tangannya
yang kedinginan itu tampak putih pucat seperti warna ikan mati, namun gerak-geriknya masih tetap
sangat gesit.
Li Sun-hoan tertawa, katanya pula, "Ah, kiranya kau tidak tuli! Jika begitu, naiklah kemari dan
minum seceguk arak. Seceguk arak kukira tidak bakalan membikin susah siapa pun."
"Aku tidak mau minum," kata anak muda itu tiba-tiba.
Bahwa anak muda itu mau juga bersuara, tambah cerahlah air muka Li Sun-hoan, tapi dia tidak
tertawa, tetap berkata dengan suara lembut, "Kujamu kau minum arak, gratis, tidak pakai uang."
Tapi anak muda itu menjawab, "Bukan barang yang kubeli sendiri, diberi pun aku tidak mau. Bukan
arak yang kubeli sendiri aku pun tidak mau minum .... Nah, ucapanku cukup jelas tidak?"
"Cukup jelas!" ujar Li Sun-hoan.
"Baik, berangkatlah kau!" kata anak muda itu.

Agak lama juga Li Sun-hoan termenung, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Baik, kuberangkat! Kelak
jika kau mampu membeli arak, maukah kau jamu aku minum satu cawan?"
Anak muda itu melototinya sekejap, katanya, "Baik, akan kujamu kau!"
Li Sun-hoan tertawa keras dan kereta pun dilarikan dengan cepat, perlahan bayangan anak muda
itu tertinggal jauh di belakang dan akhirnya lenyap dari pandangan.
Tetapi Li Sun-hoan masih tertawa, katanya, "Pernahkah kau lihat pemuda seaneh itu? Semula
kukira dia pasti sudah kenyang asam-garam kehidupan ini, siapa tahu kata-katanya ternyata
kekanak-kanakan, polos dan lugas."
"Dia tidak lebih hanya seorang anak yang kepala batu," ujar si kusir, lelaki bercambang itu.
"Apakah kau lihat pedang yang terselip di ikat pinggangnya?"
"Masakah barang itu pun dapat dianggap sebagai pedang?" kata lelaki godek dengan senyuman
geli.
Bicara secara benar sesungguhnya senjata anak muda itu memang tak dapat dianggap sebagai
pedang, tapi lebih tepat dikatakan lempengan besi sepanjang tiga-empat kaki. Tidak ada mata
pedang, juga tidak ada pelindung pegangan, bahkan tangkai pedang juga tidak ada, hanya dua
potong kayu mengapit pangkal lempengan besi, dan itulah yang dianggap sebagai tangkai pedang.
Dengan mengulum senyum lelaki godek itu berkata pula, "Menurut pandanganku, barang itu tidak
lebih hanya mainan anak kecil belaka."
Sekali ini Li Sun-hoan tidak tertawa lagi, sebaliknya malah menghela napas, gumamnya, "Menurut
pandanganku, mainan ini justru sangat berbahaya dan lebih baik janganlah dibuat main-main".
*****
Hotel yang berada di kota kecil ini dengan sendirinya juga tidak besar, kini hotel ini sudah penuh
dihuni tetamu yang teralang oleh badai salju. Karena itulah hotel yang memang kecil ini tampaknya
menjadi semakin berjubel, ramai luar biasa.
Di halaman berderet belasan kereta barang yang ditutup dengan tikar meski kereta-kereta itu
sudah kosong. Di atas tikar juga penuh tertimbun salju. Di serambi timur sana tertancap sehelai
panji warna cokelat bertepi warna emas. Panji berkibar tertiup angin sehingga menerbitkan suara
gedebur, membuat orang sukar membedakan tanda pengenal yang tersulam di atas panji itu
gambar harimau atau singa?
Rumah makan di bagian depan hotel itu silih berganti tetamu yang masuk-keluar, semuanya lelaki
kekar berjaket kulit tebal, ada yang habis minum beberapa cawan arak lantas sengaja membuka
dada bajunya, sengaja pamer simbar dadanya (bulu yang tumbuh lebat pada dada) sebagai
pertanda mereka tidak takut dingin.
Setiba di hotel ini, Li Sun-hoan tidak mendapatkan kamar satu pun. Tapi dia tidak gelisah dan juga
tidak khawatir, sebab ia cukup membawa uang, ia tahu sedikit sekali barang di dunia ini yang tak
dapat dibeli dengan duit, makanya ia tidak tergesa-gesa, lebih dulu ia mencari suatu tempat duduk
di ruangan makan, ia pesan sepoci arak dan diminumnya dengan alon-alon.
Cara minum Li Sun-hoan memang tidak cepat, akan tetapi dia sanggup minum selama beberapa
hari terus-menerus tanpa berhenti.

Begitulah, dia terus minum arak tanpa berhenti, dan juga terus terbatuk-batuk tanpa berhenti.
Sementara itu hari sudah mulai gelap.
Lelaki bercambang itu masuk ke ruangan makan dan berdiri di belakang Li Sun-hoan, katanya
dengan suara tertahan, "Kamar besar di ujung timur sana sudah dikosongkan dan juga sudah
dibersihkan, setiap saat Siauya boleh istirahat."
Li Sun-hoan seperti sudah tahu pekerjaan ini pasti akan diselesaikan olehnya dengan baik, maka dia
hanya mengangguk saja.
Sejenak kemudian, tiba-tiba si godek berkata pula, "Orang Kim-say-piaukiok (perusahaan ekspedisi
Singa Emas) juga tinggal di hotel ini, seperti habis pulang mengawal barang dari Kwan-gwa (di luar
benteng tembok besar yang merupakan perbatasan antarnegeri)."
"Oo! Siapakah yang memimpin pengawalan ini?" tanya Li Sun-hoan.
"Ialah Cukat Lui yang berjuluk Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus) itu," tutur si godek.
Li Sun-hoan berkerut kening, katanya dengan tertawa, "Tidak mudah juga pembual ini dapat hidup
sampai sekarang."
Meski mulutnya bicara dengan orang yang berdiri di belakangnya, tapi matanya senantiasa
mengincar ke luar pintu yang bertabir kain itu seperti sedang menunggu kedatangan seseorang.
"Cara berjalan anak itu tidak cepat, mungkin menjelang tengah malam baru bisa sampai di sini,"
kata si godek.
"Kulihat bukan cara berjalannya kurang cepat, tapi dia justru sengaja tidak mau membuang-buang
tenaga," ujar Li Sun-hoan dengan tertawa. "Pernah kau lihat seekor serigala berlari di tanah
bersalju? Mana kala di depan tidak ada sasaran yang hendak diburunya, di belakang juga tidak ada
pengejar, maka dia pasti tidak mau berlari cepat. Sebab dia merasa sayang apabila tenaganya
dihabiskan untuk berlari percuma."
Si godek juga tertawa, katanya, "Tapi anak itu bukanlah serigala."
Li Sun-hoan tidak bicara pula, sebab dia terbatuk-batuk lagi.
Kemudian dilihatnya tiga orang masuk ke ruangan makan ini dari pintu sebelah belakang. Suara
bicara ketiga orang ini sangat keras, mereka asyik mengobrol tentang macam-macam kejadian di
dunia Kangouw, seolah-olah khawatir orang lain tidak tahu mereka ini adalah jago-jago pengawal
dari Kim-say-piaukiok.
Sekilas pandang Li Sun-hoan lantas kenal si gemuk dan berwajah merah di antara ketiga orang itu
ialah Kip-hong-kiam Cukat Lui. Tapi ia tidak suka dikenali pihak lawan, maka dia lantas menunduk
pula dan mengukir patungnya.
Untunglah setiba di kota kecil ini, hakikatnya Cukat Lui tidak pernah memperhatikan siapa pun.
Dengan cepat santapan yang mereka pesan sudah dihidangkan, mulailah mereka makan-minum.
Akan tetapi hidangan lezat toh tetap tidak dapat menyumbat mulut mereka, setelah menenggak
beberapa cawan arak, semangat bicara Cukat Lui semakin menyala, dengan suara keras ia berkata,
"Loji (saudara kedua), masih ingatkah ketika kita bertemu dengan Thay-heng-ngo-hou (kelima

harimau dari Thay-heng-san) tempo hari?"


"Kenapa tidak ingat" jawab seorang kawannya dengan tertawa. "Waktu itu Thay-heng-ngo-hou
berani mengincar barang kawalan Toako (kakak), lagak keempat orang itu petentang-petenteng,
malahan berani sesumbar, katanya Cukat Lui harus merangkak satu lingkaran di depan mereka jika
ingin jiwa selamat, kalau tidak, bukan saja barang kawalan akan dirampas, bahkan kepala Toako
juga akan ...."
"Siapa tahu, belum lagi senjata mereka bergerak, tahu-tahu pedang Toako sudah menembus leher
mereka," tukas si orang ketiga dengan tertawa.
"Memang," sambung orang kedua tadi, "bukannya aku Tio-loji sok membual, kalau bicara tentang
kekuatan pukulan jaman ini, tentu saja Kim-say-ciang (pukulan singa emas) Congpiauthau
(pemimpin umum) kita yang nomor satu. Tapi kalau bicara tentang kecepatan pedang, di dunia
sekarang mungkin tidak ada orang lain yang bisa lebih cepat daripada Toako kita."
Cukat Lui bergelak tertawa sambil mengangkat cawan araknya, tapi suara tertawanya mendadak
berhenti ketika dilihatnya tabir pintu yang tebal itu mendadak tersingkap tertiup angin.
Berbareng dengan itu, dua sosok bayangan melayang masuk seperti bunga salju yang melayang
turun dari langit.
Kedua orang ini sama mengenakan mantel merah, kepala memakai tudung atau caping yang
bertepi lebar. Bentuk wajah keduanya serupa benar, tingginya juga sama.
Meski semua orang tidak dapat melihat jelas wajah mereka, tapi dari Ginkang (ilmu mengentengkan
tubuh) yang hebat ketika melayang masuk tadi, dan juga dandanan mereka yang lain dari pada
yang lain, seketika semua orang sama melongo.
Hanya pandangan Li Sun-hoan saja yang masih tetap menatap ke luar pintu, sebab ketika tabir
pintu tersingkap tadi, sekilas dilihatnya si anak muda yang menyendiri itu juga berdiri di luar.
Bahwa anak muda itu sudah berdiri di luar hotel itu, bahkan seperti sudah cukup lama berdiri di
situ, serupa seekor serigala yang terpencil sendirian, meski tertarik oleh kehangatan di dalam
ruangan, tapi juga jeri terhadap cahaya api yang menyilaukan mata. Sebab itulah dia merasa berat
untuk tinggal pergi, tapi juga tidak berani menerobos masuk ke dunianya manusia ini.
Li Sun-hoan menghela napas perlahan, kemudian sinar matanya baru beralih ke arah kedua
pendatang tadi.
Dilihatnya kedua orang itu sedang menanggalkan tudung kepala mereka sehingga tertampaklah dua
raut wajah yang pucat kurus dan juga jelek, kelihatannya seperti buah kepala yang terbuat dari lilin.
Daun telinga mereka sangat kecil, sedangkan hidung sangat besar, hampir menempati sepertiga
bagian dari wajah mereka sehingga kedua mata mereka seakan-akan terdesak mundur mendekati
kuping.
Namun sorot mata mereka kelihatan jahat dan juga tajam, seperti mata ular kobra.
Setelah membuka tudung kepala, lalu mereka mulai menanggalkan mantel sehingga terlihat baju
warna hitam yang ketat.
Ternyata tubuh mereka pun serupa badan ular, panjang, lurus, ulet dan elastik, di mana dan kapan
pun juga selalu merayap-rayap, bahkan agak liat dan basah, membuat orang yang memandangnya

akan merasa takut dan jijik.


Bentuk kedua orang ini hampir sama, cuma orang yang sebelah kiri berwajah putih pucat,
sedangkan yang sebelah kanan bermuka hitam seperti pantat kuali.
Gerak-gerik mereka sangat lamban, menanggalkan mantel dengan perlahan, lalu dilipat dengan
perlahan, dan ditaruh di atas meja, kemudian dengan langkah perlahan mereka mendekati Cukat
Lui.
Sunyi sekali di rumah makan ini, sampai suara mengukir Li Sun-hoan terdengar dengan jelas. Meski
Cukat Lui berlagak tidak tahu kedatangan kedua orang itu, jelas hal ini tidak mungkin.
Tanpa berkedip kedua orang itu menatap Cukat Lui, sinar mata mereka seperti sikat berminyak
yang sedang mengusap tubuh Cukat Lui sehingga membuatnya risi
Terpaksa Cukat Lui berbangkit, dengan menyengir ia menyapa, "Siapakah nama Anda yang mulia?
Rasanya belum ...."
Mendadak manusia ular yang bermuka putih pucat itu berkata, "Apakah kau ini Kip-hong-kiam
Cukat Lui?"
Suaranya tajam melengking dan terasa bergetar sehingga membuat pendengarnya berdiri bulu
romanya.
Terpaksa Cukat Lui menjawab, "Iy ... iya ...."
"Hm, orang macam kau juga pakai julukan Kip-hong-kiam segala?" jengek si manusia ular bermuka
hitam itu. "Sret", sekali tangannya bergerak, tahu-tahu ia sudah memegang sebatang pedang
lemas berwarna hitam, "sret", kembali ia menyendal pedangnya, seketika pedang lemas itu menjadi
lurus lempeng.
Dengan pedangnya ia tuding Cukat Lui dan berucap sekata demi sekata, "Tinggalkan bungkusan
barang yang kau bawa pulang dari Kwan-gwa itu dan akan kuampuni jiwamu."
Mendadak orang yang bernama Tio-loji tadi melompat maju dan berseru dengan tertawa, "Ah,
mungkin kalian salah wesel, barang antaran kami ini justru sudah kami serahkan kepada pemiliknya
di Kwan-gwa sana, sekarang kereta barang kami pun sudah kosong, masa Anda ...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong pedang orang yang mirip ular hitam itu telah melilit
leher Tio-loji, dengan perlahan orang bermuka hitam itu menarik pedangnya, kontan kepala Tio-loji
berpisah dengan tuannya dan mencelat ke udara. Menyusul darah segar lantas menyembur dari
lehernya yang putus itu sehingga kepalanya terdorong lebih tinggi ke atas dan berputar beberapa
kali di udara, habis itu barulah darah bertebaran seperti hujan dan membasahi tubuh Cukat Lui.
Semua orang sama terperanjat, kaki pun terasa gemetar. Tapi Cukat Lui dapat hidup sampai
sekarang, tentu dia memang mempunyai caranya yang khas. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah
bungkusan kain kuning dan dilemparkan ke atas meja, katanya, "Pandangan kalian sungguh sangat
awas, sekali ini kami memang membawa pulang sebungkus barang. Tapi kalau barang ini hendak
kalian ambil begitu saja, kukira tidak boleh jadi."
"Hm, memangnya kau mau apa?" dengus si ular.
"Betapa pun kalian kudu memperlihatkan sejurus dua Kungfu sejati, agar sepulangnya di rumah
dapat kupertanggungjawabkan kepada pimpinan kami," jawab Cukat Lui.

Sambil bicara, berbareng ia menyurut mundur beberapa langkah, "creng", pedang segera dilolos.
Tentu saja orang lain mengira dia siap tempur.
Benarlah, menyusul pedangnya lantas menyabet, tapi bukan lawan yang diserang melainkan seporsi
Cah-heh-kiu (udang goreng) yang terletak di atas meja itu yang dicungkil ke atas. Terdengar suara
angin mendesir disertai kemilau sinar pedang, belasan biji Cah-heh-kiu telah ditabasnya menjadi
potongan kecil dan berserakan di lantai.
Dengan rasa bangga Cukat Lui berkata pula, "Nah, asalkan kalian juga pertunjukkan permainan
yang sama ini, segera kupersembahkan bungkusan barang yang kalian minta, kalau tidak, silakan
kalian angkat kaki saja dari sini."
Ilmu pedang yang diperlihatkannya memang tidak lemah, cara bicaranya juga berbobot, diam-diam
Li Sun-hoan merasa geli, ia tahu dengan perbuatan Cukat Lui itu, orang telah dipojokkan dan
terpaksa hanya dapat menabas udang goreng dan tak dapat menabas kepalanya. Jadi baik kalah
atau menang, sedikitnya dia sudah menyelamatkan kepalanya sendiri.
Terdengar si muka hitam tertawa, terkekeh, katanya, "Hehe, Kungfumu ini adalah Kungfu kaum
koki, masa kau pamerkan di sini?"
Bicara sampai di sini, mendadak ia menarik napas dalam-dalam, udang goreng yang berjatuhan di
lantai tadi seketika melayang-layang lagi ke atas, berbareng itu cahaya hitam gilap berkelebat kian
kemari, udang goreng yang memenuhi udara itu mendadak lenyap seluruhnya. Ternyata semua
udang goreng telah tersunduk pada pedang hitam yang istimewa itu.
Melihat ini, sekalipun orang yang tidak paham ilmu silat juga dapat menarik kesimpulan bahwa
memang tidak gampang menggunakan pedang menabas udang goreng, tapi untuk menyunduk
udang goreng yang terapung di udara sehingga berbentuk sujen satai, hal ini jauh lebih sulit.
Seketika air muka Cukat Lui berubah menjadi pucat, sebab setelah menyaksikan ilmu pedang
orang, segera teringat olehnya akan dua orang. Tanpa terasa ia menyurut mundur dua-tiga langkah,
lalu bertanya dengan suara parau, "Apakah ... apakah Anda inilah Pek-hiat-siang-coa?"
Mendengar nama "Pek-hiat-siang-coa" atau dua ular berdarah hijau, seorang Piausu atau jago
pengawal, anak buah Cukat Lui, menjadi ketakutan setengah mati, tanpa terasa ia memberosot dan
sembunyi di kolong meja.
Bahkan lelaki bercambang, kusir kereta Li Sun-hoan, juga berkerut kening. Sebab ia tahu akhirakhir ini di sekitar lembah Hoang-ho (Sungai Kuning), di kalangan Hek-to atau golongan hitam,
golongan penjahat, konon tidak ada orang lain yang lebih keji dan kejam daripada "Pek-hiat-siangcoa" ini, kabarnya mantel merah yang mereka pakai itu bukan terbuat dari kain merah asli
melainkan merah karena dicelup dengan darah.
Namun cerita tentang Pek-hiat-siang-coa yang didengarnya tetap tidak banyak, sebab orang yang
benar-benar tahu apa yang pernah diperbuat oleh kedua manusia ular itu, sembilan di antara
sepuluh orang sudah lama kepalanya berpisah dengan tuannya alias binasa.
Terdengar si ular hitam mengekek tawa dan berkata, "Hehe, akhirnya kau kenali kami juga,
mendingan matamu belum lagi buta."
Mau tak mau Cukat Lui menabahkan hati dan menjawab, "Jika Anda berdua sudah penujui
bungkusan barang ini, apa pula yang perlu kukatakan, silakan ... silakan kalian ambil saja."

Mendadak si ular putih berkata, "Jika kau mau merangkak satu putaran di ruangan ini, segera kami
mengampuni kau, kalau tidak, bukan saja bungkusan ini kami ambil, juga kepalamu harus
ditinggalkan di sini."
Kata-kata ini persis seperti apa yang diucapkan Cukat Lui dan begundalnya tadi, sekarang kata-kata
ini keluar dari mulut si ular putih, setiap kata itu seolah-olah berubah menjadi sebilah pisau yang
tajam.
Keruan muka Cukat Lui sebentar pucat sebentar hijau, sejenak ia melenggong, tapi mendadak ia
lantas merangkak di lantai dan benar-benar merangkak satu putaran mengitari meja.
Tanpa terasa Li Sun-hoan menghela napas gegetun, gumamnya, "Kiranya watak orang ini sudah
berubah, pantaslah dia dapat hidup sampai sekarang."
Meski suara gumaman Li Sun-hoan sangat lirih, tapi sorot mata kedua ular hitam-putih itu serentak
melotot ke arahnya. Namun Li Sun-hoan seperti tidak tahu, ia masih asyik mengukir patungnya.
"Hehehe," si ular putih terkekeh-kekeh, "kiranya di sini masih ada orang kosen, hampir saja kami
bersaudara salah mata."
Si ular hitam menimpali dengan menyeringai, "Dengan sukarela orang memberikan bungkusan ini
kepada kami, asalkan ada ilmu pedang seseorang lebih cepat daripada kami, maka dengan sukarela
pula kami akan mempersembahkan bungkusan ini kepadanya."
Tangan si ular putih menyentak, ia pun mengeluarkan pedangnya yang lemas dan sempit seperti
ular, sinar pedangnya juga putih kemilau, sambil menyabetkan pedangnya ke udara dua-tiga kali,
dengan pongahnya ia berkata, "Asalkan ada pedang yang terlebih cepat daripada pedang kami,
bukan saja bungkusan ini akan kami persembahkan kepadanya, juga kepala kami akan diberikan
padanya."
Sinar matanya yang tajam seperti mata ular berbisa itu menatap Li Sun-hoan, sebaliknya Li Sunhoan tetap asyik mengukir patungnya seakan-akan tidak paham apa yang dibicarakan kedua orang
itu.
Pada saat itulah, tiba-tiba seorang berteriak di luar pintu, "Memangnya kepala kalian berharga
berapa duit?!"
Mendengar suara ini, tampaknya Li Sun-hoan tidak kaget atau heran, malahan dia sangat senang.
Waktu ia angkat kepalanya, pemuda yang ditemuinya di tengah jalan itu sudah melangkah masuk.
Baju anak muda itu masih basah, bahkan masih ada sisa butiran salju, namun tubuhnya tetap tegak
lurus seperti tonggak.
Wajahnya masih kelihatan kaku dan suka menyendiri, masih tetap segar, dan keras kepala.
Sinar matanya selalu membawa semacam sifat jalang yang sukar ditundukkan, seperti setiap saat
selalu siap tempur, ingin berkelahi, memberontak sehingga sukar untuk didekati.
Tapi yang paling menarik adalah pedang yang terselip pada ikat pinggangnya itu.
Melihat pedang orang, sinar mata si ular putih yang tadinya terperanjat dan gusar itu berubah
menjadi geli, ia tertawa dan bertanya, "Kau yang mengucapkan kata-kata tadi?"
"Betul," jawab anak muda itu.

"Kau ingin membeli kepalaku?" tanya pula si ular putih.


"Aku hanya ingin tahu berapa harganya, sebab hendak kujual kepadamu sendiri."
Si ular putih melengak. "Dijual kepadaku sendiri?" ia menegas.
"Betul," kata anak muda itu, "sebab aku tidak menginginkan bungkusan ini, juga tidak
menghendaki kepalamu."
"Jika demikian, jadi tujuanmu hendak bertanding pedang denganku?" tanya si ular putih.
"Betul," jawab si anak muda.
Ular putih memandangnya beberapa kejap, lalu memandang pula pedangnya, mendadak ia bergelak
tertawa, tertawa latah, sungguh selama hidupnya belum pernah menemui hal yang menggelikan
seperti sekarang ini.
Sebaliknya anak muda itu hanya berdiri tenang di situ, sama sekali ia tidak paham apa yang
ditertawakan orang ini? Padahal ia merasa apa yang diucapkannya tidak berharga untuk ditertawai.
Diam-diam si lelaki godek tadi menghela napas menyesal, ia merasa anak ini mungkin telah gila
karena rudinnya. Cukat Lui juga merasa pemuda ini mungkin kurang waras.
Terdengar si ular putih lagi terbahak-bahak, lalu berkata, "Kepalaku ini sukar dibeli meski dengan
seribu tahil emas ...."
"Seribu tahil terlalu banyak, hanya kujual lima puluh tahil saja," tukas si anak muda.
Seketika si ular putih berhenti tertawa, sebab diketahuinya pemuda ini ternyata bukan orang gila,
juga bukan anak dungu, lebih-lebih bukan lagi bergurau, cara bicaranya ternyata sungguh-sungguh
serius.
Tapi bila ia pandang pula pedang orang, ia tidak tahan lagi akan rasa gelinya, kembali ia bergelak
tertawa dan berkata, "Baik, apabila kau pun dapat berbuat sama seperti ini, segera kuberi lima
puluh tahil emas kepadamu!"
Di tengah gelak tertawanya, sinar pedangnya berkelebat, tampaknya lilin besar yang berada di atas
meja kasir itu akan ditabasnya, tapi begitu lenyap sinar pedangnya, lilin itu masih tetap tegak di
tempatnya tanpa bergerak.
Semua orang sama merasa heran. Tapi si ular putih lantas meniup, sekali tertolak oleh hawa
tiupannya, mendadak batang lilin itu putus menjadi tujuh bagian. Sekali lagi sinar pedang
berkelebat dan ketujuh potong lilin itu tersunduk pula pada pedangnya. Malahan bagian ujung lilin
yang menyala itu belum lagi padam.
Kiranya sekali tabas tadi pedangnya telah membuat lilin itu putus menjadi tujuh bagian.
"Nah, terhitung cepat tidak tebasan pedangku ini?" tanya si ular putih dengan bangga.
Wajah anak muda itu tidak memperlihatkan sesuatu emosi, jawabnya, "Ya, sangat cepat."
"Bagaimana? Kau sanggup?" tanya si ular putih sambil menyeringai.

"Pedangku tidak kugunakan untuk menabas lilin," kata anak muda itu.
"Memangnya besi rongsokanmu itu digunakan untuk apa?" ejek si ular putih.
Tangan anak muda itu sudah meraba tangkai pedangnya, jawabnya sekata demi sekata, "Untuk
membunuh orang!"
"Membunuh orang?" si ular putih menegas dengan terkekeh-kekeh, "Memangnya siapa yang dapat
kau bunuh?"
"Kau!" baru sepatah kata itu diucapkan, pedang anak muda itu pun sudah menyambar ke depan.
Padahal pedang itu masih terselip pada ikat pinggangnya dan setiap orang melihat jelas pedang itu.
Tapi mendadak pedang itu sudah menembus leher si ular putih. Setiap orang juga menyaksikan
dengan jelas ujung pedang sepanjang tiga kaki itu menembus leher, tapi tiada seorang pun yang
melihat jelas cara bagaimana pedangnya menusuk dan menembus leher si ular putih.
Darah tidak mengalir, sebab darah belum sempat menetes.
"Nah, pedangmu lebih cepat atau pedangku yang lebih cepat?" tanya anak muda itu sambil melotot.
Tenggorokan si ular putih berbunyi "krak-krok", kulit daging mukanya juga berkejang, lubang
hidungnya berkembang-kempis, mulut ternganga dan lidah terjulur.
Maka darah pun merembes keluar melalui ujung lidahnya.
Pedang si ular hitam sudah terangkat, tapi tidak berani menusuk, sebaliknya keringat dingin
membasahi dahinya, pedang yang dipegangnya juga bergemetar.
Mendadak anak muda tadi menarik pedangnya, darah segar lantas menyembur keluar dari
tenggorokan si ular putih bagai air mancur, ia sempat meraung, "Kau ...." hanya satu kata saja ia
bersuara, lalu roboh tersungkur dan jiwa melayang
Anak muda itu lantas berpaling dan tanya si ular hitam, "Nah, dia sudah mengaku kalah, mana ke50 tahil emas?"
Dia bicara dengan serius sekali ini tidak ada orang yang berani menertawakan dia.
Bibir si ular hitam pun tampak gemetar, ucapnya dengan tergegap, "Benar ... benar-benar demi 50
tahil emas, maka kau bunuh dia?"
"Betul," jawab anak muda itu tak acuh.
Muka si ular hitam tampak berkerut-kerut, entah mau menangis atau ingin tertawa, mendadak ia
membuang pedangnya, lalu menjambak rambut sendiri sekuatnya, baju pun ditariknya hingga
robek, maka meloncat keluarlah beberapa potong emas dari bajunya, sekuatnya ia lemparkan uang
emas itu ke depan si anak muda, teriaknya dengan lesu, "Untukmu, semuanya untukmu ...."
Lalu ia berlari pergi seperti orang gila.
Anak muda itu tidak mengejar, juga tidak marah. Dipungutnya dua potong emas itu dan disodorkan
ke depan kasir hotel, katanya, "Bagaimana, cukup 50 tahil atau tidak?"
Si kasir itu ketakutan sehingga setengah berjongkok di belakang mejanya, gigi pun gemertuk

sehingga tidak sanggup bicara, ia hanya manggut-manggut sebisanya.


Sampai di sini barulah Li Sun-hoan berpaling dan berkata kepada si lelaki godek dengan tertawa,
"Bagaimana, aku tidak keliru, bukan?"
Lelaki bergodek itu menarik napas panjang, jawabnya sambil menyengir, "Ya, sedikit pun tidak
keliru, mainan itu sungguh sangat berbahaya."
Dilihatnya anak muda tadi sedang mendekati mereka. Tapi tak dilihatnya tindakan Cukat Lui waktu
itu.
Sejak tadi Cukat Lui tidak merangkak keluar dari kolong meja, tapi sekarang mendadak ia
melompat maju, pedangnya lantas menusuk punggung anak muda itu.
Gerak pedang Cukat Lui memang tidak lambat, apalagi si anak muda tidak pernah menyangka akan
disergap orang, padahal setelah dia membunuh si ular putih, seharusnya Cukat Lui berterima kasih
padanya, mengapa dia malah menyerang anak muda itu?
Tampaknya pedang Cukat Lui pasti akan menembus tubuh anak muda itu. Siapa tahu, pada saat itu
juga, mendadak Cukat Lui meraung keras dan mencelat beberapa kaki tingginya, pedang yang
dipegangnya juga terlepas dan menancap di belandar rumah.
Kain hiasan tangkai pedang masih bergoyang-goyang, sedangkan kedua tangan Cukat Lui lantas
mendekap leher sendiri, dengan mendelik ia tatap Li Sun-hoan, biji matanya seolah-olah hendak
meloncat keluar, dari rongga matanya.
Kini Li Sun-hoan tidak mengukir lagi, sebab pisau kecil yang dipegangnya tadi sudah lenyap.
Darah segar tampak merembes keluar melalui celah-celah jari Cukat Lui. Ia melototi Li Sun-hoan,
tenggorokannya juga mengeluarkan suara "krak-krok".
Baru sekarang ada orang menemukan pisau kecil yang digunakan Li Sun-hoan untuk mengukir itu,
kini telah hinggap di leher Cukat Lui. Tapi juga tiada seorang pun yang melihat jelas cara bagaimana
pisau kecil itu bersarang di lehernya.
Tertampak keringat memenuhi kepala Cukat Lui, kulit mukanya telah berubah bentuk saking
sakitnya. Mendadak ia mengertak gigi, dengan menahan sakit ia cabut pisau kecil itu, teriaknya
sambil melototi Li Sun-hoan, "Kiranya ... kiranya kau .... Seharusnya kukenali kau sejak tadi!"
Li Sun-hoan menghela napas panjang, katanya, "Sayang baru sekarang kau kenal diriku, kalau
tidak, mungkin takkan kau lakukan tindakan pengecut seperti ini."
Apa yang diucapkan Li Sun-hoan ini tidak didengar oleh Cukat Lui, takkan didengarnya untuk
selama-lamanya.
Anak muda tadi menoleh dan memandang sekejap Cukat Lui yang sudah terkapar itu, sekilas air
mukanya menampilkan rasa heran dan kejut, seakan-akan tidak habis mengerti mengapa orang ini
hendak membunuhnya?
Tapi dia hanya memandangnya sekejap saja, lalu menuju ke depan Li Sun-hoan, sinar matanya
yang jalang itu menampilkan senyuman hangat. Dengan singkat ia hanya berucap. "Akan kutraktir
kau minum arak."
*****

Di dalam kereta bertumpuk beberapa guci arak. Arak yang dibeli anak muda itu. Sebab itulah
semangkuk demi semangkuk diminumnya arak itu, sangat cepat cara minumnya.
Li Sun-hoan memandangi anak muda itu dengan sorot mata gembira. Jarang ditemuinya orang
yang menyenangkan seperti anak muda ini.
Salju yang bertimbun di tengah jalan telah mengeras menjadi lapisan es.
Tidak mudah untuk menjalankan kereta di atas lapisan es, biarpun kuda terlatih juga sukar
dikendarai. Tapi lelaki bercambang itu telah menambahkan rantai pada roda belakang agar
keretanya tidak tergelincir.
Rantai bergesekan dengan tanah salju dan menimbulkan suara gerantang.
Tiba-tiba anak muda itu menaruh mangkuk araknya dan bertanya, "Sebab apa engkau mengajak
minum arak di atas keretamu ini?"
Li Sun-hoan tertawa, katanya, "Sebab hotel itu bukan tempat yang baik untuk ditinggali lagi."
"Memangnya kenapa?"
"Siapa pun bila sudah membunuh orang, sedikit banyak tentu akan menimbulkan kesulitan. Meski
aku tidak gentar membunuh orang, tapi selama hidup aku paling takut kepada kesulitan."
Anak muda itu berdiam sejenak, lalu ia menceduk lagi semangkuk arak dan ditenggaknya.
Dengan tersenyum Li Sun-hoan memandangnya, dia merasa senang dengan cara minum anak
muda itu.
Sejenak lagi, tiba-tiba anak muda itu pun menghela napas, katanya, "Membunuh orang memang
bukan sesuatu kejadian yang menyenangkan, tapi ada sementara orang memang pantas dibunuh,
dan mau tidak mau harus kubunuh dia."
"Apakah benar lantaran 50 tahil perak, maka kau bunuh si ular putih tadi?" tanya Li Sun-hoan
dengan tersenyum.
"Tanpa 50 tahil perak juga akan kubunuh dia, ditambah 50 tahil perak tentu kebetulan bagiku."
"Mengapa kau hanya minta 50 tahil?"
"Sebab dia hanya berharga 50 tahil."
Li Sun-hoan tertawa, "Di dunia Kangouw memang banyak orang yang pantas dibunuh, ada di
antaranya bernilai lebih dari 50 tahil, sebab itulah bukan mustahil kelak kau akan menjadi kaya, dan
aku pun akan sering-sering minum arak gratis."
"Tapi sayang aku terlalu miskin," kata anak muda itu, "kalau tidak, tentu akan kuberi 50 tahil perak
padamu."
"Sebab apa?"
"Sebab telah kau bunuh orang tadi bagiku."

Li Sun-hoan bergelak tertawa, "Haha, kau salah. Orang tadi sama sekali tidak berharga 50 tahil,
bahkan sepeser pun tidak laku." Lalu ia pun bertanya, "Kau tahu sebab apa dia hendak membunuh
kau?"
"Tidak tahu?"
"Soalnya meski si ular putih tidak jadi membunuhnya, tapi pamornya boleh dikatakan sudah rontok
dan sukar tancap kaki lagi di dunia Kangouw, kemudian kau bunuh si ular putih, maka dia perlu
membunuhmu agar kelak dia dapat menepuk dada dan membual lagi di depan umum, tentunya
tidak pernah kau bayangkan betapa keji dan palsunya orang Kangouw."
Agak lama si anak muda termenung, gumamnya kemudian, "Ya, terkadang hati manusia memang
jauh lebih keji daripada serigala atau harimau. Bila serigala atau harimau hendak menerkam dirimu,
sedikitnya mereka akan memberitahu lebih dulu."
Dia menenggak lagi semangkuk arak, lalu menyambung, "Tapi yang selalu kudengar adalah
manusia tidak sekeji binatang. Padahal binatang buas itu membunuh manusia demi
mempertahankan hidup, sebaliknya manusia membunuh sesamanya lebih sering tidak demi apaapa. Setahuku, manusia yang mati dibunuh manusia jauh lebih banyak daripada manusia yang
dibunuh binatang buas."
Li Sun-hoan memandangnya lekat-lekat, katanya kemudian, "Makanya kau lebih suka bersahabat
dengan binatang buas?"
Anak muda itu termenung lagi sekian lamanya, tiba-tiba ia tertawa dan menjawab, "Cuma sayang
mereka tidak dapat minum arak".
Untuk pertama kali ini Li Sun-hoan melihat anak muda itu tertawa. Tak pernah terpikir olehnya
bahwa tertawa seorang dapat menimbulkan perubahan sebesar itu pada mimik wajah seseorang.
Muka anak muda itu tadinya sedemikian menyendiri, sedemikian keras sehingga mengingatkan
orang kepada serigala yang bergelandangan di tanah bersalju.
Tapi ketika tersembul senyuman pada wajahnya, seketika orangnya seperti berubah, berubah
menjadi begitu lembut, begitu simpatik, begitu menyenangkan.
Belum pernah Li Sun-hoan melihat senyuman seorang yang sedemikian menarik.
Anak muda itu pun lagi menatap Li Sun-hoan, tiba-tiba ia bertanya pula, "Apakah engkau seorang
yang sangat ternama?"
Li Sun-hoan juga tertawa, jawabnya, "Ternama bukanlah sesuatu yang baik."
"Tapi aku justru berharap akan menjadi orang ternama, orang yang paling terkenal di dunia ini."
Waktu berucap demikian, tiba-tiba ia berubah lagi seperti seorang anak kecil yang polos.
Li Sun-hoan tertawa, katanya, "Setiap orang tentu berharap akan terkenal, sedikitnya kau jauh
lebih jujur daripada orang lain."
"Aku tidak sama dengan orang lain. Tidak boleh tidak aku harus ternama, kalau tidak ternama,
hanya ada kematian bagiku".
Li Sun-hoan mulai rada terkejut, ia tanya, "Sebab apa?"

Anak muda itu tidak menjawab, tapi sorot matanya menampilkan semacam perasaan duka dan
murka, pedih dan penasaran.
Baru sekarang Li Sun-hoan merasakan anak muda ini terkadang serupa anak kecil yang polos, tapi
terkadang juga seperti menyimpan banyak rahasia yang sukar diraba, asal-usulnya masih menjadi
teka-teki, tapi jelas penuh kepedihan dan kemalangan.
Dengan suara lembut lalu Li Sun-hoan berkata, "Jika kau ingin terkenal, paling tidak kan harus kau
katakan dulu siapa namamu."
Sekali ini anak muda itu termenung sangat lama, habis itu barulah menjawab dengan perlahan,
"Orang yang kenal diriku sama memanggilku A Fei."
"A Fei?" Li Sun-hoan mengulang nama itu. "Masakah kau she A? Rasanya di dunia tidak ada orang
she A".
"Aku tidak punya she!" kata si anak muda. Sinar matanya tiba-tiba mencorong terang seperti api
yang mulai berkobar.
Li Sun-hoan tahu sekalipun air mata pun sukar memadamkan bara api semacam ini. Ia tidak
sampai hati untuk bertanya lagi.
Siapa tahu anak muda itu lantas menyambung malah, "Nanti kalau aku sudah terkenal, mungkin
akan kukatakan nama keluargaku, tapi sekarang ...."
"Sekarang biarlah kupanggil kau A Fei saja", tukas Li Sun-hoan.
"Bagus sekali, bolehlah kau panggil A Fei padaku," ujar anak muda itu. "Padahal, nama apa pun
tidak menjadi soal bagiku."
"Baik, A Fei, marilah kita habiskan secawan!" kata Li Sun-hoan.
Tapi baru saja dia menghabiskan setengah mangkuk arak, kembali dia terbatuk-batuk lagi dengan
hebat, wajahnya yang pucat itu timbul lagi warna merah gejala penyakit yang diidapnya, namun
sisa setengah mangkuk arak tetap ditenggaknya hingga habis.
A Fei memandangnya dengan tercengang, seperti tidak menyangka pendekar yang terkenal ini bisa
mempunyai kesehatan seburuk ini. Namun dia tidak bicara apa pun, dengan cepat ia pun
menghabiskan semangkuk arak.
"Kau tahu sebab apakah aku menyukai sahabat seperti kau?" tiba-tiba Li Sun-hoan bertanya.
A Fei hanya diam saja.
"Sebab di antara sahabatku yang pernah melihat aku terbatuk-batuk, kaulah satu-satunya yang
tidak membujuk agar jangan kuminum arak lagi."
"Apakah batuk tidak boleh minum arak?"
"Ya, mestinya menyentuhnya saja tidak boleh."
"Jika demikian, mengapa engkau tetap minum? Apakah engkau banyak menanggung hal-hal yang
menyedihkan?"

Sinar mata Li Sun-hoan yang terang itu mendadak guram, ia tatap A Fei dan berkata, "Pernahkah
kutanya padamu hal yang tidak suka kau jawab? Pernahkah kutanya siapa ayah-bundamu? Siapa
gurumu? Datang dari mana dan hendak ke mana?"
"Tidak pernah."
"Nah, jika begitu, mengapa kau tanya padaku?"
Dengan tenang A Fei menatapnya sejenak, tiba-tiba ia tertawa cerah dan berucap, "Baik, aku
takkan tanya."
Tertawalah Li Sun-hoan, tampaknya ia hendak menghormati A Fei semangkuk arak lagi, tapi baru
saja mangkuk arak diangkatnya, segera ia terbatuk-batuk pula sehingga menungging dan hampir
saja tak dapat bernapas.
Baru saja A Fei membukakan jendela kereta agar mendapat udara segar, mendadak kereta itu
berhenti.
"Ada apa?" tanya Li Sun-hoan sambil melongok ke luar.
"Ada orang mengadang di tengah jalan," sahut si kusir bercambang itu.
"Orang macam apa?" Li Sun-hoan mengernyitkan dahi.
Kedengarannya si cambang tertawa dan berkata, "Orang-orangan salju."
Memang betul, entah perbuatan anak nakal siapa, di tengah jalan sana tersusun seorang orangorangan salju dengan perutnya yang gendut dan muka yang bulat, malahan di bagian muka
ditanam dua potong arang sebagai biji mata.
Mereka turun dari kereta, Li Sun-hoan menarik napas panjang-panjang, sedangkan A Fei lagi
mengamat-amati orang-orangan salju itu seperti selamanya tidak pernah melihat mainan lucu ini.
Li Sun-hoan memandangnya dengan tersenyum dan bertanya, "Pernahkah kau susun orangorangan salju seperti ini?"
"Yang kuketahui adalah salju sangat menjemukan, dia membuat orang kedinginan, bahkan
membuat tetumbuhan sama layu dan membikin burung terbang jauh, membuat orang kelaparan
dan kesepian."
Dia lantas mengepal sebuah bola salju terus dilemparkan ke sana. Bola salju itu jatuh di kejauhan,
pecah dan buyar.
Sambil memandang tempat jauh, ia berkata pula dengan perlahan, "Bagi mereka yang dapat makan
kenyang dan berbaju tebal, salju memang menyenangkan, sebab mereka selain dapat membuat
orang-orangan salju, juga dapat menikmati pemandangan alam yang diliputi salju ini, tapi bagi
orang-orang seperti kita ini ...."
Mendadak ia melototi Li Sun-hoan dan menyambung pula, "Kau tahu, aku dibesarkan di tengah
hutan belukar, angin, salju, air hujan, semuanya adalah musuhku yang terbesar."
Rada rawan juga perasaan Li Sun-hoan, ia pun mengepal sepotong bola salju, katanya, "Aku tidak
jemu terhadap salju, tapi aku benci kepada orang yang merintangi jalanku."

Ia pun melemparkan bola saljunya ke sana, "bluk", dengan tepat lemparannya mengenai orangorangan salju, bunga salju muncrat ke mana-mana, orang salju itu ternyata tidak roboh. Hanya
lapisan salju sama rontok, arang yang digunakan sebagai biji mata jatuh, mukanya yang bundar itu
pun pecah, tapi sebagai gantinya lantas menongol sebuah wajah yang pucat kelabu.
Di dalam orang-orangan salju ternyata ada manusia tulen.
Manusia mati!
Muka orang mati tentu saja tidak sedap dipandang, lebih-lebih sekarang, muka orang mati ini
kelihatan menyeringai seram, matanya melotot seperti mata ikan.
"Hah, si ular hitam!" seru A Fei.
Sungguh aneh, mengapa "ular hitam" bisa mati di sini? Mengapa pembunuhnya menjadikan dia
orang-orangan salju dan mengadang di tengah jalan.
Kusir bercambang itu mengangkat mayat itu dari onggokan salju, lalu berjongkok dan
memeriksanya dengan teliti, tampaknya hendak mencari tahu luka apa yang menyebabkan
kematiannya.
Li Sun-hoan asyik peras otak, tiba-tiba ia berkata, "Tahukah kau siapa yang membunuhnya?"
"Tidak tahu," jawab A Fei.
"Ialah bungkusan itu," kata Li Sun-hoan.
"Bungkusan?"
"Ya, bungkusan yang ditanyakan mereka itu tertaruh di atas meja dan tidak kuperhatikan. Sesudah
ular hitam pergi, bungkusan ini pun lenyap. Sebab itulah kupikir dia sengaja berlagak seperti orang
gila dan berlari pergi, maksud tujuannya jelas hendak memencarkan perhatian orang, kesempatan
itu lantas digunakannya untuk menyerobot lagi bungkusan yang diincarnya."
"Oo!" A Fei manggut-manggut.
"Tapi tidak pernah terduga olehnya bahwa bungkusan ini justru mendatangkan malapetaka baginya.
Orang yang membunuhnya itu tentu juga ingin memperoleh bungkusan yang dibawa lari si ular
hitam."
Entah sejak kapan Li Sun-hoan sudah memegang pisaunya dan membelainya dengan perlahan, lalu
bergumam pula, "Sesungguhnya apakah isi bungkusan itu? Mengapa menjadi incaran orang
sebanyak ini. Rasanya semakin perlu kuambil dan memeriksanya."
Tiba-tiba A Fei berkata, "Jika orang yang membunuhnya juga mengincar bungkusan itu, mengapa
setelah merampas bungkusannva, si ular hitam diuruk menjadi orang salju perintang jalan?"
Li Sun-hoan tampak tercengang. Ia merasa anak muda ini meski sangat hijau terhadap seluk beluk
kehidupan ini, terkadang bahkan kekanak-kanakan, tapi kecerdasannya, ketelitiannya berpikir,
kecepatan reaksinya, ternyata bisa melebihi tokoh Kangouw ulung seperti dirinya ini.
"Jadi jelas pembunuh itu sudah memperhitungkan orang lain takkan lalu di jalan ini, hanya
keretamu yang akan lewat di sini, makanya hendak mencegat dirimu di sini."

Li Sun-hoan tidak menanggapi uraian A Fei, tapi ia tanya si godek, "Kau temukan lukanya yang fatal
tidak?"
Belum lagi si godek menjawab, tiba-tiba Li Sun-hoan berkata pula, "Sudahlah, tidak perlu kau cari
lagi."
"Betul, orangnya sudah datang, untuk apa mencarinya?" tukas A Fei.
Padahal, indera pendengaran dan penglihatan Li Sun-hoan boleh dikatakan tiada bandingannya
selama ini, sungguh tak terpikir olehnya bahwa mata-telinga anak muda ini pun sama tajamnya
seperti dia.
Agaknya anak muda ini memang mempunyai semacam keahlian pembawaan seperti binatang liar,
dapat merasakan hal-hal yang tak dapat dirasakan orang lain.
Li Sun-hoan tersenyum memuji padanya, lalu ia berseru, "Jika kalian sudah datang, kenapa tidak
kemari untuk minum barang secawan?"
Bunga salju di atas ranting pohon di tepi jalan mendadak sama rontok, seorang berseru sambil
bergelak tertawa, "Hahaha, sepuluh tahun tidak bertemu, tak tersangka Li-tamhoa tetap awet muda
dan tetap tangkas, selamat, selamat!"
Tamhoa adalah gelar kesusastraan ujian negara. Turun-temurun keluarga Li Sun-hoan memang
selalu memenangkan gelar kebesaran tersebut.
Begitulah, di tengah gelak tertawa itu, dari sebelah hutan sana muncul seorang kakek berlengan
satu, tulang pelipis kakek ini menonjol tinggi, sorot matanya tajam seperti elang.
Dari sisi hutan yang lain berbareng juga muncul seorang lagi, perawakan orang ini kurus kecil,
mukanya hampir tak berdaging, kalau angin meniup keras bisa jadi akan membawanya kabur ke
udara.
Sekilas pandang saja A Fei lantas melihat kemunculan orang ini sama sekali tidak meninggalkan
bekas tapak kaki di tanah bersalju, meski lapisan salju sudah membeku, tapi di atas salju beku
masih ada bunga salju lagi.
Nyata orang ini dapat menginjak salju tanpa meninggalkan bekas, meski berkat perawakannya yang
kurus kecil, tapi betapa tinggi Ginkangnya cukup mengejutkan juga.
Li Sun-hoan tertawa, katanya, "Belum ada setengah bulan kumasuk daerah Tionggoan, tak nyana
lantas dipapak oleh para kawan lama seperti Cah-congpiauthau dari Kim-say-piaukiok dan Sinheng-bu-eng Ki-jisiansing, sungguh suatu kehormatan besar bagiku."
"Hehe, Li-tamhoa benar-benar tidak bernama kosong," ucap si kakek kurus kecil sambil terkekeh,
"sekali lihat tidak pernah lupa, padahal kita cuma pernah bertemu satu kali pada belasan tahun
yang lalu, tak terduga Li-tamhoa masih juga ingat kepada tua bangka cacat macam diriku ini."
Bahwa orang menyebut dirinya orang cacat, baru sekarang A Fei melihat sebelah kaki orang tua itu
memang pincang. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa seorang cacat kaki bisa memiliki Ginkang
setinggi ini.
Ia tidak tahu bahwa Ki-jikoaycu atau si Ki pincang ini justru lantaran cacat kaki kanan sejak lahir,
maka sejak kecil dia giat berlatih Ginkang, hendak digunakannya Ginkang yang melampaui orang

lain untuk menambal kekurangan fisiknya.


Mau tak mau timbul rasa kagum A Fei terhadap orang tua ini.
Li Sun-hoan tersenyum, katanya, "Jika kalian masih membawa beberapa teman lain, mengapa tidak
sekalian diperkenalkan kepadaku?"
Dengan dingin Ki-jikoaycu berkata, "Betul, mereka pun sudah lama mendengar Li-tamhoa yang
termasyhur dan ingin belajar kenal."
Tengah bicara, dari hutan sana muncul empat orang, meski di siang hari, demi melihat keempat
orang ini, tanpa terasa Li Sun-hoan menarik napas dingin.
Usia keempat orang ini rata-rata tidak terbilang muda lagi, tapi dandanan mereka mirip anak kecil,
baju mereka berwarna-warni, sepatu mereka pun bersulam gambar harimau seperti layaknya
sepatu anak kecil, meski wajah pembawaan mereka beralis tebal dan bermata besar, tampaknya
buas, tapi lagak-lagu mereka justru sengaja bertingkah seperti anak nakal, cengar-cengir dan liraklirik sehingga membikin orang merasa muak.
Yang paling lucu adalah kaki dan tangan mereka memakai gelang perak yang gemilapan sehingga
kalau berjalan menimbulkan suara gemerantang.
Melihat keempat orang aneh ini air muka si kusir godek seketika berubah, tiba-tiba ia berseru
dengan suara parau, "Si ular hitam tidak mati terbunuh oleh orang."
"Oo?" Li Sun-hoan bersuara ingin tahu.
"Dia mati oleh gigitan kalajengking dan kelabang," kata pula si godek.
Air muka Li Sun-hoan rada berubah juga, ucapnya dengan perlahan, "Jika demikian, jangan-jangan
kalian berempat adalah anak murid Ngo-tok-tongcu dari Kik-lok-tong di daerah Miau?"
Salah seorang "anak" yang berbaju kuning menjawab dengan terkekeh, "Hehe, orang-orangan salju
yang kami susun dengan susah payah telah kau hancurkan, kuminta ganti rugi padamu."
Begitu kata terakhir diucapkan, serentak ia melayang maju, menubruk ke arah Li Sun-hoan, gelang
perak pada kaki dan tangannya lantas berbunyi gemerantang mengacaukan pikiran orang.
Tapi Li Sun-hoan hanya memandangnya dengan tersenyum tanpa bergerak.
Namun Ki-jikoaycu segera juga melompat ke atas, dipapaknya Ui-ih-tongcu atau si anak berbaju
kuning itu, ditariknya tangan orang dan turun ke samping sana.
Pemimpin Kim-say-piaukiok, si singa emas Cah Bing juga lantas berseru dengan tertawa, "Litamhoa terkenal kaya raya, jangankan cuma orang-orangan salju, sekalipun orang-orangan emas
juga sanggup digantinya. Tapi hendaklah kalian berempat jangan terburu nafsu, biarlah
kuperkenalkan lebih dulu antara kalian."
Ang-ih-tongcu, salah seorang "anak" yang berbaju merah, menanggapi dengan tertawa "Kutahu dia
she Li bernama Sun-hoan."
"Ya, kutahu juga dia serba royal, ya makan ya minum, ya berjudi ya main perempuan, segalanya
serba ahli, sebab itulah sudah lama kami ingin mencari dia untuk Sun-hoan (mencari kesenangan),"
demikian tukas kawannya, Hek-ih-tongcu, si anak berbaju hitam.

Sisa seorang lagi si anak berbaju hijau lantas menimpali, "Malahan kutahu dia seorang terpelajar
dan pernah mendapat gelar Tamhoa, konon bapaknya dan kakeknya juga pernah mendapat pangkat
yang sama."
"Cuma sayang, Li-tamhoa kecil ini tidak suka menjadi pembesar, tapi lebih suka menjadi bandit,"
kata si baju merah dengan tertawa.
Mereka asyik bicara, orang lain tidak merasakan sesuatu, tapi A Fei tampak kesima mendengarkan
percakapan mereka itu. Sungguh tak terduga olehnya bahwa sahabat barunya ini mempunyai
sejarah hidup sedemikian banyak gaya dan ragamnya.
Ia tidak tahu bahwa yang dipercakapkan orang-orang itu tidak lebih hanya sebagian kecil saja
ragam kehidupan Li Sun-hoan. Padahal, kisah hidup Li Sun-hoan selengkapnya, sekalipun bercerita
tiga hari tiga malam juga takkan selesai.
A Fei belum lagi mengetahui senyuman yang menghiasi wajah Li Sun-hoan, ia malah kelihatan
berduka, seolah-olah remuk redam hatinya apabila orang menyinggung masa lampaunya.
Mendadak terdengar Ki-jikoaycu menarik muka dan berkata, "Tidak sedikit pengetahuan kalian
terhadap kisah hidup Li-tamhoa, tapi apakah kalian tahu, Siau Li Sin To, pisau sakti tidak ada
bandingannya, sekali pisau tertimpuk tidak pernah meleset?"
Ui-ih-tongcu tertawa terkekeh-kekeh, "Hehe, tidak pernah meleset ... rupanya kau khawatir aku
akan mati di bawah pisaunya dan tidak dapat mempertanggungjawabkan tugasku kepada guruku,
makanya kau cegah tindakanku."
Li Sun-hoan tersenyum, katanya, "Tapi kalian tidak perlu khawatir, sekali timpuk pisauku mungkin
mahasakti, tapi timpukan kedua tentunya tidak lagi selihai itu. Kalian kan tahu, satu pisau tidak
dapat membunuh enam orang sekaligus."
Mendadak sikapnya berubah kereng, sambil melototi Cah Bing ia berkata pula, "Sebab itu, jika
kalian bermaksud menuntut balas bagi Cukat Lui, silakan saja turun tangan sekarang juga!"
Kim-say Cah Bing, si Singa Emas, tertawa ngekek, ucapnya, "Cukat Lui memang pantas mampus,
mana boleh menyalahkan Li-heng."
"Jika kedatangan kalian bukan untuk menuntut balas, memangnya hendak minum arak
bersamaku?" kata Li Sun-hoan pula.
Cah Bing tampak termenung, seperti tidak tahu cara bagaimana harus menjawab.
Tapi Ki-jikoaycu lantas menanggapi, "Kami hanya minta kau serahkan bungkusan itu!"
"Bungkusan?" Li Sun-hoan menegas sambil berkerut kening.
"Betul," tukas Cah Bing, "bungkusan itu adalah barang kiriman orang, jika hilang, nama Kim-saypiaukiok kami pasti akan runtuh habis-habisan."
Li Sun-hoan memandang jenazah si ular hitam sekejap, lalu berkata, "Masa bungkusan itu tidak
berada padanya?"
"Haha, janganlah Li-heng bergurau," seru Cah Bing dengan tertawa. "Li-heng hadir di sini, hanya
orang macam dia masakah mampu melarikan bungkusan tersebut."

Kembali Li Sun-hoan mengernyitkan kening, gumamnya dengan menyesal, "Ai, selama hidupku
paling takut menghadapi kesulitan, mengapa kesulitan senantiasa mencari diriku ...."
Cah Bing tidak tahu jelas apa yang digumamkan orang, ia berkata pula, "Asalkan Li-heng mau
mengembalikan bungkusan itu, maka sekarang juga kami akan pergi, bahkan sedikit banyak
tersedia imbalan untuk minum arak Li-heng."
Perlahan Li Sun-hoan merabai pisau yang dipegangnya itu, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Betul,
bungkusan itu memang berada padaku. Tapi saat ini belum dapat kuputuskan apakah harus
kukembalikan kepadamu atau tidak. Sebaiknya kalian memberikan waktu berpikir bagiku."
Air muka Cah Bing tampak berubah, tapi Ki-jikoaycu lantas menyela, "Tapi berapa lama Anda akan
berpikir?"
"Kukira cukup satu jam saja, satu jam kemudian kita tetap bertemu lagi di sini," jawab Sun-hoan.
Tanpa pikir lagi Ki-jikoaycu lantas menyatakan setuju, ia tidak bicara lagi, setelah memberi tanda
kepada kawannya, segera ia angkat kaki.
Tiba-tiba Ui-ih-tongcu mengekek dan berkata, "Cukup setengah jam saja bisa kabur dengan sangat
jauh, untuk apa satu jam?"
"Memangnya kau anggap Li-tamhoa orang macam apa?" jengek Ki-jikoaycu dengan kurang senang,
"Sejak muncul di Kangouw sampai mengundurkan diri, selama tujuh tahun sudah beratus kali
pertempuran dihadapinya dan selama itu belum pernah dia melarikan diri."
Kedatangan mereka tadi sangat cepat, cara pergi mereka terlebih cepat. Hanya sekejap saja
rombongan Cah Bing sudah menghilang, suara gemerantang gelang tangan sudah berada berpuluh
tombak jauhnya.
Mendadak A Fei berkata, "Kutahu bungkusan itu tidak berada padamu."
"Ehm, memang," sahut Sun-hoan.
"Jika begitu, mengapa kau mau mengakuinya?"
Li Sun-hoan tertawa, katanya, "Umpama kusangkal tidak ambil bungkusan itu, tentu juga mereka
tidak percaya, cepat atau lambat pasti akan terjadi pertarungan. Sebab itulah sekalian kuakui
tuduhan mereka agar tidak banyak rewel dan menambah kesulitan."
"Jika cepat atau lambat harus bertempur, untuk apa pula kau minta waktu dan berpikir segala?"
"Sebab dalam waktu satu jam ini hendak kutemukan dulu satu orang."
"Oo, siapa?"
"Si pencuri bungkusan itu."
"Kau tahu siapa orangnya?"
"Yang berada di rumah makan kemarin ada tiga orang Piauthau dari Kim-say-piaukiok, kecuali
Cukat Lui dan Tio-loji kan masih ada seorang lagi. Dan dia itulah yang hendak kutemukan."

A Fei termenung sejenak, katanya kemudian. "Apakah orang yang kau maksudkan itu berbaju
sutera ungu, bersenjata ruyung, berperawakan pendek dan pada daun telinganya ada andengandeng besar berbulu?"
"Hanya sekilas pandang saja ternyata dapat kau lihat sejelas ini," ujar Li Sun-hoan dengan
tersenyum.
"Bagiku cukup hanya memandangnya sekejap saja."
"Memang betul, dialah yang kumaksudkan. Orang yang berada di rumah makan kemarin hanya dia
yang tahu nilai barang dalam bungkusan itu, sejauh itu dia hanya menonton saja di samping, tidak
ada orang yang memperhatikan dia, maka hanya dia yang mempunyai peluang paling banyak untuk
membawa lari bungkusan itu."
A Fei termenung dan mengangguk.
"Justru lantaran dia tahu nilai isi bungkusan itu, maka dia berniat mencaploknya sendiri. Tapi dia
juga khawatir dicurigai Cah Bing, maka dia alihkan tanggung-jawabnya kepada diriku," Sun-hoan
tersenyum hambar, sambungnya lagi, "Bagiku urusan demikian sudah tidak asing lagi, bukan untuk
pertama kali ini kutanggung dosa orang lain."
"Dan jejakmu dapat diketahui rombongan Cah Bing, tentunya juga dia yang menyampaikan
informasi ini"
"Betul."
"Tapi supaya tidak dicurigai Cah Bing, sementara ini orang itu pasti tidak berani kabur. Maka saat ini
dia pasti juga berada bersama rombongan Cah Bing. Asalkan Cah Bing diketemukan tentu juga
dapat menemukan dia."
Li Sun-hoan menepuk pundak anak muda itu, ucapnya dengan tertawa, "Cukup dua-tiga tahun saja
kau berkecimpung di dunia Kangouw dan tidak ada yang perlu kau pelajari lagi. Kelak jika kita
masih dapat bertemu lagi, semoga kita tetap berkawan."
Lalu ia bergelak tertawa dan menyambung lagi, "Sebab, sesungguhnya aku tidak ingin mempunyai
musuh semacam dirimu."
A Fei memandangnya dengan tenang, katanya, "Kau minta kupergi sekarang?"
"Ini kan urusanku dan tiada sangkut-pautnya denganmu," ujar Sun-hoan. "Orang lain juga tidak
mencari dirimu, mengapa kau tidak pergi saja?"
"Kau khawatir membikin susah padaku, atau tidak sudi berjalan bersamaku?" tanya A Fei.
Sorot mata Li Sun-hoan menampilkan setitik perasaan pedih, tapi dia tetap tersenyum dan berkata,
"Di dunia ini tidak ada perjamuan yang tidak selesai, lambat atau cepat kita toh harus berpisah. Jadi
apa bedanya lebih cepat atau lebih lambat beberapa hari?"
A Fei terdiam, tiba-tiba ia menuang dua mangkuk arak dan berkata, "Ini, kuhormati kau secawan!"
Tanpa ragu Sun-hoan menerimanya dan dihabiskannya dengan sekali tenggak, lalu ia ingin tertawa,
tapi mendadak ia menungging dan terbatuk-batuk.
Dengan tenang A Fei memandangnya hingga lama, mendadak ia putar badan terus melangkah

pergi.
Bunga salju bertebaran pula, sunyi senyap alam ini, sampai suara jatuhnya bunga salju pun
terdengar.
Li Sun-hoan memandangi bayangan tubuh anak muda yang tegap itu perlahan menghilang di
tengah badai salju, memandangi tapak kaki yang tertinggal di atas tanah salju yang memanjang ke
sana ....
Segera Li Sun-hoan menuang arak pula semangkuk penuh, ia angkat arak itu dan bergumam,
"Mari, anak muda, kusuguhi kau secawan lagi. Kau tahu aku tidak sungguh-sungguh menyuruh kau
pergi. Hanya saja, hari depanmu masih jauh dan cemerlang, ikut bersamaku rasanya takkan
mendapatkan faedah apa pun. Kawanku agaknya cuma kesulitan, kesialan, kemalangan belaka, aku
tidak dapat menambah kawan lain lagi."
Sudah barang tentu A Fei tidak mendengar ucapannya itu.
Si kusir bergodek itu hanya berdiri seperti patung di samping sana, tidak bicara apa pun, sekujur
badan sudah penuh bunga salju, dan tetap tidak bergerak.
Li Sun-hoan menghabiskan arak dalam mangkuknya, lalu membalik tubuh dan memandang si
godek, katanya, "Kau tunggu saja di sini, sebaiknya kau kubur mayat si ular hitam ini, satu ... satu
jam lagi aku akan kembali ke sini."
Si godek menundukkan kepala, tiba-tiba ia berkata, "Kutahu Kim-say Cah Bing terkenal kuat tenaga
pukulannya, tapi sebenarnya cuma bernama kosong belaka, dalam sepuluh jurus Siauya pasti dapat
membinasakan dia."
"Mungkin cukup lima jurus saja," ujar Sun-hoan dengan tak acuh.
"Dan bagaimana dengan Ki-jikoaycu?" tanya si godek.
"Ginkangnya cukup hebat, konon senjata rahasianya juga keji, tapi ia pun tidak menjadi soal
bagiku."
"Konon anak murid Kek-lok-tong sama menguasai beberapa jenis Kungfu yang aneh, melihat cara
mereka turun tangan tadi tampaknya Kungfu mereka memang berbeda dengan Kungfu daerah
Tionggoan ...."
"Jangan khawatir," sela Sun-hoan dengan tersenyum, "kalau cuma orang-orang begitu saja belum
lagi kupikirkan."
Tapi air muka si godek tampak sangat prihatin, katanya perlahan, "Tidak perlu Siauya membohongi
hamba, kutahu kepergian Siauya ini cukup gawat, kalau tidak, tentunya Siauya takkan menyuruh
pergi Fei ... Fei-siauya itu."
Mendadak Li Sun-hoan menarik muka, omelnya, "Eh, mulai kapan kau pun suka banyak omong?"
Si godek tidak berani bicara lagi, kepalanya tertunduk lebih rendah. Waktu ia menengadah, Li Sunhoan sudah menghilang di balik hutan sana, sayup-sayup terdengar lagi suara batuknya.
Suara batuk yang terputus-putus itu kedengaran sangat mengharukan di tengah badai salju. Tapi
akhirnya suara batuknya tenggelam di tengah badai salju yang bertambah lebat.

Basah mata si godek, ia menggeleng dan bergumam, "Siauya, baik-baik kita tinggal di Kwan-gwa,
untuk apa lagi kita pulang ke sini mencari susah sendiri. Sudah sepuluh tahun, masakah engkau
belum lagi melupakan dia? Masihkah kau ingin melihatnya lagi? Tapi setelah bertemu, tetap tak
dapat kau bicara dengan dia. Ai, Siauya, untuk apa?"
Begitu masuk ke dalam hutan, seketika sikap Li Sun-hoan yang lesu dan kesepian itu berubah sama
sekali, mendadak ia berubah sangat gesit, lincah dan cekatan seperti seekor anjing pemburu.
Telinganya, hidungnya, matanya, setiap bagian otot dagingnya, semuanya dimanfaatkan secara
efektif. Baik di tanah bersalju, di tengah runtuhan daun kering, bahkan di tengah hawa udara,
asalkan ada bekas-bekas yang ditinggalkan musuh, meski hanya setitik tanda atau bau aneh saja,
pasti tidak dilewatinya dengan percuma. Selama 20 tahun ini hampir tidak ada seorang pun di dunia
ini yang dapat lolos dari ada
Dia bergerak dengan sangat cepat dan lincah, tapi tidak kelihatan terburu-buru, serupa seorang
penari top, berada di bawah irama yang betapa cepatnya tetap dapat mempertahankan gerakannya
yang indah.
Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia meninggalkan segalanya dan pergi dengan perasaan hancur,
pernah dia lalu di tempat ini. Tatkala mana tengah musim semi, hawa sejuk dan bunga mekar
semerbak.
Ia masih ingat, di sekitar sini ada sebuah rumah minum kecil, dari jauh akan tertampak panji hijau,
yang terpancang tinggi di wuwungan, sebab itulah ia pernah singgah di situ untuk minum arak.
Tidak jelek araknya, tapi pemandangan tempat itu cukup menyenangkan, gunung menghijau
permai, air sungai mengalir tenang, orang yang pesiar di musim semi itu sangat banyak,
dipandangnya muda-mudi yang lalu dengan gembira ria sambil minum araknya yang rada pahit,
suasana demikian memberinya kesan yang sukar dilupakan.
Tak terduga sekarang ia kembali berada lagi di tempat ini. Sepuluh tahun sudah lalu, keadaan
tempat dan orangnya sudah berganti tentunya. Tapi dia berharap kedai arak yang kecil itu masih
berdiri di tempat semula.
Dia berharap demikian bukan lantaran dia hanya ingin minum arak, tapi dia pikir rombongan Cah
Bing bisa jadi berada di kedai minum itu.
Suasana di bawah badai salju sama sekali berbeda daripada sepoi angin di musim semi, tapi ketika
melalui jalan yang sudah dikenalnya ini, mau tak mau hati terasa pedih.
Harta benda, kekuasaan, nama dan kedudukan, semua ini dapat ditinggalkannya dengan mudah,
tapi kenangan lama, kenangan lama yang lebih banyak pahit getir daripada manis itu masih tetap
membelenggunya dan sukar dilepaskan.
Li Sun-hoan mengeluarkan sebuah botol arak yang berbentuk pipih, sisa isi botol itu dituangnya
semua ke dalam kerongkongan, setelah berhenti berbatuk, lalu ia melanjutkan perjalanan.
Benarlah, dilihatnya kedai arak kecil itu.
Itulah beberapa rumah yang dibangun di kaki bukit, di sekitar rumah ada serambi yang cukup luas
dengan lankan atau pagar kayu bercat merah dan diberi kerai warna hijau.
Ia masih ingat musim semi dahulu di sekitar sini penuh mekar semacam bunga hutan yang tidak
dikenal namanya.

Ia berduduk di serambi berlankan merah, minum arak dan menikmati pemandangan yang permai.
Tapi cat merah lankan rumah minum itu kelihatan sudah banyak yang luntur, bunga yang mekar
semarak kini telah digantikan oleh salju belaka. Di atas tanah salju kelihatan garis-garis bekas roda
kereta malang melintang, sayup-sayup terdengar di belakang rumah sana ada suara ringkik kuda.
Li Sun-hoan tahu perkiraan sendiri tidak keliru, rombongan Cah Bing memang betul ngen
on di sini. Sebab dalam cuaca demikian, tempat yang terpencil ini tidak nanti didatangi kaum
pelancong.
Gerakan Li Sun-hoan bertambah cepat, tambah gesit dan juga tambah hati-hati. Ia pasang telinga,
mendengarkan dengan cermat, tiada suara manusia di kedai minum itu. ia berkerut kening, heran
dan curiga, lalu secepat panah ia melompat ke sana.
Sesudah dekat, segera dirasakannya kedai arak ini sangat sunyi, luar biasa sunyinya, kecuali ringkik
kuda perlahan yang terdengar terkadang, suara lain sama sekali tidak ada.
Papan lantai serambi kedai itu sudah tua, baru saja kaki Li Sun-hoan menginjaknya segera
menimbulkan suara berkeriut, cepat ia melompat mundur.
Namun tetap tiada sesuatu suara dan gerak-gerik dalam kedai arak itu.
Setelah berpikir sejenak, dengan gesit Li Sun-hoan memutar ke belakang rumah. Menurut
dugaannya, bisa jadi rombongan Cah Bing tidak kembali ke sini.
Akan tetapi dia salah duga, sebab dengan segera Cah Bing dilihatnya berada di situ, bahkan lagi
mendelik padanya.
Begitu besar mata Cah Bing mendelik sehingga biji matanya seakan-akan melompat keluar,
mukanya yang pucat kelihatan sangat menyeramkan, dia berdiri di samping tiang kandang kuda.
Kuda di dalam istal sedang meringkik perlahan dan sedang mendepak-depak, tapi Cah Bing hanya
berdiri kaku di situ, tidak bersuara juga tidak bergerak, tiada ubahnya seperti patung.
"Tak tersangka ...." baru sekian ucapannya, seketika ia tutup mulut, sebab diketahuinya sekarang
bahwa Cah Bing sudah tidak dapat mendengar lagi perkataan siapa pun.
Tenggorokan Cah Bing sudah berlubang. Orang yang membunuhnya jelas tidak suka baju sendiri
terciprat darah, maka ketika pedangnya menembus tenggorokan Cah Bing, segera pula ia jejalkan
segumpal salju ke lubang luka itu, ketika salju cair oleh karena darah yang panas, pada saat yang
sama darah pun beku oleh salju yang dingin.
Mayat Cah Bing tetap berdiri tegak kaku, setengah bersandar pada tiang kandang kuda dan tidak
sampai ambruk. Dari sini dapat diketahui orang yang membunuhnya pasti sangat gesit dan cepat.
Begitu pedangnya menembus tenggorokan Cah Bing, segera pedang dicabut lagi, sedikit pun tidak
menggunakan tenaga lebih, makanya mayat Cah Bing juga tidak tersentuh.
Dengan sendirinya Cah Bing berusaha melawan, tapi ketika pedang menembus tenggorokannya,
jelas dia belum sempat bergerak, makanya dia masih tegak berdiri di situ.
Cepat benar serangan pedang itu!
Mau tak mau terunjuk juga rasa kejut pada wajah Li Sun-hoan. Ia tahu si Singa Emas Cah Bing
sudah terkenal selama 20 thn lebih dan selama itu jarang kecundang. Merek Kim-say-piaukiok juga

cukup disegani, semua ini menandakan Cah Bing bukanlah orang lemah. Tapi sekali ini menangkis
saja tidak sempat dan tenggorokannya sudah ditembus pedang lawan.
Mendadak Li Sun-hoan berputar dan menerobos ke dalam kedai minum itu. Pintu kedai itu tidak
berkerai, di dalam juga tiada meja kursi, hal ini menandakan kedai minum ini tidak menerima tamu
dalam cuaca demikian ini.
Ruangan yang cukup luas, hanya pada meja di dekat jendela sana ada beberapa cangkir teh, tapi
kebanyakan cangkir teh itu belum pernah dijamah.
Keempat "anak" yang berasal dari Kek-lok-tong itu juga sudah berubah menjadi empat sosok
mayat.
Mayat itu sama telentang dengan kepala menghadap keluar dan kaki ke dalam, semuanya tampak
menyeringai, kematian mereka juga akibat tenggorokan tertembus pedang.
Ia coba periksa lagi Ki-jikoaycu, orang ini pun rebah di pojok sana, kedua tangannya tampak
tergenggam, agaknya menggenggam senjata rahasia, tapi sebelum senjata rahasia andalannya
sempat dihamburkan, lebih dulu lehernya sudah ditembus pedang lawan.
Sungguh Li Sun-hoan tidak tahu dirinya terkejut, heran atau harus bergirang, berulang-ulang ia
hanya tersenyum, "Cepat amat! Sungguh pedang yang amat cepat!"
Jika kejadian ini dilihatnya satu-tiga haari yang lalu, mungkin sukar baginya untuk menerka
siapakah gerangannya yang memiliki ilmu pedang secepat ini, sebab diketahuinya jago pedang
nomor satu dari Thian-san yang pernah terkenal dengan julukan "Soat-eng-cu" atau si elang salju,
meski ilmu pedangnya juga mengutamakan kecepatan, tapi cara turun tangannya tidak nanti sekeji
ini. Apa lagi sudah lama jago pedang nomor satu itu diketahui sudah mengasingkan diri, sampai
sekarang mungkin sudah wafat dan terkubur di bawah salju yang tidak pernah cair di puncak Thiansan sana.
Ada lagi tokoh-tokoh sakti yang pernah malang melintang di dunia Kangouw dahulu seperti
pendekar besar Sim Long, Him Mau-ji, Ong Lian-hoa dan lain-lain, konon sudah lama mereka
berlayar mengarungi samudera dan entah tirakat di mana, mungkin juga sudah lama meninggalkan
dunia fana ini. Apa lagi di antara tokoh-tokoh tersebut juga tiada satu pun yang menggunakan
pedang.
Tapi selain tokoh-tokoh tersebut, sungguh Li Sun-hoan tidak ingat lagi ilmu pedang siapa yang bisa
sedemikian cepat. Dan baru akhir-akhir ini, baru dua hari yang lalu, baru sekarang diketahuinya
memang ada seorang yang memiliki kemahiran demikian.
Dia tak lain tak bukan ialah si pemuda A Fei yang misterius, suka menyendiri dan senantiasa
kelihatan murung itu.
Li Sun-hoan memejamkan mata dan seakan-akan dapat membayangkan waktu A Fei masuk kedai
minum ini, serentak ia disambut oleh para Tongcu dari Kek-lok-tong dan terkepung di tengah.
Tapi baru saja mereka hendak menyerang, belum lagi lenyap seringai mereka, tahu-tahu leher
mereka sudah tertembus oleh pedang si A Fei yang secepat kilat.
Ki-jikoaycu bermaksud menghamburkan senjata rahasianya, dia terkenal karena Ginkang dan
senjata rahasianya, dengan sendirinya gerakannya sangat cepat, tapi baru saja tangannya
memegang senjata rahasia dan belum sempat dihamburkan, tiba-tiba pedang lawan sudah
menyambar dan menembus lehernya.

Li Sun-hoan menghela napas gegetun, gumamnya, "Mainan anak kecil ... Hah, bahkan ada orang
bilang pedangnya seperti mainan anak kecil ...."
Saat lain, tiba-tiba dilihatnya pada tiang sana ada tulisan yang diukir dengan ujung pedang,
bunyinya: "Kau membunuhkan Cukat Lui bagiku maka kubunuhkan orang-orang ini bagimu. Tidak
lagi kutang padamu, kutahu, seorang tidak boleh berutang! ...."
Habis membaca, Li Sun-hoan menggeleng sambil tersenyum, "Hanya seorang saja yang kubunuh
bagimu, tapi kau telah membunuh enam orang bagiku. Kau tahu orang tidak boleh utang, tapi
mengapa kau bikin kutang padamu?"
Ia baca lebih lanjut tulisan tadi: "Meski orang yang kubunuh bagimu lebih banyak, tapi keadaannya
tidak sama, orang yang kau bunuh dapat disamakan dengan keenam orang ini. Sebab itulah
selanjutnya kita pun lunas, kau tidak utang padaku, aku pun tidak utang padamu!"
"Tapi ilmu hitung dagangmu terasa kurang cerdik, tampaknya kau tidak dapat menjadi pedagang,"
ujar Li Sun-hoan dengan tertawa.
Selain tulisan tersebut, pada tiang itu terlukis pula ujung panah.
Dengan sendirinya Li Sun-hoan menuju ke arah yang ditunjuk ujung panah itu. Dan baru saja ia
masuki sebuah pintu, segera ia mendengar suara jeritan kaget dan sebuah ujung pedang mengkilat
telah mengancam dadanya.
Sinar pedang gemerdep, tampak rada gemetar. Yang memegang pedang adalah seorang kakek
gemuk, meski blmm putih kumis jenggotnya, tapi kerut mukanya menandakan usianya sudah cukup
lanjut.
"Siapa kau?" hardik orang tua itu terhadap Li Sun-hoan dengan kedua tangan memegang
pedangnya.
Meski sedapatnya ia menghardik sekerasnya, tapi suaranya justru rada gemetar.
Tiba-tiba Li Sun-hoan dapat mengenalnya, tegurnya dengan tersenyum, "Kau sudah pangling
padaku?"
Kakek itu menggeleng.
"Tapi kukenal kau ialah pemilik rumah minum ini, sepuluh tahun yang lalu pernah kau minum
beberapa cawan bersamaku."
Sinar mata si kakek yang waswas tadi agak berkurang, tapi pedang tetap digenggamnya erat-erat,
katanya, "Anda she apa?"
"Li," jawab Sun-hoan.

Bab 2. Pendekar Budiman


Published by Eve1yn on 2005/6/2 (314 reads)

Baru sekarang kakek itu menghela napas panjang, pedang pun jatuh ke lantai, serunya dengan
wajah cerah, "Ah, kiranya Li ... Li-tamhoa, sudah hampir seharian kutunggu kedatanganmu di sini."
"Tunggu kedatanganku?" Sun-hoan menegas.
"Ya," jawab si kakek. "Tadi ada seorang ... seorang Kongcu ... pahlawan, banyak yang dibunuhnya,
hanya seorang dibiarkan hidup dan suruh kujaga dia, katanya sebentar lagi Li-tamhoa akan kemari
dan orang ini agar diserahkan padamu. Jika tidak kukerjakan dengan baik, maka ... maka nyawaku
akan dicabutnya."
"Di mana orang yang ditinggalkan di sini itu?"
"Di dapur?" jawab si kakek
Dapur itu tidak kecil, malahan sangat resik, benarlah seorang terikat berduduk di kursi, kurus kecil
orangnya, pada daun telinganya ada secomot bulu hitam.
Li Sun-hoan memang sudah menduga A Fei pasti akan meninggalkan orang ini agar dapat ditanyai
olehnya. Tapi jelas orang ini tidak menyangka akan bertemu dengan Li Sun-hoan, sinar matanya
kelihatan merasa takut, ujung mulut tampak kedutan, tapi tidak dapat bersuara.
Rupanya A Fei tidak saja mengikatnya erat-erat, juga mulutnya telah disumbat dengan kain.
Agaknya pemuda itu khawatir orang ini akan memancing atau menggertak si kakek dengan
perkataannya, maka mulutnya lantas disumbat sekalian. Baru sekarang Sun-hoan merasa pemuda
itu ternyata juga sangat cermat cara bekerjanya.
Tapi mengapa orang ini tidak sekalian ditutuk saja Hiat-to kelumpuhannya dan mengapa perlu diikat
cara demikian?
Sinar pisau Li Sun-hoan berkelebat, tapi tidak melukai orang itu melainkan cuma mencungkit kain
penyumbat mulut orang itu. Namun begitu hampir saja orang itu jatuh kelengar saking kagetnya.
Ia ingin minta ampun, tapi mulut terasa kering dan kaku sehingga sepatah kata pun tidak sanggup
berucap.
Sun-hoan juga tidak mendesaknya, tapi berduduk di depannya, lalu ia suruh si kakek memindahkan
semua barang santapan di luar tadi ke situ, ia mendahului menuang satu cawan arak dan
menenggaknya hingga habis, lalu bertanya dengan tersenyum, "Siapa namamu?"
Muka orang itu tampak pucat, ia menjilat bibirnya yang kering, lalu menjawab dengan suara parau,
"Ang Han-bin."
"Kutahu kau suka minum arak, nah, minurnlah secawan!" kata Sun-hoan.
Malahan tali pengikat orang itu terus dipotongnya, lalu ia menuang pula satu cawan arak dan
disodorkan padanya.
Keruan orang itu terbelalak, tercengang dan sangsi, sekuatnya ia meremas lengan sendiri yang
kaku, ia tidak berani menerima cawan arak itu, tapi juga tidak berani menolak.
Sun-hoan tertawa, katanya, "Jika ada orang menyuguh arak padaku, selamanya tidak pernah
kutolak."

Terpaksa orang yang bernama Ang Han-bin itu menerimanya dengan tangan gemetar, sekalipun ada
setengah cawan terminum, tapi setengah cawan lain sama tercecer pada bajunya.
"Ai, sayang, sungguh sayang ...." gumam Sun-hoan dengan gegetun, "apabila kau mau belajar
seperti diriku, carilah sebilah pisau dan belajar mengukir, selanjutnya tanganmu pasti takkan
gemetar, ilmu mengukir dapat membikin mantap gerakan tangan, inilah rahasiaku."
Lalu ia menuang lagi dua cawan arak, katanya dengan tertawa, "Perempuan cantik tidak boleh
diperlakukan dengan kasar, arak baik tidak boleh disia-siakan, kedua hal ini hendaklah selalu kau
ingat dengan baik."
Sekali ini Ang Han-bin menerima cawan arak itu dengan kedua tangannya meski kedua tangannya
masih terus gemetar, khawatir arak tercecer lagi, cepat ia menunduk dan mendekatkan mulutnya
pada cawan sehingga isi cawan dapat ditenggaknya hingga habis.
"Bagus," seru Sun-hoan dengan tertawa, "selama hidupku tidak mempunyai kepandaian lain kecuali
hal tadi dan seluruhnya sudah kuberitahukan padamu, untuk itu entah cara bagaimana kau akan
berterima kasih padaku?"
"Aku ... aku ...." Ang Han-bin gelagapan.
"Kau pun tidak perlu berbuat lain, cukup kau keluarkan saja bungkusan itu dan aku pun merasa
puas," kata Sun-hoan.
Tangan Ang Han-bin gemetar lagi, untung cawannya sudah kosong. Ia menarik napas panjang, lalu
bertanya, "Bungkusan apa maksudmu?"
"Masa kau tidak tahu?" tanya Sun-hoan.
Sebisanya Ang Han-bin memperlihatkan secercah senyuman, jawabnya, "Cayhe (aku yang rendah)
benar-benar tidak tahu."
Sun-hoan menggeleng, katanya dengan menyesal, "Ai, kuanggap orang yang gemar minum pada
umumnya pasti lebih suka blak-blakan, tapi kau ... sungguh kau sangat mengecewakan aku."
"Ah, mungkin ... mungkin Li-tayhiap salah paham. Cayhe memang ...."
Belum habis ucapan Ang Han-bin, mendadak Li Sun-hoan menarik muka dan berkata, "Hm, sudah
kau minum arakku, tapi berani berdusta padaku. Ayo, kembalikan saja arakku."
"Ba ... baik, akan ... akan kubelikan ...."
"Yang kuminta adalah arak yang kau minum tadi, arak lain aku tidak mau."
Ang Han-bin jadi melenggong, ia mengusap keringat yang memenuhi keningnya sambil menyengir,
ucapnya dengan tergegap, "Tapi ... tapi arak sudah terminum ke dalam perut, cara ... cara
bagaimana ...."
"Mudah sekali," tukas Sun-hoan, sekali berkelebat, tahu-tahu pisaunya sudah mengancam di dada
Ang Han-bin, katanya, "Nah, jika arak sudah berada dalam perutmu, kan beres urusannya jika
kubedah saja perutmu."
Tambah pucat muka Ang Han-bin, katanya sambil menyengir, "Ai, jang ... janganlah Li-tayhiap
bergurau dengan hamba."

"Memangnya kau kira aku lagi bergurau denganmu?" sedikit Sun-hoan menekan, dengan perlahan
pisaunya telah menggores setitik pada dada Ang Han-bin sehingga berdarah.
Secara ilmu, jiwa, hanya kaum pengecut saja yang suka berbohong, tapi kaum pengecut bila
melihat darahnya sendiri, seketika akan ketakutan dan mau mengaku terus terang. Teori ini rasanya
tidak ada yang lebih jelas daripada Li Sun-hoan.
Di luar dugaannya, pisau yang sedikit ditusukkan itu ternyata mengenai benda keras seperti halnya
menusuk batu. Sedangkan Ang Han-bin masih juga menyengir, seolah-olah tidak merasakan apa
pun.
Mencorong terang sinar mata Li Sun-hoan, tapi pisau tidak ditusukkan lagi. Bahwa si pengecut ini
ternyata kebal, hal ini pun tidak mengejutkan Sun-hoan, ia malah bertanya dengan tersenyum,
"Tentunya sudah cukup lama kau berkecimpung di dunia Kangouw?"
Ang Han-bin tidak menyangka orang akan bertanya demikian padanya, ia terkesiap, lalu menjawab
dengan tersenyum, "Sudah ... sudah ada 20-an tahun."
"Jika begitu tentunya kau tahu di dunia Kangouw ada beberapa benda mestika yang sangat ajaib,
meski sangat jarang orang yang melihat benda-benda mestika tersebut, tapi hal ini sudah lama
diketahui, konon salah satu di antaranya adalah ...."
Dipandangnya Ang Han-bin tajam-tajam, lalu menyambung sekata demi sekata, "Ada sepotong
Kim-si-kah (baju kutang benang emas), kabarnya benda ini kebal senjata tajam apa pun, kedap air
dan anti api. Jika sudah 20-an tahun kau berkecimpung di dunia Kangouw, seharusnya pernah kau
dengar benda mestika ini."
Air muka Ang Han-bin berubah menjadi seperti mayat, ia melonjak bangun dan segera bermaksud
kabur.
Gerakannya tidak lambat, sekali melesat sudah sampai di ambang pintu, tapi sebelum dia melompat
keluar, tahu-tahu Li Sun-hoan sudah berdiri di depannya.
Ang Han-bin menjadi nekat, sedikit berputar, senjatanya tombak berantai telah ditanggalkan dari
pinggangnya, cahaya perak berkelebat, seperti pagutan ular, kontan tombaknya menusuk Li Sunhoan.
Sedikitnya sudah 20-30 tahun Ang Han-bin berlatih Kungfu menggunakan tombak yang berantai ini,
tusukannya ini cukup lihai, tombak yang lemas ini seketika tersendal menjadi lurus kencang dan
langsung menusuk tenggorokan lawan.
Terdengar suara "cret" satu kali, tangan Li Sun-hoan bergerak sedikit, tangannya masih memegang
cawan arak, dengan cawan arak inilah dia kunci ujung tombak Ang Han-bin, dan entah mengapa,
cawan arak itu tidak tertusuk pecah oleh ujung tombak.
"Selanjutnya jika ada orang membujuk aku pantang minum arak, tentu akan kukatakan padanya
bahwa minum arak juga ada faedahnya, paling tidak cawan arak pernah menyelamatkan jiwaku,"
demikian kata Li Sun-hoan dengan tertawa.
Seketika Ang Han-bin berdiri seperti patung dengan dahi penuh butiran keringat.
"Eh, jika kau tidak ingin berkelahi lagi, hendaklah kau lepaskan kutang benang emas yang kau
pakai itu sebagai uang minum, dengan demikian kukira sudah cukup untuk membayar dua cawan

arak yang telah kau minum," kata Sun-hoan pula.


"Kau ... kau benar-benar meng ... menghendaki ...." Ang Han-bin tidak sanggup meneruskan
ucapannya karena gemetar ketakutan.
"Sebenarnya tidak ada maksudku menghendaki benda ini," kata Sun-hoan, "bahwa kau mampu
membawa lari bungkusan itu pada saat aku lengah, hal ini harus diakui karena kepintaranmu. Tapi
tidak pantas kau katakan kepada orang lain bahwa akulah yang mengambil bungkusan itu, aku
palinsg benci apabila difitnah orang."
"Ya, bungkusan ini memang ... memang kuambil, isi bungkusan itu juga ... juga Kim-si-kah, tapi ...
tapi ...." saking cemasnya Ang Han-bin tidak sanggup meneruskan lagi, bahkan air mata hampir
saja menitik.
"Meski Kim-si-kah memang mestika pelindung tubuh, tapi apa gunanya benda itu bagimu?" ujar
Sun-hoan. "Sekalipun kau pakai sepuluh potong Kim-si-kah, pisauku tetap dapat merenggut
nyawamu, untuk apa pula kau bela benda ini dengan mati-matian? Benda semacam ini tidak pantas
dimiliki orang macam kalian ini, jika diberikan padaku mungkin kau dapat hidup beberapa tahun
lebih lama."
"Hamba juga tahu tidak pantas memiliki benda mestika ini," ucap Ang Han-bin dengan menyesal,
"tapi bukan maksud hamba ingin mengangkanginya ...."
"Memangnya maksudmu hendak kau berikan lagi kepada orang lain? Diberikan kepada siapa?"
tanya Sun-hoan.
Ang Han-bin mengertak gigi, dengan nekat ia tutup mulut.
"Banyak caraku membikin orang bicara sejujurnya," ancam Sun-hoan dengan tak acuh, "akan tetapi
aku tidak suka bertindak demikian, aku pun berharap jangan kau paksa kugunakan kekerasan."
Akhirnya Ang Han-bin menghela napas, katanya, "Baiklah, akan kukatakan."
"Sebaiknya kau ceritakan sejak awal," kata Sun-hoan.
"Tahukah Li-tayhiap Te Ngo yang berjuluk 'Sin-thau' (maling sakti)?" tutur Ang Han-bin setelah
berpikir sejenak. "Tapi maling rendahan begitu, mungkin Li-tayhiap tidak kenal dia."
"Tapi kutahu orang ini, bahkan kenal dia dengan baik," ujar Sun-hoan dengan tertawa. "Ginkang
dan Kungfu pada tangannya terhitung lumayan, kekuatan minum arak juga tergolong bolehlah."
"Dan Kim-si-kah ini berasal dari dia, entah dicurinya dari mana," tutur Ang Han-bin pula.
"Oo? Lantas bagaimana pula bisa sampai di tanganmu?"
"Dia terhitung sahabat karib Cukat Lui, kami bertemu di tengah perjalanan, kami lantas minum arak
bersama, setelah mabuk, dia mengeluarkan Kim-sim-kah untuk pamer, merah mata Cukat Lui
melihat benda mestika ini, dia lantas ... lantas ...."
"Jika kalian sudah berani berbuat serendah itu, masakah tidak berani menceritakannya secara terus
terang?" damprat Sun-hoan.
Ang Han-bin menunduk, ucapnya dengan menyesal, "Te Ngo tahu Kim-si-kah ini adalah benda yang
diincar oleh setiap orang Kangouw sekarang, jika dia membawa benda mestika ini, tidak seharusnya

dia minum sampai mabuk."


"Kesalahannya bukan lantaran mabuk, tapi lantaran salah memilih kawan," ejek Sun-hoan.
Muka Ang Han-bin yang pucat tadi bisa juga berubah menjadi merah.
Sun-hoan berkata pula, "Meski Kim-sih-kah ini terkenal sebagai salah satu di antara 'Bu-lim-sampo' (tiga pusaka dunia persilatan), tapi sebenarnya benda ini tidak banyak gunanya, sebab baju
kutang hanya dapat dipakai oleh orang yang sedang bertanding dengan lawan yang sama kuat, bila
dipakai orang biasa, betapa pun jiwa tetap akan melayang. Maka aku sangat heran entah sebab apa
benda ini menjadi incaran orang, kukira di dalam hal ini pasti ada sebab-sebab lain."
"Betul, di dalam urusan ini memang ada suatu rahasia ...." tutur Ang Han-bin sambil menyengir,
"Padahal rahasia ini sekarang sudah bukan rahasia lagi, sebab ...."
Bicara sampai di sini, tiba-tiba pemilik kedai minum tadi muncul dengan membawa dua poci arak,
serunya dengan tertawa, "Arak ini baru saja kuhangatkan, silakan Paduka Tuan Li-tamhoa cicipi
satu cawan dulu."
Sun-hoan tersenyum, katanya, "Jika tujuanmu agar lain kali kumampir di rumah minum ini, maka
sebaiknya jangan kau sebut Paduka Tuan padaku, sebab bila kudengar panggilan demikian,
sukarlah bagiku untuk minum arak."
Cawan arak tadi masih dipegangnya, segera ia menuang satu cawan penuh, terendus bau arak yang
sedap, seketika air mukanya berubah cerah pula, ucapnya sambil mengangguk, "Ehmm, sungguh
arak bagus!"
Sekali tenggak ia habiskan secawan itu, lalu terbatuk-batuk pula hingga menungging.
Si kakek pemilik kedai menghela napas, dia angkat sebuah kursi dan memapah Li Sun-hoan
berduduk sambil berkata, "Batuk sangat merusak badan, perlu hati-hati ...."
Wajahnya yang tua itu tiba-tiba menampilkan secercah senyuman, lalu ucapnya pula, "Arak ini
khusus dapat menyembuhkan batuk, setelah Anda minum, selanjutnya dijamin takkan batuk lagi."
Li Sun-hoan tertawa, katanya, "Kalau arak dapat menyembuhkan batuk, sungguh arak yang
istimewa. Silakan kau pun minum secawan,"
"Tidak, aku tidak minum," jawab si orang tua.
"Sebab apa? Masakan penjual arak lebih suka minum air daripada minum arak?" tanya Sun-hoan.
"Biasanya aku pun suka minum secawan dua, akan tetapi ... sepoci arak ini tidak boleh kuminum,"
bicara sampai di sini, sorot matanya yang buram tadi sekonyong-konyong berubah menjadi
mencorong terang dan kelihatan bersifat licik.
Tapi Li Sun-hoan seperti tidak memperhatikannya dia tetap bertanya dengan tersenyum,
"Memangnya kenapa?"
Orang tua itu memandangi pisau kecil di tangan Li Sun-hoan, katanya perlahan, "Sebab setelah
minum arakku ini, asalkan sedikit menggunakan tenaga, racun dalam arak segera akan bekerja dan
dalam waktu singkat akan mati dengan tujuh lubang berdarah (yang dimaksudkan tujuh lubang
adalah mata, telinga, hidung dan mulut)."

Seketika Sun-hoan melenggong seperti patung.


Kejut dan girang Ang Han-bin, katanya, "Tak tersangka kau datang membantuku, sungguh aku
sangat berterima kasih dan kelak pasti akan kubalas kebaikanmu ini."
"Tidak perlu kau terima kasih padaku," jengek si orang tua.
Air muka Ang Han-bin berubah, katanya pula dengan menyengir, "Ah, kenapa engkau bicara
demikian, jangan-jangan engkau juga ... juga ingin ...."
Sembari bicara, tombak berantai yang dipegangnya segera menyambar ke depan.
Si orang tua meraung gusar, tubuhnya yang semula kelihatan loyo itu mendadak menegak lebih
tinggi satu kaki, sekali tangan kirinya meraih, kontan ujung tombak berantai itu dipegangnya,
bentaknya, "Huh, hanya orang macam kau juga berani bergebrak dengan orang tua?"
Ternyata kakek yang semula kelihatan takut-takut itu, hanya dalam sekejap saja telah berubah
menjadi seorang lain, wajahnya tampak bersemu ungu dan gilap.
Melihat air muka yang aneh itu, tiba-tiba Ang Han-bin ingat akan seorang, serunya kaget, "Ampun
Cianpwe, hamba tidak tahu Cianpwe adalah ...."
Tapi sudah terlambat baginya untuk minta ampun, mendadak tinju kanan si orang tua
menghantam, "blang", kontan tubuh Han-bin mencelat, tombak berantai yang masih dipegangnya
juga putus menjadi dua potong, darah segar berhamburan, tubuhnya yang mencelat itu menumbuk
dinding dan tepat jatuh dalam wajan besar di atas tungku sana.
Tenaga pukulan itu sungguh sangat mengejutkan.
Li Sun-hoan menghela napas, katanya sambil menggeleng kepala, "Sudah kukatakan sejak tadi,
dengan memiliki Kim-si-kah ini, kau akan mati terlebih cepat."
Si orang tua membuang setengah potong tombak berantai yang dipegangnya itu, ia pandang mayat
Ang Han-bin dengan terkesima, garis-garis keriput pada mukanya tertampak jelas lagi, gumamnya,
"Sudah 20 tahun, sudah 20 tahun ...."
"Maksudmu sudah 20 tahun kau tidak lagi membunuh orang, begitu?" tanya Sun-hoan.
Mendadak si kakek berpaling dan menatap Li Sun-hoan dengan tajam, "Tapi aku belum lagi lupa
cara bagaimana membunuh orang, bukan?"
"Apakah berharga kau bunuh seorang hanya karena persoalan ini?"
"Pada 20 tahun yang lalu, tanpa sebab aku pun suka membunuh."
"Tapi sekarang 20 tahun sudah lalu, sungguh tidak mudah kau dapat sembunyi selama 20 tahun.
Kan tidak perlu kau bongkar asal usulmu sendiri hanya persoalan sekecil ini?"
"Memangnya kau tahu siapa aku?"
Sun-hoan tertawa, jawabnya, "Jangan lupa, betapa gemilangnya tokoh Ci-bin-ji-long Sun Gwe pada
20 tahun yang lampau, betapa dia berani membawa lari istri pemimpin besar perserikatan 72
organisasi pelabuhan daerah Kanglam, keberaniannya itu sungguh membuatku sangat kagum."

"Hm, dalam keadaan begini kau berani mengejek diriku?" damprat si kakek.
"Jangan kau kira kusindir kau, seorang lelaki kalau rela mengorbankan segalanya demi membela
perempuan yang dicintainya, maka lelaki demikian sungguh harus dipuji. Sebenarnya aku sangat
kagum padamu, tapi sekarang ...." setelah menggeleng kepala, Sun-hoan melanjutkan, "sekarang
aku menjadi sangat kecewa, sebab tidak pernah kusangka bahwa Ci-bin-ji-long tidak lebih hanya
seorang pengecut yang cuma berani menaruh racun secara diam-diam, tapi tidak berani
menghadapi lawan secara terang-terangan dengan Kungfu sejati."
Orang tua ini memang bernama Sun Gwe yang dulu terkenal dengan julukan Ci-bin-ji-long atau si
muka ungu.
Dia mendelik terhadap Li Sun-hoan, belum lagi dia bicara, tiba-tiba seorang menanggapinya dengan
tertawa, "Hah, janganlah kau salahkan dia, untuk menaruh racun juga perlu kepandaian khusus,
kalau dia saja belum lagi sanggup."
Jelas itu suara seorang perempuan, enak kedengarannya.
"Ya, sejak tadi seharusnya kuingat inilah perbuatan Jiang-wi Hujin," kata Sun-hoan dengan tertawa.
"Sungguh tidak sia-sia jika Li Sun-hoan bisa mati di tangan si cantik yang namanya termasyhur di
dunia Kangouw pada masa 20 tahun yang lampau."
Suara merdu itu tertawa ngikik, ucapnya, "Benar-benar mulut yang manis, apabila kita bertemu
pada 20 tahun yang lalu, tentu aku tidak ikut lari bersama dia melainkan minggat bersamamu."
Di tengah suara tertawa, muncul juga orangnya dengan langkah yang lemah gemulai.
Meski sudah 20 tahun lalu, tapi tampaknya dia tidak terlalu tua, lirikan matanya masih memesona,
giginya juga sangat putih, cuma pinggangnya .... Hakikatnya dia tidak punya pinggang lagi, bentuk
tubuhnya sekarang lebih mirip sebuah gentong.
Li Sun-hoan jadi melongo seperti orang yang keselak oleh sebutir telur.
Inikah Jiang-wi Hujin atau si Nyonya Mawar?
Sungguh ia tidak percaya.
Adalah hal yang menyesalkan dan menyedihkan bagi wanita cantik yang sudah mulai menanjak tua.
Tapi perempuan ini ternyata masih belum menyadari bahwa usianya bukan remaja lagi, namun
masih berusaha mengikat daging lebih pada pinggangnya dan menutupi keriput mukanya dengan
bedak tebal, jadinya tidak lagi membuat orang menyesal atau sedih, tapi menggelikan dan
memuakkan.
Hal ini sebenarnya cukup jelas, anehnya kebanyakan perempuan di dunia ini justru tidak tahu atau
sengaja pura-pura tidak tahu.
Jiang-wi Hujin atau si Nyonya Mawar ini tidak saja berdandan sebagai gadis remaja dan bersolek
berlebihan, bahkan berkundai cioda dan memakai wewangian yang menusuk hidung.
Dia pandang Li Sun-hoan dengan tertawa, katanya, "Sungguh Li-tamhoa yang tidak bernama
kosong, sudah 20 tahun lamanya tidak pernah kulihat lelaki menarik seperti ini, namun 20 tahun
yang silam ...." ia menghela napas gegetun, lalu menyambung, "Di rumahku waktu itu selalu penuh
dengan tetamu, setiap ksatria muda, setiap pendekar cakap, siapa yang tidak berusaha berkunjung
padaku? Asalkan mereka sempat bicara sepatah dua atau memandang sekejap padaku, maka

gembiralah mereka seperti orang baru putus lotere, Mungkin kau tidak percaya, boleh coba kau
tanya dia jika tidak percaya."
Yang dimaksudkan adalah Sun Gwe, lelaki ini bersungut saja tanpa bicara.
Memandangi gempalan daging pada leher Jiang-wi Hujin yang bergetar seperti bunga mawar yang
bergoyang tertiup angin, lalu dipandangnya pula Sun Gwe, diam-diam Li Sun-hoan merasa
menyesal bagi lelaki itu. Dapat dirasakannya selama 20 tahun ini kehidupan orang tua ini tentu
dilewatkan dengan tidak enak.
Tapi Jiang-wi Hujin lantas menghela napas malah, katanya pula, "Namun selama 20 tahun ini aku
benar-benar tersiksa, setiap hari hanya sembunyi di dalam rumah, bertemu dengan siapa pun tidak
berani, sungguh aku menyesal ikut minggat bersama lelaki tak becus begini."
Sun Gwe tidak tahan, ia pun menghela napas panjang dan mengomel, "Memang, keparat dia kalau
tidak menyesal."
Seketika Jiang-wi Hujin berjingkrak, teriaknya, "Apa katamu? Dulu kuhidup senang bahagia, tapi
terbujuk dan ikut minggat bersamamu ke tempat setan ini, perempuan cantik jelita telah kau rusak
menjadi begini, sekarang kau malah bilang menyesal segala. Ayo, omong lagi, omong lagi!"
Sun Gwe hanya mendengus saja tanpa bicara.
Segera Jiang-wi Hujin berteriak pula "Coba katakan, Li-tamhoa, adakah perasaan lelaki semacam
ini? Bila tahu dia akan berubah menjadi begini, lebih baik kumati saja sejak dulu-dulu."
Habis berkata ia lantas kucek-kucek matanya seperti mau menangis, tapi sayang setetes air mata
saja tidak menitik.
"Untung Hujin tidak mati, kalau tidak, akulah yang akan menyesal setengah mati?" ujar Sun-hoan
dengan tersenyum.
"Apa betul? Masakah kau benar-benar ingin melihat diriku?"
"Tentu saja betul, ke mana lagi dapat kucari bidadari cantik lagi gemuk seperti engkau?"
Sampai pucat muka Jiang-wi Hujin saking gusarnya. Sebaliknya Sun Gwe dapat menahan tertawa
gelinya.
"Padahal Kim-si-kah ini juga tiada gunanya bagi Hujin," kata Sun-hoan pula, "sebab biarpun kutang
ini kau potong menjadi dua tetap tidak cocok untuk ukuran tubuhmu."
Dengan geregetan Jiang-wi Hujin mengumpat, "Jika ... jika kubiarkan kau mati cepat, anggaplah
kau yang beruntung."
Segera ia mencabut sebatang tusuk kundai emas yang runcing, dengan gemas ia mendekati Li Sunhoan. Tapi Sun-hoan tetap berduduk tenang saja tanpa gentar.
Sun Gwe berkerut kening, katanya, "Kim-si-kah sudah kita dapatkan, lekas kita selesaikan
pekerjaan pokoknya, untuk apa merecoki dia?"
"Urusan nyonya tidak perlu kau ikut campur!" Jiang-wi Hujin meraung murka.
Dalam pada itu Li Sun-hoan tampaknya benar-benar tidak dapat bergerak lagi, ia hanya

memandang orang tanpa berdaya.


Siapa tahu, baru saja perempuan gendut itu sampai di depan Li Sun-hoan dan bermaksud
menyarangkan tusuk kundainya pada mata Li Sun-hoan, sekonyong-konyong Sun Gwe bertindak,
dari belakang ia tendang perempuan itu hingga mencelat ke atas.
Tubuh yang beratus kati itu menumbuk atap rumah sehingga seluruh rumah seakan-akan gempa,
waktu ia jatuh ke lantai, keadaannya sudah sekarat.
Li Sun-hoan jadi tercengang juga, tanyanya, "Apakah kau bunuh dia demi menolong diriku?"
Dengan gemas Sun Gwe menjawab, "Selama 20 tahun ini aku sudah kenyang menderita, hampir
gila aku dibuatnya. Jika tidak kubunuh dia, tidak sampai setengah tahun aku bisa mati kaku oleh
karena tingkah olahnya."
"Tapi hubungan kalian kan terjadi atas suka sama suka, jangan lupa, 20 tahun yang lalu kau ...."
"Hm, kau kira aku yang membujuk dia dan membawanya kabur?"
"Memangnya bukan begitu?" tanya Sun-hoan.
"Huh, justru tidak begitu," jengek Sun Gwe. "Waktu kami bertemu, hakikatnya aku tidak tahu dia
adalah bini Nyo si jenggot, makanya ku ...."
Dia batuk beberapa kali, lalu menyambung, "Siapa tahu aku lantas dimakannya, dia ngotot ikut
kabur bersamaku, tatkala mana Nyo si jenggot sudah menyusul tiba dengan berpuluh jagoannya,
mau tak mau aku harus kabur secepatnya."
"Itu kan tanyanya dia memang suka pada kalau tidak masakah dia mau minggat bersamamu?"
"Suka padaku? Hehe! ...." dengus Sun Gwe. "Kemudian baru kuketahui aku tidak lebih hanya
dijadikan tumbal belaka. Kiranya pada waktu Nyo si jenggot pergi jauh, dia telah bergendakan
dengan orang, bahkan sudah melahirkan anak. Ia khawatir sukar mempertanggungjawabkan anak
haramnya itu apabila Nyo si jenggot pulang, maka dengan nekat ia kabur bersama gendaknya
dengan membawa lari harta benda cukup banyak."
"O, kiranya dalam urusan ini masih ada liku-liku demikian?!" kata Sun-hoan.
"Tak tersangka, sebagian besar harta benda yang dibawa lari dari tempat Nyo si jenggot itu
kemudian digondol kabur pula oleh gendakannya itu, jadinya dia kehilangan orang dan harta, selagi
bingung, sialan, kebetulan dia bertemu denganku."
"Kalau tahu begitu duduknya perkara, kenapa tidak kau jelaskan kepada orang lain bahwa bukan
kau yang membawa lari bini orang?"
"Semula aku pun tidak tahu," tutur Sun Gwe, "secara kebetulan kudengar igauannya pada waktu
dia mabuk. Nah, kalau beras sudah telanjur menjadi nasi, apa pula yang dapat kukatakan?"
"Dan bagaimana dengan anaknya?" tanya Sun-hoan.
Sun Gwe diam saja tanpa menjawab.
Li Sun-hoan menghela napas, katanya, "Jika demikian, seharusnya kau bunuh dia dulu-dulu,
kenapa menunggu sampai sekarang?"

Sun Gwe tetap diam saja.


"Bagaimanapun aku akan mati, apa alangannya kau beritahukan padaku?"
Stelah berpikir lagi sejenak, akhirnya Sun Gwe berkata, "Membuka kedai minum juga ada
manfaatnya, yaitu dari tetamu yang datang sering-sering bisa diperoleh kabar-kabar yang menarik.
Kau tahu, peristiwa apa yang paling menarik yang terjadi di dunia Kangouw akhir-akhir ini?"
"Dari mana kutahu, aku kan tidak membuka kedai minum?" jawab Sun-hoan.
Lebih dulu Sun Gwe celingukan ke kanan dan ke kiri seperti maling takut kepergok, lalu dengan
suara tertahan ia mendesis, "Kau tahu, Bwe-hoa-cat yang pernah malang melintang di dunia pada
30 tahun yang lampau kini telah muncul kembali?!"
Bwe-hoa-cat atau maling bunga Bwe (sakura), nama ini membuat Li Sun-hoan terkesiap juga.
"Waktu Bwe-hoa-cat malang melintang dahulu, kau masih kecil dan mungkin tidak tahu betapa
lihainya. Tapi dapat kuberitahukan padamu, hampir tidak ada seorang pun yang tidak takut padanya
waktu itu, sampai-sampai ketua Tiam-jong-pay, yaitu Go Bun-thian yang terkenal sebagai jago
pedang nomor satu juga binasa di tangannya.
Setelah ganti napas, lalu ia menyambung, "Tindak-tanduk Bwe-hoa-cat ini tidak menentu dan sukar
diraba jejaknya, baru saja Go Bun-thian menyatakan hendak mencari dia, keesokannya sudah dia
mati di rumahnya sendiri tanpa ada tanda luka apa pun, hanya pada ...."
Sampai di sini ia berhenti mendadak sambil celingukan lagi kian kemari seperti khawatir Bwe-hoacat yang jejaknya sukar diraba itu mendadak muncul di belakangnya.
Akan tetapi suasana tetap sunyi senyap, sampai suara bunga salju yang bertebaran di atas rumah
pun terdengar, maka Sun Gwe menarik napas lega, katanya lebih lanjut, "Hanya pada dada
korbannya terdapat bekas luka kecil seperti ditusuk jarum dalam bentuk lima kelopak bunga sakura.
Setiap orang tahu itulah tanda pengenal Bwe-hoacat, tapi tidak ada yang tahu sesungguhnya
senjata rahasia apa yang digunakannya? Sebab tidak ada seorang pun yang pernah bergebrak
dengan dia dapat lolos dengan hidup, sebab itu juga tidak ada orang yang tahu bagaimana wajah
aslinya."
Baru saja berhenti penuturannya, mendadak ia menambahkan lagi, "Semua orang hanya tahu dia
pasti seorang lelaki."
"Oo?" Sun-hoan bersuara ragu.
Maka Sun Gwe menyambung lagi, "Sebab dia tidak cuma merampas harta, juga memperkosa. Dia
dibenci oleh orang dari golongan hitam maupun kalangan putih, tapi semuanya tak berdaya. Tapi
bila ada yang berani mengucapkan kata-kata yang memusuhi dia, tidak lebih dari tiga hari orang itu
pasti akan binasa dan pada bagian dada terdapat tanda pengenalnya yang khas, yaitu bunga
sakura. Kita tahu, bagian dada, hulu hati, adalah bagian yang fatal, tapi Bwe-hoa-cat itu justru
selalu mengincar bagian tersebut tanpa kecuali, seakan-akan kalau tidak begitu takkan tertampak
kelihaiannya."
Li Sun-hoan tertawa, katanya, "Makanya kau yakin asalkan memakai baju kutang Kim-si-kah ini
akan dapat mengatasi keganasan Bwe-hoa-cat itu. Dan bila Bwe-hoa-cat dapat kau bekuk, tentu
namamu akan termasyhur dan setiap orang dari lapisan apa pun pasti akan berterima kasih
padamu, dan tidak ada lagi yang memikirkan perbuatanmu pada masa lampau."

Gemerdep sinar mata Sun Gwe, katanya, "Kita sama tahu, asalkan dapat mengelakkan serangan
mautnya pada bagian dada, maka posisi kita sudah kuat dan banyak kesempatan untuk mengatasi
dia."
Dia mengoceh dengan berseri-seri seolah-olah sedang menghadapi adegan yang sungguh-sungguh
terjadi, sambungnya, "Sebab serangan mautnya itu tidak pernah meleset, sebab itulah pada waktu
dia melancarkan serangannya pasti tidak memikirkan gerak lanjutannya, tentu lengah
penjagaannya terhadap keselamatannya sendiri."
"Ehm, kedengarannya logis juga," ujar Sun-hoan.
"Kalau tidak masuk akal, tentu orang Kangouw tidak berlomba-lomba berusaha mendapatkan Kimsi-kah ini," kata Sun Gwe dengan tertawa.
"Tapi jangan lupa, hidupmu di sini cukup tenang dan aman, musuhmu sudah banyak yang
melupakan dirimu, apa lagi yang kau cari? Kenapa mesti cari penyakit sendiri?"
"Kau tahu apa?" jawab Sun Gwe. "Jika Bwe-hoa-cat dapat kubinasakan, bukan saja namaku yang
termasyhur, bahkan ... bahkan masih banyak manfaatnya."
"Manfaat apa lagi?" tanya Sun-hoan.
"Semenjak lenyap tanpa bekas pada 30 tahun yang silam, orang Kangouw menyangka Bwe-hoa-cat
sudah menemui ajalnya, siapa tahu kurang-lebih setengah tahun yang lalu mendadak dia muncul
kembali, hanya dalam waktu beberapa bulan yang singkat ini sudah tujuh atau delapan puluh
peristiwa besar yang telah dilakukannya, sampai-sampai anak perempuan ketua Hoa-san-pay juga
diperkosanya, dunia Kangouw benar-benar menjadi gempar dan panik."
"Aii kalau dihitung, usia orang ini kan sudah 60 atau 70, tak tersangka hasratnya masih sebesar
ini," ujar Sun-hoan dengan gegetun.
"Maka sejak kemunculannya kembali, setiap orang Kangouw yang mempunyai sedikit harta benda
lantas merasa terancam, terutama yang mempunyai anak istri cantik benar-benar merasa tidak
tenteram, makan tidak enak dan tidur tidak nyenyak. Sebab itulah diam-diam sudah berpuluh tokoh
saling berjanji, barang siapa dapat membunuh Bwe-hoa-cat, maka mereka akan membagikan
setengah bagian harta benda milik mereka kepadanya. Dan dapat kau bayangkan, gabungan dari
jumlah harta benda orang banyak itu tentu tidak sedikit."
"Apakah ini rahasia yang bukan lagi rahasia itu?" tanya Sun-hoan.
Sun Gwe mengangguk, tuturnya pula, "Selain itu, wanita tercantik di dunia yang diakui setiap orang
Kangouw juga menyatakan, barang siapa baik tua maupun muda, boleh orang preman atau pun
pendeta, asalkan dapat membunuh Bwe-hoa-cat, maka dia rela menjadi istrinya."
"Harta dan perempuan memang memikat, pantas kehidupan yang enak kau tinggalkan dan lebih
suka ikut berkecimpung dalam air keruh ini, pantas juga kau tega membunuh binimu sendiri. Dan
sekarang, tampaknya giliranku yang akan kau bunuh."
"Bicara sejujurnya, aku pun merasa kematianmu sangat penasaran, cuma, mau tak mau harus
kubunuh kau."
Mendadak Li Sun-hoan tertawa, katanya dengan tenang, "Bicara sejujurnya, kau kira membunuh
diriku adalah tindakan yang sangat mudah?"

Sun Gwe sudah angkat bogemnya, mendadak ia luruskan lagi ke bawah, sejenak ia pandang Sunhoan dengan melotot, akhirnya tersembul senyuman pada ujung mulutnya dan berkata, "Orang
semacam kau ternyata dapat hidup sampai sekarang, ini suatu tanda untuk membunuh kau
memang bukan pekerjaan mudah, tapi sekarang ...."
Pada saat itulah mendadak berkumandang suara gelak tertawa di luar, seorang lagi berkata, "Bicara
sejujurnya, apakah kau lihat dia seperti orang yang keracunan?"
Sun Gwe terkejut dan cepat membalik tubuh, di depan pintu sepen sana entah sejak kapan sudah
berdiri seorang berbaju hijau, perawakannya tidak pendek, tapi juga tidak tinggi, sikapnya tenang
dan gagah, tapi wajahnya hijau pucat dan seram, seperti memakai topeng, tapi seperti juga
memang begitulah wajah aslinya.
Dengan berdekap tangan ia melangkah masuk dengan perlahan sambil bergumam, "Seorang kalau
ingin menaruh racun di dalam arak kepada seorang peminum, maka segala macam perbuatan
bodoh pasti juga dapat diperbuatnya, betul tidak?"
Kata terakhir itu ditujukan kepada Li Sun-hoan. Tiba-tiba Sun-hoan melihat orang ini memiliki
sepasang mata yang sangat menarik, sangat tidak seimbang dengan wajahnya yang seram itu.
Sama halnya dua biji mutiara terbingkai pada daging babi mati.
Sun-hoan memandangi mata orang yang indah itu, katanya dengan tersenyum, "Main gila pada
waktu berjudi dengan penjudi, menaruh racun dalam arak kepada peminum, bicara tentang
kecantikan perempuan lain di depan bininya sendiri, barang siapa melakukan ketiga hal ini,
akibatnya dia pasti akan menyesal."
"Tapi sayang, waktu mereka menyesal kebanyakan sudah kasip," jengek si baju hijau.
Sun Gwe memandangi mereka dengan melenggong, mendadak ia berlari maju dan menyerobot poci
arak di depan Li Sun-hoan.
"Tidak perlu kau periksa lagi, di dalam arak memang beracun, sedikit pun tidak salah," kata Sunhoan dengan tertawa.
Dengan suara parau Sun Gwe berteriak, "Tapi mengapa kau ...."
"Apakah di dalam arak beracun atau tidak, mungkin orang lain sukar mengetahuinya, tapi pemabuk
serupa diriku ini, cukup kuendus dengan hidung saja lantas tahu segalanya," tutur Sun-hoan
dengan tertawa. "Dan di sinilah letak faedahnya orang minum arak, hal ini seharusnya diketahui
oleh orang yang tidak suka minum arak."
"Namun jelas-jelas kulihat arak ini telah kau minum," seru Sun Gwe.
"Memang betul sudah kuminum, tapi waktu kubatuk, arak itu tertumpah keluar lagi," ucap Sunhoan dengan tersenyum.
"Trang", poci yang dipegang Sun Gwe jatuh ke lantai.
"Tampaknya sekarang dia sangat menyesal," ujar si baju hijau, "cuma sayang, menyesal pun sudah
terlambat."
Sun Gwe meraung murka, sekaligus ia menghantam tiga kali kepada si baju hijau.

Selama 20 tahun ini dia tidak mengabaikan Kungfunya, sebaliknya malah banyak lebih maju, tiga
kali pukulannya sungguh sangat dahsyat, menerbitkan deru angin yang mengejutkan, kalau terkena
pukulannya, jangankan kepala manusia, kepala kerbau pun bisa hancur.
Tampaknya si baju hijau sudah terkurung di bawah angin pukulannya, bukan saja tidak mampu
menangkis, bahkan menghindar pun sukar.
Tak terduga, orang itu sama sekali tidak menangkis, juga tidak berkelit, hanya sebelah tangannya
mengebas perlahan, jelas dia bergerak belakangan, tapi entah cara bagaimana, belum lagi kepalan
Sun Gwe mengenai sasarannya, tahu-tahu muka sendiri sudah tertampar lebih dulu malah.
Padahal gerak tangan si baju hijau serupa orang yang lagi menepuk lalat, tapi kontan Sun Gwe
menjerit seperti babi hendak disembelih, lalu jatuh terjungkal.
Waktu ia berusaha merangkak bangun, pipi sebelah kiri sudah merah bengkak besar, sampai mata
pun terdesak miring ke samping.
"Bicara sejujurnya, kematianmu sebenarnya rada penasaran," demikian ucap si baju hijau dengan
hambar, "Mestinya tidak ada maksudku membunuhmu, tapi tanganku ...."
Sebelah pipi Sun Gwe yang tidak abuh itu tampak pucat seperti mayat, otot dagingnya sama
berkejang, membetot daging bengkak pipi sebelahnya. Tampangnya sungguh sangat mengerikan.
Sebelah matanya yang masih dapat terpentang lebar itu memandang tangan si baju hijau dengan
terbelalak penuh rasa kejut dan takut, serunya dengan suara parau, "Tangan ... tanganmu ...."
Kiranya tangan si baju hijau memakai sarung tangan besi warna hijau gelap, bentuk sarung tangan
yang jelek dan berat, tapi warnanya segera membuat orang merinding bila melihatnya.
Sorot mata Sun Gwe yang menampilkan rasa takut itu kini berubah menjadi putus asa, suaranya
juga semakin lemah, gumamnya, "O, dosa apakah yang kubuat sehingga sekarang aku kepergok
Jing-mo-jiu (tangan hantu hijau)? Li ... Li-tamhoa, engkau orang berhati baik, kumohon ...
kumohon dengan sangat, lekas ... kau bunuh saja diriku."
Li Sun-hoan tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak, matanya juga menatap kedua tangan si baju
hijau, hanya ujung kakinya digunakan untuk mendepak tombak berantai yang putus tadi ke depan
Sun Gwe.
Cepat Sun Gwe meronta maju dan menjemput tombak rantai itu, ucapnya dengan suara gemetar,
"Teri ... terima kasih, mati pun takkan kulupakan, ke ... kebaikanmu!"
Habis berkata, dengan sisa tenaganya ia tikamkan tombak rantai itu ke tenggorokan sendiri, kontan
darah muncrat keluar dari lehernya, darahnya sudah berwarna merah hitam dan berbau busuk
seperti air got.
Li Sun-hoan memejamkan mata dan menghela napas, ucapnya dengan gegetun, "Di dunia
persilatan ada Jit-tok (tujuh racun), racun yang paling jahat ialah Jing-mo-jiu, tampaknya semboyan
ini bukan omong kosong!"
Si baju hijau juga sedang memandang kedua tangan sendiri, ia pun menghela napas, katanya,
"Orang lain sama bilang kalau terkena pukulan Jing-mo-jiu akibatnya hidup tidak lebih enak
daripada mati, maka diharapkan mati lebih cepat akan lebih baik, tampaknya cerita ini pun tidak
berlebihan."

Sun-hoan membuka matanya, sorot matanya berpindah ke wajah si baju hijau dan berucap dengan
suara tertahan, "Tapi kutahu Anda bukanlah si hantu hijau In Gok."
"Dari mana kau tahu aku bukan dia? Memangnya kau kenal dia?"
"Ehmm!" Sun-hoan mengangguk.
Si baju hijau seperti tertawa, lalu berkata, "Sama sekali aku tidak bermaksud memalsukan dia, aku
adalah ...."
"Kutahu In Gok tidak punya murid," sela Sun-hoan.
"Siapa bilang aku muridnya?" mata si baju melotot. "Huh, dia menjadi muridku saja belum
setimpal."
"Oo?!" Sun-hoan bersuara ragu.
"Kau kira aku membual?" tanya si baju hijau.
"Tapi aku tidak berminat untuk mengetahui asal-usul Anda," ujar Sun-hoan dengan tak acuh.
Mata si baju hijau mendadak memancarkan sinar tajam, ucapnya sambil melotot, "Urusan apa yang
dapat menimbulkan minatmu? Kim-si-kah?"
Li Sun-hoan tidak menjawab, hanya perlahan meraba pisau yang dipegangnya.
Sinar mata si baju hijau juga beralih pada pisau kecil itu, katanya. "Orang sama bilang timpukan
pisaumu tidak pernah meleset, entah kabar ini dilebihkan atau tidak?"
"Dahulu juga banyak orang yang meragukan kabar tersebut."
"Dan sekarang?"
"Sekarang orang-orang itu sudah mati semua," jawab Sun-hoan dengan perlahan, terkilas rasa
kesepian pada sinar matanya.
Sejenak si baju hijau terdiam, mendadak ia bergelak tertawa.
Suara tertawanya sangat istimewa, seperti tertawa yang dibuat-buat, meski suara tertawanya
sangat keras, tapi air mukanya tetap kaku, tanpa emosi. Lalu katanya, "Bicara terus terang, aku
ingin menjajalnya."
"Kuharap sebaiknya jangan kau coba-coba," kata Sun-hoan.
Suara tertawa si baju hijau berhenti seketika, kembali ia melototi Li Sun-hoan beberapa kejap, lalu
bertanya, "Kim-si-kah berada pada tubuh orang yang mati di dalam wajan, bukan?"
"Ehmm," Sun-hoan mengangguk.
"Jika sekarang kuangkat orang mati itu dan ...."
"Dan kau pun akan segera berubah menjadi orang mati ...." tukas Sun-hoan.
Kembali si baju hijau tertawa, katanya, "Bukanlah kutakut padamu, cuma aku tidak suka bertaruh,

juga tidak mau menyerempet bahaya."


"Ehm, itulah kebiasaan yang baik, asalkan tetap kau pertahankan kebiasaanmu itu tanggung kau
akan panjang umur."
"Tapi tetap ada akalku untuk membikin kau serahkan Kim-si-kah itu kepadaku," kata si baju hijau
dengan sinar mata gemerdep.
"Oo?!" Sun-hoan bersuara tak acuh.
"Kau tahu, Jing-mo-jiu (tangan hantu hijau) ini adalah milik In Gok yang digembleng dengan inti
baja dan direndam dengan berpuluh macam racun, setelah mengalami proses pembuatan selama
tujuh tahun barulah jadi, maka tangan hantu ini boleh dikatakan salah satu senjata yang paling
ganas di dunia persilatan."
"Ya, kutahu, menurut kamus senjata susunan Pek-hiau-sing, Jing-mo-jiu ini menduduki nomor
sembilan, memang terhitung senjata mestika terkemuka."
"Jika demikian, bila kuberikan Jing-mo-jiu ini kepadamu, maukah kau serahkan Kim-si-kah
padaku?"
Li Sun-hoan berpikir sejenak sambil memandangi pisau yang dipegangnya, katanya kemudian
dengan perlahan, "Pisauku ini hanya buatan pandai besi biasa, hasil buatan dalam waktu tiga jam
saja, tapi waktu Pek-hiau-sing menilai segala macam senjata di dunia ini, pisau terbang si Li ini
diberinya nomor tiga dalam daftarnya"
Si baju hijau menghela napas panjang, katanya, "Jadi maksudmu, baik buruknya senjata tidak
menjadi soal, yang lebih penting adalah orang yang menggunakan senjata itu."
"Anda ternyata seorang cerdas," ujar Sun-hoan dengan tersenyum.
"Makanya kau tidak mau tukar-menukar?" tanya si baju hijau.
"Jika aku mau, tentu Jing-mo-jiu itu takkan berada padamu sekarang," kata Sun-hoan.
Sejenak si baju hijau termenung, tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah kotak panjang gepeng dari
dalam bajunya dan ditaruh di atas meja dengan hati-hati, dibukanya kotak itu dengan kedua tangan
yang memakai sarung tangan besi itu, seketika timbul hawa pedang yang dingin menyayat.
Ternyata isi kotak itu adalah sebilah pedang pandak yang bersinar gemerlapan.
"Pedang mestika harus diberikan kepada ksatria sejati," kata si baju hijau. "Hi-jong-kiam (pedang
usus ikan) ini tiada bandingannya di dunia, rasanya senjata ini sangat cocok bagi seleramu."
Li Sun-hoan tampak tertarik, katanya, "Apakah Anda anak murid Cong-liong Lojin dari Cong-kiamsan-ceng?"
"Bukan," jawab si baju hijau.
"Jika demikian, dari mana kau peroleh pedang ini?"
"Kakek Cong-liong sudah mati, pedang ini kudapatkan dari anaknya, Yu Liong-sing."
"Hi-jong-kiam adalah pedang wasiat yang dipuja setiap jago persilatan, meski Cong-kiam-san-ceng

(perkampungan penghimpun pedang) terkenal sebagai kedungnya macam-macam pedang pusaka,


tapi kalau bukan lantaran Cong-liong Lojin adalah sahabat sehidup semati para ketua Siau-lim, Butong dan Kun-lun-pay, tentu sudah sejak dulu pedang ini dirampas orang. Walaupun begitu sudah
sering terjadi juga banjir darah di Cong-kiam-san-ceng demi mempertahankan pedang ini dari
incaran musuh, lalu Yu-siaucengcu masakah mau memberikan pusaka keluarganya ini kepada orang
lain dengan begitu saja?"
Si baju hijau mendengus, "Hm, jangankan cuma sebilah pedang saja, sekalipun kuminta dia
memberikan kepalanya pasti, juga takkan ditolaknya, kau percaya tidak?"
Li Sun-hoan termenung lagi sejenak, tanyanya kemudian, "Pedang ini jelas lebih tinggi nilainya
daripada Kim-si-kah, mengapa Anda mau menukar barang yang bernilai lebih rendah dengan
pusaka yang sukar dicari ini?"
"Soalnya aku mempunyai watak yang aneh semakin sukar kudapatkan sesuatu, semakin ingin
kumiliki."
"Haha, kebetulan aku pun mempunyai watak yang sama," seru Sun-hoan dengan tertawa.
"Jadi kau tetap tidak menerima tawaranku?"
"Tidak," jawab Sun-hoan tegas.
"Mengapa kau harus memiliki Kim-si-kah itu?" anya si baju hijau dengan rada aseran.
"Itu urusan pribadiku dan tiada sangkut-pautnya dengan Anda."
"Hahaha!" si baju hijau menengadah dan ngakak. "Sudah lama kudengar Li-tamhoa tidak
menghiraukan harta dan kedudukan, kekayaan dipandangnya seperti sampah, 20 tahun yang silam
rela meninggalkan gelar pangkatnya, 10 tahun yang lalu juga meninggalkan segenap harta
bendanya dan rela mengasingkan diri jauh ke luar daerah perbatasan sana. Tapi ... orang semacam
ini, mengapa sekarang juga memandang penting terhadap sepotong Kim-si-kah yang tidak ada
artinya?"
"Alasanku mungkin sama juga dengan Anda," ujar Sun-hoan dengan hambar.
Si baju hijau melotot. "Hah, jangan-jangan kau pun lantaran si cantik nomor satu di dunia itu?"
"Mungkin betul," ucap Sun-hoan dengan tertawa.
Tertawa juga si baju hijau, katanya, "Benar, memang sudah lama kudengar selamanya Li-tamhoa
tidak pernah menolak perempuan cantik dan arak enak."
"Ya, sayang Anda bukanlah perempuan cantik," ujar Sun-hoan.
"Masakah kau yakin aku bukan?" kata si baju hijau dengan tertawa.
Sekonyong-konyong suara tertawanya berubah menjadi nyaring merdu dan genit. Perlahan dia
menanggalkan sarung tangannya yang berwarna hijau gelap itu dan tertampaklah kedua tangannya
....
Selama ini belum pernah Li Sun-hoan melihat tangan seindah ini.
Selain julukan "Li si pisau terbang", Li Sun-hoan juga terkenal sebagai "Li si perayu", selama

hidupnya entah sudah berapa banyak perempuan cantik yang pernah berhubungan mesra dengan
dia, pada waktu dia tidak, memegang pisau dan cangkir arak, entah berapa banyak pula tangan
putih halus yang telah dipegangnya.
Tangan perempuan cantik kebanyakan memang indah. Akan tetapi dari pengalaman dan
pengamatan Li Sun-hoan, ia menemukan betapa indahnya tangan perempuan cantik, sedikit banyak
pasti juga ada cirinya. Misalnya ada yang berkulit agak hitam, ada yang berkuku agak kasar, ada
yang berujung jari kurang lentik, bahkan ada yang berpori agak kasar.
Bahkan perempuan yang pernah dicintainya, perempuan yang tak dapat dilupakannya selama
hidup, tangan perempuan itu pun ada cirinya. Yaitu, lantaran wataknya terlampau keras, maka
tangannya menjadi agak lebih besaran daripada mestinya.
Akan tetapi tangan yang terpampang di depan matanya sekarang justru sangat indah tanpa cacat
bilamana tidak boleh dikatakan sempurna, sedemikian putih, sedemikian mulus tangan ini laksana
kemala putih yang telah digosok dengan teliti, tanpa warna lain, halus dan lunak, jika tambah
sedikit akan menjadi terlalu gemuk, bila dikurangi sedikit akan menjadi terlalu kurus pula. Tangan
ini sedemikian sempurna, tidak panjang, juga tidak pendek. Pas begitulah.
"Nah, bukankah tanganku jauh lebih sedap dipandang daripada Jing-mo-jiu?" kata si baju hijau
dengan suara lembut. Mendadak suaranya juga berubah begitu merdu dan menggiurkan, sekalipun
dilukiskan "bagaikan kicau burung kenari" juga masih terasa merendahkan dia.
Li Sun-hoan menghela napas gegetun, ucapnya, "Membunuh orang dengan kedua tanganmu ini
pasti tiada seorang pun yang mampu melawan, untuk apa pula kau pakai Jing-mo-jiu?"
Si baju hijau tertawa genit, katanya, "Dan kalau sekarang kurundingkan lagi soal pertukaran
denganmu, bukanlah syaratnya sudah tambah baik bagimu?"
"Tidak, belum cukup baik," jawab Sun-hoan.
Mendadak si baju hijau menggunakan tangannya yang putih mulus itu untuk menarik lengan
bajunya, seketika lengan bajunya terlepas dan tertampaklah lengannya yang bernas, tapi tidak
gemuk, lengan yang teramat indah.
Tangannya saja sudah memesona, ditambah lagi kedua lengannya yang mulus ini, pandangan orang
bertambah silau.
"Bagaimana sekarang?" tanya si baju hijau.
"Belum cukup," jawab Sun-hoan.
"Hihi, semua lelaki memang serakah, lebih-lebih lelaki yang pandai, semakin tinggi kepandaiannya
semakin besar pula serakahnya ...." sambil tertawa mengikik si baju hijau lantas melengganglenggokkan tubuhnya, selesai ucapannya itu, tubuhnya sudah tersisa sehelai baju dalam yang tipis
sehingga samar-samar kelihatan isi di balik baju tipis itu.
Segala sesuatu yang kelihatan samar-samar biasanya menggelitik, memandang bunga di tengah
kabut biasanya sangat menggiurkan.
Sun-hoan menuang satu cawan arak yang sudah tidak beracun, ia angkat cawan dan berkata,
"Menikmati pemandangan indah harus disertai minum arak. Mari minum!"
"Kutahu kau tetap merasa belum cukup, begitu bukan?"

"Kebanyakan lelaki memang serakah," ujar Sun-hoan dengan tertawa.


Diiringi suara tertawanya yang nyaring bagai bunyi keleningan, mulailah si baju hijau membuka
sepatu dan kaus kaki.
Pada umumnya gaya orang membuka sepatu pasti tidak menarik, tapi si baju hijau ini harus
dikecualikan, kaki siapa pun kebanyakan rata kasap, tapi kakinya juga harus dikecualikan.
Kakinya indah, betisnya juga menggiurkan, jika banyak lelaki di dunia ini rela mati diinjak oleh kaki
ini, maka pasti tidak ada orang yang meragukannya.
Menyusul diperlihatkan pula kedua pahanya, sekarang tertampaklah lengkap kedua kakinya yang
jenjang itu.
Sesaat itu, napas Li Sun-hoan serasa berhenti.
"Bagaimana, masih belum cukup?!" tanya pula si baju hijau dengan suara lembut.
Li Sun-hoan mennggak habis isi cawannya, lalu berucap dengan tertawa, "Jika kukatakan cukup,
maka aku adalah orang tolol."
Maka apa yang tertampak selanjutnya adalah sesosok tubuh yang bugil tanpa sehelai benang pun,
sukar untuk dibayangkan bahwa di dunia ini ternyata ada tubuh sedemikian sempurna.
Payudaranya yang bernas dan tegak, kedua pahanya yang ....
Tapi di belang tubuh yang mulus ini tergeletak tiga sosok mayat, namun hal ini tidak mengurangi
daya tariknya, sebaliknya malah tambah menantang, sungguh pemandangan ini dapat membuat
lelaki nekat melakukan kejahatan apa pun.
Satu-satunya penyesalan yang masih ada ialah dia belum lagi menanggalkan topengnya yang seram
itu. Dia hanya memandang Li Sun-hoan dengan sorot mata yang genit, ucapnya dengan napas agak
terengah, "Dan sekarang kiranya sudah cukup, bukan?"
Li Sun-hoan memandang topengnya, jawabnya dengan tersenyum, "Sudah hampir, hanya selisih
sedikit saja."
"Kau ... kau sungguh lelaki yang tidak tahu batas."
"Lelaki yang mudah tahu batas sering kali akan kehilangan sesuatu yang paling menyenangkan."
Dada si baju hijau tampak naik-turun, puting payudaranya yang kecil kemerahan menegak dengan
menantang di depan mata Li Sun-hoan.
"Meng ... mengapa kau harus melihat wajahku?" katanya dengan suara agak gemetar. "Dengan
begini, bukankah akan lebih fantastis dan lebih menyenangkan?"
"Kutahu bahwa wanita yang berperawakan indah justru berwajah buruk," kata Li Sun-hoan dengan
tertawa.
"Kau kira mukaku sangat buruk?"
"Bukan mustahil," ujar Sun-hoan.

Si baju hijau menghela napas menyesal, katanya, "Ai, sungguh sukar melayani kau, tapi kuharap
sebaiknya jangan kau lihat wajahku."
"Sebab apa?" tanya Sun-hoan.
"Setelah kutukar Kim-si-kah itu denganmu, segera aku akan angkat kaki, selanjutnya mungkin
takkan bertemu lagi. Kau berikan Kim-si-kah padaku, dan kuberikan kesenangan yang paling
nikmat di dunia ini padamu. Transaksi ini sangat adil, tidak ada pihak yang rugi, sebab itu pula
selanjutnya siapa pun tidak perlu saling ingat lagi."
"Ehm, boleh juga!"
"Tapi bila sempat kau lihat wajahku, selamanya tentu takkan kau lupakan diriku. Sebaliknya aku
pasti takkan ... takkan main lagi denganmu. Jadinya kau bisa mabuk kepayang, hal ini bukankah
sama seperti kau cari susah sendiri?"
Li Sun-hoan tertawa, katanya, "Tampaknya kau sangat percaya pada diri sendiri."
Tangan si baju hijau yang halus itu merosot turun perlahan dari dadanya, ucapnya dengan senyum
menggiurkan, "Masakah aku tidak boleh percaya pada diri sendiri?"
"Tapi kan bisa jadi aku tidak mau mengikat transaksi ini dengan kau?" ujar Li Sun-hoan dengan tak
acuh.
Si baju hijau seperti melenggong, tanyanya kemudian, "Benar kau tidak mau?"
Akhirnya ia angkat tangannya dan topeng ditanggalkannya. Lalu dia memandang Li Sun-hoan
dengan sikap menantang seakan-akan lagi berkata, "Masakah sekarang kau tetap tidak mau?"
Wajahnya sungguh sukar dilukiskan cantiknya, wajah demikian ditambah lagi tubuh yang sempurna,
sungguh jarang ada lelaki di dunia ini yang sanggup menolaknya.
Sekalipun orang buta juga dapat mengendus bau semerbak yang teruar dari tubuhnya dan dapat
mendengar bisikannya yang menggetar kalbu. Semua ini membuat lelaki mana pun tak dapat
melawannya.
Kembali Li Sun-hoan menghela napas gegetun, "Pantas orang semacam In Gok rela memberikan
Jing-mo-jiu kepadamu, juga tidak heran Yu-siaucengcu mau mempersembahkan pedang pusaka
keluarganya ke bawah kakimu, sekarang mau tak mau aku harus percaya akan kebenarannya."
Si cantik yang tidak ada taranya dalam keadaan telanjang bulat ini hanya tersenyum saja tanpa
bicara. Sebab ia tahu dirinya sudah tidak perlu bicara lagi.
Dia cukup bicara dengan lirikan matanya, bicara dengan senyum genitnya, bahkan tangannya,
kakinya, dadanya, dan ... pendek kata, setiap bagian tubuhnya seakan-akan dapat bicara.
Ia tahu semua ini sudah cukup, jika masih ada lelaki yang tidak paham maksudnya, maka lelaki ini
pasti seorang dungu.
Maka dia lagi menunggu, juga menantang.
Tapi Li Sun-hoan justru tidak berbangkit dari tempatnya, sebaliknya ia malah menuang arak pula
dan menenggaknya habis, lalu menuang lagi secawan dan diangkat serta berkata dengan tertawa,

"Sudah lama sekali tidak pernah kunikmati pemandangan demikian, terima kasih atas
pertunjukanmu."
Si dia menggigit bibir dengan malu-malu kucing, ucapnya dengan menunduk, "Tak tersangka lelaki
semacam kau juga perlu membikin tabah hatimu dengan minum arak."
"Soalnya kutahu perempuan yang cantik kebanyakan juga sukar diberi kepuasan," kata Sun-hoan
dengan tertawa.
Nona itu bersuara genit, lalu memberosot ke dalam pangkuan Li Sun-hoan serupa seekor ular.
"Trang", cawan arak jatuh dan pecah berantakan. Sebelah tangan Li Sun-hoan mengelus punggung
si dia yang halus licin itu hingga ke bawah, tapi tangan yang lain tetap memegangi pisaunya yang
tajam itu.
Tubuh si nona bergeliat, ucapnya lembut, "Pada waktu begituan tangan orang lelaki tidak pantas
memegang pisau."
"Pada waktu tangan seorang lelaki memegang pisau, tidak seharusnya kau duduk di dalam
pangkuannya," suara Li Sun-hoan juga sangat halus.
"Masa ... masakah kau tega membunuhku?" ucap si nona dengan tersenyum genit.
"Seorang anak perempuan tidak boleh terlalu percaya akan diri sendiri, lebih-lebih tidak boleh
memikat lelaki dengan telanjang bulat, dia harus berbaju rapi dab menunggu dipikat oleh si lelaki,
kalau tidak, si lelaki akan merasa hambar kepadanya."
Perlahan Li Sun-hoan telah mengangkat pisaunya, ujung pisau menggores perlahan pada
permukaan leher si nona, setitik darah tampak menetes di dadanya yang putih mulus sehingga
mirip setangkai bunga mawar merah di atas tanah salju.
Perempuan itu benar-benar terperanjat, tubuhnya yang halus dan lemas itu seolah-olah berubah
menjadi kaku.
"Nah, sekarang apakah kau masih percaya akan diri sendiri dan menganggap aku tindak tega
membunuhmu?" tanya Sun-hoan dengan tersenyum dengan ujung pisau masih mengancam di
tenggorokan si dia.
Bibir perempuan itu tampak gemetar, mana dia sanggup bersuara lagi.
Li Sun-hoan berkata pula, "Selanjutnya kuharap kau ingat beberapa hal. Pertama, kaum lelaki pada
umumnya tidak suka dipaksa. Kedua, kau tidak secantik sebagaimana kau sangka sendiri."
Nona itu menggigit bibir dengan kencang, ucapnya dengan suara gemetar, "Baik ... baiklah, aku
menyerah. Kumohon pisaumu ini disingkirkan."
"Ingin kutanya sesuatu padamu," kata Sun-hoan.
"Ka ... katakan saja ...."
"Apa yang kau inginkan, dengan mudah dapat kau peroleh dari banyak lelaki, maka tidak mungkin
kau tamak harta, kau sendiri seorang perempuan, tentu juga bukan lantaran terpikat oleh
perempuan. Lalu, sesungguhnya apa yang kau tuju sehingga kau rela mengorbankan segalanya
demi mendapatkan Kim-si-kah ini?"

"Kan sudah kukatakan sejak tadi, sesuatu yang sukar kudapatkan, semakin besar hasratku untuk
memperolehnya," jawab si nona.
Li Sun-hoan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum, "Jika pisauku tidak
kusingkirkan dari lehermu, apakah lehermu tidak dapat menyingkir dari pisauku?"
Tanpa omong segera nona itu memberosot keluar dari pangkuan Sun-hoan, begitu cepat serupa
seekor kucing yang baru terinjak ekornya.
"Hawa sangat dingin, bisa masuk angin jika tidak memakai baju," kata Sun-hoan pula.
Si nona mendelik, matanya yang jeli itu seakan-akan membara.
Selang sejenak, mendadak ia tertawa dan berkata, "Sejak mula sudah kuketahui, betapa pun kau
pasti tidak tega membunuhku."
"Oo, apa betul?" perlahan Sun-hoan mengelus mata pisaunya, lalu sambungnya dengan perlahan,
"Selesai ucapanku ini, jika kau belum lagi pergi, maka pisau ini akan bersarang di tenggorokanmu.
Kau percaya tidak?"
Perempuan itu tidak berani bicara lagi, dengan menggereget ia comot bajunya dan melompat pergi
dengan cepat.
Terdengar suaranya yang penuh rasa dendam berkumandang dari kejauhan, "Li Sun-hoan, kau
bukan lelaki, hakikatnya kau bukan manusia, sesungguhnya kau memang tidak berguna. Pantasan
tunanganmu dahulu bisa ikut minggat bersama sahabatmu, baru sekarang kutahu apa sebabnya!"

*****

Timbunan salju makin tebal di luar dan memantulkan cahaya yang terang, tapi di dalam dapur
justru kelam dan sunyi seperti kuburan, membuat orang tidak kerasan berdiam di situ. Akan tetapi
Li Sun-hoan justru masih duduk tenang tanpa bergeser sedikit pun dari tempat semula.
Sorot matanya penuh rasa pedih dan duka, apa yang diucapkan perempuan tadi serupa jarum
tajam yang menusuk hulu hatinya.
Tunangannya ... sahabatnya ....
Li Sun-hoan memegang poci arak, dituangnya sisa arak seluruhnya, lalu ia terbatuk-batuk pula
tiada berhentinya, mukanya yang pucat kembali menampilkan warna merah kelam.
Sambil meraba dada ia bergumam dengan pedih, "O, Siau-hun dan Si-im, aku tidak menyalahkan
kalian, betapa pun orang akan omong tentang kalian, sama sekali tidak kusalahkan kalian. Sebab
kutahu kalian tidak bersalah, semuanya gara-gara perbuatanku sendiri."
Pada saat itulah, "blang", mendadak daun pintu terpentang. Seorang merangkak masuk, bentuknya
serupa segumpal daging, perutnya besar seperti tambur, sekujur badan hanya daging melulu,
seluruh tubuh berlepotan tanah, rambut dan jenggotnya juga semrawut seperti sudah sekian tahun
tidak pernah mandi, dari jauh sudah terendus bau kecut dan busuk.

Masuknya dengan merangkak seperti bola menggelinding, sebab kedua kakinya telah buntung
sebatas pangkal paha.
Sun-hoan mengernyitkan dahi dan berkata, "Jika kedatanganmu ingin minta sedekah, maka jelas
kau salah pilih waktunya."
Dianggapnya seolah-olah pengemis saja. Tapi orang itu seperti tidak memperhatikan ucapan Li Sunhoan, tubuhnya yang gemuk tapi cacat itu ternyata tidak lamban gerak-geriknya, sekali kedua
tangannya menahan lantai, dengan cepat ia menggelinding ke depan tungku.
"He, apakah kedatangan Anda juga untuk Kim-si-kah ini?" tanya Sun-hoan dengan terkesiap.
Kembali kedua tangan orang buntung itu menekan lantai, seperti seekor katak raksasa ia melompat
ke atas tungku. Di atas tungku masih terdapat wajan besar dengan sesosok mayat, dan Kim-si-kah
juga masih berada pada mayat itu.
"Jangan kau kira pisauku ini tidak dapat membunuh orang," jengek Li Sun-hoan. "Apabila Anda
tidak berhenti bertindak, mungkin di sini akan bertambah lagi sesosok mayat."
Tapi orang buntung itu tetap tidak menggubrisnya, dengan cepat ia copot Kim-si-kah yang terpakai
oleh si mayat, baju kutang pusaka itu tidak kelihatan sesuatu yang istimewa kecuali warna
keemasan yang mencolok.
Anehnya Li Sun-hoan masih tetap berduduk diam saja, pisaunya tidak beraksi, dia hanya melototi
orang buntung itu, bahkan sorot matanya menampilkan rasa takut dan jeri.
Dilihatnya kedua tangan si orang buntung mendekap Kim-si-kah di depan dadanya, katanya dengan
bergelak tertawa, "Pertarungan antara burung bangau dengan kerang berakhir si nelayan yang
meraih keuntungannya. Hahaha, tak tersangka benda mestika ini akhirnya kuperoleh semudah ini."
"Tapi masih ada diriku di sini, pisau juga masih kupegang, apakah tidak terburu nafsu Anda bicara
demikian?" jengek pula Sun-hoan.
Orang buntung itu melompat turun seperti katak dan menggelinding ke depan Li Sun-hoan,
dipandangnya Sun-hoan dengan menyengir sehingga kelihatan barisan giginya yang kuning.
Dengan tertawa terkekeh-kekeh ia mengejek, "Kalau pisau sudah kau pegang, mengapa tidak kau
bunuh diriku? Li si pisau terbang, sekali timpuk tidak pernah meleset. Semboyan ini tersiar ke
mana-mana, bila pisau kau sambitkan, orang cacat semacam diriku ini masakah mampu
menghindar?"
"Aku merasa kau ini sangat menyenangkan, maka tidak tega membunuhmu," Sun hoan juga
tertawa.
"Hahaha, jika kau sendiri tidak mau omong biarlah kukatakan bagimu," orang aneh itu bergelak
tertawa. "Orang lain mengira kau tidak keracunan, tapi kutahu persis kau keracunan, hanya saja
kau dapat menahan perasaanmu, maka orang lain sama tertipu olehmu."
"Oo?" Sun-hoan masih tenang-tenang saja.
"Tapi jangan kau harap akan menipu diriku, sebab kutahu racun yang tertaruh di dalam arak adalah
racun tanpa warna dan tanpa bau, sekalipun indera penciummu lebih tajam daripada anjing juga
tidak dapat mengendusnya."

Lama juga Li Sun-hoan memandangnya, lalu tersenyum hambar dan berkata, "Benarkah Anda tahu
sejelas ini?"
Orang buntung itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Dengan sendirinya kutahu dengan sangat
jelas, sebab akulah yang menaruh racun dalam arakmu. Kau keracunan atau tidak hanya aku yang
tahu, sebab itulah orang lain dapat kau tipu, tapi tidak dapat menipuku."
Air muka Li Sun-hoan tetap tidak berubah, tapi otot daging pada ujung matanya sudah mulai
berkedut, selang sejenak barulah ia menghela napas panjang, katanya, "Belum ada satu hari
penuh, sudah enam-tujuh peristiwa aneh yang kulihat, tampaknya hari ini aku lagi mujur."
"Apakah Anda tidak ingin tahu dirimu mati di tangan siapa?"
"Ehm, coba jelaskan!"
"Anda berpengalaman luas, tentunya tahu di dunia Kangouw ada tujuh orang yang paling kotor dan
rendah ...."
"O, Jit-biau-jin (tujuh manusia ajaib)!" seru Sun-hoan.
"Betul," orang buntung itu terbahak-bahak. "Jit-biau-jin itu benar-benar semuanya manusia busuk,
yang lelaki bajingan, yang perempuan jalang, semuanya tidak tahu malu. Tidak ada ilmu silat yang
mereka kuasai dengan baik, tapi dalam hal main racun atau menaruh obat bius, mencuri atau
merampok, menculik atau menipu, kepandaian sejenis ini bagi mereka boleh dikatakan nomor satu
di dunia Kangouw dan tiada bandingannya."
Li Sun-hoan memandangnya dengan terbelalak, tanyanya, "Apakah Anda termasuk satu di antara
Jit-biau-jin itu?"
Orang buntung itu tidak langsung menjawab tapi berkata, "Di antara Jit-biau-jin itu ada seorang
yang paling kotor dan tidak tahu malu, namanya ...."
"Biau-long-kun Hoa Hong!" tukas Sun-hoan.
"Salah sedikit, nama lengkapnya ialah Hek-sim-biau-long-kun (si perjaka ajaib berhati hitam)," kata
si buntung dengan tertawa. "Orang ini tidak punya kepandaian apa pun, untuk memperkosa gadis
saja tidak berani, pintarnya cuma memikat perempuan keluarga baik-baik, menipu harta dan
mencuri hati perempuan. Bicara tentang Kungfu penggunaan racun, terkadang si ahli racun Ngotok-tongcu juga mengaku kalah padanya."
"Jelas benar Anda terhadap orang she Hoa ini," kata Sun-hoan.
"Tentu saja kutahu sangat jelas mengenai dia, sebab aku ialah dia, dan dia ialah aku," si buntung
terkekeh-kekeh.
Li Sun-hoan menarik napas panjang, sekali ini dia benar-benar tercengang.
"Anda tentunya sangat heran bukan? Mengapa Biau-long-kun yang terkenal cakap itu bisa berwujud
segumpal daging begini?"
"Apabila orang berbentuk seperti Anda juga mahir memikat perempuan dari keluarga baik-baik,
maka kawanan perempuan itu mungkin orang buta seluruhnya," kata Sun-hoan dengan gegetun.

"Kau salah lagi," kata si buntung, Hoa Hong alias si kumbang, "Yang kupikat sekali-kali bukan orang
buta, malahan kebanyakan bermata jeli. Cuma, seorang kalau kedua kakinya terpenggal buntung,
lalu dikurung di kamar bawah tanah, setiap hari diberi makan semangkuk nasi dengan minyak babi,
maka selang beberapa tahun kemudian, sekalipun seorang mahacakap juga akan berubah menjadi
gumpalan daging."
Li Sun-hoan berkerut kening, katanya, "Apakah Ci-bin-ji-long suami-istri yang melakukannya
terhadapmu?"
Hoa Hong termenung, lalu jawabnya dengan tertawa, "Tadi dia telah berkisah padamu, sekarang
aku pun ingin berkisah, cuma ceritaku ini jauh lebih berliku daripada kisahnya."
"Oo?" Sun-hoan merasa di luar dugaan bahwa orang pun ingin berkisah.
"Tahun itu aku lagi apes, mungkin keblinger, tanpa kusadari telah kupikat istri si berewok, lebih
celaka lagi, dari hubungan gelap itu telah diberi hadiah seorang orok, maka mau tak mau dia lantas
minggat bersamaku."
"O, kiranya orang yang diceritakan Ci-bin-ji-long itu ialah dirimu," tukas Sun-hoan dengan
tercengang. "Jadi dia telah kena getahnya dari nangka yang kau makan."
"Tidak, dia salah omong sedikit."
"Oo?!" heran juga Sun-hoan.
"Sama sekali aku tidak membawa lari harta benda perempuan itu seperti apa yang diceritakannya.
Andaikan ada niatku itu juga tidak dapat kulaksanakan, perempuan itu jauh lebih cerdik daripada
setan, hakikatnya tidak ada kesempatan bagiku untuk turun tangan."
Dia berhenti dan menghela napas, lalu menyambung, "Dalam pada itu minggatnya istri bersamaku
telah diketahui si berewok dan telah diadakan pengejaran. Dasar nyaliku memang kecil, segera
timbul pikiranku untuk mencari seorang sebagai tumbal. Maka si Mawar lantas kusuruh memikat Cibin-ji-long, mestinya perempuan itu tidak mau, katanya Ci-bin-ji-long kurang cakap, tapi kemudian
dapatlah kubujuk dan mau melaksanakan kehendakku."
"O, kiranya kalian berdua telah bersekongkol," kata Sun-hoan.
"Waktu itu jika sekalian kuteruskan tipuku dan kabur begitu saja, tentu aku akan selamat. Tapi
harta benda yang dibawa si Mawar dari tempat si berewok itu berjumlah tidak sedikit, aku merasa
berat untuk meninggalkannya, maka aku lantas berjanji dengan dia, apabila urusan minggatnya
sudah mereda dan tidak diusut lagi oleh si berewok, lalu akan kucari dia lagi untuk mengenyahkan
Ci-bin-ji-long."
Kembali dia menghela napas menyesal, lalu melanjutkan, "Tapi aku lupa bahwa di dunia ini tidak
ada perempuan yang tidak berubah pendiriannya. Setelah sekian lama hidup bersama Ci-bin-jilong, dia jadi jatuh hati benar-benar padanya. Waktu kudatang lagi mencarinya, mereka berdua
lantas merobohkan diriku, kedua kakiku dipotong dan aku disiksanya selama belasan tahun."
"Mengapa dia tidak membunuh saja dirimu?" tanya Sun-hoan heran.
"Jika kutahu hati perempuan, tentu takkan menjadi begini," ujar Hoa Hong sambil meringis.
"Dahulu aku selalu menganggap diriku ini paling paham perasaan perempuan, makanya
mendapatkan pembalasan seperti ini. Seorang lelaki kalau mengira dirinya paling paham hati orang
perempuan, maka dia pantas menerima segala akibatnya."

Sun-hoan menghela napas panjang dan berkata, "Ceritamu memang jauh lebih menarik daripada
kisahnya tadi."
"Tapi kisah yang lebih menarik belum lagi kuceritakan," ujar Hoa Hong.
"Oo, masih ada cerita lain?" tanya Sun-hoan.
"Setelah kau keracunan, bukan saja hilang tenagamu, bahkan di dalam tiga jam kau pasti akan
mati, sebab itulah tidak perlu kubunuh kau, biarkan saja kau duduk di sini untuk merasakan
bagaimana nikmatnya orang menunggu ajal."
"Untuk ini kukira tidak perlu lagi, sebab rasanya menunggu ajal sudah pernah kurasaka
beberapa kali," ujar Sun-hoan dengan hambar.
"Tapi dapat kujamin sekali ini adalah penghabisan kalinya," kata Hoa Hong dengan menyeringai.
Sun-hoan tertawa, katanya, "Jika demikian, silakan Anda pergi, cuma ... di luar badai salju turun
dengan derasnya, dalam keadaan Anda sedemikian ini apakah sanggup menempuh perjalanan
jauh?"
"Untuk ini Anda tidak perlu ikut khawatir," kata Hoa Hong. "Orang yang tidak berkaki kan juga
dapat naik kuda? Sudah kudengar suara ringkik kuda di luar itu penuh tenaga, kuyakin pasti ada
beberapa ekor kuda pilihan."
Sembari bergelak tertawa ia terus merangkak keluar, ia malah sempat melambaikan tangannya dan
mengucapkan, "Selamat tinggal, sampai berjumpa pula!"
Sun-hoan menanggapi dengan tersenyum, "Selamat jalan, maaf tidak dapat kuantar keluar!"
Lalu terdengarlah ingar-bingar kuda meringkik, kemudian semakin menjauh suara derap lari kuda.
Li Sun-hoan tetap duduk tenang di tempatnya sambil memandangi poci arak di atas meja. Sebuah
poci sudah kosong, poci yang lain masih berisi.
Poci yang berisi itu diangkatnya dan diendusnya, lalu dicicipi seceguk, gumamnya, "Benar-benar
tanpa warna dan tak berbau, cara menaruh racun orang ini memang luar biasa."
Ia minum lagi seceguk besar, lalu memejam mata dan bergumam pula, "Arak ini memang lumayan,
kalau minum satu cawan akan mati dan minum satu poci juga mati, kenapa tidak kuminum lebih
banyak agar arak sedap ini tidak tersia-sia."
Dan dia benar-benar menghabiskan seluruh isi poci itu, lalu bergumam lagi, "Li Sun-hoan, wahai Li
Sun-hoan, sudah lama seharusnya kau mati, apa alangannya jika kau mati sekarang? Tapi
sedikitnya tidak boleh kau mati di dalam dapur dan berjubelan dengan orang-orang ini."
Maka ia lantas meronta bangun berdiri dan melangkah keluar dengan sempoyongan.
Di atas salju tampak bekas telapak kaki kuda yang menuju ke arah tenggara.
Li Sun-hoan mencari tanah bersalju yang paling resik, di situlah dia duduk bersila, lalu dari bajunya
dikeluarkannya sepotong patung kayu yang belum selesai diukirnya.
Profil patung ukiran ini sudah terbentuk, matanya seolah-olah sedang menatap Li Sun-hoan dengan

ujung mata yang tampaknya mengandung kemurungan.


Sun-hoan tersenyum pedih, ucapnya, "Untuk apa kau pandang diriku? Aku tidak lebih hanya
seorang petualang yang sukar diobati lagi, seorang pemabuk, adalah benar kau jadi istri Siau-hun,
yang salah ialah diriku."
Sekuatnya ia mengukir lagi untuk menyelesaikan patung orang ini. Akan tetapi pegangannya sudah
tidak kuat lagi, tenaga sudah habis, pisau yang tajam tak sanggup lagi mengukir.
Cuaca mulai kelam, salju turun pula. Li Sun-hoan setengah bertiarap dan terbatuk-batuk, setiap kali
batuk seakan-akan sedang memanggil, "Si-im, Si-im! ...."
Apakah Si-im dapat mendengarnya?
Tentu saja Si-im tidak mendengar, tapi ada seorang dapat mendengarnya.
Si berewok telah menggendong Li Sun-hoan dan dibawa lari dengan cepat.
"Apabila dalam waktu dua jam dapat kau susul seorang yang buntung kedua kakinya dan berbentuk
seperti gumpalan daging, bisa jadi ada harapan jiwaku dapat diselamatkan. Sebab hanya pada
orang yang meracuni diriku itulah bisa diperoleh obat penawarnya."
Itulah kata-kata terakhir yang dapat diucapkan Li Sun-hoan sebelum dia jatuh pingsan.
Hampir segenap tenaga si berewok dikeluarkan untuk membawa lari Li Sun-hoan, air matanya telah
membeku di bawah kelopak matanya, angin dingin meniup dari depan menyayat laksana pisau.
Sekonyong-konyong, di tengah desir angin dingin itu berkumandang suara orang menjerit.
Air muka si berewok berubah, ia ragu sejenak, tapi segera ia berlari secepatnya ke arah suara
jeritan itu, yang pertama dilihatnya adalah bangkai kuda yang menggeletak di luar hutan. Tanpa
pikir ia menerobos ke dalam hutan yang penuh salju itu, seketika ia jadi tertegun.
Hoa Hong dapat disusulnya, akan tetapi sudah menjadi mayat.
Badan Hoa Hong mirip landak, penuh tertancap oleh berbagai macam senjata rahasia, ada piau,
anak panah, jarum, biji besi berduri, gotri dan sebagainya ....
Timbul rasa duka dan kecewa pada wajah si berewok, sungguh malan nasib Hoa Hong, kedua
kakinya sudah buntung dipotong orang, dan dikurung orang selama belasan tahun seperti babi,
pada akhirnya jiwanya malah melayang di bawah hujan senjata rahasia.
Tapi demi teringat kematian orang ini mungkin juga akan merembet pada keselamatan Li Sun-hoan,
seketika rasa duka si berewok berubah menjadi khawatir, serunya dengan parau, "Apakah orang
ini?"
Diam-diam ia berharap bukan inilah orang yang hendak dicari Li Sun-hoan. Tapi didengarnya Li Sunhoan menghela napas menyesal dan berkata, "Ya, tidak salah lagi, inilah orangnya."
Si berewok menanggalkan baju kulitnya dan dibentang di atas tanah, lalu memapah Sun-hoan
duduk di situ, ucapnya, "Mungkin obat penawar terdapat pada tubuhnya, dia sudah mati, urusan
menjadi lebih mudah, biar kugeledah bajunya."
"Hati-hati, kebanyakan senjata rahasia beracun, jangan sampai tanganmu terluka," pesan Sun-

hoan. Meski jiwanya sendiri setiap saat bisa melayang, tapi dia tetap memperhatikan keselamatan
orang lain.
Sedapatnya si berewok menahan air mata terharunya yang hampir menetes, cepat ia melompat ke
samping mayat Hoa Hong.
Dia berjongkok di situ dan sibuk menggeledah badan yang sudah tak bernyawa itu, tapi sampai
sekian lamanya tidak ditemukan sesuatu, ketika kedua tangannya berhenti bekerja, untuk sekian
lamanya dia tidak dapat berdiri.
"Tidak ada?" tanya Sun-hoan.
Kerongkongan si berewok seperti tersumbat, sukar untuk bicara.
Sun-hoan tertawa hambar, katanya, "Sudah kuduga nasibku takkan semujur ini. Sudah belasan
tahun dia dikurung orang, mana bisa dia membawa obat penawar?"
Si berewok mengepal tinjunya dan mengetuk batok kepala sendiri, gumamnya, "Bila kutahu siapa
yang membunuh dia, tentu ada harapan, kuyakin obat penawarnya pasti dibawa lari oleh pembunuh
itu."
"Mungkin betul, mungkin juga tidak ...." Sun-hoan berkata dengan rasa hampa.
"Namun senjata yang membinasakan dia ini adalah senjata rahasia yang sangat umum, setiap
orang Kangouw bisa menggunakan senjata rahasia macam begini," mendadak si berewok melonjak
girang dan berseru, "Aha, kutahu siapa yang membunuhnya."
"Oo?!" Sun-hoan merasa sangsi.
Si berewok lantas berlari ke hadapan Li Sun-hoan dan berkata, "Pembunuhnya pasti cuma satu
orang, berbagai macam senjata rahasia ini dihamburkan sekaligus oleh dia seorang diri."
"Oo?!" Sun-hoan bersuara tak acuh pula.
"Belasan macam senjata rahasia ini rata-rata cukup keji dan dapat mencabut nyawanya, tapi orang
itu sengaja menghamburkan belasan macam senjata ini, cara keji serupa orang gila ini masakah
ada orang kedua di dunia Kangouw?"
"Ya, betul, hanya ada satu, yaitu Jian-jiu-lo-sat (si hantu perempuan bertangan seribu)," kata Sunhoan. "Akhirnya Biau-long-kun toh mati juga di tangan orang perempuan."
"Tepat!" seru si berewok sambil berkeplok. "Kecuali Jian-jiu-lo-sat, mana orang lain sanggup
menghamburkan belasan macam senjata rahasia sekaligus? ...."
Mendadak ia berhenti berucap, tanyanya sambil melototi Li Sun-hoan, "Jadi sejak tadi sudah kau
ketahui? ...."
Tersembul senyuman getir pada ujung mulut Li Sun-hoan, katanya, "Meski sudah kuketahui juga
tidak ada gunanya. Jejak Jian-jiu-lo-sat sukar dicari, entah sekarang dia sudah berada di mana,
jelas tidak dapat kita susul dia."
"Tapi apa pun juga harus kita cari dia," seru si berewok dengan penasaran.

Bab 3. Pendekar Budiman


Published by Eve1yn on 2005/6/28 (276 reads)

Kukira tidak perlu dicari lagi, ujar Li Sun-hoan sambil menggeleng. Cukup kau carikan sedikit
arak bagiku, biarkan kumati dengan mabuk saja dan akan sangat berterima kasih padamu.
Sekarang aku sangat ... sangat lelah, aku ingin mengaso.
Mendadak si berewok berlutut, tidak tahan lagi air matanya bercucuran, ucapnya dengan suara
parau, O, Siauya, kutahu engkau lelah, selama bertahun ini belum pernah engkau merasa gembira,
engkau sedih, engkau memang lelah, tapi .... ia pegang pundak Li Sun-hoan dan berseru pula,
engkau tidak boleh mati, Siauya, engkau harus berani hidup, jika engkau mati begini saja,
malahan mati dengan menanggung nama pemabuk, petualang dan sebagainya, di alam baka pun
Loya (tuan besar) pasti tidak rela.
Sun-hoan memejamkan matanya rapat-rapat, butiran air matanya sudah terbeku menjadi mutiara
es. Namun masih tersembul senyuman pada ujung mulutnya, ucapnya, Pemabuk atau petualang
juga tidak jelek, paling tidak kan jauh lebih baik daripada kaum munafik yang pura-pura berbudi
luhur.
Namun ... namun Siauya mestinya adalah orang yang berguna, siapa pun tak dapat membandingi
kebaikanmu, mengapa engkau sengaja menyiksa diri dan menjerumuskan diri sendiri, demi
perempuan macam Lim Si-im itu, apakah berharga tindakan Siauya ini?
Mendadak sinar mata Li Sun-hoan mencorong tajam, bentaknya, Tutup mulut! Kau berani langsung
menyebut namanya?
Seketika si berewok menunduk, dan tidak berani bersuara lagi.
Setelah melotot sekian lama, kemudian Li Sun-hoan memejamkan mata pula, katanya dengan
menyesal, Baiklah, jika hendak kau cari, bolehlah kita terus mencarinya, namun dunia seluas ini,
sisa waktu sangat terbatas, ke mana hendak kau cari Jian-jiu-lo-sat?
Serentak si berewok melompat bangun, serunya dengan wajah cerah, Thian pasti takkan
mengecewakan orang yang bertekad bulat, kita pasti dapat menemukan dia.
Selagi dia hendak menggendong Li Sun-hoan pula, tiba-tiba dari atas pohon ada bunga salju rontok
dan menjatuhi tubuhnya, ketika ia mengebasnya dengan tangan, mendadak dilihatnya bunga salju
ini bersemu merah darah.
Waktu ia mendongak, kiranya di dahan pohon semampir sesosok tubuh, tubuh seorang mati, tubuh
orang mati yang telanjang bulat, tubuh seorang perempuan.
Mayat perempuan ini sudah kaku, dadanya yang montok dihiasi sebatang tombak pandak sehingga
tubuhnya terpantek di dahan pohon.
Rupanya Li Sun-hoan dan si berewok asyik memperhatikan mayat Hoa Hong sehingga tidak
memperhatikan mayat di atas pohon.
Segera si berewok melompat ke atas pohon dan membawa turun mayat telanjang itu. Muka
perempuan ini sudah terbeku selapis es tipis sehingga tidak jelas berapa usia perempuan ini, hanya
dapat dipastikan pada waktu hidupnya jelas seorang perempuan yang sangat cantik.

Kita ternyata betul dapat menemukan dia, mungkin ini pun berkat Thian yang tidak mau
mengecewakan orang yang punya tekad bulat, ujar Sun-hoan dengan tersenyum pedih.
Si berewok mengepal kedua tinjunya, katanya dengan gemas, Meski Jian-jiu-lo-sat terkenal keji
dan kejam, tapi, setelah orang ini membunuhnya, mengapa membelejeti pula pakaiannya? ....
Salah dia sendiri, baju yang dipakainya bernilai terlalu tinggi, kata Sun-hoan.
Aha, betul juga seru si berewok dengan terbeliak, konon Jian-jiu-lo-sat paling mengutamakan
pakaian, baju yang dipakainya selalu dihias dengan benang emas dan macam-macam batu
permata.
Jika gajah tak bergading dan macan tak berkulit, tentu takkan mati di tangan si pemburu, ujar
Sun-hoan dengan tersenyum getir.
Tapi tujuan orang yang membunuhnya kan demi merebut Kim-si-kah, setelah mendapatkan benda
mestika ini toh masih juga mengincar sepotong baju, orang serakah demikian mungkin di dunia
tidak ada orang kedua lagi.
Betul, hanya ada satu ....
Si Yau-sian, mati pun minta duit ! tukas si berewok cepat.
Li Sun-hoan tertawa, katanya pula, Coba kau periksa pula tombak pandak yang menancap di
tubuhnya itu.
Tombak yang dimaksud terbuat dengan sangat indah, tangkainya berhias batu jamrud.
Si Yau-sian terkenal mahapelit, satu duit saja dipandangnya seperti nyawa sendiri, setelah
membunuh orang saja baju korbannya dibelejeti sekalian, mana mungkin dia meninggalkan tombak
berharga ini di sini?
Tidaklah banyak orang Kangouw yang menggunakan senjata sebagus ini, jangan-jangan senjata ini
ditinggalkan oleh Poa Siau-an, si pemuda bajul yang terkenal itu?
Tepat, memang betul kedua orang itu yang turun tangan bersama, kata Sun-hoan.
Padahal sifat kedua orang itu bertolalak belakang, yang satu pelit, yang lain royal, sama sekali
berbeda, mengapa keduanya bisa berkumpul menjadi satu?
Tuan muda Poa kita terkenal sangat royal, termasyhur sebagai pemuda perayu, baik makan,
tempat tinggal, pakaian dan kendaraan, semuanya harus yang paling top. Kalau Si Yau-sian ikut dia,
bukan saja makan minum gratis, bahkan dapat berlagak sebagai tuan besar. Kesempatan baik ini
mana bisa disia-siakan oleh Si Yau-sian.
Jika begitu urusan menjadi mudah, si berewok berkeplok. Hawa sedingin ini, Poa-toasiauya kita
pasti tidak mau menunggang kuda dan kedinginan, lebih-lebih lagi tidak mungkin berjalan kaki,
maka dia pasti akan menumpang kereta. Dan asalkan dia menumpang kereta kita pasti dapat
menyusulnya.
Betul juga, tidak jauh mengejar, samar-samar di atas tanah bersalju memang dapat ditemukan
bekas roda kereta. Dari lebarnya sumbu roda kereta, jelas kereta yang ditumpangi mereka adalah
sebuah kereta yang sangat longgar. Dan umumnya kereta besar ini memang santai ditumpangi, tapi
larinya tidak dapat terlalu cepat.

Semangat si berewok terbangkit, segera ia berlari dan mengejar lebih cepat. Cara mengejarnya
sekali ini jauh lebih sederhana, sebab asalkan mengikuti jalan raya, akhirnya kereta itu pasti akan
tersusul, betapa pun kereta besar itu tidak mungkin mengambil jalan kecil.
Sementara itu cuaca sudah gelap, di jalan raya tiada nampak bayangan seorang pun.
Dia lari lagi sekian lama, meski dengan menggendong satu orang tapi langkahnya tetap sangat
enteng dan cepat. Siapa pun tidak menyangka orang yang memiliki Ginkang setinggi ini dapat
menjadi budak orang. Bahkan orang yang menguasai ilmu mengentengkan tubuh sehebat ini pasti
bukanlah jago yang tak ternama.
Setelah berlari lagi sejenak, tiba-tiba salju yang memenuhi permukaan jalan di depan halus licin
seperti kaca, sedikitnya sudah dua-tiga jam jalan ini tidak pernah dilalui orang.
Sungguh aneh, mengapa jejak kereta besar itu bisa menghilang secara mendadak?
Si berewok tertegun sejenak, cepat ia memutar balik. Sekali ini dia berjalan dengan agak lambat
dengan penuh perhatian terhadap kedua tepi jalan. Tidak lama kemudian dapatlah diketahui ada
bekas roda kereta yang membelok ke suatu jalan simpang.
Tadi jalan simpang ini tidak diperhatikannya, sebab di kedua tepi jalan ini penuh pepohonan yang
lebat, malahan pada ujung tikungan jalan ada arca yang biasanya digunakan hiasan kuburan. Jelas
jalan simpang itu menuju ke suatu tanah pemakaman orang kaya.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa kereta besar ini bisa membelok ke jalan kuburan yang
buntu.
Kereta berhenti di depan makam besar yang terbuat dari batu marmer, kuda penarik kereta sudah
tidak kelihatan, tiga lelaki berjaket kulit juga menggeletak binasa di atas tanah bersalju.
Di samping kabin kereta bersandar miring seorang lelaki berbaju bulu binatang yang mahal,
berwajah pucat, meski usianya sudah setengah baya, tapi mukanya tercukur kelimis. Cukup dilihat
dari cincin jamrud yang tak ternilai harganya segera dapat diketahui orang ini pasti Poa Siau-an
yang terkenal royal itu.
Di samping Poa Siau-an terdapat pula dua sosok mayat dengan kematian yang sama, yaitu tertutuk
Hiat-to mati secara berat. Sedangkan ketiga lelaki tadi jelas binasa oleh pukulan dahsyat.
Siapa yang turun tangan keji ini?
Si berewok berkerut kening dan berkata, Jangan-jangan Si Yau-sian .... belum lanjut ucapannya,
tiba-tiba ditemukan pula di samping belakang makam itu juga rebah seorang mati, kepalanya botak
kelimis tanpa rambut, rebah telentang dengan kedua tangan bergaya seperti hendak memegang
sesuatu dengan erat sebelum mati, tapi barang yang hendak dipegangnya tetap luput.
Jelas orang botak inilah Si Yau-sian, si pelit yang terkenal sudah masuk peti mati saja tetap minta
duit itu.
Tiba-tiba Li Sun-hoan menghela napas dan berkata, Seorang boleh saja hidup bebas
sekehendaknya, yang penting janganlah salah berkawan, kalau tidak, maka jadinya seperti Poatoasiauya kita ini, sudah mati saja tidak tahu dibunuh oleh siapa.
Maksud Siauya, dia dibunuh ... dibunuh oleh Si Yau-sian? tanya si berewok dengan ragu.

Coba kau lihat mukanya yang begitu tenang, jelas dia sedang merangkul si cantik di kanan-kiri dan
tahu-tahu Hiat-to maut tertutuk, jiwa terus melayang. Padahal di dalam kereta ini hanya dia dan Si
Yau-sian, kecuali Si Yau-sian, siapa lagi yang dapat membinasakan dia di luar dugaannya?
Akan tetapi .... si berewok merasa sangsi.
Akan tetapi air muka yang lain tampak terkejut seakan-akan mati pun tidak percaya Si Yau-sian
bisa turun tangan keji terhadap mereka, lebih-lebih kedua perempuan cantik ini, bukan mustahil
waktu hidupnya ada hubungan mesra dengan Si Yau-sian sehingga mereka lebih-lebih tidak percaya
kepada apa yang terjadi atas diri mereka.
Kabarnya ilmu Tiam-hiat memang merupakan Kungfu andalan Si Yau-sian, di daerah Soasay dia
terkenal sebagai jari maut, kejadian ini memang mirip seperti perbuatannya, namun ....
Selama bergaul dengan Poa-toasiauya kita, entah sudah berapa banyak Si Yau-sian menarik
keuntungan, kata Sun-hoan pula, Sekali ini Poa-toasiauya menghendaki Kim-si-kah, sebagai
anteknya sudah barang tentu Si Yau-sian tidak berani mencegahnya, sebaliknya Kim-si-kah benarbenar benda yang sangat menarik, Si Yau-sian sendiri juga mengincarnya, maka ia menjadi nekat,
Cukong sendiri dibunuhnya lebih dulu.
Akan tetapi Si Yau-sian sendiri juga mati, ujar si berewok tetap ragu terhadap analisa tuannya.
Li Sun-hoan tertawa, katanya, Pembunuh akhirnya juga terbunuh, inilah hukum karma. Pada waktu
Si Yau-sian membunuh orang, bisa jadi ada seorang yang suka ikut campur urusan orang lain
kebetulan melihatnya di sekitar makam ini. Mungkin juga Si Yau-sian mengetahui perbuatannya
dilihat orang, maka ia bermaksud membunuhnya sekalian untuk menutup mulutnya. Siapa tahu,
gagal membunuh ia sendiri malah terbunuh.
Tapi Kungfu Si Yau-sian kan tidak lemah, siapakah yang membunuhnya?!
Ia coba mendekati mayat Si Yau-sian, dilihatnya pada tubuh orang botak itu tidak ada luka lain
kecuali tenggorokannya yang berlubang. Lubang yang ditembus oleh pedang yang tidak tajam.
Li Sun-hoan mendekap di atas gendongan si berewok, keduanya sama termangu-mangu sejenak,
lalu sama-sama menghela napas panjang dan tersembul senyuman pada ujung mulut mereka,
katanya berbareng, Ah, kiranya dia!
Pedang Fei-siauya memang lebih cepat daripada Fei (terbang), pantas Si Yau-sian tidak mampu
menangkis atau mengelak, ujar si berewok dengan tertawa.
Li Sun-hoan memejamkan mata, lalu berkata dengan tersenyum, Bagus, bagus sekali, sungguh
bagus sekali! Kim-si-kah berada padanya, boleh dikatakan sangat cocok. Tampaknya pasti bakal
celaka bandit bunga sakura itu.
Marilah kita mencari Fei-siauya, kukira dia belum pergi jauh, kata si berewok.
Untuk apa kau cari dia? kata Sun-hoan.
Obat penawar ....
Sun-hoan lantas menyela, Jika pada tubuh Hoa Hong tak ditemukan obat penawar dan telah
dirampas oleh Jian-jiu-lo-sat, lalu diambil pula oleh Si Yau-sian, maka sekarang obat penawar pasti
tetap berada pada Si Yau-sian, sebab A Fei tidak mau sembarangan mengambil barang orang lain,

dia hanya mengambil Kim-si-kah saja, sebab dia anggap hanya barang itulah milikku.
Si berewok memandang perhiasan yang masih dipakai kedua mayat perempuan cantik itu dan
memandang pula cincin berbatu jamrud pada jari Poa Siau-an, mau tak mau ia mengangguk,
katanya dengan gegetun, Betul, biarpun bumi ini penuh berserakan emas pasti juga takkan
disentuh Fei-siauya.
Makanya, kalau obat penawar tidak berada pada Si Yau-sian, apa gunanya kita mencari A Fei?
kata Sun-hoan.
Jari si berewok tampak bergemetar, ia mulai menggerayangi tubuh Si Yau-sian, jelas dia sangat
tegang, sebab tinggal inilah satu-satunya tumpuan harapannya.
Akan tetapi, akhirnya si berewok harus kecewa, tiada sesuatu pun yang ditemukan pada mayat Si
Yau-sian.
Lama juga dia tertegun seperti patung. Akhirnya ia keluarkan semua mayat dari dalam kereta dan
mendudukkan Li Sun-hoan di dalam kereta.
Tiba-tiba terlihat di dinding kabin kereta terdapat dua baris tulisan yang diukir dengan pedang,
bunyinya: Telah kubalaskan sakit hatimu, kubawa pergi kudamu!
Li Sun-hoan tertawa, ucapnya, Semula belum berani kupastikan dia, tapi sekarang sudah dapat
dipastikan, hanya dia saja yang tidak sudi menarik keuntungan sekalipun pada orang mati.
Dia tersenyum, lalu berkata pula, Anak ini sungguh menyenangkan, cuma ... cuma sayang ....
Tidak dilanjutkan ucapannya, tapi si berewok sudah tahu apa sebenarnya yang hendak
dikatakannya, yaitu sayang selanjutnya tak dapat berjumpa lagi dengan anak muda yang
menyenangkan itu
Remuk redam hati si berewok, hampir saja ia tidak tahan dan akan roboh.
Tapi Li Sun-hoan tetap tenang saja, ucapnya dengan tersenyum, Tidak perlu kau sedih bagiku.
Mati, kukira tidak menakutkan sebagaimana kalian bayangkan. Sekarang kecuali kurasakan
kehabisan tenaga, perasaanku malah sangat tenang, aku cuma ingin minum secawan arak.
Mendadak si berewok melompat bangun, ia lepaskan bajunya sehingga kelihatan simbar dadanya
yang lebat dan berotot, segera ia panggul bum kereta terus diseret berlari sekuatnya seperti
kesetanan.
Sun-hoan tidak mencegahnya, sebab ia tahu perasaan si berewok yang penuh duka itu perlu
pelampiasan. Tapi waktu ia merapatkan pintu kereta, tidak urung ia menitikkan air mata.
Bunga salju yang tertimbun di tanah sudah membeku menjadi es, roda kereta menggelinding
dengan licin di atas lapisan es sehingga s berewok tidak perlu banyak mengeluarkan tenaga dan
kereta itu dapat melaju secepat terbang.
Tidak lama, sampailah mereka di Gu-keh-ceng. Sebuah kota kecil yang cukup ramai.
Hujan salju sudah berhenti, penghuni toko di kedua tepi jalan kota sedang sibuk membersihkan
salju yang tertimbun di depan pintu rumah masing-masing. Ketika mendadak melihat seorang lelaki
kekar dengan dada telanjang menyeret sebuah kereta dan berlari seperti kesurupan setan, semua
orang sama terkejut, ada yang membuang sapunya dan lari ketakutan.

Sudah barang tentu di kota ini ada rumah minum arak, begitu sampai di depan pintu rumah minum,
kereta itu mendadak berhenti.
Si berewok meraung keras seperti bunyi geledek sambil menahan sekuatnya dengan tubuh
mendoyong ke belakang, blang, kabin kereta sampai pecah tertumbuk, sedang kakinya menancap
ke tanah sehingga lapisan es tersuruk hingga berhamburan.
Orang-orang di kota kecil ini sama terkejut melihat tenaga sakti si berewok.
Sebagian tetamu rumah minum itu pun sama kabur ketakutan demi nampak lelaki kekar berewok
ini masuk ke situ.
Si berewok menjajarkan tiga bangku, lalu sebuah meja dirobohkan dan ditegakkan di belakang
bangku sebagai sandaran, di atas bangku dilapisi mantel kulit Poa Siau-an, kemudian baru Li Sunhoan dipondongnya ke situ dan didudukkannya.
Wajah Li Sun-hoan pucat seperti mayat, bibir saja sudah biru, setiap orang yang melihatnya pasti
tahu sakit parah yang dideritanya.
Bahwa seorang yang sudah sekarat masih masuk rumah minum, sungguhpun rumah minum ini
sudah bersejarah dua-tiga puluh tahun juga tidak pernah melihat tamu demikian, karena itu baik
kasir maupun pelayannya sama melengak.
Sambil menggebrak meja si berewok lantas berteriak, Ambilkan arak, harus arak yang paling baik.
Bila tercampur setetes air saja akan kupecahkan kepala kalian.
Li Sun-hoan memandang si berewok hingga lama, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, Selama 20
tahun terakhir ini, baru sekarang tampak semangat jantanmu sebagai Thi-kah-kim-kiong sejati!
Tergetar hati si berewok, agaknya dia terkesiap karena disebutnya nama Thi-kah-kim-kong atau si
raksasa berlapis baja. Tapi segera ia menengadah dan tertawa, katanya, Sungguh tidak nyana
Siauya masih ingat nama ini, kusendiri malah sudah lupa.
Hari ini kau ... kau pun melanggar kebiasaanmu dan minum arak? kata Sun-hoan.
Ya, berapa banyak Siauya minum hari ini, sebanyak itu pula akan kuminum, sahut si berewok.
Li Sun-hoan juga menengadah dan bergelak tertawa, Haha, dapat membuat kau langgar
pantangan minum arak, sungguh tidak percumalah hidupku ini.
Melihat mereka bergelak tertawa, tamu lain sama terbelalak heran pula. Diam-diam mereka
mengikuti gerak-gerik kedua orang ini, mereka heran masakah seorang yang sudah sekarat masih
juga bergembira ria.
Arak yang diantarkan bukan arak kualitas tinggi, tapi benar-benar tidak dicampur dengan air.
Si berewok mengangkat cawan dan berkata, Siauya, maafkan kelancanganku, terimalah satu
cawan penghormatanku!
Sekali tenggak Li Sun-hoan habiskan isi cawan, tapi lantaran tangan gemetar, arak tercecer.
Sembari terbatuk-batuk dia mengusap bajunya yang basah, ucapnya dengan tertawa, Belum
pernah kusia-siakan setetes arak pun, tak tersangka sekarang .... Haha, baju ini sudah
mengawaniku sekian tahun, memang harus kuhormatinya satu cawan arak.

Saat itu baru saja si berewok menuangkan lagi secawan arak, mendadak ia siram seluruhnya di atas
baju sendiri.
Keruan si pelayan saling pandang dengan si kasir, mereka pikir, Kiranya orang ini bukan saja sakit,
tapi juga gila.
Dan begitulah kedua orang lantas minum tiada hentinya secawan demi secawan, sekarang Li Sunhoan harus memegang cawan arak dengan kedua tangannya agar cawan arak dapat didekatkan ke
mulutnya. Habis itu keduanya lantas bergelak tertawa, lalu mengucapkan kata sedih pula.
Melihat kelakuan mereka, kembali si pelayan dan kasir saling pandang dan membatin, Kedua orang
ini ternyata orang gila semua!
Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang melangkah masuk dengan terhuyung-huyung, lalu
mendekap di atas meja kasir sambil berteriak dengan suara serak, Arak, arak, lekas ambilkan
arak!
Melihat kelakuannya itu, tampaknya kalau tindak minum arak mungkin akan segera mati kehausan.
Si kasir mengernyitkan kening, pikirnya, Kembali seorang gila lagi.
Orang ini memakai baju biru yang sudah luntur sehingga hampir berwujud putih, bagian dada dan
lengan bajunya berlepotan minyak, kuku tangannya yang panjang juga kelihatan hitam kotor, meski
kepala memakai kopiah orang terpelajar, tapi rambutnya gondrong semrawut di luar topi. Mukanya
kuning pucat, potongannya mirip seorang Siucai (gelar kesusastraan) miskin dan berbau kejut.
Dengan ogah-ogahan si pelayan membawakan satu poci arak.
Tanpa menggunakan cangkir, Siucai rudin ini terus angkat poci arak, seperti air mancur saja ia
tuang isi poci ke dalam mulutnya sehingga sekaligus sudah setengah poci masuk perutnya. Tapi
mendadak arak itu tersembur keluar lagi, lalu teriaknya sambil berjingkrak, Hei, arak macam
apakah ini? Hakikatnya ini bukan arak melainkan cuka, cuka yang dicampur dengan air.
Dengan melotot si pelayan menanggapi, Sudah barang tentu kami pun menjual arak murni,
cuma ....
Siucai rudin itu menjadi gusar, Memangnya kau kira tuanmu tidak mampu bayar? Ini, ambil!
Sekali lempar, sepotong uang perak bernilai 50 tahil dilemparkan ke atas meja.
Pada umumnya sikap kaum pelayan memang ditentukan dengan banyak dan sedikitnya uang sang
tamu, pelayan ini pun tidak terkecuali, seketika ia melayani dengan giat, dalam waktu singkat arak
murni lantas dibawakan.
Siucai itu tetap tidak menggunakan cawan, poci arak diangkat terus dipancurkan ke dalam mulut,
dihabiskannya isi poci sekaligus. Lalu duduk terdiam dengan mata terpicing, mirip orang yang
keselak dan tidak dapat bernapas.
Si pelayan menjadi khawatir jangan-jangan cara minum Siucai itu terburu nafsu dan tersumbat
jalan napasnya, bisa runyam jadinya. Tapi Li Sun-hoan yang ahli minum arak tahu Siucai itu tidak
beralangan apa-apa melainkan sedang menikmatinya rasanya arak.
Benar juga, sejenak kemudian Siucai itu mengembuskan napas panjang, matanya lantas

mencorong juga, wajahnya juga bercahaya, terdengar ia bergumam, Meski tidak terlalu sedap
araknya, tapi lumayanlah di tempat seperti ini.
Dengan cengar-cengir si pelayan memberi penjelasan, Sudah belasan tahun kami menyimpan satu
guci arak ini dan baru sekarang disuguhkan kepada Tuan.
Mendadak si Siucai menggebrak meja dan berteriak, Pantas rasa arak sangat tawar, kiranya
tersimpan terlalu lama. Lekas ambilkan satu guci arak baru dan dicampurkan. Ingat, campur tiga
bagian saja dengan arak baru, tidak boleh lebih, juga tidak boleh kurang. Lalu buatkan sekalian
beberapa macam santapan.
Makanan apa yang dikehendaki Tuan? tanya si pelayan.
Kutahu di tempat ini tidak nanti ada makanan enak, rebus saja satu ekor ayam, tumis Paklai (isi
perut) dengan saus manis ....
Meski kelihatan miskin dan kotor, tapi untuk makan dan minum ternyata tidak mau sembarangan.
Makin dipandang Li Sun-hoan makin tertarik pada orang ini. Jika dalam keadaan biasa tentu dia
akan berkenalan dan mengajaknya makan minum bersama. Tapi sekarang setiap saat dia bisa
roboh, dia tidak mau membikin orang lain ikut susah.
Siucai itu pun tidak menghiraukan keadaan sekitarnya, ia minum terus, seakan-akan selain arak
tiada barang lain lagi yang dilihatnya.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai dan mendadak berhenti di
depan rumah makan ini. Sekilas air muka Siucai itu tampak berubah juga.
Dia berbangkit seperti mau pergi, tapi setelah memandang arak di atas meja, ia duduk kembali dan
sekaligus minum lagi tiga cawan, disumpitnya sepotong rempela ayam dan dimakannya dengan
nikmat.
Tiba-tiba terdengar seorang berteriak, Itu dia, setan arak, hendak lari ke mana lagi kau sekarang!
Kan sudah kukatakan pasti dapat menemukan dia di rumah minum, tukas seorang lagi.
Di tengah teriakan itu lima-enam orang telah menyerbu masuk dan mengepung si Siucai di tengah.
Beberapa orang ini semuanya berdandan ringkas dan membawa senjata, tampaknya tidak lemah
kepandaian mereka.
Seorang yang bertubuh jangkung dan memegang cambuk kuda segera berkata sambil menuding
hidung si Siucai, Sudah menerima duit orang harus melaksanakan tugas dengan baik. Kau telah
menerima honorarium kami, tapi tidak mengobati yang sakit, sebaliknya malah berlari ke sini untuk
minum arak, sesungguhnya apa artinya ini?
Masakah kalian tidak tahu artinya? Siucai rudin itu menjawab dengan tertawa lebar, soalnya
karena aku ketagihan minum arak. Kalian tahu, apabila Bwe-jisiansing sudah ketagihan arak,
biarpun langit ambruk juga tidak kupeduli, minum arak dulu dan urusan belakang.
Salah seorang lelaki bermuka bopeng lantas berkata, Nah, kau dengar tidak, Tio-lotoa, kan sudah
kukatakan setan arak ini tidak dapat dipercaya, bila duit sudah berada di tangan, urusan
selanjutnya tak dihiraukannya lagi.
Tio-lotoa, si jangkung tadi, menanggapi dengan gusar, Siapa pun tahu ciri setan arak ini, tapi

penyakit Losi tidak bisa tidak harus diobati dia, apa daya kita?
Semula Li Sun-hoan mengira, kedatangan orang-orang ini adalah hendak mencari perkara, setelah
mengikuti percakapan mereka baru diketahui Siucai yang mengaku bernama Bwe-jisiansing ini
adalah seorang tabib, sudah terima uang tapi tidak mau mengobati orang yang sakit.
Meski orang-orang itu berteriak dan marah, namun Siucai itu tetap duduk dengan tenang sambil
menikmati araknya secawan demi secawan.
Sret, mendadak Tio-lotoa mengayun cambuknya sehingga poci arak di atas meja terlempar keluar.
Dengan suara bengis ia membentak, Tidak perlu banyak omong lagi, sekarang sudah kami
temukan dirimu, lekas kau ikut kami pulang untuk mengobati orang sakit, asalkan penyakit Losi
sudah sembuh, kujamin kau dapat minum arak sepuasmu.
Bwe-jisiansing memandangi poci arak yang terbanting hancur itu dengan menghela napas panjang,
ucapnya, Jika kalian tahu tabiat Bwe-jisiansing, seharusnya kalian juga perlu tahu akan kebiasaan
Bwe-jisiansing yang menentukan peraturan Sam-put-ti (tiga syarat pengobatan).
Sam-put-ti apa? tanya Tio-lotoa.
Pertama, honorarium harus bayar di muka, kurang satu peser pun tidak boleh.
Bilakah kami utang satu peser bayaranmu? teriak si muka bopeng dengan gusar.
Kedua, sambung Bwe-jisiansing, harus sopan dan hormat padaku. Ketiga, kaum penjahat,
pencuri, perampok, pengganggu keamanan, semuanya takkan kuobati.
Lalu dia menghela napas sambil menggeleng, Sekarang kalian telah melanggar syarat kedua ini
dan tetap ngotot minta Bwe-jisiansing mengobati kawan kalian, bukankah kalian sedang mimpi dan
mengigau?
Tidak kepalang gusar beberapa orang itu, mereka meraung murka, Jika tidak mau mengobati Losi,
segera kami renggut jiwamu!
Jiwaku terenggut juga tidak kuobati kawan kalian, sahut Bwe-jisiansing dengan bandel.
Kontan si muka bopeng menggampar sehingga Bwe-jisiansing bersama kursinya terpental beberapa
kali jauhnya, ia jatuh tersungkur dengan ujung mulut berdarah.
Melihat kemantapan Bwe-jisiansing, semula Li Sun-hoan mengira dia pasti seorang jago kosen
terpendam, siapa tahu dugaannya ternyata meleset, Bwe-jisiansing hanya mulutnya saja yang
keras, tapi tangannya tidak keras.
Sret, segera Tio-lotoa melolos goloknya dan membentak, Bilamana kau berani lagi bilang tidak,
segera kutabas sebelah tanganmu.
Bwe-jisiansing menuding muka sendiri dan menjawab, Sekali kubilang tidak mau mengobati tetap
takkan kuobati, memangnya orang she Bwe takut kepada kawanan bangsat semacam kalian ini?
Tio-lotoa meraung murka terus hendak menubruk maju.
Tak terduga mendadak si berewok tadi menggebrak meja dengan keras sambil membentak. Di sini
adalah tempat minum arak, yang tidak minum arak lekas enyah!

Bentakan ini menggelegar seperti bunyi guntur, Tio-lotoa berjingkat kaget dan menyurut mundur, ia
pandang si berewok dan menegur, Siapa kau? Berani ikut campur urusan tuan besar?
Li Sun-hoan tersenyum dan berkata, Hanya suruh mereka enyah saja tidak menarik, suruh mereka
merangkak keluar saja!
Nah, kalian dengar tidak? bentak pula si berewok. Siauya bilang kalian harus merangkak keluar!
Melihat kedua orang ini dalam keadaan tidak normal, yang seorang jelas sakit parah dan sudah
dekat ajal, yang lain mabuk hingga membuka mata saja tidak sanggup, seketika Tio-lotoa jadi
tabah lagi, jawabnya dengan menyeringai, Hm, karena kalian tidak tahu diri, boleh kalian
berkenalan dulu dengan golokku!
Mendadak golok berkelebat, langsung ia membacok kepala Li Sun-hoan.
Si berewok berkerut kening melihat tindakan orang yang keji itu, segera sebelah tangan digunakan
menangkis.
Dia seperti sudah mabuk hingga lupa daratan, maka dengan tangan telanjang hendak ditangkisnya
golok lawan yang tajam itu. Keruan si pelayan berteriak kaget, ia percaya tangan si berewok pasti
akan berpisah dengan tuannya.
Siapa tahu, begitu golok membacok ke bawah, tangan si berewok tidak cedera apa pun, sebaliknya
golok malah tergetar terbang, bahkan tubuh Tio-lotoa juga tergetar hingga sempoyongan ke
belakang.
Wah, bocah ini menguasai Kungfu Kim-cong-to atau Thi-poh-san (sebangsa ilmu kebal senjata),
agaknya hari ini kita telah ketemu setan! teriak Tio-lotoa.
Si muka bopeng juga berubah pucat, cepat ia berkata dengan mengiring tawa, Numpang tanya
siapakah nama Anda yang mulia, kita berkenalan setelah berkelahi, supaya selanjutnya kita dapat
berkawan.
Hm, berdasarkan apa kau setimpal berkawan denganku? jengek si berewok.
Tio-lotoa meraung pula, Janganlah sahabat ini terlalu menghina orang! Hendaklah maklum bahwa
kami Wi-ho-jit-kau (tujuh ular dari sungai Kuning) juga bukan orang yang mudah direcoki,
apabila ....
Belum habis ucapannya, mendadak si muka burik menariknya ke samping dan bisik-bisik padanya,
sembari bicara sambil melirik pisau kecil yang tertaruh di samping cawan arak Li Sun-hoan.
Air muka Tio-lotoa tampak pucat seperti mayat, dengan suara serak dia berucap dengan perlahan,
Kukira bukan dia.
Si burik mendesis, Memangnya siapa kalau bukan dia? Setengah bulan yang lalu sudah kudengar
kabar bahwa dia telah pulang ke daerah Tionggoan, kawan yang bercerita itu cukup kenal
wajahnya, pasti tidak keliru.
Tapi setan penyakitan ini jelas ....
Orang ini memang terkenal gemar makan minum, judi dan main perempuan, kesehatannya
memang kurang terjaga, tapi pisaunya .... bicara tentang pisau si Li, suara si burik menjadi rada
gemetar, pendek kata, lebih baik kita sedia payung sebelum hujan, untuk apa kita cari penyakit?

Jika sebelumnya kutahu dia berada di sini, biarpun kudukku diancam dengan golok juga aku tidak
mau masuk ke sini, kata Tio-lotoa.
Dia berdehem dua-tiga kali, lalu memberi hormat kepada Li Sun-hoan dan berkata, Maaf, kami
bermata tapi buta melek dan tidak dapat mengenali Anda sehingga telah mengganggu minat minum
Anda, hamba sekalian memang pantas mampus, sekarang juga kami akan enyah dari sini.
Li Sun-hoan seperti tak acuh, entah mendengar tidak ucapannya, dia mulai minum arak lagi dan
terbatuk-batuk pula seakan-akan tidak pernah terjadi apa pun.
Beberapa orang yang menerjang masuk seperti harimau tadi sekarang telah berlari pergi dengan
mencawat ekor sebagai anjing.
Maka barulah Bwe-jisiansing merangkak bangun dengan perlahan, ia pun tidak mengucapkan
terima kasih kepada Li Sun-hoan, tapi terus berduduk lagi dan minta dibawakan arak.
Pelayan itu kucek-kucek matanya, seperti tidak percaya bahwa Siucai rudin inilah yang baru saja
dihajar orang hingga merangkak di lantai.
Dalam pada itu, tetamu lain sudah sama kabur ketakutan, hanya tersisa mereka bertiga saja yang
masih terus menenggak arak secawan demi secawan, makin banyak arak yang ditenggak, tambah
sedikit malah ocehan mereka.
Li Sun-hoan memandang cuaca di luar, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, Yang namanya arak
sungguh barang yang ajaib, semakin kau ingin minum hingga mabuk, semakin sukar mabuknya,
bila kau tidak mau mabuk, mabuknya berbalik tambah cepat.
Mendadak Bwe-jisiansing menengadah dan terbahak-bahak, ucapnya, Sekali mabuk lenyaplah
segala kesedihan, mati mabuk lebih senang daripada menjadi raja. Cuma sayang ada sementara
orang berharap akan mati mabuk, tapi Thian justru tidak boleh dia mati seenak itu.
Selagi si berewok mengernyitkan kening, tiba-tiba Bwe-jisiansing mendekati mereka dengan
langkah sempoyongan, ditatapnya Li Sun-hoan, lalu bertanya, Apakah Anda tahu berapa lama lagi
hidupmu ini?
Kutahu takkan lama lagi, jawab Sun-hoan dengan hambar.
Jika tahu tak dapat hidup lama lagi, mengapa tidak lekas pulang untuk menyiapkan segala sesuatu
yang diperlukan, tapi malah minum arak di sini? kata Siucai rudin itu.
Mati atau hidup adalah urusan sepele, mana boleh urusan minum arak harus terganggu oleh soal
ini?
Bwe-jisiansing berkeplok tertawa, Haha, tepat, tepat sekali! Mati atau hidup adalah soal kecil,
minum arak adalah urusan besar. Ucapan Anda ini sangat cocok dengan hatiku.
Habis berkata, mendadak ia mendelik dan bertanya, Dan Anda tentu sudah tahu siapa diriku?
Malah belum tahu, jawab Sun-hoan.
Benar-benar kau tidak kenal diriku?
Si berewok tidak tahan, timbrungnya dengan mendongkol, Kalau tidak kenal ya tidak kenal, untuk

apa banyak omong?


Bwe-jisiansing tidak menggubrisnya, dia tetap menatap Li Sun-hoan dan berkata pula, Jika
demikian, jadi Anda menolong diriku bukan lantaran mengharapkan pertolonganku atas
penyakitmu?
Apabila Anda ingin minum arak, boleh silakan duduk dan ikut minum bersama, kata Sun-hoan
dengan tertawa. Tapi kalau mau bicara tentang pengobatan penyakit, silakan menyingkir dulu,
jangan mengganggu waktu kuminum arak.
Bwe-jisiansing kembali menatapnya lekat-lekat, sampai sekian lama barulah ia bergumam. Mujur,
sungguh mujur, kau dapat bertemu dengan diriku sunguh kau sangat mujur.
Aku tidak dapat membayar biaya pengobatan, pribadiku juga tidak banyak berbeda daripada
penjahat, maka silakan Anda kembali saja, kata Sun-hoan.
Siapa tahu Bwe-jisiansing justru menggeleng kepala dan berucap pula, Tidak, tidak bisa jadi.
Penyakit orang lain takkan kuobati, tapi penyakitmu harus kuobati, jika kau tolak kuobati
penyakitmu, lebih dulu harus kau bunuh diriku.
Sungguh aneh orang ini. Tadi orang memaksa dia mengobati orang, bahkan mengancam akan
membunuhnya dan dia tetap menolak. Sekarang dia berbalik memaksa hendak mengobati Li Sunhoan.
Si pelayan sampai geleng-geleng kepala, sungguh ia ingin lari pulang dan tidur tiga hari tiga malam
dan berharap jangan lagi bertemu dengan tiga orang gila ini. Kalau terus-menerus begini, bukan
mustahil dia yang akan dibikin gila.
Dalam pada itu si berewok kelihatan tertarik, ucapnya, Kau benar-benar dapat menyembuhkan
penyakitnya?
Di dunia ini mungkin tiada orang lain yang mampu menyembuhkan penyakitnya kecuali Bwejisiansing, ucap si Siucai rudin dengan pongahnya.
Seketika si berewok melonjak bangun dan menjambret leher bajunya dan bertanya, Kau tahu apa
penyakitnya?
Bwe-jisiansing mendelik, Jika aku tidak tahu, siapa lagi yang tahu? Kau kira Hoa-loliok mampu
meracik obat penawar Han-keh-san ini?
Han-keh-san? si berewok menegas. Jadi dia terkena racun Han-keh-san?
Bwe-jisiansing tertawa bangga, Ya, kecuali Han-keh-san dari keluarga Bwe, racun apa di dunia ini
yang dapat meracun mati Li Sun-hoan?
Hah, jadi Han-keh-san milik Hoa Hong itu berasal darimu? seru si berewok terkejut dan bergirang.
Bwe-jisiansing terbahak-bahak, Kecuali diriku Biau-long-tiong (si tabib ajaib) Bwe-jisiansing, siapa
lagi yang mampu meracik racun Han-keh-san? Huh, sungguh dangkal pengetahuanmu, masa
urusan sepele ini saja tidak tahu.
Girang sekali si berewok, serunya, Hah, kiranya dia inilah Biau-long-tiong dari ketujuh manusia
ajaib itu, kiranya racun yang mengenai Siauya itu adalah buatannya. Kalau dapat membuat tentu
juga dapat menawarkannya. Siauya, engkau pasti dapat tertolong!

Li Sun-hoan tersenyum getir, ucapnya, Tampaknya seorang kalau ingin hidup bukanlah pekerjaan
mudah, jika ingin mati dengan tenang, ternyata juga tidak gampang.

*****

Roda kereta berputar pula, kereta itu kembali dilarikan di bawah hujan salju.
Tapi sekali ini mereka telah menggunakan sais yang lain, si berewok tinggal di dalam kereta, selain
untuk menjaga Li Sun-hoan, sekalian juga mengawasi si tabib ajaib Bwe-jisiansing.
Tampaknya dia masih khawatir, dia masih terus bertanya, Jika kau sendiri dapat menawarkan racun
ini, kenapa perlu mencari orang lain lagi? Siapa yang akan kau cari. Di mana tempatnya? Apakah
masih keburu waktunya?
Bwe-jisiansing menjawab dengan kurang senang, Yang hendak kucari bukan lain ialah Bwetoasiansing, kakakku sendiri, dia tinggal di sekitar sini, jangan khawatir, kalau Bwe-jisiansing sudah
mau terima pasien, kujamin pasien ini pasti takkan mati.
Mengapa harus mencari Bwe-taisiansing? tanya si berewok.
Sebab obat penawar Han-keh-san berada padanya. Nah, puas tidak alasan ini?
Maka si berewok tidak bicara lagi.
Sebaliknya Bwe-jisiansing lantas bertanya padanya, Yang kau latih Kim-cong-toh atau Thi-pohsan?
Thi-poh-san, jawab si berewok dengan mendelik.
Bwe-jisiansing menggeleng kepala, ucapnya dengan tertawa, Sungguh tak terduga di dunia ini
masih ada orang mau berlatih Kungfu bodoh ini, padahal Kungfu ini selain untuk menakut-nakuti
kawanan penyamun saja, pada hakikatnya tidak ada manfaat lain.
Biar Kungfu bodoh kan lebih baik daripada tidak mahir Kungfu, jengek si berewok.
Bwe-jisiansing ternyata tidak marah meski diejek, ia masih juga menggeleng kepala dan tertawa.
Konon untuk melatih Thi-poh-san harus dimulai dengan Tong-cu-kang (tubuh jejaka tulen), kurasa
pengorbanan ini agak terlalu besar, betul tidak.
Si berewok hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Konon selama 50 tahun terakhir ini hanya seorang saja yang giat berlatih Kungfu bodoh ini, kata
Bwe-jisiansing pula. Kabarnya orang ini bernama Thi-kah-kim-kong (si raksasa berbadan baja) Thi
Toan-kah. Tapi 20 tahun yang lalu kabarnya telah dipukul orang hingga tergelincir ke dalam jurang
sehingga tidak diketahui dengan pasti sudah mati atau masih hidup, atau mungkin juga masih
sanggup berduduk dan minum arak.
Si berewok tetap tutup mulut, apa pun yang dikatakan Bwe-jisiansing dan betapa pun ditanya, dia
tetap tidak mau menjawab.

Karena itulah terpaksa Bwe-jisiansing juga memejamkan mata untuk istirahat.


Siapa tahu, selang tak lama, tiba-tiba si berewok mulai ganti bertanya lagi, Konon setiap anggota
Jit-biau-jian (tujuh orang ajaib) itu adalah orang yang tidak tahu malu, tapi Anda ternyata tidak
mirip mereka.
Dengan mata tetap terpejam Bwe-jisiansing menjawab, Kalau sudah menerima upah orang, tapi
tidak mau mengobati orang yang sakit itu, apakah perbuatan ini tidak termasuk tidak tahu malu?
Bilamana kau mau mengobati orang macam begitu barulah benar-benar tidak tahu malu, ujar si
berewok dengan tertawa. Terima uang dan mengobati orang memang dua hal yang berlainan.
Uang dari orang macam begitu memang pantas kau terima.
Hah, tak tersangka kau ini tidak terlalu bodoh, ujar Bwe-jisiansing dengan bergelak tertawa.
Li Sun-hoan sudah bersandar di jok kereta dengan mengulum senyum, ia seperti asyik mengikuti
percakapan mereka, seperti juga lagi melayang jauh pikirannya, hatinya seperti sudah terbang jauh
ke suatu tempat.
Di luar kereta hanya bunga salju yang bertebaran, segala kekotoran dunia ini seakan-akan telah
tercuci bersih oleh bunga salju yang putih mulus itu.
Dalam hati Li Sun-hoan saat itu timbul bayangan seorang, seorang perempuan berbaju ungu muda
dengan mantel ungu pula. Di bawah bunga salju yang memutih perak perempuan berbaju ungu itu
serupa anggrek yang cantik dan segar.
Masih teringat olehnya si dia paling suka kepada salju. Pada waktu hujan salju dia sering
mengajaknya keluar dan bermain lempar bola salju di halaman depan, habis itu dia lantas berlari
sambil tertawa dan menyuruh Sun-hoan mengejarnya.
Masih teringat dengan segar ketika pada suatu hari ia membawa pulang Liong Siau-hun, waktu itu
juga sedang hujan salju. Si dia lagi duduk memandangi bunga salju yang berhamburan di hutan
Bwe (sakura) yang berdaun jarang-jarang dengan bunga Bwe yang lagi mekar semarak.
Lankan gardu pemandangan tempat duduk si dia itu bercat merah, bunga Bwe juga merah, tapi
warna merah lankan dan bunga Bwe itu seakan-akan kehilangan cemerlangnya dibandingkan
kecantikan si dia.
Waktu itu Sun hoan tidak melihat perubahan air muka Liong Siau-hun, tapi kemudian dapat
dibayangkannya, sejak pertama kali itu Liong Siau-hun melihat si dia, sang kawan karib itu lantas
mabuk kepayang.
Dan sekarang, apakah keadaan taman bunga Bwe itu masih tetap mekar? Apakah si dia juga masih
suka berduduk di gardu pemandangan itu dan memandangi bunga Bwe yang lagi mekar di bawah
bunga salju yang bertebaran?
Tiba-tiba Sun-hoan berpaling ke arah Bwe-jisiansing, ucapnya dengan tertawa, Di dalam kereta ini
ada arak, marilah kita minum!
Hujan salju terkadang turun dan sebentar-sebentar berhenti.
Di bawah petunjuk Bwe-jisiansing, kereta itu membelok ke suatu jalan kecil di kaki bukit, setiba di
depan sebuah jembatan kecil, kereta tidak dapat maju lagi.

Salju memenuhi jembatan tanpa kelihatan bekas kaki orang, hanya tertampak bekas kaki anjing
yang mirip serentetan bunga Bwe bertebaran di tepi pagar jembatan.
Si berewok memapah Li Sun-hoan melintasi jembatan kecil itu, lalu tertampaklah di balik
pepohonan sana ada beberapa buah rumah batu, rumah yang penuh ditaburi bunga salju
berhiaskan bunga Bwe di sekelilingnya, pemandangan indah bagai lukisan.
Sayup-sayup dari balik rumpun pohon sana berkumandang suara orang, sesudah dekat, kelihatan
seorang tua bermantel dan berkopiah tebal sedang memimpin dua kacung sibuk mencuci bunga
salju yang memenuhi batang pohon.
Inikah Bwe-toasiansing? tanya si berewok dengan suara mendesis.
Bwe-jisiansing tertawa, jawabnya, Kecuali orang gila ini, siapa pula yang mau mencuci salju
dengan air dalam cuaca seperti ini?
Tertawa geli juga si berewok, katanya, Masa dia tidak tahu bahwa sesudah dicuci, bunga salju
tetap akan menebari batang pohon dan air cucian itu pun akan membeku menjadi es?
Bwe-jisiansing menghela napas, ucapnya sambil menyengir, Dia dapat membedakan tulen atau
palsunya setiap lukisan, dia mahir meracik obat racun yang paling keras beserta obat penawarnya,
akan tetapi dalih yang paling sederhana ini tidak pernah dipahaminya.
Suara percakapan mereka berkumandang juga jauh ke sana, kakek berkopiah itu berpaling dan
melihat mereka, seketika ia ketakutan seperti baru melihat setan penagih nyawa, cepat ia berlari ke
dalam rumah sambil menyingsing lengan baju, bahkan terus berteriak-teriak pula, Ayo, lekas, lekas
sembunyikan semua lukisan dan tulisan di ruangan tamu, jangan sampai barangku dilihat anak
celaka ini, bisa jadi akan dicurinya lagi untuk ditukarkan arak.
Jangan khawatir, Lotoa (kakak), seru Bwe-jisiansing dengan tertawa. Hari ini aku sudah
mendapatkan kasir yang akan membayar arak yang kuminum. Sekarang cuma kubawa dua orang
sahabat ke sini ....
Belum habis ucapannya, Bwe-toasiansing terus mendekap mukanya dengan kedua tangan sambil
berseru, Tidak, aku tidak ingin melihat sahabatmu, tiada seorang pun sahabatmu orang baik,
asalkan melihatnya sedikitnya aku akan sebal selama tiga tahun.
Mendadak Bwe-jisiansing berjingkrak gusar sambil berteriak, Bagus, kau hina diriku, memangnya
aku tidak boleh punya sahabat yang pantas? Baik, baik, Li-tamhoa, jika dia tidak tahu menghormati
orang, marilah kita pergi saja.
Selagi si berewok merasa gelisah, obat penawar belum didapatkan masakah segera akan pergi lagi.
Tak terduga mendadak Bwe-toasiansing lantas berputar balik dan memanggil mereka malah, Eh,
nanti dulu, yang kau maksudkan apakah Li-tamhoa si pisau kilat?
Memangnya ada berapa orang Li-tamhoa yang kau kenal? jengek Bwe-jisiansing.
Inikah orang? tanya pula Bwe-toasiansing sambil menatap Li Sun-hoan.
Maaf, memang betul diriku ini Li Sun-hoan, ucap Sun-hoan dengan tersenyum.
Bwe-toasiansing memandangnya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, mendadak ia pegang

tangan Sun-hoan dan bergelak tertawa, Hahahaha, sudah 20 tahun mengagumi nama Anda, tak
tersangka baru sekarang bertemu. O, Li-heng, alangkah kurindukan Anda.
Mula-mula bersikap dingin, kemudian bersikap hormat dan hangat, Li Sun-hoan jadi melenggong
sendiri.
Dalam pada itu Bwe-toasiansing telah menjura pula dan berkata, Maaf Li-heng jika sikapku tadi
kurang hormat, soalnya saudaraku ini yang membuatku sirik. Dua tahun yang lalu dia membawa
pulang seorang, katanya seorang ahli pengeritik seni lukis dan tulis, dan minta lihat koleksi
lukisanku. Siapa tahu mereka telah menggunakan dua gulung kertas blangko untuk menukar dua
buah lukisanku yang sukar dicari, akibatnya hampir tiga bulan aku tidak dapat tidur nyenyak.
Sun-hoan tertawa geli, katanya, Hendaklah Bwe-toasiansing jangan menyalahkan dia. Maklumlah,
seorang peminum bilamana ketagihan dan lagi kantong kempis, rasanya memang tidaklah enak.
O, jika demikian, tampaknya Li-heng juga penggemar minum? ujar Bwe-toasiansing dengan
tertawa. Ayo, Ki-ho, jangan cuci bunga dulu, ambilkan kedua guci Tiok-yap-jing simpanan 20 tahun
itu biar dicicipi oleh Li-tamhoa.
Ia tersenyum dan menjura pula, lalu menyambung, Bunga indah dipersembahkan kepada si cantik,
arak enak harus disuguhkan kepada tokoh ternama. Dua guci arak simpananku selama 20 tahun,
tujuanku justru untuk disuguhkan kepada tokoh ternama seperti Li-heng.
Ucapan ini bukan basa-basi belaka, tukas Bwe-jisiansing. Biasanya, tamu mana pun, jangankan
disuguh arak, air saja tidak ada. Cuma kedatangan Li-heng ini bukanlah ingin minum arakmu.
Bwe-toasiansing memandang Sun-hoan sekejap, lalu tertawa dan berkata, Ah, hanya racun Hankeh-san saja, urusan kecil, silakan Li-heng minum sepuasnya, urusan ini tentu akan kuselesaikan
nanti.
Ruangan yang indah dengan arak simpanan 20 tahun yang sedap. Setelah menghabiskan satu
cawan tiba-tiba Bwe-toasiansing berkata pula, Konon lukisan pemandangan waktu berziarah yang
tersimpan di istana saja barang tiruan, yang asli kabarnya justru berada di tempat Anda, apakah
berita ini benar?
Baru sekarang Li Sun-hoan tahu tujuan pelayanan orang yang berlebihan ini ternyata terletak pada
pertanyaan ini, dengan tertawa ia lantas menjawab, Kabar ini memang tidak salah.
Wah, bilamana Li-heng sudi memberi pinjam lihat lukisan itu kepadaku, sungguh tidak kepalang
rasa terima kasihku, kata Bwe-toasiansing dengan girang.
Kalau Bwe-toasiansing berminat, mana bisa kutolak? ujar Sun-hoan. Cuma sayang, diriku ini juga
pewaris yang suka menghabiskan harta benda orang tua. Sepuluh tahun yang lalu harta warisan
sudah kubikin ludes, lukisan terkenal itu pun sudah kuberikan kepada orang.
Maka Bwe-toasiansing duduk tidak bergerak lagi dan juga tidak tertawa, tampaknya seperti seorang
yang kepalanya mendadak dikemplang orang satu kali, berulang-ulang ia bergumam, Wah,
sayang ... sayang ....
Belasan kali ia menyebut sayang, tiba-tiba ia berbangkit dan masuk ke dalam sambil berseru, Kiho, lekas simpan pula sisa araknya, Li-tamhoa sudah cukup minum.
Bwe-jisiansing menggeleng kepala, ucapnya, Wah, tampaknya kalau tidak dapat melihat lukisan,
seketika arak pun tidak boleh diminum.

Arakku ini memang tidak disuguhkan kepada orang secara percuma, jengek Bwe-toasiansing.
Li Sun-hoan tidak marah, sebaliknya malah tertawa. Ia merasa orang ini meski agak eksentrik dan
pelit, tapi wataknya polos, paling tidak bukanlah manusia munafik.
Namun si berewok tidak tahan, mendadak ia melompat bangun dan membentak, Kalau tidak dapat
melihat lukisan, apakah obat penawar juga tidak ada lagi.
Suara bentakannya sangat keras sehingga atap rumah serasa ikut tergetar.
Namun Bwe-toasiansing tidak menjadi jeri, ucapnya ketus, Arak saja tidak ada lagi, mana obat
penawar segala.
Hampir saja si berewok menubruk maju saking gemasnya.
Tapi Li Sun-hoan keburu mencegahnya, katanya dengan tak acuh, Bwe-toasiansing memang tidak
kenal kita, adalah pantas jika dia tidak mau memberikan obat penawar kepada kita. Sedikitnya kita
sudah minum secawan araknya, mana boleh kita bertindak kasar pula terhadap tuan rumah?
Dengan suara parau si berewok berucap, Tapi ... tapi Siauya sendiri ....
Li Sun-hoan memberi tanda agar jangan bicara lagi, lalu ia menjura kepada tuan rumah dan
berkata, Sayang pertemuan dengan Anda ini terjadi setelah lukisan tidak dapat kuperlihatkan,
biarlah sekarang juga kami mohon diri.
Sana tahu Bwe-toasiansing berbalik mendekatinya lagi dan bertanya, Masa kau tidak menginginkan
obat penawar lagi?
Setiap barang ada pemiliknya sendiri, biasanya aku tidak suka memohon secara paksa, jawab
Sun-hoan dengan tersenyum.
Apakah kau tahu jiwamu pasti akan amblas apabila tidak mendapatkan obat penawar? tanya pula
Bwe-toasiansing.
Mati atau hidup adalah takdir, hal ini tidak pernah kupikirkan, sahut Sun-hoan.
Sampai sekian lama Bwe-toasiansing menatapnya, lalu bergumam, Betul, memang betul, kalau
sebuah lukisan tak ternilai saja rela diberikan kepada orang, apalagi nyawa sendiri. Manusia
demikian memang jarang ada di dunia ini, memang jarang ada ....
Habis itu mendadak ia berseru pula, Ki-ho, keluarlah lagi araknya, kecuali tamu kita ini, siapa lagi
yang sesuai mendapatkan suguhan arakku?
Dan bagaimana dengan obat penawarnya? tukas si berewok dengan kejut dan girang.
Kalau ada arak masakah tidak ada obat penawar? jawab Bwe-toasiansing sambil melotot.
Maka obat penawar pun diminum oleh Li Sun-hoan, setelah minum arak pula, bekerjanya obat
penawar bertambah cepat, tidak sampai lima-enam jam, tenaga Li Sun-hoan sudah terasa mulai
pulih.
Sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, meski melek semalam suntuk, tapi orang yang
bergembira biasanya juga penuh semangat, cuma lantaran terlalu banyak menenggak arak, maka

kepala si berewok terasa rada pening.


Bwe-jisiansing juga mendekap kepalanya sambil mengeluh. Wah, sialan, hari sudah terang lagi.
Memangnya kenapa kalau hari terang? tanya si berewok.
Pada waktu minum arak justru kutakut menghadapi hari terang, apabila pagi belum tiba, tentu
arak dapat terus kuminum, tapi bila hari sudah terang, kepalaku lantas sakit sehingga nafsu minum
lantas lenyap.
Li Sun-hoan sedang memejamkan mata, tampaknya setengah mengantuk, tiba-tiba ia menanggapi
dengan tertawa, Kukira tidak Anda saja, setiap peminum mungkin mempunyai ciri serupa itu.
Jika demikian, mumpung hari belum lagi terang, marilah lekas kita habiskan lagi beberapa cawan!
seru Bwe-jisiansing.
Cara kita minum seperti kerbau, bila dilihat Bwe-toasiansing pasti akan membuatnya sedih, ujar
Sun-hoan dengan tertawa.
Makanya sejak tadi dia sudah pergi tidur, mata tidak melihat, hati tidak sakit, tukas Bwejisiansing.
Li Sun-hoan lantas menenggak lagi satu cawan, lalu terbatuk-batuk tiada hentinya.
Bwe-jisiansing memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba ia tanya, Penyakit batukmu ini sudah berjalan
berapa lama?
Rasanya sudah belasan tahun, jawab Sun-hoan.
Jika demikian, sebaiknya kau jangan minum arak lagi, kata Bwe-jisiansing dengan kening
berkernyit, sebab batuk yang lama tentu akan mengganggu paru-paru, bila minum arak lebih
banyak lagi mungkin akan ....
Mengganggu paru-paru? Memangnya masih ada paru-paruku yang dapat terganggu? Paru-paruku
sudah lama hancur ludes, kata Sun-hoan dengan tertawa. Mendadak ia berhenti tertawa, sinar
matanya gemerdep, lalu mendesis dengan suara tertahan, Ssst, mungkin di sini akan kedatangan
tamu pula.
Tamu yang datang tengah malam buta pasti bukan tamu Bwe-lotoa, yang dicari mungkin ialah
diriku, ujar Bwe-jisiansing.
Segera terdengarlah suara gemeresak di luar, suara orang berjalan. Agaknya yang datang tidak
cuma satu orang saja. Semuanya melangkah dengan sangat perlahan dan enteng.
Sejenak kemudian terdengarlah seorang berseru lantang di luar, Sepada! Apakah di sini Bwe-hoacau-tong (villa bunga sakura)?
Tidak lama lantas terdengar suara Bwe-toasiansing bergema di ruangan depan, Yang berkunjung di
tengah malam buta ini apakah maling atau perampok
Kami sengaja berkunjung kemari, bukan maling juga lain perampok, malahan kami membawa
oleh-oleh yang lumayan! seru orang tadi.
Huh, mengantar oleh-oleh pada tengah malam buta, jelas tidak berniat baik, silakan kalian pulang

saja, jengek Bwe-toasiansing.


Tapi dengan tertawa orang itu berkata pula, Wah, jika demikian, terpaksa lukisan Ong Mo-kiat ini
harus kami bawa pulang.
Apa? Lukisan Ong Mo-kiat? .... seru Bwe-toasiansing, belum habis ucapannya, tahu-tahu pintu
sudah dibuka.
Rupanya pendatang ini sudah dapat meraba watak Lotoa dan menyediakan barang kesukaannya,
tentu kedatangan mereka menghendaki sesuatu, demikian kata Bwe-jisiansing. Eh, coba kita Lihat
siapakah mereka ini?
Dia tidak keluar melainkan membuka pintu sedikit dan mengintip.
Terlihat pendatang itu ada tiga orang, seorang berusia 30-an, pendek kecil dan kekar, sinar matanya
tajam, membawa sebuah kotak kayu lonjong.
Orang kedua bermuka bulat, berjenggot panjang sebatas perut, memakai mantel ungu sutera
kembang, melihat sikapnya yang angkuh dan lirik pandangnya, jelas seorang yang biasa memberi
perintah.
Orang ketiga ternyata seorang anak kecil berumur belasan, mukanya bulat, matanya bundar,
memakai mantel merah dengan kopiah lebar yang diberi bulu kelinci pada tepi topi sehingga
tampaknya seperti boneka merah yang menyenangkan.
Kecuali anak kecil ini, dua orang yang lain kelihatan gelisah dan sedih.
Lelaki kekar yang membawa kotak itu segera memberi hormat begitu melangkah masuk, katanya,
Lukisan ini dibeli dengan harga mahal oleh Cukong kami, sudah dikir oleh kaum ahli bahwa lukisan
ini memang asli, silakan Bwe-siansing memeriksanya sendiri.
Pandangan Bwe-toasiansing sudah sejak tadi mengincar pada kotak itu, tapi di mulut ia berkata,
Tanpa berjasa tidak terima anugerah. Sebenarnya apa yang dikehendaki kalian?
Kami hanya ingin mohon petunjuk kepada Bwe-toasiansing agar kami dapat menemukan Bwejisiansing, jawab orang itu.
Seketika Bwe-toasiansing mengembus napas lega, ia tertawa cerah dan berkata, Ini tidak sulit,
sembari merebut kotak itu dari tangan orang segera ia berseru, Loji (saudara kedua), keluarlah,
ada orang mencari kau!
Bwe-jisiansing menghela napas menyesal, ucapnya sambil menggeleng, Buset, sudah terima
lukisan, saudara sendiri lantas dikorbankan.
Ketika kedua orang itu melihat Bwe-jisiansing, girang mereka tak terlukiskan. Hanya si boneka
merah, anak kecil serba merah tadi, kelihatan mengernyitkan kening, ucapnya sambil melirik hina
pada Bwejisiansing. Orang kotor dan malas begini apakah dapat mengobati orang sakit?
Si mantel ungu khawatir anak kecil itu sembarang omong lagi, cepat ia menyapa, Sudah lama kami
mendengar kesaktian Bwe-jisiansing dalam mengobati orang sakit, sebab itulah kami hendak
mengundang Anda, berapa pun honorarium yang diperlukan dapat kami bayar di muka.
Bwe-jisiansing tertawa, Wah, kiranya tabiatku juga sudah kalian selidiki dengan jelas, tapi apakah
kalian tidak takut kulari setelah terima pembayaran kalian?

Si jubah ungu menarik muka dan tidak bicara lagi, sikapnya itu tiada ubahnya hendak menyatakan,
Tidak mungkin kau dapat lari!
Si pendek kekar lantas menambahkan, Asalkan Bwe-jisiansing mau terima undangan kami, selain
honorarium yang harus kami bayar, akan kami sediakan pula tanda terima kasih yang lain.
Dengan tenang Bwe-jisiansing menjawab, Kecuali honorarium harus bayar di muka, apakah kalian
tahu Bwe-jisiansing juga ada peraturan tiga tidak? Yaitu tidak mengobati bandit, tidak mengobati
pencuri dan ....
Cayhe (saya yang rendah) Pah Eng, meski tergolong Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama), tapi
Cin Hau-gi, Cin-loyacu ini cukup terkenal, sedikit banyak tentu Bwe-jisiansing pernah mendengar
nama beliau, demikian si pendek kekar memotong ucapan si tabib.
Cin Hau-gi? Bwe-jisiansing menegas. Maksudmu si bola baja Cin Hau-gi?
Ya, ya, inilah beliau, jawab Pah Eng sambil menunjuk si jubah ungu.
Bwe-jisiansing mengangguk, katanya, Ehm, boleh juga orang ini. Baiklah, selang dua-tiga hari lagi
boleh kalian datang kemari, tatkala mana bila aku sempat, bisa jadi kumau terima undangan
kalian.
Belum habis ucapannya, serentak si anak serba merah berjingkrak dan berteriak, Hah, besar amat
lagak orang ini! Untuk apa kita banyak cincong dengan dia, seret saja dia pulang kan beres!?
Cepat Pah Eng menariknya agar diam, lalu berkata dengan mengiring tawa, Kalau sakitnya tidak
berat memang tidak menjadi soal bila kami datang lagi dua-tiga hari kemudian, namun luka si sakit
sungguh terlalu parah, jangankan beberapa hari, mungkin beberapa jam saja tidak boleh
terlambat.
Apakah orang sakit kalian begitu penting, dan orang sakit di tempatku ini tidak penting? tiba-tiba
Bwe-jisiansing menjawab dengan kurang senang.
He, di tempat Jisiansing juga ada pasien? tanya Pah Eng.
Betul, jawab Bwe-jisiansing. Sebelum kusembuhkan penyakitnya, betapa pun aku tidak dapat
pergi dari sini.
Pah Eng jadi melengak, ucapnya dengan ragu-ragu, Tapi ... tapi orang yang sakit di tempat kami
itu ialah putra sulung tercinta Cin-loyacu sendiri, juga murid dari keluarga swasta satu-satunya
ketua Siau-lim-si sekarang ....
Mendadak Bwe-jisiansing berjingkrak marah, katanya, Memangnya kenapa kalau putra tercinta Cin
Hau-gi? Kenapa pula kalau dia murid Siau-lim-pay? Memangnya jiwanya terlebih berharga daripada
jiwa pasienku ini?!
Wajah Cin Hau-gi tampak merah padam saking gusarnya, tapi tidak sanggup bicara apa pun.
Biji mata si anak serba merah berputar, tampaknya ia mempunyai gagasan, tiba-tiba ia berkata,
Dan bagaimana kalau pasienmu ini mati?
Kalau dia mati dengan sendirinya tak perlu kuobati lagi, jengek Bwe-jisiansing. Cuma sayang dia
takkan mati.

Apa betul? tiba-tiba si anak merah tertawa, berrr, mendadak secepat anak panah ia melompat
masuk ke dalam rumah sebelah, betapa cepat gerak tubuhnya, sampai si berewok di dalam rumah
juga terkejut.
Pah Eng memandang Cin Hau-gi sekejap, keduanya ternyata tidak mencegah dan juga tidak
bersuara.
Begitu menyusup masuk ke dalam rumah, pandangan si anak merah lantas terpusat kepada Li Sunhoan. Kaukah pasiennya? teriaknya.
Li Sun-hoan tertawa dan berkata, Adik cilik, memangnya kau ingin kulekas mati?
Betul, setelah kau mati barulah si setan dekil itu mau mengobati Cin-toako! seru Ang-hai-ji atau si
anak merah.
Sembari bicara, mendadak dari dalam lengan bajunya menyambar keluar tiga batang anak panah
kecil langsung mengarah kedua mata dan tenggorokan Li Sun-hoan.
Sungguh serangan di luar dugaan, cepat lagi jitu, bahkan sangat kuat sambaran ketiga anak panah
itu.
Siapa pun tidak menyangka anak kecil berumur sepuluh tahunan bisa berhati sekeji ini, coba kalau
bukan Li Sun-hoan, orang lain pasti akan binasa di bawah panahnya.
Namun Li Sun-hoan hanya menjulurkan sebelah tangannya dan ketiga anak panah kecil itu sudah
tertangkap olehnya, katanya dengan berkernyit kening, Anak sekecil ini sudah sedemikian kejam,
kalau sudah besar apalagi?
Hm, hanya sedikit kepandaianmu menangkap panah, lantas hendak kau beri petuah padaku?
jengek Ang-hai-ji, berbareng ia mengapung ke atas, tahu-tahu tangan sudah memegang sebilah
pedang pandak, secepat kilat ia menusuk beberapa kali ke arah Li Sun-hoan.
Cara menyerang anak itu tidak cuma cepat, tapi juga keji, biarpun tokoh Kangouw kawakan juga
tidak selihai dia. Malahan setiap serangannya tanpa kenal ampun, seakan-akan ada permusuhan
besar dengan pihak lawan, kalau bisa sekali tusuk Li Sun-hoan hendak ditembus dengan
pedangnya.
Hah, kalau sudah besar tampaknya anak ini akan menjadi Im Bu-kek (seorang tokoh terkenal
mahakejam) kedua! ucap Li Sun-hoan dengan gegetun.
Si berewok juga berkerut kening, Meski Im Bu-kek terkenal kejam, tapi dia tidak mau membunuh
orang yang tak berdosa, sedangkan anak ini .
Huh, Im Bu-kek itu terhitung apa? tiba-tiba si anak merah menjengek. Pada waktu berumur
tujuh sudah pernah kubunuh orang, bagaimana dia?
Karena beberapa kali serangannya tetap tidak dapat mengenai sasarannya dan Li Sun-hoan masih
berduduk dengan tenang di tempatnya, maka serangan anak itu bertambah gencar dan tambah
keji.
Li Sun-hoan tersenyum getir, ucapnya, Memang, pada waktu kecilnya mungkin Im Bu-kek juga
tidak sekejam anak ini.

Setelah besar nanti, bocah ini pasti akan menjadi bencana bagi dunia persilatan, ujar si berewok
dengan suara tertahan. Akan lebih baik kalau ....
Aku merasa tidak sampai hati, kata Sun-hoan.
Dalam pada itu sudah ratusan jurus si anak merah menyerang tanpa hasil, ia pun menyadari telah
berhadapan dengan tokoh yang sukar dilawan, ia menjadi gelisah sehingga mata pun merah,
dengan geregetan ia berteriak, Apakah kalian tahu siapa ayah-ibuku? Bila kalian berani
mengganggu seujung rambutku, mustahil ayah-ibu takkan mencincang kalian hingga menjadi
pergedel.
Li Sun-hoan menarik muka, ucapnya dengan kurang senang, Jadi cuma boleh kau bunuh orang dan
orang lain tidak boleh mengganggu dirimu?
Asalkan kau berani, boleh saja coba bunuh diriku, seru Ang-hai-ji.
Li Sun-hoan termenung sejenak, katanya kemudian, Aku tidak mau turun tangan hanya karena
usiamu masih terlalu muda, apabila ada yang mendidik dengan ketat, kelak masih dapat
menjadikan dirimu seorang yang baik. Nah, sebelum pikiranku berubah, lekas kau pergi saja.
Ang-hai-ji tahu tiada gunanya menyerang lagi, mendadak ia berhenti menyerang, tanyanya dengan
napas terengah, Sungguh hebat kepandaiannmu, sebenarnya siapakah Anda? Mengapa selama ini
tidak pernah kulihat dirimu?
Kau tanya namaku, apakah kau masih ingin membalas dendam? jawab Sun-hoan.
Wajah Ang-hai-ji menampilkan senyuman kekanak-kanakan, ucapnya, Kau telah mengampuni
jiwaku, mana aku hendak membalas dendam lagi? Aku benar-benar kagum padamu, seluruhnya
kuserang 107 kali, sebaliknya sama sekali kau tidak bergeser dari tempat dudukmu.
Gemerdep sinar mata Li Sun-hoan, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, Kau ingin belajar tidak
kepandaian ini?
Engkau sudi menerimaku sebagai murid? seru Ang-hai-ji dengan girang.
Jika kudapat mendidikmu bagi kedua orang tuamu, kelak mungkin kau masih ada harapan, ujar
Sun-hoan dengan tertawa.
Belum habis ucapan Li Sun-hoan, terus saja Ang-hai-ji berlutut dan menyembah, O, Suhu,
terimalah hormatku ....
Baru saja ku terucapkan, sekonyong-konyong tiga larik sinar hitam gilap menyambar lagi dari
punggungnya, kembali tiga batang panah kecil yang terpasang dengan pegas dan terikat di bagian
punggung anak itu.
Seluruh badan anak kecil ini ternyata penuh Am-gi atau senjata rahasia.
Sekali ini Li Sun-hoan benar-benar terkejut, coba kalau dia tidak berpengalaman dan cepat
reaksinya, sekali ini dia mungkin akan terjungkal di tangan anak yang jahat ini.
Karena serangannya kembali meleset, segera Ang-hai-ji menubruk maju pula sembari memaki,
Huh, kau terhitung orang macam apa? Berdasarkan apa kau berani mewakili ayah-ibu untuk
mendidik dan menerimaku sebagai murid?

Wajah si berewok tampak dingin kelam, mendadak ia membentak, Pembawaan anak ini memang
berjiwa kejam dan berhati binatang, tidak perlu disayang lagi!
Li Sun-hoan menghela napas menyesal, sebelah tangannya lantas mengebas ke depan ....

*****

Dalam pada itu, Cin Hau-gi dan Pah Eng jelas-jelas melihat Ang-hai-ji menerobos ke dalam dan
bermaksud membunuh orang, namun keduanya pura-pura tidak tahu, mereka tetap berdiri di
tempatnya dengan tenang tanpa menghiraukan.
Bwe-toasiansing juga asyik memandangi lukisan kuno itu dengan kesima, urusan lain sama sekali
tidak digubrisnya.
Hanya Bwe-jisiansing kelihatan kurang senang, ucapnya, Anak kecil yang kalian bawa kemari itu
hendak membunuh orang, kenapa kalian tinggal diam saja?
Pah Eng mengangkat bahu dan menjawab, Terus terang, apa yang hendak diperbuat anak itu,
siapa pun tidak dapat ikut campur.
Jika dia dibunuh orang, kalian ikut campur tidak? jengek Bwe-jisiansing.
Pah Eng hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
Hm, melihat ketenangan kalian, jelas karena kalian yakin akan kepandaian anak itu, hanya bisa
terjadi dia membunuh orang dan tidak mungkin orang membunuhnya, begitu bukan? kata Bwejisiansing pula.
Terus terang, kepandaian anak ini memang boleh juga, jawab Pah Eng dengan tertawa, sudah
banyak orang Kangouw kawakan yang terjungkal di tangannya, apalagi dia masih mempunyai
seorang ayah yang baik dan seorang ibu yang sayang padanya. Bila orang lain dirugikan oleh dia,
terpaksa anggap saja sial.
Masa ayah-ibunya juga tidak ikut campur perbuatan anaknya? tanya Bwe-jisiansing.
Mempunyai anak sepintar ini, sebagai orang tua masakah sampai hati mengekangnya terlalu
keras? ujar Pah Eng.
Betul juga, kata Bwe-jisiansing, bilamana ayah-ibunya melihat dia membunuh orang, mungkin
pada lahirnya mereka memarahinya, tapi di dalam hati jauh lebih senang daripada siapa pun juga.
Akan tetapi hari ini dia benar-benar ketanggor, dia bertemu dengan pasienku ini, mungkin dia bisa
celaka.
Oo?! melengak juga Pah Eng.
Asalkan tangan pasienku ini bergerak, maka tamatlah riwayatnya, sambung Bwe-jisiansing.
Sekali tangan bergerak lantas mencabut nyawa orang? Pah Eng menegas dengan tertawa. Ah,
keteranganmu ini sukar untuk dipercaya. Memangnya pasienmu itu serupa Li-tamhoa, Li Sun-hoan,
sekali tangan bergerak, pisau terbangnya tidak pernah meleset dan jiwa orang pun melayang?!

Bwe-jisiansing tersenyum hambar, Bicara terus terang, pasienku ini justru ialah Li Sun-hoan!
Mendengar keterangan ini, seketika wajah Pah Eng sepucat mayat, ucapnya dengan kikuk, Hehe,
jang ... jangan Anda bergurau!
Jika kau tidak percaya, boleh kau lihat sendiri ke dalam, kata Bwe-jisiansing.
Sejenak Pah Eng melenggong, mendadak ia berlari ke dalam sambil berseru, Li-tamhoa! Litayhiap! Ampuni dia!
Bwe-jisiansing menggeleng kepala, Ternyata beginilah tampang asli manusia yang sok anggap
dirinya kaum pendekar ini, hanya jiwa anak sendiri yang berharga, kalau jiwa orang lain tidak lebih
berharga daripada hewan, hanya anak sendiri boleh membunuh orang, tapi orang lain dilarang
membunuh anaknya.
Wajah Cin Hau-gi yang kelihatan angker itu tiba-tiba tersembul senyuman yang licik dan keji. Tapi
sedapatnya ia menutupi senyuman kotor itu, ia menghela napas panjang dan berkata, Jika benar Li
Sun-hoan membunuh anak itu, mungkin dia akan menyesal selama hidup!

*****

Dalam pada itu Li Sun-hoan telah mengebaskan tangannya ke arah si anak merah, gerak tangan
yang biasa, tampaknya tiada sesuatu perubahan yang istimewa.
Meski masih kecil, tapi cara bertempur anak merah itu ternyata sangat cerdik seperti orang tua.
Ketika hantaman Li Sun-hoan itu tiba, dia tidak mengelak atau berkelit, ternyata sudah
diperhitungkannya bahwa serangan ini pasti cuma serangan pura-pura saja, serangan mematikan
yang sesungguhnya justru terletak pada pukulan berikutnya Sebab itulah dia hanya sedikit
mengangkat ujung pedangnya, seperti hendak menahan, serupa juga hendak menangkis, dia
menghadapi serangan gertakan dengan tangkisan pura-pura juga.
Bagaimanapun perubahan serangan Li Sun-hoan itu dapat pula diikuti dengan gerak perubahan
pedangnya. Apabila pukulan Li Sun-hoan itu mendadak dilancarkan dengan sungguhan, maka
pedangnya juga bergerak sungguh dan sekalian menabas pergelangan tangan lawan.
Jurus anak ini sungguh lihai luar biasa, baik tempat, waktu dan tenaga, semuanya diperhitungkan
dengan tepat. Tidaklah banyak ahli pedang dunia Kango
w yang mampu mengeluarkan jurus serangan demikian, jelas anak ini pernah mendadak didikan
kaum ahli, bahkan pembawaannya memang berbakat menjadi ahli silat.
Cuma sayang, lawan yang dihadapinya sekarang ialah Li Sun-hoan.
Serangan Li Sun-hoan ini tidak memperlihatkan sesuatu gerak perubahan, hanya sangat cepat
gerakannya sehingga sama sekali tidak memberi peluang bagi lawan untuk memikirkan apa yang
terjadi, karena itulah pertahanan si anak merah yang telah disiapkan itu menjadi tidak berguna
sama sekali. Ketika pedangnya hendak ditabaskan kepada pergelangan tangan Li Sun-hoan, tahutahu tangan lawan sudah hinggap lebih dulu di atas dadanya.
Anak itu tidak merasa kesakitan, hanya dirasakan suatu arus hawa hangat merembes dari telapak

tangan lawan terus tersebar ke seluruh tubuhnya, rasanya seperti orang kedinginan di musim dingin
mendadak minum satu cangkir arak yang panas.
Dan saat itulah baru terdengar teriakan khawatir Pah Eng di luar yang memintakan ampun kepada
Li Sun-hoan. Tapi ketika Pah Eng menerjang ke dalam, Ang-hai-ji sudah terkapar di lantai, seperti
orang baru sadar dari mabuk, sekujur badan lemas lunglai, sedikit pun tidak bertenaga.
Bagaimana keadaanmu, Hun-siauya? seru Pah Eng khawatir.
Jelas Ang-hai-ji merasakan gelagat tidak baik, matanya tampak merah basah, ucapnya dengan
tersendat, Mungkin mungkin aku telah dicelakai orang ini, lekas kau pulang dan panggil
panggil ayah untuk membalaskan sakit hatiku.
Belum habis ucapannya, menangislah dia tergerung-gerung.
Pah Eng mengentak-entak kaki dengan kelabakan, keringat tampak memenuhi dahinya.
Si berewok lantas menjengek, Meski Kungfu anak ini sudah dimusnahkan, tapi mendingan jiwanya
dapat disisakan, hanya karena pada waktu Siauya kami turun tangan tiba-tiba timbul rasa kasih
sayangnya, jika aku hm! .
Pah Eng tidak menghiraukan lagi apa yang digerutu si berewok, yang dipikirkan cuma keselamatan
si anak merah.
Mendadak si berewok membentak, Jika kau ingin menuntut balas, boleh turun tangan saja!
Pah Eng tidak bicara, mendadak ia berlutut dan menyembah kepada Li Sun-hoan.
Hal ini membuat Li Sun-hoan melengak malah, ia tanya dengan kening berkerut, Apa hubunganmu
dengan bocah ini?
Hamba Pah Eng, meski Li-tamhoa tidak kenal hamba, namun hamba kenal Li-tamhoa, jawab Pah
Eng.
Baik sekali jika kau kenal diriku, kata Sun-hoan tak acuh. Bila ayah-ibunya ingin menuntut balas,
suruh mereka langsung mencari diriku saja. Sekarang lekas kau bawa pulang anak ini, jika tepat
cara mengobatinya, biarpun kelak tidak dapat main silat lagi, untuk beergerakk mungkin tidak
beralangan.
Mendadak Ang-hai-ji menangis keras-keras sambil mengentakkan kaki ke tanah, teriaknya, Keji
amat orang ini! Berani kau bikin cacat diriku, aku aku tidak mau hidup lagi aku tidak mau hidup
lagi!
Dengan suara bengis si berewok lantas membentak, Ini hanya sekadar hukuman supaya
selanjutnya kau jangan sembarangan menyerang orang, bisa jadi karena ini hidupmu akan tambah
lama, kalau tidak, dengan caramu yang ganas ini, cepat atau lambat kau pasti akan dibunuh orang.
Tiba-tiba seorang menanggapi dengan dingin, Jika demikian, Li-tamhoa yang suka membunuh
tanpa kenal ampun mengapa sampai sekarang tidak mengalami petaka?
Siapa itu? bentak si berewok.
Maka tertampaklah seorang tua bermuka merah berjenggot melangkah masuk dengan perlahan,
sapanya, Sepuluh tahun tidak bertemu, masa Li-tamhoa tidak kenal lagi kepada sahabat lama?

Gemerdep sinar mata Li Sun-hoan, sambil berkerut kening ia menjawab, Aha, kiranya si bola baja
sakti Cin-tayhiap adanya! Pantaslah anak ini berani sembarangan main bunuh orang, rupanya
mendapat deking Cin-tayhiap, tentu saja siapa pun dapat dibunuhnya.
Orang yang kubunuh rasanya tidak ada separonya daripada orang yang dibunuh Li-heng, jengek
Cin Hau-gi.
Ah, kenapa Cin-tayhiap rendah hati, ujar Sun-hoan. Cuma, bilamana kubunuh orang, maka
tuduhannya adalah keji tanpa kenal ampun. Kalau Anda yang membunuh orang, alasannya demi
membela keadilan.
Dia tersenyum, lalu menyambung, Bila anak ini jadi membunuh orang sekarang, yang tersiar kelak
tentunya bukan karena dia membunuh lantaran berebut tabib melainkan karena dia dan Cin-tayhiap
telah menumpas lagi seorang jahat bagi dunia Kangouw.
Biarpun Cin Hau-gi sudah berpengalaman dan tenang, tidak urung merah juga mukanya oleh
sindiran itu.
Mendadak si anak merah menangis dan berteriak pula, Paman Cin, lekas engkau turun tangan
membalaskan sakit hatiku!
Jika orang lain melukaimu, tentu ada orang akan membalaskan sakit hatimu, jengek Cin Hau-gi.
Tapi sekarang Li-tamhoa yang melukaimu, mungkin kau terpaksa harus menerima nasib.
Seb sebab apa? tanya Ang-hai-ji.
Cin Hau-gi melirik Sun-hoan sekejap, ucapnya, Apakah kau tahu siapa yang melukaimu ini?
Ang-hai-ji menggeleng, Aku cuma tahu dia seorang jahat berhati keji.
Tapi dia inilah si pisau kilat Li Sun-hoan yang namanya termasyhur, juga saudara angkat sehidup
semati ayahmu sendiri.
Keterangan ini membuat Ang-hai-ji melenggong. Juga Li Sun-hoan terperanjat.
Apa katamu? Dia anak siapa? tanya Sun-hoan.
Pah Eng menghela napas dan menyela, Anak ini adalah putra kesayangan Liong Siau-hun, Liongsiya. Namanya Liong Siau-in.
Serasa disambar geledek kepala Li Sun-hoan, hampir saja sukmanya terbang ke awang-awang.
Dia duduk termangu dengan sorot mata yang sayu, otot daging pada ujung mulutnya berkejang,
keringat dingin mengucur dari dahinya.
Juga si berewok tampak berubah pucat dan berkeringat. Hanya dia saja yang tahu persis hubungan
antara Li Sun-hoan dengan Liong Siau-hun serta istrinya, Lim Si-im. Tapi sekarang Li Sun-hoan
telah melukai putra kesayangan mereka, maka betapa pedih dan menyesalnya sukar dilukiskan.
Sungguh kejadian yang tak terduga sama sekali, ujar Pah Eng dengan menyesal, hanya lantaran
putra Cin-loyacu, si pukulan sakti berwajah cakap Cin Tiong, terluka pada waktu berusaha
menangkap Bwe-hoa-cat (penjahat bertanda bunga sakura), meski jiwanya dapat dipertahankan
dengan obat luka Siau-hoan-tan dari Siau-lim-si, namun keadaannya tetap gawat. Semua orang

tahu Bwe-jisiansing adalah tabib nomor satu yang mahir menyembuhkan luka luar dan segala
macam racun, sebab itulah Cin-loyacu berusaha mencari Bwe-jisiansing dan akhirnya ditemukan di
sini, siapa tahu anak muda berwatak kurang sabar, In-siauya telah bertindak gegabah sehingga
terjadi seperti sekarang ini.
Dia bicara sendiri dan entah ada yang mendengarkan atau tidak, sebab pada saat itu Bwe-jisiansing
juga sudah mengetahui kepedihan Li Sun-hoan, maka ia sedang memeriksa keadaan luka Ang-haiji, lalu memegang nadinya, kemudian ia berbangkit dan berkata, Kujamin jiwa anak ini takkan
beralangan, bahkan segalanya akan pulih seperti biasa.
Bagaimana dengan ilmu silatnya? dengan girang Pah Eng bertanya.
Untuk apa mempertahankan ilmu silatnya? jengek Bwe-jisiansing, memangnya supaya lain hari
digunakannya untuk membunuh orang lagi.
Pah Eng melengak, ucapnya kemudian, Mungkin Jisiansing tidak tahu, Liong-siya hanya
mempunyai seorang anak ini, anak yang berbakat, sebab itulah Liong-siya suami-istri sangat
menaruh harapan besar padanya agar kelak dapat lebih menjayakan nama keluarga. Dan sekarang
bilamana beliau mengetahui putra mereka sudah cacat dan tidak dapat berlatih Kungfu lagi,
sungguh entah betapa Liong-siya suami-istri akan berduka.
Hm, salah mereka sendiri yang tidak dapat mendidik anak, masa orang lain yang disalahkan?
jengek Bwe-jisiansing.
Apa yang dipercakapkan mereka hampir tidak sepatah kata pun yang masuk telinga Li Sun-hoan.
Entah mengapa, pada saat demikian pikirannya telah tenggelam lagi dalam Iamunannya pada masa
lampau, banyak urusan yang mestinya tidak perlu dipikirkannya kini jadi teringat semua.
Masih teringat olehnya, hari itu tanggal tujuh, untuk sesuatu urusan penting dia harus
meninggalkan rumah meski masih dalam suasana tahun baru.

Bab 4. Pendekar Budiman


Published by Eve1yn on 2005/7/21 (272 reads)

Hari itu juga turun salju, Lim Si-im khusus menyajikan hidangan lezat baginya dan makan minum
bersamanya.
Sejak kecil Lim Si-im tinggal di rumah Li Sun-hoan, antara orang tua mereka adalah saudara misan,
sebelum orang tua kedua pihak meninggal sebenarnya sudah disepakati akan menjodohkan kedua
muda-mudi itu.
Namun Li Sun-hoan dan Lim Si-im tetap bergaul rapat seperti biasa tanpa menghiraukan adat
kebiasaan umum, mereka adalah sepasang kekasih, juga dua sahabat.
Meski sepuluh tahun sudah lalu, namun Li Sun-hoan masih ingat dengan jelas kejadian pada hari
itu.
Hari itu bunga Bwe mekar dengan indahnya, Si-im tersenyum manis dan cantik melebihi bunga Bwe
dengan pipi bersemu merah karena telah minum beberapa cawan arak. Hari itu sungguh penuh

gembira dan bahagia.


Akan tetapi peristiwa yang malang segera menyusul tiba.
Pada waktu Sun-hoan pulang dari perjalanan jauh, di perbatasan Soatang dan Hopak dia dikerubut
oleh musuh yang bersekongkol dengan Koan-gwa-sam-hiong, tiga gembong penjahat dari luar
tembok besar. Dengan perkasa ia membinasakan 19 orang musuh, akhirnya ia sendiri pun terluka
dan tampaknya akan tewas di bawah kerubutan musuh.
Untunglah pada saat gawat itu muncul Liong Siau-hun. Dengan tombak peraknya yang lihai Liong
Siau-hun telah menyelamatkan jiwa Sun-hoan, diobati pula lukanya dan melindunginya sepanjang
jalan hingga sampai di rumah.
Sejak itu Liong Siau-hun selain menjadi tuan penolongnya, juga menjadi sahabat karibnya serta
tinggal lama di rumah Sun-hoan.
Tapi kemudian Liong Siau-hun jatuh sakit, cukup berat sakitnya, lelaki yang kuat sebagai baja itu
hanya dalam waktu setengah bulan saja telah berubah menjadi kurus kering dan pucat.
Cukup lama Li Sun-hoan bertanya dan mencari tahu apa penyakit yang diderita Liong Siau-hun,
akhirnya diketahui sakitnya lantaran Lim Si-im, sakit rindu, rindu dendam karena dia hanya
bertepuk sebelah tangan.
Liong Siau-hun tidak tahu di antara Lim Si-im dan Li Sun-hoan sudah ada ikatan jodoh, dia minta
tolong agar Li Sun-hoan suka menjodohkan adik misannya itu kepadanya. Dia berjanji kepada Sunhoan pasti akan menjaga dan melindungi si nona.
Dengan sendirinya Li Sun-hoan serba susah, mana dia dapat menerima permintaan Liong Siau-hun
itu. Tapi orang kan tuan penolongnya? Masa dia tega menyaksikan sang tuan penolong mati rindu?
Baginya lebih-lebih tidak mungkin dimintanya agar Lim Si-im suka menikah dengan orang lain, ia
tahu Si-im pasti juga takkan terima permintaannya.
Hal ini sangat meresahkan hati Sun-hoan, timbul pertentangan batin yang memusingkan kepala.
Setiap hari ia menghibur diri dengan minum arak sampai mabuk. Beberapa hari kemudian, akhirnya
ia mengambil keputusan, keputusan yang menyakitkan hati. Dia berusaha agar Lim Si-im sendiri
yang meninggalkan dia.
Maka dimintanya Lim Si-im suka merawat sakit Liong Siau-hun, ia sendiri mulai berfoya-foya di luar,
bahkan sampai berbulan-bulan tidak pulang ke rumah. Maklum, dia sengaja membuat kesempatan
agar Liong Siau-hun dapat berdekatan lebih banyak dengan Lim Si-im.
Si-im sangat sedih melihat perubahan hidup Li Sun-hoan itu, dengan menangis ia coba
membujuknya. Akan tetapi Li Sun-hoan tidak mengacuhkannya, ia tertawa dan tinggal pergi,
bahkan bertambah nekat, hampir setiap perempuan hiburan ternama di kota raja dibawanya pulang
ke rumah.
Selama dua tahun Si-im menyaksikan keruntuhan kehidupan Li Sun-hoan itu, remuk redam hati Siim, kecewa dan putus asa. Akhirnya dia memilih Liong Siau-hun yang mencintainya dengan penuh
kasih sayang itu.
Hal mana berarti rencana Li Sun-hoan telah berhasil. Tapi berhasilnya rencana ini juga menimbulkan
kepedihan dan derita batin, membuatnya tidak sanggup lagi berdiam lebih lama di rumah.

Akhirnya ia menyumbangkan seluruh milik warisan orang tua itu sebagai hadiah nikah Lim Si-im,
lalu dia pergi dengan tekad takkan menemuinya lagi untuk selamanya.
Akan tetapi sekarang, tanpa terduga dia telah melukai putra tunggal mereka.
Li Sun-hoan menenggak habis arak yang terasa pahit ini, juga menelan air matanya yang hampir
menetes, ia berdiri perlahan dan bertanya, "Di mana Liong-siya? Mari kuikut pergi menemuinya."

*****

Dengan sendirinya tempat ini tidak asing lagi bagi Li Sun-hoan. Perkampungan yang dahulu
bernama "Li-wan" atau petamanan keluarga Li sekarang sudah berganti nama menjadi "Hin-hunceng" atau perkampungan Hun berjaya.
Yang tidak ada perubahan adalah dua baris sanjak tulisan Sri Baginda yang dijadikan hiasan pintu.
Kedua bait sanjak itu berbunyi
Tujuh Cinsu dalam satu keluarga
Tiga Tamhoa antara ayah beranak
Cinsu dan Tamhoa adalah gelar kesusastraan ujian negara, sanjak itu melukiskan kejayaan keluarga
Li yang turun temurun selalu Tulus ujian negara dengan kedudukan yang terhormat.
Melihat kedua bait sanjak hiasan itu, hati Li Sun-hoan serasa disayat-sayat sehingga kaki pun terasa
berat untuk melangkah lagi.
Sementara itu Pah Eng lantas berlari masuk ke dalam dengan memondong Ang-hai-ji. Cin Hau-gi
juga menyeret Bwe-jisiansing ke dalam, sedangkan para centeng yang berjaga di depan pintu sama
memandangi Li Sun-hoan dengan penuh keheranan.
Mereka seperti heran mengapa orang asing ini berdiri melenggong di depan pintu seperti orang
linglung?
Padahal tempat ini sebenarnya adalah rumah Li Sun-hoan sendiri, dia dibesarkan di sini. Di sini pula
dia pernah hidup bahagia dan mendapat kejayaan yang besar. Akan tetapi juga di sini dia pernah
mengebumikan layon ayah-bunda dan kakaknya.
Dan siapa pula yang dapat menduga sekarang dia telah berubah menjadi asing di sini?
Melihat Li Sun-hoan termangu-mangu, si berewok lantas mendesis. "Siauya, marilah masuk saja!"
Li Sun-hoan menghela napas, ucapnya, "Ya, kalau sudah datang, cepat atau lambat toh harus
masuk ke situ."
Siapa tahu, baru saja ia melangkah ke atas undak-undakan batu, mendadak seorang
membentaknya, "Siapa kau? Berani sembarangan terobosan di rumah Liong-siya?"
Seorang lelaki bermuka bopeng dengan berbaju kulit, tapi bagian dada terbuka, sebelah tangannya
menjinjing sebuah sangkar burung, tiba-tiba muncul dari samping dan mengadang di depan Li Sunhoan.

Sun-hoan berkerut kening, "Anda ini ...."


"Tuanmu adalah Koankeh (pengurus rumah tangga) di sini," teriak si bopeng sambil bertolak
pinggang, "anak perawanku adalah adik angkat nyonya Liong di sini, memangnya kau mau apa?"
"O, jika ... jika demikian, biarlah kutunggu saja di sini," kata Sun-hoan.
"Tunggu juga tidak boleh," jengek si bopeng. "Memangya kau kira di depan rumah Liong-siya ini
boleh dijadikan tempat istirahat?"
Tidak kepalang rasa gusar si berewok, tapi ia pun tahu dalam keadaan demikian sedapatnya harus
bersabar.
Tak terduga si bopeng lantas mendamprat pula, "Suruh kau enyah, kenapa tidak lekas enyah,
apakah cari mampus?"
Meski Li Sun-hoan masih tahan, tapi si berewok tidak sabar lagi. Selagi ia hendak memberi hajaran
kepada si bopeng, tiba-tiba dari dalam terdengar orang berseru, "Sun-hoan, Sun-hoan! Benarkah
kau datang kemari?!"
Segera muncul seorang lelaki setengah baya dengan wajah kereng dan berbaju mentereng, jenggot
yang jarang-jarang menghiasi dagunya, wajah penuh rasa gembira dan bersemangat, begitu
melihat Sun-hoan segera ia merangkulnya dengan erat.
"Ah, ternyata betul kau telah pulang, benar kau telah pulang!" kata pula orang ini dengan suara
parau, saking terharu air mata pun bercucuran.
Li Sun-hoan juga tidak tahan akan air matanya yang mengalir, serunya, "O, Toako ...." dia hanya
sanggup memanggil "Toako" saja, lalu tenggorokan serasa tersumbat dan tidak sanggup bersuara
lagi.
Melihat adegan ini, si bopeng jadi melenggong kaget.
Terdengar lelaki setengah umur tadi, yakni Liong Siau-hun, tiada hentinya bergumam, "O,
saudaraku, sungguh betapa kurindukan dirimu, alangkah gembiraku dapat melihatmu sekarang ...."
Sampai beberapa kali dia mengulangi ucapannya itu, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berkata lagi,
"Ai, kita harus bergembira akan pertemuan kita ini, mengapa kita malah mencucurkan air mata
seperti orang perempuan ...."
Sambil bergelak tertawa ia rangkul Sun-hoan dan diajak ke dalam, ia terus berteriak-teriak pula.
"Lekas panggil keluar nyonya, panggil keluar semua untuk menemui saudaraku. Ah, tahukah kalian
siapa saudaraku ini? Bila kukatakan, haha, kalian pasti akan melonjak kaget."
Si berewok memandangi mereka dengan air mata berlinang, terharu sekali hatinya, entah duka
entah girang.
Baru sekarang si muka bopeng tadi mengembus napas panjang, ucapnya sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal, "Aduh, celaka! Kiranya dia inilah Li ... Li-tamhoa, malahan rumah ini
pun kabarnya adalah pemberiannya, tapi tadi telah kularang dia masuk ke sini, sungguh aku ... aku
pantas mampus!"
Dalam pada itu si anak merah Liong Siau-in sedang dikerumuni belasan orang di ruangan tengah,
agaknya menyadari hubungan erat antara Li Sun-hoan dengan ayahnya, ia menjadi takut sehingga

tidak berani menangis lagi.


Baru saja Liong-Siau-hun membawa Li Sun-hoan ke ruangan tengah, dua lelaki yang semula berdiri
di samping Liong Siau-in mendadak menubruk maju, mereka menegur sambil menuding hidung Li
Sun-hoan, "Jadi kau ini yang melukai tuan muda?"
"Ya, betul," jawab Sun-hoan dengan menyesal.
"Keparat, besar amat nyalimu!" bentak salah seorang lelaki itu, berbareng mereka lantas menubruk
maju dari kanan dan kiri.
Sun-hoan tidak bermaksud melawan, tapi mendadak Liong Siau-hun membentak gusar, sebelah
tangannya menyampuk ke belakang, sebelah kaki juga menendang, kontan kedua orang itu
terpental dan mencelat.
"Kurang ajar!" damprat Liong Siau-hun. "Nyali kalian yang terlalu besar, berani kalian sembarangan
bertindak. Memangnya kalian tahu siapa dia?"
Kedua orang itu jadi melenggong, sungguh mereka tidak menyangka maksud baiknya berbalik salah
alamat.
Seorang memegangi mukanya yang terpukul dan berkata dengan gelagapan, "Kami ... kami hanya
bermaksud membela tuan muda ...."
"Memangnya kalian mau apa?" damprat Liong Siau-hun dengan gusar, "Kau tahu putra Liong Siauhun sama dengan anak Li Sun-hoan, jangankan Li Sun-hoan memberi hajaran sekadarnya kepada
anak itu, sekalipun binatang kecil itu dibunuhnya juga pantas, tahu?!"
Lalu ia perkeras suaranya dan berteriak, "Selanjutnya siapa pun dilarang menyinggung kejadian ini,
bilamana ada yang berani mengungkatnya berarti sengaja memusuhi aku Liong Siau-hun!"
Li Sun-hoan berdiri seperti patung, ia sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini.
Kalau saja Liong Siau-hun mendampratnya habis-habisan, bahkan melabraknya sekalian, mungkin
hati Sun-hoan akan terasa lebih enak, tapi sekarang Liong Siau-hun lebih mementingkan
persaudaraan, hati Sun-hoan jadi malu dan menyesal. Ucapnya kemudian dengan pedih, "Toako,
sungguh aku tidak tahu ...."
Tapi Liong Siau-hun lantas menepuk pundaknya dan berkata dengan tertawa, "Eh, saudaraku,
kenapa kau pun bicara seperti orang luar. Binatang cilik itu terlalu dimanjakan ibunya sehingga
kelewatan nakalnya, seharusnya tidak kuajarkan Kungfu padanya."
Sambil tertawa ia berseru pula, "Mari, ayo lekas siapkan arak, barang siapa di antara kalian ada
yang mampu membuat mabuk saudaraku ini, kontan kuberi hadiah 500 tahil perak."
Yang hadir di ruangan tamu kebanyakan adalah jago kawakan Kangouw yang pintar melihat arah
angin, beramai-ramai mereka lantas berkerumun maju dan bercengkerama dengan Li Sun-hoan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang berseru di ruang dalam, "Lekas menyingkap kerai,
nyonya akan keluar!"
Dan baru saja seorang kacung yang berdiri di depan pintu menyingkap kerai, segera kelihatan
muncul Lim Si-im.

Akhirnya Li Sun-hoan bertemu kembali dengan Lim Si-im, bekas tunangannya.


Si-im mungkin bukan perempuan yang cantik tanpa cacat, tapi siapa pun tidak dapat menyangkal
akan kemolekannya. Wajahnya kelihatan putih kepucatan, badannya juga agak kurus, sorot
matanya tampak terang, tapi juga agak dingin. Keluwesannya sungguh sukar dilukiskan.
Dalam keadaan bagaimanapun juga dia dapat membuat orang merasakan daya tariknya yang khas
itu, barang siapa pernah memandangnya sekejap, maka selamanya sukar untuk melupakan dia.
Wajah ini entah sudah berapa ratus kali muncul di dalam mimpi Li Sun-hoan, tapi rasanya berjarak
sedemikian jauhnya dan makin jauh sehingga sukar dicapai.
Setiap kali bila Li Sun-hoan bermaksud menubruk dan merangkulnya, selalu ia terjaga bangun dari
impian buruk yang menghancurkan hatinya itu. Lalu dia cuma berbaring bermandi keringat dingin,
memandangi kegelapan di luar jendela dengan gemetar dan menanti datangnya fajar. Akan tetapi
ketika fajar tiba, dia masih tetap kesepian dan menderita.
Dan sekarang, orang yang selalu dirindukannya itu benar-benar telah muncul di hadapannya,
bahkan asalkan tangannya terjulur sudah dapat menyentuhnya. Ia tahu yang dihadapinya sekarang
bukan dalam mimpi.
Akan tetapi dapatkah dia mengangsurkan tangannya?
Sungguh dia berharap ini pun dalam mimpi. Akan tetapi fakta terkadang jauh lebih kejam daripada
mimpi. Ingin menghindari saja sukar, terpaksa ia tersenyum untuk menutupi derita batinnya,
sedapatnya ia perlihatkan senyumnya dan menyapa, "Toaso, baik-baikkah engkau?!"
Toaso, kakak ipar!
Kekasih yang selalu dirindukannya, yang senantiasa diimpikannya sekarang harus dipanggilnya
sebagai "Toaso".
Si berewok melengos ke arah lain, ia tidak sampai hati menyaksikan wajah Li Sun-hoan, sebab
hanya dia saja yang tahu betapa pedih dan betapa duka hatinya ketika menyebut "Toaso".
Ia tidak tahu bilamana dia menjadi Li Sun-hoan apakah juga sanggup memanggil "Toaso", ia tidak
tahu apakah dirinya mempunyai keberanian seperti Li Sun-hoan untuk menanggung siksa derita
batin sedalam ini?
Kalau saja ia tidak berpaling ke arah lain, mungkin air matanya sudah bercucuran.
Akan tetapi Lim Si-im seolah-olah tidak mendengar panggilan Li Sun-hoan. Perhatiannya seakanakan tercurahkan seluruhnya kepada anaknya.
Ketika melihat sang ibu, anak itu lantas menangis lagi keras-keras sambil meronta dan menubruk
ke dalam pelukan ibunda, teriaknya, "O, ibu, anak tidak ... tidak dapat belajar Kungfu lagi, anak
sudah cacat! O, cara ... cara bagaimana anak sanggup hidup terus?"
Lim Si-im merangkulnya dengan erat dan bertanya, "Sia ... siapakah yang melukaimu?"
"Dia! Siapa lagi?" jawab anak itu.
Lim Si-im memandang ke arah yang ditunjukkan anak itu, akhirnya ia pandang muka Li Sun-hoan

Ia menatap Sun-hoan dengan melotot, seperti menatap seorang yang tidak pernah dikenalnya.
Lalu, perlahan sorot matanya menampilkan semacam cahaya dendam dan benci, ucapnya sekata
demi sekata, "Kau? Benarkah kau melukai anakku?"
Li Sun-hoan mengangguk dengan limbung.
Entah kekuatan apa yang mendukungnya, dia ternyata tidak ambruk.
Lim Si-im masih menatapnya tanpa berkedip, ucapnya sambil menggigit bibir, "Bagus! Bagus sekali!
Memang kutahu tidak nanti kau biarkan kuhidup gembira, bahkan setitik kebahagiaanku yang masih
tersisa juga hendak kau rampas, kau ...."
"Tidak boleh kau bicara demikian terhadap Sun-hoan," teriak Liong Siau-hun memotong ucapan Siim. "Kejadian ini bukan salahnya, tapi akibat tingkah laku anak In sendiri. Apalagi, waktu itu ia pun
tidak tahu anak In adalah putra kita."
Mendadak Ang-hai-ji alias si anak merah menukas, "Dia tahu, sebelumnya dia sudah tahu! Mestinya
dia tidak dapat melukaiku, ketika kudengar dia adalah sahabat baik ayah segera kuberhenti
menyerang, siapa tahu kesempatan itu digunakannya untuk melukaiku."
Saking gusarnya pembuluh darah si berewok serasa mau meledak, sungguh sukar dibayangkan
seorang anak kecil begitu sudah pandai memutarbalikkan fakta yang sebenarnya.
Tapi Li Sun-hoan tetap berdiri kaku di tempatnya, sama sekali tidak bermaksud menyangkal atau
membela diri.
Penderitaan apa pun sudah pernah dirasakannya, masakah sekarang dia harus perang mulut
dengan seorang anak kecil?
Tapi Liong Siau-hun lantas membentak, "Binatang, kau berani berdusta?!"
Ang-hai-ji menangis dan berteriak, "Aku tidak berdusta! O, ibu, sungguh aku tidak berdusta!"
Dengan gusar Liong Siau-hun hendak menyeret anak itu, tapi Si-im keburu mengadang di depannya
dan mendengus, "Hm, hendak kau apakan dia lagi?"
Liong Siau-hun mengentak kaki dengan gusar, "Binatang ini sungguh terlalu, biarlah kubereskan dia
sekalian agar kelak tidak membikin malu saja!"
Wajah Si-im yang pucat menjadi beringas, teriaknya, "Jika begitu, biarlah aku pun kau bunuh
sekalian!"
Ia melirik sekejap ke arah Li Sun-hoan, jengeknya, "Hm, memangnya kalian tergolong tokoh
berkepandaian tinggi, untuk membunuh seorang anak kecil adalah teramat mudah, jika ditambah
lagi seorang perempuan kan juga tidak menjadi soal."
"O, Si-im!" seru Liong Siau-hun sambil mengentak kaki, "Mengapa kau jadi tidak tahu aturan
begini?"
Tapi Lim Si-im tidak menghiraukannya lagi, ia rangkul erat-erat anaknya dan diajak masuk ke ruang
dalam. Meski sangat enteng langkahnya, namun Li Sun-hoan serasa hancur terinjak.
Siau-hun lantas tepuk-tepuk bahunya dan berkata dengan menyesal, "Sun-hoan, hendaklah jangan
kau marah padanya, sebenarnya dia bukanlah perempuan kasar begini. Tapi seorang perempuan

kalau sudah menjadi ibu, terkadang lantas tidak bicara secara aturan lagi."
"Kutahu," ucap Sun-hoan dengan rawan, "demi anaknya sendiri, apa pun pantas dilakukan oleh
seorang ibu."
Ia tersenyum kecut, lalu menambahkan pula, "Meski aku tidak pernah menjadi ibu orang, sedikitnya
sudah pernah menjadi putra orang ...."

*****

Arak dapat menghibur hati yang duka, tapi juga dapat menambah hati nan lara.
Pemeo ini sering diungkapnya dalam berbagai syair kuno. Akan tetapi sebenarnya tidak seluruhnya
tepat.
Minum arak dalam jumlah sedikit lebih banyak menambah murung, lebih mudah mengingatkan halhal yang menyedihkan. Tapi bilamana dia benar-benar mabuk, maka pikirannya dan perasaannya
akan menjadi lumpuh seluruhnya. Lalu tidak ada sesuatu lagi di dunia ini yang dapat membuatnya
menderita.
Li Sun-hoan sangat paham akan hal ini, maka sedapatnya ia ingin minum sampai mabuk.
Untuk mabuk bukanlah pekerjaan yang sulit, tapi seorang bila terlalu banyak menanggung hal-hal
yang mendukakan hati dan tambah sering mabuk, maka pada waktu sengaja hendak minum hingga
mabuk terkadang justru mengalami kesulitan malah.
Malam sudah larut, arak pun sudah banyak mengalir ke perut, namun Li Sun-hoan masih belum ada
tanda-tanda akan mabuk.
Mendadak ia merasa orang lain juga tidak ada yang mabuk, padahal belasan orang Kangouw minum
bersama, sampai jauh malam masih juga belum ada seorang pun yang mabuk, hal ini sungguh
peristiwa luar biasa.
Semakin jauh malam, air muka semua orang pun semakin cemas, setiap orang sama melongaklongok ke luar, seakan-akan sedang menantikan kedatangan seseorang.
Tiba-tiba terdengar kentongan berbunyi tiga kali, itulah tandanya sudah tengah malam.
Tanpa terasa air muka semua orang sama berubah, ada yang berseru, "Wah, sudah tengah malam,
mengapa Tio-toaya belum lagi pulang?"
Li Sun-hoan berkerut kening, tanyanya, "Orang macam apakah Tio-toaya ini? Masa kalian mesti
menunggu kepulangannya barulah kalian mau minum arak?"
"Terus terang, Li-tamhoa," seorang menjawab dengan tersenyum, "apabila Tio-toaya tidak pulang,
sungguh arak ini tidak dapat kami minum."
Seorang lagi menambahkan, "Tio-toaya ini adalah Tio Cing-ngo yang berjuluk Thi-bin-bu-su
(bermuka besi tanpa mementingkan diri sendiri), beliau juga saudara angkat Liong-siya kita,
masakah Li-tamhoa tidak tahu?"
"Aha, sepuluh tahun tidak berjumpa, rupanya Toako telah banyak mengikat persaudaraan lagi

dengan para tokoh termasyhur ini, harus kuberi selamat kepada Toako, marilah habiskan secawan
ini," seru Sun-hoan dengan tertawa.
Muka Liong Siau-hun tampak merah, jawabnya terpaksa, "Saudaraku kan juga saudaramu, biarlah
aku pun menghormati engkau satu cawan."
"Ya, betul juga," ujar Sun-hoan dengan tertawa, "tak terduga mendadak aku bertambah beberapa
Toako juga, cuma entah para ksatria besar ini sudi, mengakui saudara jelek sebagai diriku ini atau
tidak?"
"Haha, biarpun mereka sengaja mencari saudara seperti dirimu juga sukar diperoleh, masakah
mereka tidak mau mengakui saudara padamu?" ujar Siau-hun dengan terbahak.
"Tapi ...." entah apa yang hendak dikatakan Sun-hoan, tiba-tiba ia berganti ucapan, "Selamanya
Tio-toaya terkenal Thi-bin-bu-su, konon sepanjang tahun beliau juga jarang tertawa. Bila dia
datang, mungkin aku akan ketakutan sehingga sukar lagi minum arak, tapi kalian justru harus
menunggu kedatangannya baru mau minum."
Semua orang terdiam, juga Liong Siau-hun.
Setelah termenung sejenak, tiba-tiba Siau-hun berkata dengan serius, "Kini Bwe-hoa-cat telah
muncul lagi di dunia Kangouw ...."
"Berita ini sudah kudengar," potong Sun-hoan.
"Tapi tahukah Hiante (adik bijaksana) saat ini Bwe-hoa-cat (bandit bertanda bunga sakura) itu
berada di mana?"
"Kabarnya jejak orang ini sukar dicari ...."
"Betul, jejak orang ini memang tidak menentu," Siau-hun juga memotong ucapan Sun-hoan. "Tapi
kutahu dengan pasti saat ini dia berada dalam kota Poting, bahkan bisa jadi sudah berada di sekitar
tempat kita ini."
Ucapan ini membuat semua orang sama, waswas, jelas nama Bwe-hoa-cat cukup ditakuti mereka.
Mau tak mau Li Sun-hoan menjadi prihatin juga, ucapnya, "Jangan-jangan dia sudah pernah muncul
di sini?"
"Betul," tutur Siau-hun dengan gegetun, "Putra sulung Cin Hau-gi, Cin-samko, kemarin malam
sudah dilukai olehnya."
"Di mana dia turun tangan?" tanya Sun-hoan.
"Di belakang taman tempat kita ini," jawab Siau-hun.
"Siapa lagi yang dicelakainya?"
"Mungkin Hiante belum tahu, setiap malam bandit ini biasanya cuma mencelakai satu orang saja,
bahkan tidak mau turun tangan sebelum lewat tengah malam," Siau-hun tersenyum, lalu
menyambung, "Caranya, membunuh orang serupa saja cara orang minum arak, pakai waktu
tertentu dan juga pakai takaran."
Sun-hoan juga tertawa, tapi tertawanya tidak membuat ringan beban pikirannya. Ia berpikir

sejenak, lalu bertanya pula, "Lantas apa yang terjadi semalam?"


"Semalam justru aman tenteram," jawab Siau-hun.
"Jika demikian, mungkin sasarannya cuma Cin-toasiauya saja, selanjutnya mungkin dia takkan
datang lagi," ujar Sun-hoan.
"Tidak," Siau-hun menggeleng kepala, "cepat atau lambat dia masih akan datang."
"Sebab apa?" Sun-hoan berkerut kening, "Memangnya dia ada permusuhan dengan Toako?"
Kembali Siau-hun menggeleng kepala, "Tidak, sasarannya bukanlah Cin Tiong, dan juga bukan
diriku"
"Habis si ... siapa?" seru Sun-hoan.
"Yang menjadi sasarannya ialah Lim ...."
Mendengar perkataan "Lim", air muka Sun-hoan seketika berubah. Akan tetapi yang diucapkan
Liong Siau-hun bukanlah "Lim Si-im" melainkan "Lim Sian-ji".
Diam-diam Sun-hoan menghela napas lega, tanyanya kemudian, "Lim Sian-ji? Siapa dia?"
"Haha, saudaraku, apabila Lim Sian-ji saja tidak kau ketahui, maka tampaknya kau memang benar
sudah tua," seru Siau-hun dengan tertawa "Bila hal ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, kuyakin
nama Lim Sian-ji pasti akan kau kenal, lebih kenal daripada siapa pun."
"Wah, jangan-jangan dia seorang perempuan cantik?" ujar Sun-hoan dengan tersenyum.
"Bukan saja cantik, bahkan sudah diakui oleh umum sebagai wanita paling cantik di dunia persilatan
masa kini," tukas Siau-hun. "Entah betapa banyak ksatria muda dunia Kangouw yang tergila-gila
padanya ...."
Dia tuding beberapa orang di sebelahnya, lalu menyambung dengan tertawa, "Haha, kau kira
mereka datang kemari untuk meramaikan tempatku ini? Andaikan Lim Sian-ji tidak berada di sini,
biarpun setiap hari kujamu mereka dengan santapan Yan-oh (sarang burung) dan Hi-sit (sirip ikan
hiu) juga belum pasti mereka mau berkunjung kemari."
Muka beberapa orang itu menjadi merah. Dua pemuda berbaju perlente di antaranya menjadi
tersipu-sipu.
Liong Siau-hun menepuk pundak mereka keras-keras, ucapnya pula dengan tertawa, "Mujur juga
nasib kalian, paling tidak besar harapan kalian akan terkabul, coba kalau saudaraku ini lebih muda
sepuluh tahun, tidak nanti kalian akan mendapat bagian."
Li Sun-hoan bergelak tertawa, " Eh, memangnya Toako mengira aku sudah tua? Meski tua
orangnya, tapi hatiku belum tua."
"Betul, betul!" Siau-hun terbahak-bahak, "meski tidak sedikit pemuda yang menyembah di bawah
gaunnya, tapi kecuali dirimu mungkin tiada orang lain lagi yang punya harapan."
"Tapi sayang, sudah sepuluh tahun kurendam diriku di dalam guci arak, keterampilanku mungkin
sudah jauh ketinggalan," ujar Sun-hoan dengan tersenyum getir.

Siau-hun menggenggam tangannya erat-erat, ucapnya, "Agaknya Hiante tidak tahu, nona Sian-ji ini
bukan saja secantik bidadari, bahkan berbudi luhur, dia tidak mau menikah dengan siapa pun, tapi
telah dikeluarkannya pernyataan, barang siapa, asalkan mampu menumpas. Bwe-hoa-cat, biarpun
orang itu kakek-kakek, bopeng atau pincang takkan dipedulikannya, tetap dapat memperistrikan
dia."
"O, mungkin lantaran inilah, maka Bwe-hoa-cat itu bertekad akan melenyapkan nona itu," kata
Sun-hoan.
"Memang betul," ucap Siau-hun dengan gegetun, "kedatangan Bwe-hoa-cat itu kemarin malam
jelas juga hendak mencari dia, tak tersangka kebetulan Cin Tiong berada di sana sehingga dia yang
menjadi tumbalnya."
"Oo, apakah Cin-toasiauya juga salah seorang pengagum nona Sian-ji?" tanya Sun-hoan dengan
mata terbelalak.
Siau-hun tersenyum kecut, ucapnya, "Tadinya dia memang punya harapan, tapi sayang
sekarang ...."
"Paviliun di taman sana sudah kesepian sekian tahun, sekarang didiami oleh nona Lim, kuyakin
suasana pasti tambah ramai, buktinya tengah malam buta toh ada anak muda yang mondar-mandir
di sana," ujar Sun-hoan dengan tertawa.
Muka Siau-hun menjadi merah, "Paviliun itu adalah bekas tempat kediaman Hiante, mestinya tidak
boleh kuberikan kepada orang lain, namun ... namun ...."
"Bilamana tempat itu dapat didiami si cantik, itu kan tambah cemerlang, tentunya tidak cocok lagi
didiami oleh pemabukan seperti diriku ini," dengan sinar mata mencorong ia tatap Liong Siau-hun,
lalu menyambung dengan tersenyum, "Akan tetapi aku jadi ingin tahu ada hubungan apakah antara
nona Lim ini dengan Toako?"
Siau-hun berdehem, kemudian menjawab, "O, dia ... dia berkenalan dengan Si-im waktu
bersembahyang di kelenteng, karena keduanya cocok satu sama lain, mereka lantas mengangkat
saudara, seperti halnya kita dahulu."
Sun-hoan tampak rada melenggong, tanyanya, "Apakah Koankeh yang kulihat di luar tadi adalah
ayahnya?"
"Tak kau sangka bukan?" Siau-hun tersenyum. "Memang siapa pun tidak menduga ayah semacam
itu dapat melahirkan putri demikian, ini namanya cenderawasih lahir di sarang gagak."
"Dan Tio-toaya yang Thi-bin-bu-su itu sengaja pergi mengundang bala bantuan untuk melindungi
nona Lim? Wah, tampaknya Tio-toaya sekarang juga tahu kasih sayang terhadap si cantik."
Siau-hun seperti tidak memperhatikan nada mengejek ucapan Sun-hoan, katanya pula, "Maksud
Tio-lotoa selain hendak melindungi Sian-ji, juga kesempatan ini akan digunakannya untuk hartawan
dunia persilatan daerah Tionggoan untuk menumpas Bwe-hoa-cat. Apalagi beberapa keluarga sudah
menyediakan dana yang cukup besar untuk menangkap si bandit. Dana ini sekarang juga tersedia di
tempatku, apabila terjadi kehilangan, mungkin siapa pun tidak dapat menggantinya."
Sampai di sini barulah Sun-hoan terkesiap, serunya, "Dan mengapa Toako mau memikul kewajiban
ini?"
"Jika ada beban, terpaksa harus ada yang pikul," ujar Siau-hun dengan gegetun.

Sampai sekian lama Sun-hoan termenung, kemudian ia bergumam, "Sekarang sudah jauh malam,
entah malam ini Bwe-hoa-cat akan muncul atau tidak?"
Mendadak ia berbangkit dan berkata pula, "Tio-tonya belum lagi pulang, jika arak para hadirin tak
dapat diminum, biarlah kesempatan ini kugunakan untuk berkeliling di tempat ini sekadar
menjenguk kenalan lama."
"Yang hendak dijenguk Hiante mungkin bukan kenalan lama melainkan Bwe-hoa-cat itu," ujar Siauhun dengan dahi berkernyit.
Sun-hoan hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
"Engkau tetap hendak menyerempet bahaya seorang diri?" tanya Siau-hun pula.
Sun-hoan tetap tersenyum tanpa bicara.
Siau-hun memandangnya lekat-lekat sejenak, mendadak ia bergelak tertawa, "Haha, bagus, bagus!
Kutahu watakmu, bilamana engkau sudah bertekad ingin melakukan sesuatu, maka siapa pun tidak
dapat merintangi kehendakmu. Apalagi, bila Bwe-hoa-cat itu mengetahui Li-tamhoa berada di sini,
mungkin dia tak berani muncul lagi ke sini."
Bunga Bwe masih mekar semarak di taman belakang, bahkan seperti tambah subur daripada
sepuluh tahun yang lalu. Akan tetapi bagaimana sepuluh tahun yang lalu?
Biarpun manusianya sama bangganya dengan bunga Bwe yang tetap mekar itu, namun mana tahan
oleh berlarutnya sang waktu? Bunga yang layu masih dapat tumbuh dan mekar lagi, tapi manusia?
Bilamana masa remaja manusia sudah lalu, siapa pula yang mampu menyusulnya kembali?
Sun-hoan berdiri termangu di situ, memandangi kelip sinar lampu di kejauhan. Kelip lampu dari
gedung itu.
Sepuluh tahun yang lalu gedung ini adalah miliknya, orang yang berada di dalam gedung itu pun
miliknya.
Akan tetapi sekarang semua itu sudah lalu bersama dengan masa remajanya dan tidak dapat
disusul kembali untuk selamanya. Yang tersisa sekarang hanya kenangan belaka, kenangan yang
pedih dan kesepian.
Setelah melintasi jembatan kecil yang tertutup salju, sampailah dia di sebidang hutan bunga Bwe.
Di ujung hutan sana menongol juga ujung genting sebuah loteng kecil, inilah tempat sekolah dan
belajar pedang Li Sun-hoan masa dahulu, loteng ini berhadapan dengan loteng kecil di kejauhan
sana.
Bilamana cuaca cerah, asalkan dia membuka daun jendela, akan terlihatlah kerlingan mata sang
kekasih di atas loteng di depan sana.
Akan tetapi sekarang ....
"Cinta yang kental akan mengencer kembali," Li Sun-hoan menghela napas dan mengebas bunga
salju uang hinggap di tubuhnya, dengan rawan ia menyeberangi jembatan kecil itu, menghancurkan
timbunan salju di atas jembatan.

Suasana di taman sunyi senyap, tiada bayangan manusia, juga tidak ada suara orang. Lewat tengah
malam adalah waktunya muncul Bwe-hoa-cat pada setiap saat, siapa lagi yang mau tinggal di
taman yang sepi ini?
Perlahan Li Sun-hoan menuju ke paviliun di hutan Bwe sana. Tujuannya bukan untuk menjenguk si
cantik Lim Sian-ji yang tiada bandingannya itu, ia tahu pada waktu demikian Lim Sian-ji pasti juga
takkan tinggal di sini. Dia cuma ingin melihat bekas tempat tinggalnya. Orang yang kesepian acap
kali akan merasa segala sesuatu pada masa lampau pantas dikenang kembali.
Pada saat itulah, di tengah hutan Bwe yang sunyi itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
Seketika timbul semangat Li Sun-hoan, dalam sekejap itu tubuhnya seakan-akan penuh tenaga,
segesit kucing ia menubruk ke arah suara tertawa itu. Dia seperti mendengar suara jeritan kaget
seorang perempuan, cuma suara jeritan itu sangat lirih.
Menyusul lantas dilihatnya sesosok bayangan putih kabur ke sana, sebaliknya sesosok bayangan
hitam lantas menerjang ke arahnya.
Perawakan orang ini tinggi besar, daya terjangnya sangat kuat, masih dua-tiga tombak jauhnya
sudah dirasakan angin pukulan yang dingin dan kuat menyambar ke mukanya. Segera Li Sun-hoan
tahu yang dilatih orang ini adalah sejenis ilmu pukulan dahsyat yang aneh, tenaga pukulannya
sudah mencapai tingkat kelas satu.
Bwe-hoa-cat? Jangan-jangan orang inilah si bandit bunga Bwe?!
Li Sun-hoan tidak mau menangkis serangan musuh dengan keras lawan keras. Kalau tidak dalam
keadaan terpaksa, selamanya dia tidak mau membuang tenaga untuk mengadu pukulan dengan
orang. Sebab ia merasa tenaganya jauh lebih berharga daripada orang lain.
Pernah seorang kawan berkeras mengajak adu pukulan dengan dia, tapi berulang-ulang Li Sunhoan menolak. Kawannya bertanya sebab apa dia tidak mau. Sun-hoan menjawab secara
diplomatis, "Aku bukan kerbau, untuk apa, harus kuadu tenaga denganmu?"
Baginya, ilmu silat juga semacam seni, andaikan tidak dapat mencapai puncaknya kesempurnaan,
sedikitnya harus dapat menguasainya dengan baik. Jika sedikit-sedikit maut adu tenaga, lalu apa
bedanya dengan kerbau yang bodoh itu?
Tapi terhadap kawan dia dapat menolak mengadu tenaga, namun sekarang orang ini seakan-akan
sengaja hendak membinasakan dia dengan pukulannya yang dahsyat, hampir semua jalan
mundurnya sudah terkurung rapat oleh tenaga pukulan hebat ini.
Apalagi kedua orang sama-sama sedang menerjang ke depan, kalau ingin mengelak dalam detik
sesingkat ini, andaikan dapat juga pasti akan memberi kesempatan kepada pihak lawan untuk
melancarkan serangan kedua, dan untuk pukulan susulan ini jangan harap lagi akan dapat
menghindarnya.
Namun Sun-hoan tetap mengelak, mendadak tubuhnya menyurut mundur. Perubahan gerak
tubuhnya sungguh jauh lebih lincah dan gesit daripada ikan di dalam air.
Orang berbaju hitam itu membentak, tenaga pukulannya mendampar tiba pula. Tapi Sun-hoan
sempat mendoyong ke belakang, tubuhnya hampir menempel tanah, tangannya tidak kelihatan
bergerak, tapi pisaunya sudah menyambar ke depan.
Sinar pisau berkelebat laksana meteor di malam gelap.

Mendadak orang berbaju hitam itu meraung seperti binatang buas terluka, serentak ia melompat
mundur dan lari secepat terbang ke balik hutan sana.
Sekali melejit Sun-hoan sudah berdiri tegak pula, dia berdiri dengan tenang di tempatnya, sama
sekali tiada bermaksud mengejar.
Tapi sebelum orang berbaju hitam itu kabur ke luar hutan, lebih dulu ia sudah roboh terjungkal.
Sun-hoan menggeleng kepala dan menghela napas, perlahan ia mendekatinya, dilihatnya darah
berceceran sepanjang jalan dan orang berbaju hitam itu terkapar di ujung jalan sana. Kedua
tangannya memegang erat leher sendiri, darah segar masih merembes keluar dari sela-sela jarinya,
pisau kecil yang mengkilat itu sudah tercabut dan terlempar di sampingnya.
Pisau itu dijemput kembali oleh Sun-hoan, ia pun melihat wajah orang berbaju hitam yang
berkejang dan menderita itu, ia menghela napas kecewa, katanya, "Jika kau bukan Bwe-hoa-cat,
mengapa kau paksa aku turun tangan?"
Orang itu menggereget, tenggorokannya mengorok, tapi tidak dapat berbicara.
"Meski tidak kau kenal diriku, tapi kukenal dirimu," kata Sun-hoan. "Kau murid tertua In Gok,
sepuluh tahun yang lalu sudah pernah kulihat dirimu, barang siapa cukup kulihat satu kali saja dan
selamanya takkan kulupakan."
"Aku ... aku pun kenal kau!" orang itu meronta-ronta dan berucap dengan suara parau.
"Jika kau kenal diriku, kenapa hendak kau bunuh aku?" ujar Sun-hoan menyesal. "Masakah hendak
kau bunuh diriku untuk menghilangkan saksi? Padahal biarpun kau datang ke sini untuk
mengadakan hubungan gelap dengan orang, hal ini kan juga bukan sesuatu yang haram?"
Orang itu terengah-engah dengan sorot mata yang penuh rasa benci, biji matanya melotot seakanakan meloncat keluar, dia seperti ingin bicara apa-apa lagi, tapi sedikit ia meronta, kembali darah
segar muncrat pula dari lukanya.
Sun-hoan menggeleng kepala, gumamnya, "Kutahu pasti ada rahasia apa-apa yang tidak dapat
diketahui orang lain, maka tanpa tanya ini dan itu segera hendak kau bunuh diriku untuk
menghilangkan saksi. Mungkin tadi tidak terpikir olehmu sasaran yang hendak kau bunuh adalah
diriku."
Ia menghela napas lagi, lalu sambungnya, "Kau ingin membunuhku, makanya kubunuh dirimu, kau
salah sasaran, aku pun salah bunuh ...."
Mendadak orang itu meraung pula terus menubruk ke arah Li Sun-hoan.
Tapi Sun-hoan hanya memandangnya dengan tenang tanpa bergerak, tampaknya tangan orang itu
sudah hampir mengenai dada Li Sun-hoan, namun segera "bluk", jatuh terkapar dan tak bergerak
lagi untuk selamanya.
Sun-hoan tetap memandangnya dengan tenang, sampai sekian lamanya barulah ia berucap sambil
mengernyitkan dahi, "Malam kemarin adalah putra Cin Hau-gi, malam ini murid In Gok, tampaknya
waktu luang nona Lim Sian-ji ini cukup banyak, pandangannya juga tajam, yang berkencan dengan
dia semuanya anak murid tokoh ternama. Namun anak dara mana yang tidak berahi? Dan jejaka
mana yang tidak bergairah? Ini kan bukan sesuatu pelanggaran hukum, kenapa dia takut kepergok
orang? Masakah di balik hal ini terdapat sesuatu rahasia?"

Paviliun yang bernama Ling-hiang-siau-tiok itu masih diterangi oleh cahaya lampu, bayangan putih
tadi justru berlari ke arah sana, potongan badan bayangan itu kelihatan ramping, mungkinkah dia
Lim Sian-ji?
Sambil termenung Li Sun-hoan lantas melangkah ke sana. Gemerdep sinar matanya, dia seperti
menemukan sesuatu peristiwa yang sangat menarik.
Angin berembus, ranting Bwe bergoyang, bunga salju jatuh bertebaran.
Sekonyong-konyong selapis timbunan salju tergetar muncrat oleh semacam tenaga yang tidak
kelihatan, menyusul sinar perak berkelebat, langsung menusuk punggung Li Sun-hoan.
Tusukan pedang ini datangnya cepat sekali, hawa pedang bergolak, lihai luar biasa, biarpun
menusuk dari depan juga sukar untuk ditangkis, apalagi sekarang bagian punggung yang disergap.
Sun-hoan memakai mantel kulit, namun masih terasa dingin hawa pedang yang menyayat kulit
badan. Saat itu ujung pedang telah merobek mantel kulitnya.
Pada malam dingin dan sunyi ini, di tengah hutan Bwe yang sepi, ternyata setiap saat dan setiap
tempat selalu sudah menunggu orang yang hendak membinasakan dia. Padahal sudah sepuluh
tahun dia merantau dan baru sekarang pulang.
Apakah ini sebagai tanda penyambutan selamat pulangnya?
Jika Li Sun-hoan berkelit ke kiri, iga kanan tentu akan ditembus oleh ujung pedang, bila mengelak
ke kanan, iga kiri yang akan berlubang. Kalau menghindar ke depan, tepat di tengah punggung
yang akan tertembus, sebab betapa pun dia berkelit tetap tidak bisa lebih cepat daripada pedang
ini.
Sudah ratusan kali Sun-hoan berpengalaman tempur, tapi belum pernah menemui pedang secepat
ini.
"Crit", ujung pedang sudah menembus mantel kulit Li Sun-hoan. Tapi pada detik berbahaya itu Sunhoan sempat menggeser ke samping, ketika mata pedang yang dingin menempel kulit badannya, ia
merasa bulu roma sama berdiri.
Sudah ratusan kali pengalaman tempurnya, tapi ia pun tidak pernah sedemikian dekat dengan liang
kubur seperti sekarang ini.
Setelah tusukannya mengenai tempat kosong, agaknya pihak lawan juga terkejut, segera pedang
berputar terus menabas ke samping, tapi pisau Li Sun-hoan telah mendahului memotong
pergelangan tangannya.
Sungguh tak terperikan kecepatan pisau ini sehingga sama sekali tidak memberi peluang bagi lawan
untuk menghindar. Keruan kejut orang itu tak terhingga, pedang pun terlepas, orangnya terus
melayang ke sana.
Pisau Li Sun-hoan sudah terangkat pula. Bila pisau menyambar lagi, siapa lagi di dunia ini yang bisa
lebih cepat daripada pisau si Li.
Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak seorang berteriak, "Hei, berhenti, saudaraku!"
Itulah suara Liong Siau-hun.

Sun-hoan melenggong, Liong Siau-hun sudah menerobos masuk hutan, orang tadi pun sudah
berdiri tegak lagi, ternyata seorang pemuda berbaju perlente dan bermuka pucat.
Liong Siau-hun berdiri di antara pemuda itu dan Li Sun-hoan, ucapnya sambil mengentakkan kaki,
"Ai, kenapa kalian berdua sampai bergebrak?"
Gemerdep sinar mata pemuda berbaju perlente itu, dalam kegelapan kelihatan seperti mata burung
hantu.
Dia melototi Li Sun-hoan dan mendengus, "Di luar hutan ada orang mati, kukira yang berada di
dalam hutan tentulah Bwe-hoa-cat?"
Sun-hoan tertawa, "Kenapa tidak kau sangka orang mati itu sebagai Bwe-hoa-cat?"
"Rasanya Bwe-hoa-cat tidak semudah itu akan mati di tangan orang lain," jengek pemuda itu.
"O, memangnya Bwe-hoa-cat itu harus menunggu kematiannya di bawah tangan Anda, begitu?"
tanya Sun-hoan, "Cuma sayang ...."
Tiba-tiba Liong Siau-hun menyela dengan tertawa. "Ah, sudahlah, jangan kalian omong lagi. Semua
ini hanya karena salah paham belaka, untung kudatang tepat pada waktunya, kalau tidak, dua
harimau berkelahi pasti ada yang cedera, akibatnya tentu tidak enak."
Sun-hoan tersenyum, ia cabut pedang yang masih menyelip dalam mantel kulitnya, perlahan ia
sentil batang pedang itu hingga menerbitkan suara mendenging. "Ehm, pedang bagus!" pujinya
dengan tersenyum.
Lalu ia mengangsurkan pedang itu dengan kedua tangan dan menambahkan, "Pedangnya pilihan,
orangnya pasti juga jagoan. Meski pertemuan ini karena salah paham, tapi kurasakan suatu
kehormatan besar. Betapa pun tidak setiap orang dapat berkenalan dengan pedang seorang
jagoan!"
Muka si pemuda yang pucat tadi menjadi merah, mendadak ia rebut pedang itu, sekali disendal,
"creng", kembali terbit suara mendenging, pedang telah patah menjadi dua.
"Ah, pedang sebagus itu, kan sayang dipatahkan?!" ujar Sun-hoan dengan gegetun.
Sejak tadi mata anak muda itu terus-menerus melototi Li Sun-hoan, ucapnya dengan suara bengis,
"Tanpa pedang ini tetap dapat kubunuh orang, tidak perlu Anda ikut urus pedangku."
"Wah, tahu begitu, tentu pedang itu tidak perlu kukembalikan kepadamu, sedikitnya pedang ini
dapat kutukarkan seperangkat baju untuk menahan dingin."
"Untuk ini Anda pun tidak perlu khawatir," jengek anak muda itu. "Jangankan cuma kurobek sehelai
mantel kulitmu, biarpun sepuluh atau dua puluh mantel seperti itu juga dapat kuganti sepenuhnya."
"Tapi mantelku ini mungkin sukar bagi Anda untuk mencari gantinya," ujar Sun-hoan.
"Oo, apakah mantelmu ini ada keistimewaannya?" tanya anak muda itu.
"Keistimewaan sih tidak ada, cuma mantelku bermata." ucap Sun-hoan dengan sungguh-sungguh.
Pemuda itu melengak, tapi ia, lantas tertawa dingin, "Hehe, sungguh lucu! Anda sungguh seorang

pelawak, ternyata ada mantel yang bermata!"


Sun-hoan tersenyum, "Kalau mantelku tidak bermata, cara bagaimana sanggup menghindar
tusukan pedangmu dari belakang?"
Seketika air muka anak muda itu berubah, tangannya sampai gemetar menahan gusar.
Liong Siau-hun lantas berdehem dan menyela dengan tertawa, "Ah, kalian sama-sama suka
berkelakar. Padahal Siaucengcu Cong-liong-san-ceng pasti tidak menghiraukan sebatang pedang
yang tidak ada artinya ini, dan saudaraku ini masakah memikirkan sepotong mantel kulit begini?"
"Ah, kiranya yang kuhadapi ialah Yu-siaucengcu?!" seru Sun-hoan.
"Betul," tukas Liong Siau-hun, "Yu-heng bukan saja putra kesayangan Cong-liong-lojin, dia juga
satu-satunya ahli waris jago pedang nomor satu jaman kini Soat-eng-cu dari Thian-san. Kalian
berdua sama-sama ksatrianya jaman, selanjutnya kalian perlu berdekatan lebih rapat."
Mata Yu Liong-sing masih melototi Li Sun-hoan, jengeknya, "Berdekatan sih tidak berani, cuma
ingin kutahu juga nama sahabat ini ...."
"Kiranya Yu-heng belum kenal saudaraku ini," tutur Liong Siau-hun dengan tertawa. "Dia she Li,
namanya Sun-hoan, di jaman ini kalau ada orang yang setimpal menjadi sahabat Yu-heng, kukira
tidak ada orang lain kecuali saudaraku ini."
Nama Li Sun-hoan membuat air muka Yu Liong-sing rada berubah, matanya sekarang menatap
pisau yang dipegang Sun-hoan, sampai lama pisau itu masih dipandangnya.
Li Sun-hoan sendiri tidak memperhatikan apa yang dipercakapkan mereka, matanya memancarkan
cahaya yang aneh pula, ia berkomat-kamit sendiri seakan-akan sedang bergumam, "Kembali
seorang anak tokoh ternama lagi ...."
Pada saat itulah mendadak seorang menerobos tiba sambil berteriak, "Hei, siapa yang membunuh
orang di luar itu?"
Tulang pelipis orang ini menonjol tinggi, jenggotnya putih tapi jarang-jarang dan bermulut lebar
yang agak erot sehingga kelihatannya cukup kereng, tapi juga rada kejam tampaknya. Kiranya dia
inilah Tio Cing-ngo, si muka besi mahaadil yang disegani setiap orang Kangouw.
Sun-hoan tertawa dan menanggapi ucapannya, "Kecuali aku, siapa lagi?"
Sinar mata Tio Cing-ngo setajam sembilu melototi Sun-hoan, "Jadi kau?! Memang seharusnya
sudah kuduga akan dirimu. Ke mana pun kau tiba selalu menimbulkan banjir darah."
"Apakah orang itu tidak pantas dibunuh?" tanya Sun-hoan.
"Apakah kau tahu siapa dia?" Tio Cing-ngo balas bertanya.
"Cuma sayang dia bukan Bwe-hoa-cat," kata Sun-hoan.
"Jika kau tahu dia bukan Bwe-hoa-cat, kenapa kau tetap turun tangan keji padanya?"
Dengan tak acuh Sun-hoan menjawab, "Meski sebenarnya aku tidak ingin membunuhnya, tapi aku
pun tidak mau dibunuh olehnya. Apa pun juga, membunuh kan lebih baik daripada terbunuh?"

"Jadi dia hendak membunuhmu lebih dulu?" tanya Tio Cing-ngo.


Sun-hoan mengangguk.
"Tanpa alasan, mengapa dia hendak membunuhmu?"
"Aku sendiri juga sangat heran, ingin kutanya dia, tapi sayang dia tidak menghiraukan diriku."
"Mengapa tidak kau tawan dia hidup-hidup saja?" tanya Tio Cing-ngo dengan gusar.
"Aku pun ingin menawannya hidup-hidup, cuma sayang, pisauku ini tidak mau diajak kompromi,
sekali pisauku sudah menyambar, apakah lawan akan hidup atau mati, aku sendiri pun tidak
berkuasa lagi."
Tio Cing-ngo mengentak kaki, teriaknya, "Setelah kau keluar perbatasan negeri, kenapa kau pulang
lagi ke sini?"
"Sebab aku terkenang kepada Tio-toaya, saking rindunya aku jadi perlu pulang kemari untuk
menjenguk dirimu."
Sampai gemetar Tio Cing-ngo menahan emosinya, ia tuding Liong Siau-hun dan berteriak, "Bagus,
bagus sekali, inilah gara-gara saudaramu yang baik ini, orang lain tidak perlu ikut campur."
"Ai, ada urusan apa dapat dibicarakan dengan baik, buat apa Toako marah-marah begini," kata
Liong Siau-hun dengan tertawa.
"Apa pula yang perlu dibicarakan!" seru Tio Cing-ngo. "Menghadapi seorang Bwe-hoa-cat saja sudah
cukup memusingkan kepala, sekarang harus bertambah lagi seorang In Gok, siapa yang tahan?!"
Tiba-tiba Sun-hoan menjengek, "Betul, akulah yang membunuh Ku Tok, murid kesayangan In Gok,
jika diketahui In Gok tentu dia akan menuntut balas, tapi yang akan dicarinya kan cuma diriku
seorang saja, untuk apa Tio-toaya mesti ikut khawatir?"
Mendadak Liong Siau-hun juga berkata, "Tengah malam buta Ku Tok datang ke sini, jelas tidak
bermaksud baik, bila saudaraku telah membunuhnya kan juga pantas, andaikan kepergok olehku,
mungkin aku pun akan membunuhnya."
Tanpa menunggu selesai ucapannya, segera Tio Cing-ngo melengos dan melangkah pergi dengan
mendongkol.
Tiba-tiba si pemuda perlente, Yu Liong-sing, berucap, "Betapa pun Tio-toaya sudah tua, wataknya
tambah keras, tapi nyalinya bertambah kecil. Padahal biarpun In Gok datang kemari kenapa mesti
ditakuti? Kan kebetulan dapat kita saksikan betapa hebatnya si pisau kilat Li-tamhoa?"
Dengan tak acuh Sun-hoan menanggapi, "Jika Anda benar-benar ingin tahu, sebenarnya juga tidak
perlu menunggu sampai datangnya In Gok!"
Seketika air muka Yu Liong-sing berubah, seperti ingin bicara lagi, tapi setelah memandang sekejap
pisau di tangan Li Sun-hoan, ia urung bersuara, segera ia pun melengos dan pergi.
Liong Siau-hun seperti hendak memburu ke sana, tapi tidak jadi, ia geleng-geleng kepala dan
berkata, "Ai, saudaraku, kenapa engkau bertindak demikian? Seumpama kau pandang hina mereka
dan tidak sudi berkawan dengan mereka, kan juga tidak perlu menyinggung perasaan mereka."

Sun-hoan tertawa, ucapnya, "Toh sudah lama mereka menganggap diriku ini tidak ada gunanya
lagi, apakah kusinggung perasaan mereka atau tidak kukira sama saja. Lebih baik terang-terangan
kuenyahkan mereka dan habis perkara."
"Ai, sahabat kan lebih baik bertambah satu daripada berkurang satu," ujar Liong Siau-hun dengan
gegetun.
"Tapi di dunia ada berapa orang yang pantas disebut sahabat sejati? Kalau sahabat seperti Toako,
satu saja sudah lebih dari cukup."
Siau-hun terbahak-bahak, ia tepuk pundak Sun-hoan dengan keras dan berkata, "Bagus,
saudaraku, asalkan mendengar ucapanmu ini, biarpun kuputus hubungan dengan semua sahabat
lain juga berharga."
Karena terharunya, kembali Li Sun-hoan terbatuk-batuk lagi.
Siau-hun berkerut kening, "Sudah sekian tahun, batukmu masih ...."
Sun-hoan seperti tidak suka orang menyinggung urusan ini, cepat memotong ucapannya, "Sekarang
aku cuma ingin bertemu dengan satu orang."
"Siapa?" tanya Siau-hun. Ia mengerling dan menyambung sebelum Sun-hoan menjawab, "Lim Sianji bukan?"
Sun-hoan tertawa. "Toako, sungguh cuma engkau adalah sahabatku yang karib."
"Haha, memang sudah kuduga cepat atau lambat kau pasti ingin menemui dia," ucap Siau-hun
dengan tertawa cerah. "Jika si cantik nomor satu di dunia ini tidak kau temui, maka Li Sun-hoan
bukan lagi Li Sun-hoan."
Sun-hoan hanya tersenyum saja, seakan-akan mengaku secara diam-diam.
Akan tetapi apa yang terpikir di dalam hatinya, kecuali dia sendiri mungkin tidak ada orang yang
tahu.
Segera Liong Siau-hun menariknya menuju ke luar, katanya dengan tertawa, "Tapi kalau hendak
kau cari dia di sini, jelas kau salah alamat. Sebab sejak peristiwa kemarin malam, dia tidak berani
tinggal lagi di paviliun ini."
"Oo?!" Sun-hoan rada heran.
"Sudah dua malam dia selalu berada bersama Si-im," kata Siau-hun pula. "Kebetulan dapat kau
jenguk Si-im sekalian .... Ai, betapa pun dia seorang perempuan, tidak ada alangannya kau pergi ke
sana sekadar menghiburnya."
Sama sekali ia tidak memperhatikan sorot mata Li Sun-hoan yang menderita, ia menghela napas
dan menyambung pula, "Sesungguhnya, dia juga tahu betapa nakalnya anak In, dia pasti tidak
benar-benar marah padamu."
Sun-hoan tersenyum, katanya, "Tapi kita sudah datang ke sini, bolehlah kita coba melongok paviliun
itu, bisa jadi nona Lim itu sudah pulang sekarang."
"Baik juga," ucap Liong Siau-hun dengan, tertawa. "Agaknya kalau malam ini tidak kau temui dia,
mungkin tidak dapat kau tidur nyenyak."

Sun-hoan tetap tersenyum tanpa menanggapi. Akan tetapi sinar matanya gemerdep, seperti
menyembunyikan sesuatu rahasia.
Ternyata betul di paviliun itu tidak ada orang.
Begitu Sun-hoan masuk pintu paviliun itu, dia seperti memasuki kembali kenangan belasan tahun
yang lampau.
Keadaan di dalam rumah tetap seperti dahulu, tidak ada perubahan sedikit pun. Meja kursinya tetap
terletak di tempat semula, bahkan alat tulis di atas meja juga tidak tergeser ke tempat lain. Jika
tidak malam bersalju, tentu rembulan yang menghiasi cakrawala pasti juga seperti sediakala. Salju
turun tiada hentinya.
Bunga salju yang berhamburan di jendela menimbulkan suara gemersik laksana bisikan kekasih.
Tanpa terasa Sun-hoan menghela napas, ucapnya, "Sepuluh tahun sudah lalu ... mungkin sudah
lebih. Terkadang sang waktu terasa lalu dengan sangat lambat, tapi bilamana sudah lalu barulah
kita rasakan sang waktu ternyata lewat sedemikian cepatnya."
Dengan sendirinya Liong Siau-hun juga mempunyai banyak kenangan, tapi mendadak ia tertawa
dan berkata, "Masihkah kau ingat pada hari pertama kudatang ke sini, waktu itu kan juga turun
salju?"
"Masa ... masa dapat kulupakan," kata Sun-hoan.
"Hahaha, masih kuingat waktu itu kita hampir menghabiskan arak simpananmu, juga cuma sekali
itulah kulihat kau mabuk, tapi engkau tidak mau mengaku mabuk, bahkan mengajak bertaruh
denganku bahwa engkau masih sanggup menulis sanjak," tiba-tiba Siau-hun memegang sebatang
pit (pensil) dan berkata pula, "Masih kuingat betul, dengan pit inilah kau menulis."
"Ya, kuingat pertaruhan itu telah kumenangkan," kata Sun-hoan dengan tertawa, walaupun
tertawanya rada getir.
"Dan tentunya tak kau sangka setelah belasan tahun pit ini masih tersimpan di sini dengan baik."
Sun-hoan tersenyum tanpa bicara, dalam hati timbul rasa hampa dan pedih. Walaupun pit masih
tetap di tempat, tapi sudah berganti majikan.
"Aneh juga kalau dibicarakan," kata Siau-hun pula, "Lim Sian-ji seperti sudah tahu engkau bakal
pulang ke sini, meski sudah sekian tahun dia tinggal di sini, tapi setiap benda di sini tidak
digesernya sedikit pun."
"Mestinya dia tidak perlu berbuat demikian," ujar Sun-hoan hambar.
"Kami tidak menyuruhnya berbuat demikian, tapi dia bilang ...."
Pada saat itulah tiba-tiba di luar ada orang berseru, "Siya ... Liong-siya!"
"Aku berada di sini, ada urusan apa?" jawab Siau-hun sambil membuka jendela.
Dengan napas terengah-engah orang itu melapor, "Keadaan Cin-siauya tampaknya sangat berat,
maka Cin-loyacu minta Liong-siya lekas ke sana."

Berubah juga air muka Liong Siau-hun, katanya sambil berpaling, "Saudaraku ...."
"Aku masih ingin melihat-lihat sebentar di sini, entah boleh tidak?" ujar Sun-hoan.
"Tentu saja boleh," kata Siau-hun dengan tertawa. "Tempat ini memang tempatmu, kuyakin kalau
Sian-ji pulang tentu dia juga akan sambut dirimu dengan gembira.
Habis berkata, bergegas-gegas ia lantas berlalu. Dan begitu keluar pintu, seketika lenyap pula
wajahnya yang tertawa-tawa tadi.
Sun-hoan duduk di atas kursi besar yang berlapiskan kulit harimau. Usia kursi ini mungkin lebih tua
daripadanya.
Ia masih ingat waktu kecilnya sering merambat ke atas kursi ini dan menggosokkan bak (tinta) bagi
ayahnya. Waktu itu dia berharap bisa lekas besar agar dapat duduk di atas kursi ini.
Tatkala itu pernah timbul semacam pikiran yang aneh, ia khawatir kursi juga akan tumbuh besar
seperti manusia. Tapi pada suatu hari akhirnya ia dapat berduduk di atas kursi tanpa merambat
lagi, dan juga diketahuinya bahwa kursi takkan tumbuh lebih tinggi, waktu itu diam-diam ia berduka
bagi kursi ini dan merasa kasihan padanya.
Tapi sekarang dia justru berharap dapat serupa kursi ini, takkan tumbuh besar untuk selamanya,
tapi sayang, meski sekarang kursinya masih tetap sama seperti dulu, namun orangnya sudah tua.
"Tua ... sudah tua ...." ia bergumam.
Mendadak seorang tertawa dan menukas, "Siapa bilang engkau tua?"
Orangnya masih di luar, tapi suara tertawanya sudah mendatangkan rasa hangat di dalam rumah.
Belum lagi orangnya masuk, suasana musim semi sudah terbawa masuk lebih dulu.
Kalau suara tertawanya saja begini, maka orangnya dapatlah dibayangkan.
Mata Li Sun-hoan seketika terbeliak, tapi dia hanya memandang ke luar pintu tanpa berdiri, juga
tidak bicara apa-apa.
Akhirnya masuklah Lim Sian-ji.
Mata orang dunia persilatan memang tidak buta, dia memang benar mahacantik, jika orang
melukiskan dia dengan bunga, maka sesungguhnya, terlalu merendahkan dia dan menghinanya.
Padahal di dunia ini mana ada bunga secantik dia?
Meski setiap bagian badannya tidak ada satu tempat pun yang tidak menggetar sukma, tapi yang
paling menggetar sukma adalah matanya. Tidak ada lelaki yang mampu melawan sinar matanya.
Inilah mata yang dapat membuat orang berbuat kejahatan apa pun.
Tapi sikapnya tertampak sedemikian simpatik, begitu terbuka, tidak sedikit pun bermaksud
membikin orang berbuat jahat, kelihatannya dia juga serupa anak perempuan yang paling lembut,
paling suci dan bersih di dunia ini.
Namun biarpun dia kelihatan seperti apa pun tetap sukar mengubah kesan Li Sun-hoan kepadanya.
Sebab bukan untuk pertama kali ini Sun-hoan melihatnya.

Tempo hari, di dapur rumah makan itu, di samping mayat Bi-kui-hujin atau si nyonya mawar, Sunhoan sudah pernah belajar kenal kepada "kelembutan" dan "kesuciannya".
Namun Sun-hoan tetap sukar percaya perempuan yang berdiri di hadapannya sekarang ini adalah
wanita cantik misterius yang mendesaknya untuk bertukar Kim-si-kah itu. Sebab keadaannya
sekarang dengan tempo hari jelas seperti terdiri dari dua orang. Apabila Sun-hoan tidak yakin
kepada matanya sendiri yang pasti tidak salah lihat, hakikatnya dia tidak percaya bahwa perempuan
yang keji, genit dan kenyang asam-garam kehidupan tempo hari itu ialah si nona cilik yang manis
dan masih kekanak-kanakan yang berdiri di depannya dengan tertawa ini.
Perlahan Sun-hoan menghela napas dan memejamkan mata.
Lim Sian-ji mengerling dan berucap dengan lembut, "Kenapa kau pejamkan mata? Apa tidak sudi
bertemu denganku?"
Sun-hoan tertawa, katanya, "Aku sedang membayangkan keadaanmu pada waktu telanjang bulat
tempo hari."
Muka Lim Sian-ji seperti agak merah, ucapnya dengan menyesal, "Mestinya kuharap engkau tidak
mengenali diriku, tapi aku pun tahu harapan ini tidak besar."
"Jika secepat ini kulupakan dirimu, masa engkau takkan sangat kecewa?"
Sian-ji tertawa manis, ucapnya, "Tapi engkau tidak terkejut ketika melihat diriku, memangnya
sebelum ini sudah kau duga siapa diriku?"
"Hal ini mungkin disebabkan wanita yang dapat disebut cantik di dunia persilatan ini tidak banyak."
"Bisa jadi lantaran kau lihat murid In Gok itu, lantas teringat olehmu akan sarung tangan iblis hijau
yang kupakai itu. Karena kau lihat Yu Liong-sing, lantas kau ingat kepada pedang Hi-jong-kiam
yang kupakai itu."
Sun-hoan tersenyum, katanya, "Aku heran, jika kau tahu aku berada di sini, mengapa kau berani
datang menemuiku?"
Lim Sian-ji berpikir sebentar, lalu menjawab dengan menggigit bibir, "Menantu bermuka buruk toh
akhirnya harus menemui mertua, apa gunanya main sembunyi? Sebab itulah, ketika Liong-siko
menyuruhku ke sini, segera kudatang kemari."
"O, jadi dia yang menyuruhmu ke sini?" tanya Sun-hoan.
Sian-ji tertawa pula, katanya, "Masakah engkau belum mengerti maksudnya? Sejak mula dia sudah
ingin menjodohkan kita, hal ini mungkin disebabkan dia merasa bersalah padamu karena dia telah
merampas ...."
Sampai di sini, mendadak Sun-hoan menarik muka, sebab diketahuinya apa yang hendak diucapkan
Lim Sian-ji, dan karena Sun-hoan menarik muka, seketika Sian-ji berhenti bicara. Betapa pun dia
takkan membicarakan hal yang orang lain tidak suka mendengarnya.
Tapi Sun-hoan seakan-akan sedang menanti lanjutan ucapannya, selang sejenak kemudian barulah
ia berkata, "Dia tidak bersalah padaku, siapa pun tidak pernah salah padaku, kalau ada, akulah
yang bersalah kepada orang lain."
Sian-ji memandangnya lekat-lekat, tanyanya kemudian dengan suara lembut, "Kau merasa bersalah

kepada siapa?"
"Terlalu banyak, sampai aku sendiri tidak dapat menghitungnya," jengek Sun-hoan.
"Terserah apa yang hendak kau katakan, yang jelas kutahu engkau bukanlah orang demikian," ujar
Sian-ji dengan suara lembut.
"Kau tahu aku ini orang macam apa?"
"Tentu saja kutahu," jawab Sian-ji. "Waktu aku masih kecil sudah pernah kudengar cerita mengenai
dirimu, sebab itulah ketika kuketahui tempat ini adalah bekas tempat tinggalmu, sungguh aku
sangat gembira sehingga tidak dapat tidur nyenyak."
Dengan gaya yang indah ia berputar dan berkata pula, "Coba kau lihat, segala sesuatu di dalam
rumah ini bukankah masih sama dengan keadaan sepuluh tahun yang lalu ketika engkau
meninggalkan tempat ini, bahkan sebotol arak yang kau simpan pada rak buku sana juga tidak
kugeser. Apakah kau tahu sebab apa kuberbuat demikian?"
Sun-hoan tidak menjawab, ia hanya memandangnya dengan dingin.
Sian-ji tertawa, "Tentu saja engkau tidak tahu. Tapi dapat kuberitahukan padamu, yaitu, hanya
dengan demikian baru dapat kurasakan tinggal di tempatmu. Terkadang bahkan kurasakan engkau
seperti masih berada di dalam rumah ini, sedang duduk di kursi dan lagi memandangiku dengan
tenang serta berbincang denganku."
Dengan kelopak mata setengah terkatup ia menyambung pula dengan lirih, "Terkadang bilamana
aku terjaga dari tidurku di tengah malam, selalu kurasakan seakan-akan engkau tidur di
sampingku, di atas bantal itu masih tertinggal bau badanmu."
Tiba-tiba Sun-hoan tertawa, katanya, "Selain diriku, mungkin kau masih ada orang lain?"
Sian-ji menggigit bibirnya, jawabnya, "Kau kira rumah ini pernah dimasuki orang lain lagi?"
"Tempat ini kan sudah menjadi tempatmu, siapa yang kau izinkan masuk juga tidak menjadi soal,"
ujar Sun-hoan hambar.
"Kau kira Yu Liong-sing, Ku Tok dan sebagainya pernah masuk ke sini, begitu?" mata Sian-ji tampak
agak basah, sambungnya, "Ingin kukatakan padamu, selama ini tidak pernah kuizinkan mereka
masuk pintu ini, sebab itulah terpaksa mereka menunggu di hutan Bwe sana, jika kuperkenankan
mereka masuk ke sini, mungkin Ku Tok dan Cin Tiong takkan mati."
Sun-hoan berkerut kening, "Jika demikian, mengapa tidak kau biarkan mereka masuk kemari?"
Sian-ji menggigit bibir pula dan menjawab, "Sebab tempat ini adalah tempatmu, lelaki lain masuk
ke sini dan merusak apa yang kau tinggalkan ...."
Dia tidak melanjutkan, seperti tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Kembali Sun-hoan tersenyum dan menukas, "Bau badanku yang kutinggalkan?"
Muka Sian-ji menjadi merah, ucapnya dengan menunduk, "Jadi dapat kau pahami maksudku?"
"Tapi baru sekarang kutahu pada badanku ada baunya ...." kata Sun-hoan dengan tertawa, "cuma
entah bagaimana baunya? Harum atau busuk?"

Tambah rendah kepala Sian-ji menunduk, ucapnya, "Kukatakan hal-hal ini bukan untuk dijadikan
bahan olok-olokmu padaku."
"Habis karena apa?" tanya Sun-hoan.
"Masa maksudku belum lagi kau ketahui?"
Sun-hoan tertawa lagi, "Jika demikian, jadi tanpa perantara orang lain tampaknya sangat besar
harapanku."
"Jika ... jika bukan lantaran dirimu sudah lama ... sudah lama ku .... Masakah tempo hari aku
mau ...."
Meski setiap kalimatnya hanya diucapkannya setengah-setengah, tapi terkadang kata-kata yang
terucapkan setengah-setengah jauh lebih menarik dan lebih kuat daripada terucapkan seluruhnya.
Maka Sun-hoan menjawab, "O, kiranya kau lakukan seperti tempo hari itu adalah karena kau suka
padaku, ai, kusangka tujuanmu adalah karena Kim-si-kah."
"Dengan sendirinya Kim-si-kah juga menjadi tujuanku." tukas Sian-ji. "Tapi kalau sasarannya bukan
dirimu, mana ... mana aku mau ...."
"O, jadi tindakanmu itu bermaksud sekali pukul mendapatkan dua hasil," ujar Sun-hoan dengan
tertawa.
"Tentunya engkau merasa heran mengapa aku pun mengincar Kim-si-kah?"
"Ya aku memang rada heran."
"Sebabnya adalah karena aku ingin membunuh Bwe-hoa-cat dengan tanganku sendiri."
"Oo?!" heran juga Sun-hoan.
"Kau tahu, barang siapa dapat membunuh Bwe-hoa-cat sudah kujanjikan akan menjadi istrinya,
meski janji ini kuucapkan sendiri, tapi mengandung banyak kepedihan."
"Dan kau ingin membunuh bandit bunga Bwe itu dengan tanganmu sendiri, apakah karena kau
ingin kawin dengan dirimu sendiri?" tanya Sun-hoan dengan tertawa.
"Kuberbuat demikian adalah karena aku tidak mau menikah dengan orang lain, sebab itulah apabila
aku dapat membunuh Bwe-hoa-cat dengan tanganku sendiri kan berarti aku tidak perlu lagi kawin
dengan orang lain?"
Mendadak ia mendongak dan memandang Sun-hoan dengan lekat-lekat, lalu ucapnya pula dengan
perasaan hampa, "Sebabnya adalah karena lelaki di dunia ini tidak ada seorang pun yang
kupenujui."
"Bagaimana dengan diriku?" sorot mata Sun-hoan juga menatapnya dengan tajam.
"Engkau sudah tentu dikecualikan," jawab Sian-ji dengan tersenyum jengah.
"Sebab apa?" tanya Sun-hoan.

"Sebab engkau tidak sama dengan lelaki lain. Orang-orang itu serupa anjing saja, betapa pun
kuperlakukan mereka, tetap juga mereka mengerubungi diriku, hanya engkau ...."
Sun-hoan tersenyum hambar, ucapnya, "Jika begitu, mengapa tidak kau simpan Kim-si-kah di
tempatku ini, agar setelah kubunuh Bwe-hoa-cat, lalu kau pun kawin denganku, kan terkabul
tujuanmu yang sekali pukul dua hasil itu?!"
Sian-ji tampak terkesiap, tapi segera ia berkata dengan tersenyum, "Ini memang gagasan yang
bagus, mengapa tidak terpikir olehku?"
Gemerdep sinar mata Sun-hoan, katanya, "Gagasan sebaik ini, kecuali diriku, siapa lagi yang
mampu memikirkannya?"
Lim Sian-ji seperti tidak merasakan ucapan orang bernada mengejek, ia malah genggam kencang
tangan Sun-hoan dan berkata, "Kutahu dalam dua hari ini Bwe-hoa-cat pasti akan datang kemari,
besok juga akan kutunggu dia di sini."
"Maksudmu menyuruhku datang lagi kemari esok malam?"
"Ya, boleh kau gunakan diriku sebagai umpan untuk memancing kedatangannya, toh Kim-si-kah
berada padamu, andaikan tidak dapat kau bekuk dia, betapa pun dia juga tidak dapat melukaimu.
Sebaliknya bila engkau dapat mengatasi dia ...."
Dengan muka merah Sian-ji menunduk pula, ia melirik Sun-hoan dengan kerlingannya yang
membetot sukma, meski tidak diucapkannya dengan mulut, tapi semuanya sudah dikatakannya
dengan mata.
Mata Sun-hoan juga gemerdep, ucapnya dengan tertawa, "Baik, esok malam aku pasti datang
kemari. Kan tolol jika aku tidak datang kemari?"
Perlahan Sian-ji melepaskan tangan Sun-hoan, tapi jarinya yang lentik itu masih merabai punggung
tangannya dengan perlahan seakan-akan hati Sun-hoan hendak dirabanya juga.
"Nah, tampaknya sudah banyak yang kau belajar dan sekarang telah tambah maju," kata Sun-hoan
tiba-tiba.
"Aku memang bukan anak bodoh," ucap Sian-ji dengan muka merah.
"Sedikitnya sekarang kau tambah pintar untuk membikin si lelaki bertindak lebih aktif."
Tiba-tiba napas Sian-ji terengah-engah, ucapnya dengan terputus-putus, "Tapi ... tapi sekarang
engkau tidak ... tidak mau bukan?"
Sun-hoan memandangnya, sorot matanya dingin, namun ujung mulut telah menampilkan senyuman
yang tidak dingin, ucapnya, "Dari mana kau tahu aku tidak mau?"
Sian-ji tertawa terkikik, "Sebab engkau seorang Kuncu (gentleman) bukan?"
"Selama hidupku hanya pernah menjadi Kuncu satu kali, itu pun membuatku menyesal selama tiga
hari," kata Sun-hoan dengan tersenyum.
Sambil mengikik tawa, Lim Sian-ji seperti mau kabur.
Tapi Sun-hoan telah menariknya dan berkata, "Eh, tampaknya setelah kau pancing diriku, lalu akan

mengelak."
Sian-ji mendesis perlahan. "Semua ini kan ajaranmu, engkau yang mengajarku cara bagaimana
memancing dirimu, betul tidak?"
Sun-hoan menghela napas gegetun, "Ai, tampaknya terlalu banyak yang kuajarkan padamu, dan
kau pun belajar terlalu cepat."
Mendadak ia mendorong pergi si nona dan berbangkit sambil mengebut baju, lalu melotot ke arah
jendela dan berkata, "Sandiwara hari ini sudah tamat, jika pertunjukan ini belum memuaskan Anda,
silakan besok menonton lagi."
Tiba-tiba dari luar jendela ada orang mendengus, "Hm, cara main Anda sungguh sangat hebat,
semoga pisau terbang Anda juga sama hebatnya."
Ketika kata terakhir terucapkan suaranya sudah berada belasan tombak jauhnya.
"Yu Liong-sing!" seru Sian-ji.
"Kau takut dia akan cemburu?" tanya Sun-hoan tiba-tiba.
Sorot mata Sian-ji menampilkan rasa benci, dengusnya, "Hm, berdasarkan apa dia cemburu?...
Huh, tak tersangka anak murid keluarga terkemuka yang sok anggap dirinya paling terhormat juga
dapat melakukan hal yang tidak tahu malu ini. Mustahil jika selanjutnya mau kugubris dia?"
Sun-hoan tersenyum, "Engkau tidak takut Hi-jong-kiam akan diminta kembali olehnya?"
"Huh, biarpun kulemparkan pedang itu ke depan hidungnya juga dia tak berani mengambilnya
kembali."
"Oo?" Sun-hoan bersuara ra
u.
Sian-ji tertawa, "Kan sudah kukatakan, orang semacam ini memang berjiwa rendah seperti anjing,
semakin kau maki atau kau gebuk dia, tetap dia akan mengintil di belakangmu sambil menggoyanggoyangkan ekornya."
"Jika betul ada seekor anjing mengintil di belakang, kan menarik juga?" ujar Sun-hoan.
Sian-ji menarik tangannya dan berkata, "Masa kau benar hendak pergi? Mengapa tidak berduduk
sebentar lagi?"
"Jika kutinggal lebih lama di sini, bila sampai digigit anjing, bisa susah," ujar Sun-hoan dengan
tertawa.
"Hm, dia berani ...."
Belum lanjut ucapan Sian-ji, terdengar Yu Liong-sing berseru di kejauhan, "Tamat sandiwara di sini,
di sana pertunjukan lain baru mulai. Apakah Anda tidak ingin melihatnya?"
"Nah, kau dengar, kan sudah kuduga dia pasti takkan membiarkan kududuk lebih lama di sini?" kata
Sun-hoan dengan tertawa.
Dengan gemas Sian-ji mendengus, "Hm, memang brengsek ...." Tiba-tiba ia tertawa pula, katanya

sambil menarik tangan Sun-hoan, "Tapi kita masih punya esok, jangan lupa, datanglah lebih dini
esok malam."
Yu Liong-sing sudah tidak kelihatan lagi, tapi begitu Sun-hoan keluar dari hutan bunga Bwe, segera
didengarnya suara ramai-ramai di kejauhan sana, terdengar pula deru angin pukulan yang dahsyat.
Sun-hoan dapat mendengar di tengah suara ramai-ramai itu ada suara si berewok, segera ia
menyingsing lengan baju dan memburu ke sana, hanya beberapa kali lompatan saja dapatlah dia
mencapai tempat kejadian itu.
Di balik gunung-gunungan sana ada tiga buah rumah indah, di depan rumah itu tampak dua orang
sedang bertempur dengan sengit, pukulan kedua orang sama dahsyatnya sehingga bunga salju
berhamburan tergetar oleh angin pukulan mereka.
Terdengar si berewok berteriak dengan gusar, "Orang she Cin, percuma kau anggap dirimu sebagai
pendekar, padahal sepeser saja tidak berharga. Anakmu terluka parah dan tidak dapat
disembuhkan, apa sangkut-pautnya dengan tabib yang kau panggil, kenapa kau salahkan dia dan
turun tangan keji padanya?"
Yang sedang bergebrak dengan si berewok ialah Cin Hau-gi, dengan meraung murka ia balas
mendamprat, "Kau terhitung barang apa, berdasarkan apa kau berani ikut campur urusanku.
Biarlah kubereskan dirimu sekalian!"
Dalam pada itu Liong Siau-hun kelihatan berdiri di samping dan sedang mengentak kaki serba
susah, sedangkan Yu Liong-sing menonton di pinggir dengan berpangku tangan.
Ketika Li Sun-hoan memburu tiba, segera Liong Siau-hun menyongsong kedatangannya dan
berseru, "Lekas kau larai mereka, saudaraku, Bwe-hoa-cat belum lagi muncul, orang kita sendiri
sudah saling baku hantam malah. Ai, macam ... macam apa ini?"
Yu Liong-sing lantas menimpali dengan mengejek, "Ini namanya di bawah panglima tangkas tidak
ada prajurit lemah, tak tersangka seorang budak Li-tamhoa juga selihai ini, sungguh buas amat ...."
"Betul, dia memang sangat buas," jawab Sun-hoan dengan tak acuh. "Tapi kalau orang lain tidak
merecoki dia, tidak nanti dia mengumbar kebuasannya."
Dia tidak pedulikan Yu Liong-sing lagi, segera ia tanya Liong Siau-hun, "Sebab apakah bisa terjadi
begini?"
Liong Siau-hun menghela napas menyesal, ucapnya, "Justru lantaran luka Cin Tiong terlalu parah
dan tak tersembuhkan, maka Cin-samko ...."
"Karena putranya tak tertolong, lalu dia menumpahkan rasa gusarnya terhadap Bwe-jisiansing?"
tanya Sun-hoan dengan berkerut kening.
"Maklumlah, orang tua kehilangan anak, betapa pun Cin-samko sangat berduka sehingga melukai
Bwe-jisiansing, tapi juga tidak terlalu parah lukanya," ujar Siau-hun.
Sun-hoan hanya mendengus saja dan tidak menanggapi.
"Bujuklah dia, saudaraku," pinta Siau-hun pula. "Kutahu, dia hanya turut kepada perkataanmu
saja."
"Mengapa harus kubujuk dia," jengek Sun-hoan "Andaikan dia tidak turun tangan, akulah yang

akan turun tangan."


Siau-hun melengak dan tidak tahu apa yang harus diucapkan lagi.
Dalam pada itu si berewok sedang melancarkan pukulan dahsyat, setiap serangannya dilontarkan
tanpa memikirkan keselamatan sendiri, meski jurus serangannya tidak pasti bagus, tapi dahsyatnya
sungguh sangat mengejutkan.
Tampaknya Cin Hau-gi jadi terdesak sehingga sukar melepaskan diri.
Tiba-tiba Yu Liong-sing mengejek pula, "Hm, sungguh jarang ada cara menyerang budakmu ini.
Tiap kali dia menghantam seakan-akan sudah siap menahan pukulan lawan. Ilmu pukulan demikian
sungguh rada membingungkan."
"Kenapa mesti bingung, kan sangat sederhana maksudnya," ujar Sun-hoan dengan hambar.
"O?!" Yu Liong-sing bersuara tidak mengerti.
"Soalnya bila orang lain menghantamnya satu kali, hakikatnya dia tidak merasakannya, sebaliknya
jika orang lain terkena satu kali pukulannya, maka orang itu mungkin akan terkapar."
Berubah merah air muka Yu Liong-sing, belum lagi dia buka suara pula, mendadak seorang
membentak dengan gusar, "Sungguh budak yang tidak tahu diri, berani main gila di sini, biar kuberi
hajaran setimpal padamu."
Sambil meraung terlihat Tio Cing-ngo memburu tiba dengan cepat.
Selagi dia hendak menerjang si berewok, mendadak Li Sun-hoan menyela, "Apabila ada orang
bermaksud main kerubut, jangan lupa, bisa jadi pisauku juga akan terbang!"
Seketika Tio Cing-ngo berhenti di tempat dan tidak berani bergerak lagi, teriaknya dengan gusar,
"Budak yang kau bawa kemari berani bertindak kasar terhadap orang terhormat, engkau tidak
menyalahkan dia sebaliknya malah membelanya. Apakah kau kira dunia Kangouw sekarang sudah
tidak ada keadilan lagi?"
"Apa yang disebut keadilan Kangouw? Apakah dua lawan satu baru dianggap adil?" jengek Sunhoan.
"Kau harus tahu, ini bukan pertandingan Kungfu melainkan memberi hajaran kepada kaum budak!"
teriak Tio Cing-ngo.
"Biasanya dia tidak perlu dihajar orang, tapi kalau Tio-toaya bermaksud coba-coba beberapa jurus
dengan dia, bolehlah kau gantikan Cin-samya, silakan maju."
"Hm, dia barang apa, masa sesuai bergebrak denganku?" jengek Tio Cing-ngo dengan gusar.
"Dia memang bukan barang, tapi manusia," sahut Sun-hoan. Ia pandang Tio Cing-ngo dengan
tertawa, tiba-tiba ia menambahi, "Memangnya Tio-toaya sendiri barang?"
Sungguh tidak kepalang rasa murka Tio Cing-ngo, air mukanya menjadi merah padam saking
dongkolnya.
Sampai di sini terpaksa Liong Siau-hun harus buka suara. Tapi pada saat itu juga mendadak
terdengar suara "biang" yang keras, tangan kedua orang beradu, Cin Hau-gi hampir tergetar

mencelat, ia terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk.


Cepat Tio Cing-ngo dan Liong Siau-hun memburu maju untuk membangunkannya.
Dengan suara bengis si berewok lantas berteriak, "Siapa lagi yang ingin memberi hajaran padaku,
ayolah silakan maju!"
"Wah, wah, tampaknya hari ini majikan tidak mampu menghajar budak, sebaliknya budak yang
menghajar kaum majikan," ejek Yu Liong-sing.
Dalam pada itu dengan menggeh-menggeh Cin Hau-gi sedang berbisik-bisik di tepi telinga Tio Cingngo, lalu orang she Tio ini mendadak melompat maju dan menatap si berewok dengan sorot mata
mencorong, katanya, "Tak tersangka sahabat ini menguasai Kungfu keras yang jarang terlihat di
dunia Kangouw sehingga tadi aku pun menilai rendah dirimu, pantas Cin-samya kurang hati-hati
dan terjebak olehmu."

Bab 5. Pendekar Budiman


Published by Eve1yn on 2005/8/11 (63 reads)

"Hm, jika kalian kalah, kau bilang terjebak, bila kukalah, tentulah karena kepandaianku terlalu
rendah, logikamu ini sudah kuketahui, tidak perlu kau jelaskan lagi," jengek si berewok.
Dengan gusar Tio Cing-ngo membentak, "Orang she Thi, mengingat kegagahanmu maka sengaja
kulindungimu, janganlah tidak tahu diri."
Air muka si berewok rada berubah, ucapnya dengan ketus, "Rasanya orang she Thi juga tidak perlu
perlindungan Tio-toaya, buktinya aku pun dapat hidup sampai sekarang. Kini aku menang merasa
bosan hidup, jika mampu silakan saja Tio-toaya turun tangan."
Tio Cing-ngo mendelik, matanya seakan-akan membara, jengeknya, "Ya, bagus ... bagus ...."
Ia mengucapkan beberapa kali "bagus", tapi memapah pergi Cin Hau-gi.
Liong Siau-hun masih berusaha mencegah kepergiannya dengan membujuk, "Ada urusan apa,
marilah kita bicarakan secara baik-baik, buat apa ...."
Mendadak Cin Hau-gi tertawa pedih, katanya, "Haha, kami ayah dan anak sudah terjungkal di sini,
apa pula yang perlu dibicarakan?"
Terpaksa Liong Siau-hun menunduk dan mengusap keringat, waktu ia menengadah, Cin Hau-gi dan
Tio Cing-ngo sudah pergi jauh.
Li Sun-hoan menghela napas menyesal, ucapnya, "Toako, baru saja kupulang lantas menimbulkan
macam-macam kesulitan bagimu, sungguh aku ...."
"Ai, jangan kau bicara demikian, saudaraku," potong Liong Siau-hun dengan tertawa. "Memangnya
bilakah kita bersaudara pernah takut kepada kesulitan."
"Akan tetapi, kutahu Toako menjadi serba salah ...."
"Ai, saudaraku, tidak perlu kau pikirkan diriku, apa pun yang kau lakukan, tetap kuberdiri di

pihakmu."
Darah panas dalam dada Li Sun-hoan bergolak, air mata hampir saja menitik keluar.
Liong Siau-hun memandang si berewok sekejap, seperti ingin bicara apa-apa, tapi mendadak ganti
ucapan, "Fajar sudah hampir tiba, jelas malam ini Bwe-hoa-cat takkan muncul. Kalian tentu lelah
dalam perjalanan, silakan pergi istirahat saja."
Sun-hoan mengiakan.
"Sudah kusuruh orang membersihkan paviliun Ting-tiok-han bagimu apabila engkau tetap ingin
tinggal di tempat lama, boleh kuminta Sian-ji pindah dan tinggal sementara di tempat Si-im," kata
Liong Siau-hun pula.
"O tidak perlu Ting-tiok-han juga sangat bagus," ujar Sun-hoan.
Siau-hun memandang sekejap lagi kepada si berewok, tapi tetap tidak bicara, hanya air mukanya
menampilkan perasaan khawatir, jelas menanggung sesuatu pikiran.
Ting-tiok-han atau paviliun mendengarkan bambu, di sekeliling rumah ini memang banyak pohon
bambu. Daun bambu gemersik tertiup angin.
Gemersik daun bambu di tengah malam buta membuat orang yang gembira juga akan terasa
kesepian, apalagi sudah belasan tahun meninggalkan tempat ini dan sekarang Li Sun-hoan pulang
lagi ke sini dengan perasaan yang telah hancur.
Cahaya pelita berkelip redup, kerut pada ujung mata Sun-hoan tampaknya juga bertambah rapat.
Si berewok tampak berduduk termenung, jelas diliputi pergolakan perasaan. Entah lewat berapa
lama, tiba-tiba ia menggereget, seperti telah mengambil sesuatu keputusan, lalu berucap dengan
suara parau, "Siauya, mungkin tidak boleh tidak aku harus pergi."
"Kau mau pergi? Kau pun mau pergi?" tanya Sun-hoan dengan melengak.
"Atas budi kebaikan Siauya, mestinya hamba sudah bertekad akan mengabdi selama sisa hidupku
ini untuk membalas budi Siauya, akan tetapi sekarang ...."
Pada saat itulah, di tengah malam sunyi, tiba-tiba berkumandang suara ringkik kuda dari kejauhan.
Lelaki berewok itu tersenyum pedih, ucapnya, "Tio Cing-ngo dan begundalnya itu jelas sudah tahu
akan asal-usulku, mungkin sekarang mereka sudah menyampaikan berita kepada musuhku,
sebenarnya tidak kupikirkan soal mati hidupku sehingga tidak perlu kutakut kepada mereka, namun
...."
"Namun kau khawatir diriku ikut tersangkut, begitu bukan?" tukas Sun-hoan.
"Hamba tahu Siauya bukan orang yang takut perkara, akan tetapi peristiwa delapan belas tahun
yang lalu memang kesalahanku, mana boleh Siauya ikut tersangkut dan dicaci maki serta dihina
orang."
Sun-hoan terdiam sejenak, akhirnya ia menghela napas panjang, katanya, "Kejadian itu adalah
karena kesalahanmu yang tidak disengaja, derita batin selama 18 tahun ini sudah kau bayar dengan
cukup, kukira mereka tidak dapat terlalu mendesak orang."

Si berewok tersenyum pedih, "Meski Siauya berpikir para demikian, tapi orang lain mungkin tidak
berpikir sirna. Utang berdarah di dunia Kangouw harus dibayar lunas dengan darah juga."
Tanpa menunggu tanggapan Sun-hoan, segera ia sambung pula, "Apalagi, hendak kujenguk juga
Bwe-jisiansing itu, setelah terluka dia pergi dengan marah, entah sanggup pulang sampai di rumah
atau tidak belum lagi diketahui. Apa pun juga, dia mau ikut kemari juga lantaran mengingat pada
diri kita."
Sampai lama Sun-hoan termenung, akhirnya bertanya dengan rawan, "Kau mau pergi ke mana?"
Si berewok menghela napas, "Sekarang aku pun tidak tahu harus ke mana, cuma ...." tiba-tiba ia
tertawa, lalu melanjutkan, "aku pasti takkan pergi jauh-jauh, setiap malam bulan terang dan
tenang bisa jadi aku akan kembali dengan membawa arak untuk diminum bersama Siauya."
"Baik," seru Sun-hoan sambil berbangkit.
Kedua orang berdiri berhadapan, air mata pun berlinang-linang, lalu keduanya melengos.
Perpisahan antara ksatria terkadang jauh lebih mengharukan daripada perpisahan kaum remaja.
Sebab meski di dalam hati penuh diliputi berbagai perasaan, tapi siapa pun tidak mau
mengutarakannya.
Sun-hoan hanya berucap dengan hambar, "Kau mau pergi, aku pun tidak ingin merintangimu. Tapi
hendaknya boleh kuantar kau sebentar."
Jalan raya yang panjang itu tampak sunyi dan bersih, timbunan salju semalam telah tersapu ke tepi
jalan.
Sudah mulai remang-remang di ufuk timur, dari kejauhan mulai ada suara gaduh orang ramai ke
pasar. Bumi raya ini sudah mendusin dari tidurnya.
Tapi cuaca masih gelap, tampaknya hari ini juga tidak bakalan ada cahaya matahari.
Jalan raya masih sepi, meski terkadang dari kejauhan ada suara ayam berkokok dan juga suara
batuk Li Sun-hoan, tapi tetap belum dapat melonggarkan dunia yang sunyi dan menyesakkan napas
ini.
Tiba-tiba si berewok berhenti melangkah, ucapnya dengan tertawa, "Biarpun mengantar seribu li,
akhirnya pasti juga berpisah. Siauya ... bolehlah engkau pulang saja."
Sun-hoan berjalan pula beberapa langkah, lalu berhenti juga, dipandangnya pohon tunggal di ujung
jalan sana, setelah termangu-mangu sekian lamanya, akhirnya ia membalik tubuh dan berkata,
"Baik, aku akan pulang, semoga ... semoga kau jaga dirimu baik-baik."
Si berewok mengangguk, sahutnya dengan parau, "Ya, harap Siauya juga menjaga diri dengan
baik."
Ia tidak pandang Sun-hoan lagi, dengan kepala tertunduk ia lewat di samping Sun-hoan.
Setelah balasan langkah, tiba-tiba ia berhenti lagi, ia berpaling dan berkata, "Siauya, jika engkau
tidak ada urusan lain, hendaknya tinggal saja lebih lama di sini. Apa pun juga Liong-toaya adalah
seorang lelaki sejati, seorang sahabat."
Sun-hoan menengadah dan berucap dengan gegetun, "Ada sahabat seperti Liong Siau-hun, apa

pula yang perlu kusesalkan?!"


"Jika Siauya memutuskan akan tinggal di sini, bisa jadi selekasnya aku akan kembali untuk mencari
Siauya," kata si berewok.
Sun-hoan tertawa, "Ya, mungkin aku akan tinggal di sini, toh tiada tempat lain yang perlu
kudatangi."
Meski dia tertawa, tapi tertawanya terasa memilukan.
Mendadak si berewok membalik tubuh dan melangkah pergi dengan cepat.
Cuaca sudah mulai terang, namun hujan salju tampaknya juga akan turun pula.
Udara yang kelabu dan berat seakan-akan hendak menindih ke bawah. Namun hati si berewok
terasa lebih kelabu dan lebih berat daripada cuaca ini.
Apa pun juga yang menyebabkan pelariannya dahulu, tampaknya sekarang dia akan mulai lagi
dengan kehidupan pelarian yang tidak ada habis-habisnya itu. Sudah sepuluh tahun dia dan Sunhoan hidup dalam pelarian, tidak ada orang yang lebih jelas betapa siksa derita orang hidup dalam
pelarian. Hal itu serupa impian buruk yang tidak pernah mendusin selamanya.
Tapi selama sepuluh tahun itu, sedikitnya dia telah tinggal bersama Li Sun-hoan, sedikitnya ada
seorang yang mendampinginya, sedikitnya masih ada orang yang dapat dijadikan tumpuan
perasaannya.
Akan tetapi sekarang, segalanya sudah tiada lagi, dia sudah terpencil sendirian sama sekali.
Jika dia seorang pengecut, bisa jadi malah tidak perlu lari, sebab ia tahu di dunia ini tidak ada
urusan yang lebih menderita daripada kehidupan dalam pelarian. Bahkan juga tidak kematian.
Pengucilan yang membuat putus asa itu sungguh bisa membikin gila orang.
Tapi mau tak mau dia harus lari, dilihatnya Li Sun-hoan dapat hidup tenteram lagi di rumah, maka
dia harus pergi, betapa dia akan tersiksa juga tak boleh membikin susah Li Sun-hoan.
Sekarang mestinya dia harus menenangkan diri dan merenungkan tujuan selanjutnya, tapi dia tidak
berani tinggal diam, ia ingin menuju ke tempat yang banyak orang.
Ia terus berjalan tanpa tempat tujuan, entah sudah berapa jauhnya, tiba-tiba diketahuinya sudah
berada di tengah sebuah pasar sayur. Ia menjadi geli sendiri.
Selama hidupnya entah sudah berkunjung ke tempat macam apa pun, dia pernah datang ke istana
kaum bangsawan, pernah bertamu ke rumah penjual bakmi, juga pernah mampir ke kamar anak
gadis keluarga hartawan, tapi juga pernah ngendon di rumah hiburan kelas kambing. Pernah dia
pergi ke Hek-liong-kang, di mana hidung orang bisa lepas terbeku karena hawanya yang sangat
dingin, tapi juga pernah mengunjungi daerah panas yang dapat membuat masak sebutir telur yang
dijemur sinar matahari, yaitu di daerah Turfan yang terletak di wilayah Sinkiang.
Akan tetapi pergi ke pasar sayur, selama hidupnya baru terjadi pertama kali ini.
Pada pagi hari di musim dingin, tempat yang paling ramai dikunjungi orang di dunia ini mungkin
adalah pasar sayur, siapa pun kalau datang ke sini tentu takkan merasa kesepian.

Di sini ada ibu rumah tangga yang menggendong anak, ada nenek yang membawa tongkat, ada
koki yang berlepotan minyak, ada babu yang berbedak tebal ... semuanya datang untuk berbelanja,
semuanya membawa keranjang sayur dan bersimpang-siur kian kemari diseling suara ribut mulut
antara seorang perempuan udik penjual sayur dengan seorang tukang daging babi hanya lantaran
uang sepicis ....
Suasana hiruk-pikuk dengan bau amis ikan dan bau minyak Yucakue yang masih panas, ada bau
tanah dari sayur yang baru dibedol serta bau tak sedap lainnya.
Orang yang tidak pernah datang ke pasar sayur tentu tak dapat membayangkan bagaimana bau
yang bercampur aduk itu, siapa pun yang biasa datang ke tempat begini, tidak terlalu lama tentu
hidungnya akan kebal.
Akan tetapi setiba di sini, perasaan si berewok menjadi banyak lebih cerah, sebab suara dan bau di
sini terasa segar dan baru, penuh daya hidup.
Di dunia ini mungkin banyak orang yang bosan hidup, ada yang membunuh diri dengan melompat
dari gedung pencakar langit, ada yang menggantung diri, ada yang menggorok leher, ada yang
mendodet perut sendiri dan juga ada yang minum endrin, tapi pasti tidak pernah terjadi orang
membunuh diri di tengah pasar sayur.
Di sini, si berewok hampir dapat melupakan segala permusuhan di dunia Kangouw yang berbau
darah. Ia bermaksud membeli dua potong Yucakue (penganan serupa untir-untir) untuk dimakan.
Pada saat itulah mendadak terdengar seorang berteriak di depan sana, "Dijual, daging segar! Dijual
daging segar!"
Begitu suara ini bergema, segera menimbulkan kegemparan di sana sini. Menyusul kerumunan
orang di depan sana sama menyurut mundur ke sini, setiap orang sama pucat, bahkan anak kecil
sama menangis ketakutan.
Orang yang berada di belakang beramai-ramai sama tanya, "He, ada kejadian apa?"
Seorang yang baru lari mundur dari depan sana menjawab dengan napas tersengal, "Ada ... ada
orang menjual daging!"
Orang yang bertanya tertawa, "Di pasar sini ada puluhan penjual daging, kenapa merasa takut?"
"Tapi ... tapi daging yang dijual orang ini tidak sama dengan orang lain," tutur yang ketakutan itu,
"Daging yang dijualnya adalah daging manusia!"
Bahwa di tengah pasar ada orang menjual daging manusia, hal ini membuat si berewok juga
terkejut.
Tertampak orang yang berkerumun dari sana sini bertambah banyak, meski sama merasa takut,
tapi juga ingin tahu sesungguhnya apa yang terjadi.
Memang ada sementara orang perempuan yang pergi ke pasar bukan melulu untuk berbelanja, tapi
juga sambil mengobrol dan berceloteh dengan nona cilik dan menantu orang untuk saling tukar
informasi, mencari tahu rahasia rumah tangga orang, menambah bahan cerita bila pulang
mengobrol dengan tetangga.
Sekarang di pasar sayur terjadi hal aneh ini, tentu saja tidak ada yang mau pergi, semuanya ingin
menonton keramaian.

Si berewok berkerut kening, ia mendesak maju ke tengah kerumunan orang banyak. Tapi air
mukanya seketika berubah, tampaknya jauh lebih terkejut daripada orang lain.
Di pasar sayur, bagian penjualan daging tergolong sudut yang lebih bersih, para jagal yang tidak
pernah meninggalkan goloknya itu selalu menampilkan rasa lebih terhormat dibandingkan penjual
tahu dan sayur umpamanya.
Akan tetapi sekarang para jagal itu pun sana mengkeret oleh apa yang terjadi di depan mereka.
Bagian penjual daging itu ada satu rumah yang memasang papan pemberitahuan dengan tulisan:
"Daging sapi dan kambing, baru disembelih dan masih segar."
Tapi di belakang meja daging itu bukan ditunggui penjual lelaki dengan golok jagalnya melainkan
berdiri seorang perempuan bermata satu, berbadan tinggi besar dan gemuk. Tangan memegang
golok pengorek daging tulang, mukanya benjal-benjol, ada satu garis bekas luka pada ujung mata
kanan yang pakai kain penutup itu menyilang ke ujung mulut sebelah kiri, tampangnya lebih mirip
bajak laut daripada muka orang perempuan.
Yang lebih mengerikan lagi adalah apa yang tergeletak di atas meja bukan daging sapi atau
kambing, tapi seorang manusia.
Manusia hidup dan segar bugar!
Baju orang ini sudah dibelejeti hingga bersih, kelihatan kulit badannya yang putih pucat, baris
tulang iganya bergemetar, kedua tangan mendekap kepala dan meringkuk di atas meja penjual
daging, kecuali kulitnya yang membungkus tulang, tampaknya tidak ada kelebihan daging yang
berharga.
Dengan tangan kiri si perempuan mata satu mencekik leher lelaki telanjang itu, tangan kanan
mengangkat golok dagingnya tinggi-tinggi, sorot matanya yang cuma satu itu gemerdep buas
penuh rasa benci dan dendam, dan juga penuh nafsu membunuh.
Melihat perempuan bermata satu ini, si berewok seperti melihat setan iblis, seketika air mukanya
pucat seperti mayat, dalam sekejap tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin.
Melihat si berewok, garis bekas luka pada wajah perempuan bermata satu itu pun berubah menjadi
merah membara, ia melototi si berewok beberapa kejap, lalu menegur sambil menyeringai, "Apakah
Toaya (tuan) ini datang untuk membeli daging?"
Si berewok seperti terkesima sehingga tidak mendengar ucapan orang.
Perempuan bermata satu berkata pula dengan tertawa terkekeh-kekeh, "Hehe, barang baik harus
dijual pada orang ahli, sudah kuketahui daging kambing yang gemuk ini pati takkan dibeli orang lain
terkecuali Toaya ini, sebab itulah sudah sekian lama kutunggu kedatanganmu di sini."
Baru sekarang si berewok menghela napas panjang, ucapnya dengan tersenyum getir, "Sudah lama
tidak bertemu, kenapa Toaso (kakak ipar) ...."
Belum lanjut ucapan si berewok, "crot", mendadak si perempuan bermata satu menyemburkan riak
kental dan tepat hinggap pada muka si berewok.
Sama sekali si berewok tidak mengelak, juga tidak mengusap, sebaliknya terus menunduk.

Dengan gusar perempuan mata satu itu meraung pula, "Huh, Toaso? Memangnya siapa mengaku
sebagai Toaso binatang penjual kawan macammu ini! Jika kau berani nnemanggil Toaso lagi, segera
kupotong dulu lidahmu!"
Muka si berewok menjadi pucat, sama sekali tidak berani menjawab.
"Hm, setelah Ang Thian-kiat kau jual, selama beberapa tahun ini tentu kau hidup bahagia dan kaya
raya, memangnya begitu pelit sehingga membeli beberapa kati daging saja merasa keberatan?"
jengek si perempuan mata satu.
Mendadak ia menjambak rambut lelaki telanjang di atas meja daging itu, katanya pula dengan
menyeringai, "Jika kau tidak mau beli, terpaksa kusembelih dia untuk umpan anjing."
Orang yang meringkuk di atas meja itu tampak ketakutan sehingga kaku, ia termangu dengan mata
terbelalak, air liur tampak mengalir, mana sanggup bicara lagi?
Melihat orang ini, si berewok menjadi kaget dan pedih, serunya dengan parau, "He, Bwe-jisiansing,
mengapa engkau ...."
Mendadak si perempuan mata satu membentak, "Tidak perlu banyak bacot, aku cuma tanya
padamu, mau beli atau tidak?"
Si berewok menghela napas, tanyanya kemudian, "Entah cara bagaimana akan kau jual dia?"
"Bergantung kepadamu ingin beli berapa, beli satu kati ada harga satu kati, beli setengah kuinta1
tentu saja lebih murah."
Mendadak perempuan itu mengayun goloknya dan "cret", golok menabas ke bawah, golok tebal dan
besar itu menancap di atas meja daging, selisih satu senti saja mungkin kepala Bwe-jisiansing
sudah berpisah dengan tuannya.
Dengan mendelik perempuan itu berkata pula, "Nah, jika kau mau beli satu kati, harus kau tukar
dengan satu kati dagingmu sendiri. Sekali kutabas kujamin juga pas satu kati, tidak nanti salah
potong secuil pun."
"Tapi ... tapi kalau ingin kubeli dia seluruhnya, seorang bulat?" ucap si berewok dengan suara
parau.
"Jika kau mau membeli satu orang bulat, maka kau harus ikut pergi bersamaku," teriak si
perempuan mata satu dengan bengis.
"Baik, kuikut pergi bersamamu!" jawab si berewok dengan menggereget.
Untuk sejenak perempuan itu melototi si berewok, lalu berkata pula sambil menyeringai, "Pintar
juga kau mau ikut pergi bersamaku. Sudah 17 tahun lebih 8 bulan kucari dirimu dan baru sekarang
bertemu, memangnya dapat kubiarkan kau lolos lagi?"
Si berewok menengadah dan menarik napas panjang, ucapnya, "Setelah kau temukan diriku, masa
perlu kukabur lagi?"

*****

Pada suatu tanah pekuburan di kaki bukit sana ada sebuah rumah gubuk kecil, entah tempat tinggal
penjaga kuburan keluarga siapa. Dalam musim dingin, setan dalam kuburan saja mungkin juga
kedinginan dan meringkuk di dalam peti mati dan tidak berani keluar, dengan sendirinya penjaga
kuburan itu menghilang entah bersembunyi ke mana.
Di bawah emper rumah bergantung sepotong tiang es, angin dingin meniup masuk rumah melalui
celah-celah dinding papan sehingga menyayat badan rasanya, di bawah suhu sedingin ini, siapa pun
tidak tahan berdiam lama di rumah gubuk ini.
Tapi pada saat itu justru ada satu orang sudah tinggal sekian lamanya di dalam gubuk ini.
Di dalam rumah ada sebuah meja kayu yang sudah reyot, di atas meja tertaruh sebuah kuali hitam.
Orang ini duduk bersila di atas tanah dan memandangi kuali ini dengan terkesima.
Dia memakai baju berlapis kapas yang sudah rombeng, bertopi rosokan, bersenjata kapak, di pojok
rumah sana malah tertaruh setengah pikul kayu bakar, jelas orang ini penebang pohon atau pencari
kayu bakar. Tapi wajahnya yang hitam dengan tulang pipi tinggi, beralis tebal dan bermulut lebar,
matanya gemerdep, tampaknya tiada sedikit pun mirip seorang tukang kayu.
Kini sinar matanya juga penuh rasa murka dan benci, ia termangu-mangu entah memikirkan apa,
sementara itu tanah juga beku, tapi mereka tidak merasakan dingin.
Tidak lama, di luar gubuk tiba-tiba bergema suara "srak-srek" orang berjalan.
Serentak si tukang kayu memegang kapaknya dan membentak dengan suara tertahan, "Siapa itu?"
"Aku!" terdengar suara si perempuan bermata satu yang serak dan bengis.
Seketika si tukang kayu tampak tegang, dengan suara tersendat ia bertanya, "Apakah betul
orangnya berada di kota?"
"Betul," jawab si perempuan mata satu, "berita tua bangka itu memang dapat dipercaya, sudah
kubawa pulang orangnya."
Segera si tukang kayu melompat bangun dan membuka pintu, maka masuklah si perempuan mata
satu dengan membawa si lelaki berewok. Badan kedua orang sama penuh bertaburan bunga salju.
Di luar memang hujan salju dengan lebat.
Dengan pandangan penuh dendam si tukang kayu melototi si berewok, matanya seakan-akan
menyemburkan api.
Tapi si berewok hanya menunduk saja tanpa bicara.
Selang sejenak, mendadak si tukang kayu membalik tubuh terus berlutut di depan kuali hitam di
atas meja tadi, air mata pun berlinang-linang, sampai lama tidak sanggup berbangkit kembali.
Sekonyong-konyong terdengar pula orang berjalan di luar.
"Siapa?" bentak si perempuan mata satu dengan suara tertahan.
"Aku dan Lojit (si nomor tujuh)," sahut suara seorang yang mirip suara benda pecah.
Lalu pintu terdorong dan masuklah dua orang. Satu di antaranya bermuka burik dan memanggul
seikat besar sawi putih.

Seorang lagi berbadan kurus kecil, seorang penjual Taukoa (tahu kering).
Kedua orang ini tadi juga berada di pasar sayur, senantiasa menguntit di belakang si berewok. Tapi
lantaran sedang dirundung macam-macam pikiran, maka si berewok tidak memperhatikan
penguntitan mereka.
Kini kedua orang ini juga melototi si berewok sekejap, si burik penjual sawi terus menjambret leher
baju si berewok sambil membentak, "Orang she Thi, apa yang akan kau katakan sekarang?"
Dengan suara tertahan si perempuan mata satu membentak, "Lepaskan dia! Ada pertanyaan apa
boleh dikemukakan setelah semua orang hadir."
Si burik tampak menggereget menahan perasaannya, akhirnya ia lepaskan ti berewok dan memberi
hormat dengan anggukan tiga kali terhadap kuali hitam di atas meja, air mata pun bercucuran.
Tidak lama kemudian berturut-turut datang pula tiga orang. Yang seorang menyandang sebuah peti
obat dan memegang tongkat, tampaknya seorang penjual obat di tepi jalan atau tabib kelilingan.
Orang kedua berbadan gemuk, membawa pikulan yang memuat guci arak, sedangkan orang ketiga
adalah seorang buta tukang nujum.
Begitu melihat si berewok, ketiga orang ini juga memperlihatkan rasa murka, tapi mereka juga
lantas memberi hormat kepada kuali hitam dan tidak ada yang bersuara.
Cahaya refleks salju membuat keadaan di luar sangat terang, tapi di dalam rumah justru kelam dan
seram
Ketujuh orang itu duduk bersila di lantai, semuanya bermuka kelam dan menggertak gigi menahan
gusar, tampaknya mirip sekawanan setan yang lolos dari neraka dan sengaja pulang untuk
menuntut balas.
Wajah si berewok juga penuh rasa duka, menunduk dan tidak bersuara.
Tiba-tiba si perempuan mata satu berkata, "Longo (kelima), apakah kau tahu Losam (ketiga)
sempat hadir sebentar lagi?"
Si gemuk penjual arak menjawab, "Kuyakin pasti dapat hadir, sudah kuterima beritanya."
"Jika begitu, mengapa sampai sekarang belum muncul?" ujar si perempuan mata satu dengan
kening berkerut.
Si buta tukang nujum menghela napas panjang, ucapnya perlahan, "Kita sudah menunggu selama
tujuh belas tahun, masa tidak sabar menunggu sebentar lagi?"
Perempuan bermata satu juga menghela napas panjang sambil bergumam, "Ya, sudah tujuh belas
tahun, sudah tujuh belas tahun ...."
Sampai beberapa kali ia menyebut tujuh belas tahun, makin lama makin sedih suaranya.
Jelas selama 17 tahun dilaluinya secara tidak enak, selama itu entah telah merasakan betapa
banyak pahit getir dan mencucurkan berapa banyak air mata dan darah. Ketujuh orang sama
melototi si berewok, sinar mata mereka seakan-akan membara.

Si buta tukang nujum berkata pula, "Selama 17 tahun, senantiasa kami berharap akan dapat
bertemu lagi dengan orang she Thi, tapi sayang sekarang ...."
Kulit matanya yang pucat itu tampak mengejang, lalu menyambung dengan suara serak, "...
sekarang entah bagaimana wujudnya? Losi (keempat), dapatkah kau beritahukan padaku?"
Si tabib kelilingan menggereget dan bertutur, "Dia kelihatan tidak banyak berbeda daripada 17
tahun yang lalu, cuma janggutnya bertambah panjang dan badannya bertambah gemuk."
"Bagus, bagus ...." seru si buta sambil menengadah dan tertawa pedih, "Orang she Thi, kau tahu
selama 17 tahun ini siang dan malam selalu kudoakan semoga badanmu sehat walfiat agar kita
dapat bertemu pula, dan tampaknya Thian memang tidak membikin kecewa padaku."
"Setelah dia menjual Ang Thian-kiat, dengan sendirinya dia kaya raya dan hidup bahagia, mana bisa
hidup sengsara seperti hewan serupa kita ini ...." dengan mengertak gigi si perempuan mata satu
menimpali. Lalu dia tuding si penjual arak dan berkata pula, "Coba, An-lok Kongcu Thio-longo
sampai berkeliling menjual arak. Ih-jiko juga sudah menjadi orang buta ... semua ini mungkin tak
pernah kau bayangkan, bukan?"
"Semua ini kan hasil usahanya, mana bisa tak terbayangkan olehnya?" tukas si tukang kayu.
Si berewok diam saja dengan memejamkan mata, ia tidak berani membuka mata, ia takut bilamana
membuka mata, segera air mata akan mengucur tak tertahankan.
Tujuh belas tahun sudah lalu ... ya, sudah tujuh belas tahun ....
Siksa derita yang dirasakan mereka selama 17 tahun ini, siapa pula yang tahu?
Sekonyong-konyong seorang berteriak di luar, "Toaso ... Toaso .... Ada berita baik ...."
Cepat si perempuan mata satu memburu ke luar, tegurnya dengan mengeryitkan kening, "Ada
urusan apa, gembar-gembor?!"
Orang itu menjawab, "Baru saja aku bertemu dengan Thi-bin-bu-su Tio Cing-ngo, dia bilang orang
she Thi itu berada ...."
Sembari bicara ia terus menolak pintu dari melangkah masuk ke dalam, seketika ucapannya
terputus dengan mulut melongo, sebab dilihatnya orang yang hendak dicarinya ternyata sudah
berada di dalam rumah.
"Hehehe, tentunya tak kau sangka, bukan!" kata si perempuan mata satu dengan terkekeh-kekeh.
Orang yang baru datang itu menarik napas panjang, ucapnya, "Thi Cing-ngo bilang dia tinggal di
rumah Liong Siau-hun, tak terduga dia ...." mendadak ia pegang tangan si perempuan mata satu
dan bertanya, "Toaso, cara bagaimana dapat kau temukan dia dan membawanya ke sini?"
"Kuterima berita dari si kura-kura tua dari Liong-sin-bio, katanya dia dan Li Sun-hoan sedang
menuju ke sini," tutur si perempuan bermata satu. "Maka kami telah menguntitnya sepanjang jalan
sampai di sini, mestinya kita sungkan terhadap Li Sun-hoan dan tidak bebas untuk bertindak, siapa
tahu dia sendiri berpisah dengan Li Sun-hoan."
"Hahaha, ini namanya ajalnya sudah sampai, matanya telah ditutup tangan setan, maka kesasarlah
dia ke sini," tukas si buta tukang nujum dengan tertawa seram.

Pendatang terakhir tadi berdandan ringkas singsat, di antara delapan orang ini hanya dia saja yang
masih tetap berdandan sebagai seorang Kangouw, dua batang tombak pandak tersandang
menyilang di punggungnya sehingga jauh lebih tinggi di atas kepalanya.
Kini dia juga menengadah dan menghela napas menyesal, ucapnya, "Thian bermata dan cukup adil,
akhirnya dia terjatuh juga ke dalam tangan Tionggoan-pat-gi (delapan bersaudara angkat dari
Tionggoan) kita. Akhirnya dendam berdarah Ang Thian-kiat dapat ...." sampai di sini suaranya jadi
tersendat dan sukar meneruskan, mendadak ia berlutut di depan kuali hitam itu dan menangis
sedih.
Serentak ketujuh orang lainnya juga sama berlutut dengan air mata bercucuran.
Selang agak lama, orang Kangouw tulen itu melompat bangun, lalu berseru dengan geram sambit
melototi si berewok, "Nah, Thi Toan-kah, apakah masih kenal padaku?"
Si berewok, Thi Toan-kah, mengangguk jawabnya dengan rawan, "Ya, engkau baik ...."
"Dengan sendirinya aku sangat baik," tukas orang Kangouw itu, "Selama hidup Pian Go tidak pernah
berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, maka aku pun tidak perlu main sembunyi-sembunyi,
sedikitnya hidupku jauh lebih senang daripadamu."
"Samko," seru si burik dengan gusar, "untuk apa banyak omong dengan dia? Lekas bedah dadanya
dan rogoh hatinya untuk dijadikan sesaji bagi arwah Toako di alam baka, kan beres segala
urusannya?"
"Lojit," sahut si orang Kangouw yang bernama Pian Go itu, "salahlah ucapanmu. Jika kita ingin
membunuh orang, hendaknya kita lakukan secara terbuka, harus membikin setiap orang luar tidak
dapat bicara apa-apa lagi, juga harus membuat pihak lawan menyerah lahir batin."
"Betul," sela si buta, "sudah 17 tahun kita menunggu, masakah perlu terburu-buru barang sejenak
lagi."
Karena ucapannya ini, yang lain tidak dapat bicara lagi.
"Jika demikian, lantas cara bagaimana akan kau bereskan urusan ini, Losam??" tanya si perempuan
bermata satu.
Pian Go menjawab, "Kita harus tanya dulu sejelas-jelasnya, lalu mencari beberapa orang luar untuk
ikut mengadilinya, apabila setiap orang sama menyatakan orang she Thi ini pantas dibunuh, tatkala
mana barulah kita bunuh dia."
Mendadak si burik melonjak bangun, teriaknya dengan gusar, "Tanya apa lagi, memangnya ada
orang berani menyatakan perbuatannya itu tidak pantas dibunuh."
"Kalau memang tidak ada orang yang akan menyatakan dia tidak pantas dibunuh, apa alangannya
kalau kita tanyai dia?" ujar si buta.
Si burik berteriak pula dengan gemas, "Memangnya siapa ... siapa yang akan kau minta untuk ikut
mengadilinya?"
"Dengan sendirinya harus kita cari orang yang mahaadil dan tanpa pandang bulu, bahkan harus
tidak mempunyai sangkut-paut apa pun baik dengan Tionggoan-pat-gi kita maupun dengan orang
she Thi."

"Sesungguhnya siapa yang hendak kau minta ikut mengadilinya, lekas kaukatakan," ucap si
perempuan bermata situ dengan tidak sabar.
"Pertama ialah Thi-bin-bu-su Tio Cing-ngo." tutur Pian Go, "Orang ini boleh dikatakan ...."
Mendadak Thi Toan-kah tertawa pedih, serunya, "Sudahlah, kalian tidak perlu repot mengundang
orang segala, lekas bunuh saja diriku. Aku mengaku memang berbuat salah terhadap Ang Thiankiat, sekarang meski mati pun aku tidak menyesal."
"Hm, nadanya seakan-akan merasa tidak suka terhadap Tio Cing-ngo," jengek si perempuan mata
satu.
"Bila Tio Cing-ngo sengaja memberitahukan kepada Pian-losam tentang jejaknya, dengan
sendirinya di antara mereka pasti ada persengketaan, mana dia dapat menegakkan keadilan
baginya," ujar si buta.
"Walaupun begitu juga tidak menjadi soal, sebab selain Tio Cing-ngo telah kuundang lagi dua
orang," kata Pian Go.
"Oo? Dua orang lagi siapa?" tanya si buta.
"Yang seorang adalah pak tua yang biasanya jual cerita di alun-alun, orang ini boleh dikatakan ahli
dalam bidangnya, tapi sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan orang Kangouw. Seorang lagi
adalah pemuda yang baru muncul di dunia Kangouw ...."
"Anak muda yang masih hijau pelonco juga kau ajak ke sini, dia tahu apa?" omel si perempuan
mata satu.
"Meski dia baru muncul di dunia Kangouw, tapi wataknya keras dan tegas, tidak pandang bulu,
boleh dikatakan seorang lelaki gilang-gemilang. Meski baru dua hari kukenal dia, tapi kuyakin dia
pasti bukan manusia rendah dan jahat."
"Baru kenal dua hari dan sudah kau ketahui dia orang baik?" jengek si perempuan mata satu.
"Tampaknya sifatmu yang suka bersahabat ini sampai kini belum juga berubah."
Ia berhenti sejenak, mendadak meraung gusar, "Dahulu jika bukan gara-garamu yang membawa
pulang orang she Thi ini, katamu dia orang baik dan dapat bersahabat dengan dia, tentulah Ang
Thian-kiat takkan mati di tangannya."
Pian Go menunduk dan tidak berani bicara lagi.
Tapi si buta lantas berucap, "Apa pun juga orang luar yang kita mintai menjadi juri, gagasan ini
memang betul. Betapa pun Tionggoan-pat-gi tidak boleh sembarangan membunuh orang."
Dia tertawa, lalu menyambung, "Apalagi, kalau Losam sudah mengundang orang ke sini, mana
boleh kita membiarkan tamu kita berdiri kedinginan di luar?"
"Oo, orangnya sudah datang?" si perempuan mata satu menegas.
Pian Go menyengir dan menjawab, "Mestinya hendak kuajak mereka bertiga ke tempat Liong Siauhun sana, akan kuselesaikan urusan ini di depan orang banyak, tak terduga Toaso sudah
menemukan orang she Thi dan membawanya kemari."
Perempuan mata satu termenung sejenak, mendadak ia membuka pintu dan berseru, "Jika kalian

sudah datang, silakan masuk saja!"


Si berewok, Thi Toan-kah, sudah bertekad tak mau membuka mata lagi. Pada saat demikian dan di
tempat ini, sungguh dia tidak sudi lagi melihat cecongor Tio Cing-ngo yang berjuluk "wajah besi
mahaadil" itu, Dia sudah mengambil keputusan takkan bicara apa pun.
Terdengar suara langkah orang, benar juga ada dua orang masuk ke situ.
Langkah orang pertama kedengaran mantap dan kuat, jelas bagian kaki sudah terlatih cukup
tangguh. Dalam dunia persilatan terkenal Lan-kun-pak-tui atau kepalan selatan dan kaki utara. Tio
Cing-ngo adalah tokoh daerah utara, Kungfu pada kedua kakinya tentu saja tidak lemah.
Langkah orang kedua juga kedengaran berat tapi mengambang, waktu masuk malah terdengar
napasnya rada tersengal, andaikan orang ini pun paham ilmu silat pasti juga terbatas.
Anehnya Thi Toan-kah tidak mendengar suara langkah orang ketiga. Apakah yang datang cuma dua
orang saja? Atau mungkin langkah orang ketiga ini sama sekali tidak menimbulkan suara?
Si buta seperti berbangkit dan menyapa, "Berhubung sedikit persoalan saudara kami pada masa
lampau, untuk itu Anda bertiga telah sudi berkunjung kemari, tapi Anda bertiga telah menunggu
sekian lama di bawah hujan salju, sungguh terlalu ceroboh sambutan kami, mohon sudi
dimaafkan."
Cara bicaranya kalem, tidak lambat juga tidak cepat, dingin dan hambar, siapa pun tidak tahu yang
diucapkan itu timbul dari lubuk hatinya yang murni atau cuma berolok-olok belaka.
Terdengar Tio Cing-ngo menjawab, "Kaum kita harus menegakkan keadilan bagi dunia Kangouw
untuk membela kawan, biarpun belati menancap iga takkan gentar. Kenapa Ih-jisiansing bicara
sedemikian sungkan."
Setiap kali buka suara orang she Tio ini selalu berlagak ksatria dan terhormat, hal ini sudah
membosankan telinga Thi Toan-kah, bahkan memuakkannya.
Lalu terdengar seorang tua bicara dengan suara yang lantang, "Aku sih cuma seorang tukang cerita,
tapi biasanya yang kuceritakan juga kisah ksatria Kangouw yang berbudi luhur, dalam hatiku sendiri
sudah lama mengagumi para ksatria Kangouw, kini mendapat kehormatan untuk hadir kemari,
sungguh aku merasa sangat beruntung."
Dengan dingin si buta menanggapi, "Asalkan sekembali Anda nanti sukalah kau ceritakan kisah
nyata ini kepada umat manusia seluruh dunia, untuk itu sebelumnya kami mengucapkan terima
kasih."
"Hal ini adalah kewajibanku, sepulangnya nanti pasti akan kuceritakan apa yang kulihat ini, maksud
tujuan undangan Pian-samya kepadaku memang juga demikian adanya."
Baru sekarang Thi Toan-kah tahu maksud Pian Go mengundang seorang tukang cerita ini, diamdiam ia memuji kerapian cara bekerja Pian Go.
Mendadak terdengar si perempuan mata satu berucap, "Dan entah siapa nama sahabat yang mulia
ini? Bolehkah memberitahu?"
Jalan ucapannya ditujukan kepada orang ketiga.
Tapi orang itu tidak bersuara, sebaliknya Pian Go lantas menanggapi, "Biasanya sahabat ini tidak

suka orang lain mengetahui namanya ...."


"Namanya memang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini," sela si buta. "Jika dia tidak budi
mengatakan, kita pun tidak perlu tanya. Sebaliknya nama kita yang berkepentingan ini tidak boleh
tidak perlu diketahui olehnya."
Segera Pian Go menyambung, "Semula kami berdelapan saudara, berkat pujian sahabat dunia
Kangouw, kami disebut Tionggoan-pat-gi. Padahal sebutan ini hanya sekadar pujian sahabat
belaka ...."
"Kukira bukan pujian sahabat belaka," tiba-tiba si buta memotong pula, "meski Kungfu kita
berdelapan tidak luar biasa, tampang kita juga tidak mengejutkan, tapi apa yang kita lakukan selalu
mengutamakan setia kawan dan tidak pernah berbuat sesuatu yang memalukan."
Mendadak Tio Cing-ngo berseru, "Tionggoan-pat-gi luhur budi, orang Kangouw siapa yang tidak
tahu!"
Si tukang cerita itu juga berkeplok dan berkata, "Tionggoan-pat-gi, sungguh nama yang gemilang,
Losiansing ini tentunya tokoh utamanya?"
"Tidak, aku saudara kedua," sahut si buta "Namaku Ih Beng-oh, dahulu terkenal dengan julukan
'Sin-bok-ji-tian' (mata sakti serupa kilat), tapi sekarang ...."
Ia berhenti dan tersenyum pedih, lalu melanjutkan, "Sekarang julukanku ialah 'Yu-gan-bu-cu'
(bermata tapi tak bisa melihat). Nah, hendaknya kau ingat dengan baik!"
"Mana dapat kulupakan," sahut si tukang cerita.
"Dan Samte kami Po-ma-sin-jiang (tombak sakti berkuda mestika) Pian Go sudah kau kenal,
adapun diriku sendiri nomor empat, namaku Kim Hong-pek," sambung si tabib keliling.
"Menurut logat bicara Anda, rasanya seperti asli orang Lam-yang-hu," ujar si tukang cerita.
"Betul," kata si tabib alias Kim Hong-pek.
"Toko obat It-tiap-tong (cukup satu resep) di Lam-yang-hu sudah terkenal selama beratus tahun,"
kata si tukang cerita. "Waktu kecilku juga pernah pakai obat cacing keluaran It-tiap-tong, entah
Anda ini ...."
"Kalau juragan muda Ban-seng-wan saja sekarang juga menjual arak, untuk apa bicara lagi tentang
anggota keluarga It-tiap-tong?"
"Ban-seng-wan (taman selaksa korban)? Masa putra Thio-losianjin (dermawan Thio) juga berada di
sini?" seru si tukang cerita.
"Betul," kata Kim Hong-pek.
"Yang mana?" tanya si tukang cerita.
"Ialah diriku si penjual arak ini," tukas orang yang membawa pikulan arak itu.
Si tukang cerita menghela napas panjang, seperti terkejut, seperti juga sangat terharu karena
anggota keluarga ternama dan kaya raya itu sekarang sama menjadi rudin begini.

"Namaku Thio Seng-hun," kata si penjual arak pula, "si tukang kayu adalah Lakte (adik keenam)
kami, meski kapaknya sekarang cuma digunakan untuk memotong kayu, tapi dahulu terkenal
sebagai Lip-pi-hoa-san (sekali tabas membelah gunung Hoa) ...."
"Dan aku Lojit (ketujuh), namaku Kongsun Uh, aku bernama Uh (hujan), sebab lubang burik pada
mukaku mirip tetesan hujan," demikian si bopeng juga berucap.
"Dan aku Lopat (kedelapan), namaku Sebun Liat," sambung si penjual Taukoa.
"Lalu siapakah Toagisu (ksatria pertama)?" tanya si tukang cerita.
"Toako kami Ang Thian-kiat sudah mati terbunuh," tutur Kongsun Uh. "Yang inilah istri Toako
kami ...."
"Namaku tidak sedap didengar, Li-tu-hou (si wanita jagal) Ang-toanio," tukas si perempuan bermata
satu, "kuharap kau ingat baik-baik namaku."
Dengan tersenyum si tukang cerita menjawab, "Meski aku sudah tua, tapi kuyakin daya ingatanku
masih cukup baik."
"Kami minta engkau ingat baik-baik nama kami bukan supaya nama kami disebarluaskan olehmu,
tapi melalui mulutmu hendaknya kau siarkan dendam kesumat berdarah kami agar orang Kangouw
sama mengetahui duduk perkara yang sebenarnya."
"Dendam kesumat?" si tukang cerita menegas. "Apakah Ang-toagisu ...."
"Orang ini bernama Thi-kah-kim-kong Thi Toan-kah, dia inilah yang membunuh Toako kami," seru
Kongsun Uh dengan beringas.
"Kami berdelapan saudara serupa saudara sekandung," tutur Kim Hong-pek. "Meski kami
mempunyai pekerjaan masing-masing, tapi bila mana tiba hari Tiongciu, setiap tahun kami pasti
berkumpul untuk beberapa bulan di perkampungan Toako."
"Sebenarnya kami berdelapan saudara sudah cukup ramai, maka sejauh itu belum lagi menambah
sahabat baru," sambung Thio Seng-hun. "Tapi tahun itu Samko pulang dengan membawa seorang,
katanya orang ini adalah seorang, sahabat sejati."
"Padahal orang ini adalah Thi Toan-kah yang lupa budi dan ingkar janji, manusia yang mencari
keuntungan sendiri dengan menjual sahabat," tukas Kongsun Uh dengan penuh rasa dendam.
"Pada dasarnya Toako kami memang seorang simpatik, seorang yang cinta sahabat lebih daripada
jiwa sendiri," sambung Kim Hong-pek, "ketika Toako melihat orang she Thi ini memang memper
seorang lelaki sejati, beliau pun memandangnya sebagai sahabat sendiri. Siapa tahu ... siapa tahu
dia ternyata bukan ... bukan manusia, tapi hewan."
"Waktu itu kami berkumpul untuk merayakan tahun baru, sehabis tahun baru, kami pun sama
berpisah," tutur Thio Seng-hun. "Tapi Toako sengaja menahan dia agar tinggal lagi satu-dua bulan.
Siapa duga secara diam-diam dia telah mengundang beberapa musuh Toako, pada tengah malam
buta mereka menyerbu rumah Toako dan mengganas, Toako terbunuh, Ang-keh-ceng dibakarnya,
untunglah Toaso dapat meloloskan diri, tapi juga terluka parah."
"Tentunya kalian melihat bekas luka pada mukaku ini?" seru Ang-toanio dengan suara parau.
"Bacokan ini hampir membelah kepalaku, kalau saja mereka tidak salah sangka aku sudah mati,
tentu aku pun tidak bisa lolos dari kekejaman mereka."

"Waktu itu seluruh penghuni Ang-keh-ceng boleh dikatakan hancur lebur, orang terbunuh habis dan
perkampungan terbakar ludes, tapi tidak ada yang tahu siapa yang mengganas. Coba pikir, kejam
tidak orang ini?" teriak Kongsun Uh.
"Setelah kami mendapat berita ini, serentak kami meninggalkan segala urusan pribadi dan
bersumpah akan menemukan keparat ini untuk menuntut batas bagi Toako," sambung Kim Hongpek. "Dan syukurlah Thian Mahaadil, dapat kami temukan dia."
"Sekarang sudah kami uraikan asal mula perkara ini," seru Ang-toanio dengan beringas, "Nah,
menurut pendapat kalian bertiga, orang she Thi ini pantas dibunuh atau tidak?"
"Jika berita ini benar, biarpun Thi Toan-kah dicincang hancur lebur juga tidak berlebihan," ucap Tio
Cing-ngo dengan tegas.
"Sudah tentu cerita ini benar-benar kisah nyata," teriak Kongsun Uh sambil melonjak. "Jika tidak
percaya boleh silakan kalian tanya dia sendiri."
Thi Toan-kah kelihatan mengertak gigi dan berucap dengan parau, "Sudah kukatakan sejak tadi aku
memang malu terhadap Ang-toako, mati pun aku tidak menyesal."
"Nah, kalian sudah dengar sendiri," teriak Kongsun Uh pula, "bukankah dia sudah mengaku
sendiri?!"
"Bila dia sendiri sudah mengaku, apa pula yang dapat dikatakan orang lain?" ujar Tio Cing-ngo.
"Aku ini tukang cerita, sering kukisahkan Sam-kok yang mengutamakan budi luhur dan setia
kawan, juga cerita Gak Hui yang patriotik, tapi manusia berhati keji seperti dia ini, mungkin menteri
dorna sebangsa Co Jo dan Cin Kue juga harus mengaku kalah."
"Jika demikian, jadi kalian bertiga sama menganggap orang she Thi ini pantas dibunuh?" tanya Angtoanio.
"Ya, pantas dibunuh," jawab si tukang cerita.
"Bukan saja pantas dibunuh, bahkan harus mencincangnya untuk memberi contoh kepada orang
Kangouw!" tukas Tio Cing-ngo.
Mendadak seorang menimpali, "Hm, ucapanmu selalu menyinggung Kangouw, memangnya cuma
kau sendiri saja yang dapat mengatasnamakan Kangouw?"
Suara orang ini singkat tapi kuat, setiap katanya setajam sembilu, dingin dan juga cepat.
Sejak masuk ke rumah ini baru sekarang untuk pertama kalinya dia bersuara, jelas dia inilah "orang
ketiga" yang langkahnya tidak menimbulkan suara serupa binatang buas itu.
Hati Thi Toan-kah bergetar, tiba-tiba ia merasa suara orang ini sudah sangat dikenalnya. Tanpa
terasa ia membuka mata, maka tertampaklah orang yang berduduk di tengah antara Tio Cing-ngo
dan seorang kakek berbaju hijau, jelas dialah si pemuda yang dingin dan suka menyendiri itu, si A
Fei.
"Hei, Fei-siauya, mengapa engkau juga kemari?" hampir saja Thi Toan-kah berteriak, tapi sekuatnya
ia mengertak gigi sehingga tidak satu kata pun yang tercetus.

Dalam pada itu air muka Tio Cing-ngo lantas berubah, ucapnya, "Memangnya sahabat ini
menganggap manusia begini tidak pantas dibunuh?"
"Hm, jika kuanggap dia tidak pantas dibunuh, tentu kalian akan membunuh diriku sekalian, begitu
bukan?" jengek si A Fei.
"Kentut makmu!" damprat Kongsun Uh dengan murka.
"Makku kentut, makmu juga kentut, setiap orang pasti mengentut, kenapa mesti dipersoalkan?"
ujar A Fei.
Kongsun Uh jadi melengak dan tidak dapat bicara lagi. Sungguh mereka tidak pernah melihat orang
bicara demikian. Mereka tidak tahu bahwa sejak A Fei dilahirkan di dunia fana ini hakikatnya dia
tidak pernah kenal pada kala-kata makian ini.
Perlahan si buta Ih Beng-oh berkata, "Kami mengundang sahabat kemari, tujuan kami justru ingin
memohon sahabat suka menegakkan keadilan dan membela kebenaran, asalkan sahabat dapat
menjelaskan apa alasan orang ini tidak pantas dibunuh, bahkan jika alasanmu cukup masuk di akal
segera juga kami siap membebaskan dia."
Dengan suara bengis Tio Cing-ngo menyela, "Kukira dia cuma mencari perkara tanpa alasan, untuk
apa tuan-tuan menaruh perhatian kepada ucapannya."
A Fei memandangnya sekejap, lalu berucap, "Kau bilang orang lain mencari keuntungan sendiri
dengan menjual kawan, engkau sendiri bukankah juga pernah menjual beratus orang sahabat?
Yang membakar dan membunuh orang Ang-keh-ceng tempo dahulu bukankah kau pun termasuk
satu di antaranya, cuma saja Ang-toanio tidak melihat dirimu."
"Heh, apakah betul?" seru kedelapan orang itu dengan terkejut.
"Tentu saja benar," kata A Fei. "Sebabnya dia ingin membunuh orang she Thi ini kan sengaja
hendak menghilangkan saksi hidup belaka."
Tadinya Tio Cing-ngo cuma mencibir dan berlagak meremehkan, kini mau tak mau ia menjadi
gugup, teriaknya gusar, "Kentut ...."
Karena gugupnya, hampir saja ia pun mencaci maki dengan kata kasar seperti Kongsun Uh, syukur
baru "kentut" terucapkan, segera teringat olehnya kata makian demikian bisa membikin merosot
harga dirinya sebagai seorang "pendekar". Maka cepat ia menengadah dan bergelak tertawa,
"Haha, tak tersangka anak muda belia seperti dirimu sudah mahir memfitnah orang. Untungnya
tidak ada orang yang mau percaya kepada keteranganmu yang cuma sepihak ini."
"Keterangan sepihak katamu? Lantas keterangan pada pihakmu mengapa kau minta orang lain
harus percaya?" jengek A Fei.
"Orang she Thi itu sudah mengaku sendiri, masa tidak kau dengar?"
"Sudah kudengar," kata A Fei.
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu ujung pedangnya sudah mengancam leher Tio Cing-ngo.
Padahal Tio Cing-ngo adalah jago berpengalaman luas, mestinya bukan orang yang mudah
dihadapi. Tapi sekali ini entah sebab apa, sama sekali tak diketahuinya cara bagaimana anak muda
itu melolos pedangnya. Ia cuma merasa pandangannya kabur dan tahu-tahu ujung pedang orang

sudah berada di depan tenggorokannya. Ingin berkelit sudah tidak keburu, mau bergerak juga tidak
berani. Terpaksa ia bicara dengan suara parau, "Kau ... kau mau apa?"
"Aku cuma ingin tanya padamu, tempo hari waktu terjadi pembunuhan di Ang-keh-ceng, bukankah
kau pun ikut serta?" tanya A Fei.
"Gi ... gila kau!" teriak Tio Cing-ngo dengan gusar.
"Jika tidak cepat kau akui, sekali tusuk kubinasakan dirimu!" ancam A Fei dengan hambar.
Ucapannya acuh tak acuh, serupa bergurau antarsahabat, tapi biji matanya yang hitam gilap itu
memancarkan semacam cahaya gemerlap tajam yang membuat orang mau tak mau harus percaya
kepada ucapannya.
Seketika butiran keringat sebesar kedelai berketes-ketes dari kening Tio Cing-ngo, jawabnya
dengan terputus-putus, "Aku ... aku ...."
"Hendaknya kau jawab dengan hati-hati, jangan salah satu kata pun," kata A Fei.
Padahal pedang yang terselip di pinggang A Fei itu terlihat jelas oleh setiap orang, bahkan semua
orang merasa geli terhadap pedangnya yang serupa pedang permainan anak kecil itu. Tapi sekarang
tidak ada seorang pun yang meremehkannya.
Muka Tio Cing-ngo pucat pasi, saking kekinya hampir saja ia jatuh kelengar. Meski Tionggoan-pat-gi
bermaksud menolongnya, terpaksa tidak berani turun tangan dalam keadaan demikian.
Di bawah gerak padang secepat ini, siapa yang mampu menolong orang? Apalagi mereka sendiri
juga ingin mencari keterangan sejelasnya, mereka pun tidak berani memastikan Tio Cing-ngo tidak
ikut serta dalam pembunuhan di Ang-keh-ceng tempo dulu.
"Eh, untuk penghabisan kalinya kutanya padamu, penghabisan kali, kuulangi, dan tidak ada kali
berikutnya," ucap A Fei pula. "Nah, kutanya padamu, Ang Thian-kiat terbunuh olehmu, betul tidak?"
Tio Cing-ngo memandangi biji mata yang hitam gilap itu, ia merasa tulang sumsum sendiri seakanakan beku, tanpa terasa ia menjawab dengan gemetar, "Iy ... iya ...."
Baru saja "ya" diucapkannya, seketika air muka Tionggoan-pat-gi berubah menjadi beringas.
Serentak Kongsun Uh berjingkrak murka dan mendamprat. "Bangsat piaraan biang anjing, setelah
kau lakukan perbuatan khianat itu, berani lagi kau datang ke sini dan berlagak orang baik?"
Mendadak A Fei tertawa dan berseru, "Tuan-tuan jangan marah, kematian Ang Thian-kiat
sesungguhnya tidak ada sangkut-pautnya sedikit pun dengan dia."
Tionggoan-pat-gi jadi melengak.
Dengan sengit Kongsun Uh berkata, "Tapi ... tapi dia sendiri kan ... kan sudah mengaku? ...."
"Ya, tapi pengakuannya itu hanya membuktikan sesuatu, yaitu, bilamana seorang dalam keadaan
terpaksa maka apa yang diakuinya itu pada hakikatnya tidak masuk hitungan."
Air muka Tio Cing-ngo dari pucat berubah menjadi merah sebaliknya air muka Tionggoan-pat-gi
yang merah menjadi pucat. Beramai-ramai mereka lantas membentak, "Bilakah kami pernah
memaksa dia bicara? Memang kau anggap pengakuan ini karena dipaksa? Jika dia merasa

penasaran, kenapa dia sendiri tidak bicara terus terang?"


Dengan kalem Ih Beng-oh lantas menambahkan, "Thi Toan-kah, apabila kau anggap kami telah
salah menuduh dirimu, saat ini kebetulan dapat kau jelaskan duduknya perkara kepada kami."
"Betul," teriak Kongsun Uh sambil melompat maju ke depan Thi Toan-kah, "jika ada persoalan,
bicaralah lekas, tidak nanti ada orang akan menyumbat mulutmu!"
Tapi Thi Toan-kah tetap tutup mulut rapat-rapat, air mukanya tampak penuh menderita.
"Jika tiada sesuatu yang dapat kau katakan, hal ini menandakan kau sendiri telah mengakui
perbuatanmu, sekali-kali tidak pernah kupaksa pengakuanmu dengan kekerasan," seru Ang-toanio.
Thi Toan-kah menghela napas panjang, ucapnya dengan sendu, "Fei-siauya, sungguh aku tidak
dapat bicara apa-apa, terpaksa kukecewakan maksud baikmu."
Kongsun Uh melonjak pula dan berteriak terhadap A Fei, "Nah, kau dengar sendiri, dia sendiri
menyatakan tidak dapat bicara apa-apa lagi, lalu apa pula yang dapat kau katakan?"
"Peduli dia bicara atau tidak, yang jelas aku tidak percaya dia adalah seorang yang suka menjual
sahabat demi mencari keuntungan sendiri," kata A Fei.
"Bukti dan saksi sudah lengkap, mau tak mau kau harus percaya!" Kongsun Uh meraung murka.
"Hm, persetan bilamana dia tetap tidak percaya, kenapa kita mesti meminta dia percaya?" jengek
Ang-toanio.
"Betul, urusan ini pada hakikatnya memang tidak ada sangkut-pautnya dengan dia," sambung Kim
Hong-pek.
"Tapi setelah kuhadir di sini, urusan ini menjadi ada sangkut-pautnya denganku," kata A Fei.
"Dirodok, memangnya ada sangkut-paut apa dengan ibumu?" damprat Kongsun Uh dengan murka.
"Jika aku tidak percaya berarti kalian tidak boleh mengganggu dia," jawab A Fei.
"Keparat, memangnya kau terhitung barang apa, berani ikut campur urusan kami?" teriak Angtoanio.
"Justru hendak kubinasakan dia, coba saja apa abamu?" si tukang kayu juga meraung. Orang ini
paling sedikit bicara, tapi bergerak paling cepat. Begitu bicara, begitu pula kapaknya membacok
batok kepala Thi Toan-kah.
Dahulu dia berjuluk "Lip-pi-hoa-san" atau sekali bacok membelah gunung Hoa, jurus serangan ini
adalah jurus andalannya, dengan sendirinya kekuatannya tidak alang kepalang dahsyatnya.
Tapi Thi Toan-kah masih tetap duduk di tempatnya, biarpun dia menguasai Kungfu Thi-poh-sam
yang kebal juga akan terbelah oleh bacokan kapak.
Maklumlah, biarpun Thi-poh-sam dikenal sebagai Kungfu yang kebal terhadap senjata tajam,
padahal yang dimaksudkan senjata tajam adalah sejenis senjata biasa seperti golok atau pedang,
bahkan harus tahu bagian mana yang akan diserang, pada tempat itulah lebih dulu dikumpulkan
tenaga dalam. Bilamana menghadapi tokoh kelas tinggi, biarpun benar berotot kawat dan bertulang
besi juga akan terhantam remuk, apalagi si berewok juga manusia berdarah daging.

Kungfu kekebalan demikian juga hampir lenyap dalam dunia persilatan, soalnya meski orang
berhasil meyakinkannya juga tidak besar daya gunanya, sebab itulah jarang ada yang mau
melatihnya. Kalau tidak, melulu si berewok sja sudah mampu mengatasi Bwe-hoa-cat, untuk apa
mesti berebut Kim-si-kah segala?"
Dalam pada itu, si tukang cerita menjerit kaget, disangkanya si berewok pasti akan binasa.
Siapa tahu pada saat itu juga mendadak cahaya pedang berkelebat, "cret", kapak yang besar itu
terkutung menjadi dua potong, "trang", pangkal kapak jatuh di depan Thi Toan-kah.
Rupanya sambaran pedang itu cepat luar biasa, sedikit ujung pedang menyabat pada tangkai
kapak, seketika tangkai kapak yang terbuat dari kayu itu terkutung.
Saat itu si tukang kayu lagi mengayun kapak sekuatnya, mendadak tangannya tergetar, "krakkrek", siku dan pergelangan tangannya keseleo, tubuhnya juga condong ke depan, tepat dia
menubruk ke arah ujung pedang seakan-akan tenggorokannya sengaja disodorkan untuk ditusuk
orang.
Keruan kejadian ini sangat mengejutkan, muka mereka menjadi pucat, meski mereka juga bukan
jago lemah, tapi untuk menolong jelas tidak keburu lagi.
Tak terduga A Fei lantas melintangkan pedangnya, batang pedang tepat menahan dagu si tukang
kayu. Saking kagetnya tukang kayu itu terus menjengkang ke belakang, orangnya lantas jatuh
pingsan.
Sekali serang A Fei mengatasi Tio Cing-ngo tadi, orang lain sama menyangka gerak serangannya
dilancarkan secara mendadak selagi lawan tidak berjaga-jaga, jadi kemenangannya hanya
kebetulan. Tapi gerak pedangnya yang luar biasa sekarang membuat semua orang benar melongo
kaget.
Tionggoan-pat-gi sudah lama berkecimpung di dunia Kangouw, lawan tangguh macam apa pun
pernah mereka hadapi, tapi ilmu pedang pemuda aneh ini benar-benar membikin mereka
tercengang, sungguh sukar untuk dipercaya bahwa di dunia ini ada ilmu pedang secepat ini.
Pada waktu ujung pedang A Fei meninggalkan tenggorokan Tio Cing-ngo tadi, sebenarnya kepalan
Tio Cing-ngo sudah siap menghantam punggung anak muda itu.
Tapi demi melihat betapa lihai serangan A Fei itu, kepalan yang hampir mengenai sasarannya itu
ditariknya kembali mentah-mentah. Soalnya Kungfu anak muda itu teramat hebat dan
mengejutkan, ia percaya tidak nanti punggungnya sengaja dikosongkan untuk diserang musuh.
Tio Cing-ngo tidak berani membayangkan betapa reaksi lihai lawan yang akan terpancing oleh
sergapannya itu, sebab itulah dia urung menyerang.
A Fei seperti tidak merasakan apa-apa, dengan tenang ia pegang tangan Thi Toan-kah dan berkata,
"Ayolah pergi! Mari kita pergi minum arak!"
Tanpa kuasa Thi Toan-kah terseret pergi. Tapi Kongsun Uh, Kim Hong-pek dan Pian Go serentak
mengadang di depan mereka.
"Masa sekarang juga sahabat mau pergi?! Mungkin tidak semudah ini?!" seru Kim Hong-pek dengan
suara parau.

"Memangnya apa yang harus kulakukan? Apakah mesti kubunuh dirimu?" jawab A Fei dengan tak
acuh.
Kim Hong-pek melototi orang, entah mengapa, sinar mata A Fei yang dingin itu membuatnya ngeri.
Padahal selama hidupnya entah sudah berapa kali dia bertempur mati-matian dengan orang, tapi
rasa ngeri seperti ini baru terjadi dua kali. Pertama kali terjadi pada waktu dia berumur 14, waktu
itu dia kesasar di hutan ketika berburu dan kepergok sekawanan serigala lapar di tengah malam.
Kalau dirasakan sekarang, dia lebih suka kepergok lagi dengan sekawanan serigala lapar itu
daripada menghadapi ujung pedang pemuda aneh ini.
Tiba-tiba Ih Beng-oh menghela napas, ucapnya dengan suara berat, "Biarkan dia pergi!"
"Mana boleh lepaskan dia?" teriak Ang-toanio dengan suara serak. "Memangnya jerih payah kita
selama ini dianggap ...."
"Ya, anggap saja dimakan anjing," jengek Ih Beng-oh.
Air mukanya tetap dingin dan seram, tetap hambar, tidak marah, juga tidak emosi, ia cuma menjura
kepada A Fei dan berkata, "Silakan Anda pergi saja. Memang beginilah urusan dunia Kangouw,
barang siapa bersenjata lebih cepat, dialah yang berhak dan berkuasa."
"Terima kasih atas petunjukmu," kata A Fei. "Ucapanmu, ini pasti takkan kulupakan."
Semua orang menyaksikan A Fei menyeret pergi Thi Toan-kah, ada yang gemertuk giginya saking
menahan gemasnya, ada yang mengentak kaki, ada pula yang mencucurkan air mata.
Lebih-lebih Ang-toanio, ia tidak tahan dan menangis tergerung-gerung sambil mengentak kaki,
teriaknya, "Ken ... kenapa kau lepaskan dia? Mana ... mana boleh kau lepaskan dia?"
Air muka Ih Beng-oh tetap hambar tanpa emosi, ucapnya perlahan, "Memangnya apa yang dapat
kau lakukan? Apakah menyuruh dia membinasakan kita seluruhnya?"
"Ucapan Jiko remang betul," tukas Pian Go. "Selama gunung tetap menghijau, jangan kantir tiada
mendapat kayu bakar. Asalkan kita masih hidup, tentu akan tiba kesempatan kita untuk menuntut
balas."
Mendadak Ang-toanio memburu maju dan menjambret leher baju Pian Go sambil meraung, "Masih
juga kau berani bicara? Kembali sahabat baik yang kau bawa kemari, kembali gara-garamu ...."
"Betul, akulah yang membawa dia ke sini, betapa pun aku harus bertanggung jawab kepada Toaso,"
jawab Pian Go dengan pedih.
"Bret", robek leher bajunya, segera ia pun membalik tubuh dan menerjang ke luar.
Ang-toanio melengak, cepat serunya, "Kembali, Losam ...."
Tapi waktu ia mengejar ke luar, bayangan Pian Go sudah hilang.
Ih Beng-oh menghela napas, ucapnya, "Sudahlah, biarkan dia pergi, semoga dia dapat membawa
kemari sahabatnya yang lama itu."
Terbeliak mata Kim Hong-pek, gumamnya, "Apabila Samko benar dapat mendatangkan orang itu,
betapa cepat gerak pedang bocah ini juga tidak ada artinya."

Tiba-tiba Tio Cing-ngo tertawa dan berkata "Padahal Pian-samhiap tidak perlu mencari bala bantuan
lagi."
"Oo?!" Kim Hong-pek bersuara ingin tahu.
"Sebab besok atau lusa akan datang tiga orang kosen ke sini," tutur Tio Cing-ngo, "Sekalipun anak
muda tadi berkepala tiga dan bertangan enam, pasti juga akan kubuat ketiga kepalanya berpisah
dengan tuannya."
"Memangnya tiga orang kosen siapa?" tanya Kim Hong-pek.
Dengan perlahan Tio Cing-ngo menjawab, "Bila kalian mendengar nama mereka, mungkin kalian
akan melonjak kaget ...."

*****

Meski waktu lohor, tapi cuaca kelam seperti magrib.


Dengan tenang A Fei sedang berjalan, serupa waktu pertama kalinya Thi Toan-kah melihat dia,
masih kelihatan menyendiri, kesepian dan letih.
Tapi sekarang Thi Toan-kah sudah tahu, bilamana menghadapi bahaya, anak muda yang kelihatan
letih ini akan berubah menjadi tangkas, berubah gesit dan perkasa.
Thi Toan-kah berjalan di sisi anak muda itu, entah betapa banyak kata-kata yang ingin
diucapkannya, tapi entah cara bagaimana harus mulai bicara.
Li Sun-hoan juga seorang yang tidak banyak bicara. Sudah belasan tahun dia hidup bersama Li
Sun-hoan, maka dia telah berhasil belajar menggunakan diam sebagai gantinya kata-kata. Sejak
tadi dia hanya bicara dua kata saja, yakni "terima kasih".
Tapi segera diketahuinya kedua kata ini pun berlebihan, sebenarnya tidak perlu. Sebab ia tahu A Fei
juga serupa Li Sun-hoan. Di depan orang semacam mereka ini, selamanya tidak perlu kau katakan
"terima kasih" segala.
Di tepi jalan ada sebuah gardu kecil, gardu istirahat bagi orang lalu. Tapi sekarang gardu ini hanya
timbunan salju melulu.
A Fei masuk ke gardu itu, katanya tiba- tiba, "Mengapa engkau tidak mau membeberkan persoalan
yang membikin penasaran padamu?"
Thi Toan-kah termenung agak lama, setelah, menghela napas panjang, lalu berkata "Ada sementara
urusan, lebih baik mati daripada kukatakan"
"Engkau adalah sahabat yang baik, tapi kalian telah salah sangka sesuatu."
"Oo?!" Thi Toan-kah melengak.
"Kalian sama mengira jiwa adalah miliknya sendiri, setiap orang berhak untuk mati."
"Memangnya salah?"

"Tentu saja salah," mendadak A Fei membalik tubuh dan melototi Thi Toan-kah, "manusia dilahirkan
bukan untuk mati."
"Akan tetapi, bilamana seorang tiba pada saat harus mati ...."
"Biarpun menghadapi kematian juga harus berjuang untuk mencari hidup," tukas A Fei.
Dia menengadah memandang cakrawala yang luas, perlahan ia menyambung pula, "Thian (Tuhan)
khawatir engkau dahaga, maka engkau diberi air minum. Khawatir engkau lapar, diciptakanlah
makanan bagimu. Khawatir engkau kedinginan, diciptakan kapas untuk dibuat baju agar engkau
tidak kedinginan ...." dengan melotot ia-pandang Thi Toan-kah dan meneruskan dengan suara
keras, "Coba, tidaklah sedikit Thian telah berbuat bagimu, akan tetapi apa yang telah kau lakukan
bagi Thian?"
Thi Toan-kah melenggong, ia menunduk dan berucap, "Ya, apa pun tidak pernah kulakukan."
"Engkau dilahirkan dan dibesarkan oleh ayah bundamu," kata A Fei pula, "jerih payah mereka pun
tak terperikan dan apa pula yang pernah kau lakukan bagi mereka?"
Thi Toan-kah menunduk terlebih rendah dan tidak bersuara.
"Engkau cuma tahu ada kata-kata yang tidak boleh kau beberkan, jika kau beberkan berarti tidak
setia terhadap sahabat. Namun bila kau mati begitu saja, cara bagaimana pula akan bertanggung
jawab terhadap ayah bundamu? Juga terhadap Thian?"
Kedua tinju Thi Toan-kah terkepal erat, tanpa terasa telapak tangannya berkeringat dingin.
Meski setiap patah kata anak muda itu sangat sederhana, tapi di dalamnya mengandung filsafah
yang sangat dalam. Tiba-tiba Thi Toan-kah merasakan anak muda ini meski terkadang kelihatannya
seperti tidak tahu urusan, tapi ketajaman otaknya, kejernihan pikirannya, bahkan Li Sun-hoan juga
tak dapat menandinginya. Terhadap urusan tetek bengek kehidupan manusia mungkin tidak
dipahaminya sama sekali, sebab pada hakikatnya hal-hal itu memang tidak pernah diperhatikannya.
"Manusia dilahirkan untuk hidup," ucap A Fei pula sekata demi sekata, "Siapa pun tidak berhak
mengantarkan kematian sendiri,"
Butiran keringat tampak memenuhi kepala Thi Toan-kah, ia menunduk dan bergumam, "Ya, aku
salah, aku salah ...."
Tiba-tiba ia seperti membulatkan tekad, katanya sambil menengadah, "Sebabnya aku tidak mau
membeberkan seluk-beluk perkara itu adalah karena ...."
"Kupercaya padamu," potong A Fei sebelum lanjut ucapan orang, "tidak perlu kau beri penjelasan
padaku."
"Tapi ... tapi berdasarkan apa kau yakin aku ini bukan manusia yang suka menjual sahabat untuk
keuntungan sendiri?" tanya Thi Toan-kah.
"Pandanganku takkan keliru," ujar A Fei dengan hambar. Gemerdep sinar matanya, dengan penuh
keyakinan ia menyambung pula, "bisa jadi hal ini disebabkan aku dibesarkan di hutan belukar.
Manusia yang dibesarkan di hutan belukar akan serupa dengan binatang buas, secara naluri
mempunyai semacam kemahiran yang dapat membedakan hal-hal yang baik dan jahat."

*****

Dalam pada itu Li Sun-hoan lagi kesal di kamarnya. Ia merasa orang-orang yang tinggal di Hin-hunceng rata-rata memuakkan, kalau dibandingkan, Yu Liong-sing masih terhitung lumayan, sebab
paling sedikit dia tidak suka menjilat pantat.
Jika pribadi seseorang sudah terasa memuakkan, ditambah lagi pandai menjilat pantat,
kelakuannya sungguh bisa membikin orang mengkirik.
Sebab itulah Li Sun-hoan lebih suka berdiam di dalam kamarnya daripada bergaul dengan manusia
yang memuakkan itu.
Dengan sendirinya Liong Siau-hun kenal sifatnya, dia tidak memaksanya ke luar. Maka Li Sun-hoan
lantas berbaring sendirian di tempat tidurnya untuk menanti datangnya sang malam. Ia tahu malam
nanti pasti akan terjadi banyak peristiwa yang menarik.
Angin mendesir menimbulkan gemersik dedaunan.
Di pojok langit-langit kamar ada seekor labah-labah sedang membuat jaring.
Manusia kan juga serupa labah-labah? Setiap manusia di dunia ini juga sama membuat jaring, lalu
memasukkan dirinya sendiri ke tengah jaring.
Li Sun-hoan juga mempunyai jaringnya sendiri, selama hidup jangan harap akan dapat lolos dari
jaringnya, sebab jaring ini dibuat olehnya sendiri.
Teringat pada janji bertemu dengan Lim Sian-ji malam nanti, tanpa terasa gemerdep sinar matanya.
Tapi bila teringat kepada Thi Toan-kah, tanpa terasa sinar matanya menjadi guram lagi.
Hari akhirnya gelap juga.
Baru saja Sun-hoan bangun berduduk, tiba-tiba didengarnya ada suara keresek pada tanah salju di
luar, suara orang berjalan dengan perlahan sedang menuju ke sini. Cepat ia merebahkan diri lagi.
Dan baru saja ia berbaring, suara langkah orang itu sudah berada di luar jendela.
Sedapatnya Sun-hoan bersabar, ia tidak menegur, orang itu pun tidak masuk, jelas pendatang ini
pasti bukan Liong Siau-hun, jika Liong Siau-hun, tidak nanti dia berdiri di luar.
Habis siapa pendatang ini? Apakah Lim Si-im?
Darah serasa membanjiri kepala Li Sun-hoan, sekujur badan seakan-akan gemetar. Pada saat itu
juga orang di luar itu berdehem perlahan, lalu bertanya, "Apakah Li heng sudah tidur?"
Itulah suara Yu-siaucengcu dari Cong-liong-san-ceng, Yu Liong-sing.
Sun-hoan menghela napas lega, entah senang entah kecewa. Ia memberosot turun dari tempat
tidurnya untuk membuka pintu, sapanya, "Aha, tamu yang sukar diharapkan. Silakan masuk,
silakan!"
Yu Liong-sing melangkah ke dalam kamar dari berduduk, satu kejap saja ia tidak pandang Li Sunhoan.

Setelah menyalakan lampu, Sun-hoan melihat air muka Yu-siaucengcu ini rada hijau kepucatpucatan. Umumnya orang yang berwajah demikian pasti tidak bermaksud baik.
Dengan tersenyum Sun-hoan bertanya. "Minum teh? Atau arak?"
"Arak," jawab Yu Liong-sing singkat.
"Aha, bagus," seru Sun-hoan, "Di tempatku ini memang tidak pernah ada tamu yang minum teh."
Sekaligus Yu Liong-sing minum tiga cawan, mendadak ia melototi Li Sun-hoan dan berkata "Apakah
kau tahu mengapa kuminum arak?"
Sun-hoan tersenyum, ucapnya, "Arak juga dikenal sebagai 'pemancing syair', disebut 'penyapu
sedih'. Tapi kukira Yu-heng toh tidak ada sedih yang perlu disapu, juga tidak perlu memancing syair,
jangan-jangan engkau minum arak hanya untuk menabahkan hati?"
Yu Liong-sing melotot, tiba-tiba ia menengadah dan tertawa latah. "Cring", padang yang tergantung
di pinggang dilolosnya. Cahaya padang kemilau laksana air telaga.
Sekonyong-konyong Yu Liong-sing berhenti tertawa, lalu melotot dan bertanya, "Kau kenal pedang
ini?"
Sun-hoan menyentil perlahan batang pedang orang sambil bergumam, "Ehmm, pedang bagus,
pedang hebat!"
Dia seperti tidak tahan oleh hawa pedang yang dingin, kembali ia terbatuk-batuk tiada hentinya.

Anda mungkin juga menyukai