Anda di halaman 1dari 5

Polyndo Star PLC1

Case 2

(Financial Analysis and Planning)

Polyndo Star didirikan pada pertengahan tahun 1990s di Jawa Barat, ketika stabilitas
politik dan pertumbuhan ekonomi dinilai baik.. Perusahaan menghasilkan polyester
filament yarn (PFY), polyester staple fiber (PSF), dan polyester chip. PFY adalah suatu
produk antara yang dapat diproses lebih lanjut imenjadi produk hilir menjadi weaving dan
knitting polyester fabrics. PSF adalah bahan baku utama yang digunakan di industri tekstil
untuk menghasilkan polyester spun yarn, yang banyak digunakan untuk barang-barang
rumah tangga dan pakaian. PSF dapat dicampur dengan serat-serat yang lain. PSF juga
digunakan untuk memproduksikan karpet, mainan, kantong tidur, sepatu olahraga, dan
diapers. Salah satu alasan didirikannya perusahaan adalah untuk mengantisipasi tingginya
pertumbuhan industi yang menggunakan bahan baku polyester,
Setelah perusahaan selamat melewati krisis finansial pada tahun 1998, perusahaan
segera menjadi perusahaan terbuka (go public) dengan menerbitkan saham baru untuk
menambah ekuitas guna mengurangi hutang dan memperluas usaha. Karena itu
perusahaan menjadi Perseroan Terbatas terbuka (atau Publicly Listed Company, PLC).
Sebelum perusahaan menerbitkan tambahan saham ke publik, di industri polyester
terdapat sekitar 13 produsen polyester di Indonesia. Sekarang angka tersebut telah
menjadi lebih dari 15 perusahaan. Karena bea masuk impor untuk PSF sebesar 5% dan
untuk PFY sebesar 10%, praktis tidak ada pesaing asing pada industri ini. Karena itu untuk
tahun-tahun mendatang pesaing utama perusahaan adalah pesaing-pesaing domestik,
para pemain lama di industri polyester.
Karena perusahaan bukan merupakan pimpinan pasar, maka untuk bersaing dengan para
pemain besar perusahaan kadang-kadang menawarkan persyaratan penjualan yang lebih
menarik kepada para calon konsumen. Situasi tersebut kadang-kadang menjadi makin
problematis karena pertumbuhan industri polyester tidak terlalu tinggi, bahkan relatif
datar, meskipun perusahaan mampu menikmati pertumbuhan penjualan rata-rata
sebesar 10 persen pada sepuluh tahun terakhir.
Industri Polyester
Permintaan akan serat buatan manusia yang terbesar dan tertinggi pertumbuhannya
adalah permintaan akan serat polyester. Karakteristik fungsional serat tersebut
dikombinasikan dengan kemajuan yang konsisten dan ajeg dalam teknologi serat tersebut,
telah memicu pertumbuhan permintaan yang tinggi di seluruh dunia.
Indonesia, dengan sejarah industri tekstilnya yang panjang, telah menjadi salah satu
produser tekstil polyester yang maju di pasar global. Tetapi kesempatan bisnis masih
terbuka di Indonesia karena konsumsi per kapita polyester tetap rendah, hanya separoh
konsumsi negara-negara maju. Krisis pada tahun 1998 telah memperlemah permintaan
akan polyester di pasar domestik. Untungnya pasar domestik telah mulai pulih semenjak

1 Kasus disiapkan oleh Suad Husnan untuk mengilustrasikan praktek-praktek keuangan


perusahaan bukan untuk menunjukkan praktek yang benar atau salah. Nama disamarkan
dan angka dimodifikasi untuk melindungi informasi tanpa mengurangi permasalahan yang
dianalisis.
Case 2

krisis tersebut. Meskipun demikian krisis global pada tahun 2008 telah mulai memukul
industri polyester di Indonesia pada tahun 2009. Permintaan internasional akan tekstil
polyester dan produk-produk yang menggunakan polyester merosot yang menyebabkan
jatuhnya permintaan domestik akan PFY dan PSF. Ekspor tekstil Indonesia jatuh ke
US$9.34 miliar pada 2009 dibandingkan dengan US$10.39 miliar pada 2008.
Demikian juga permintaan internasional jatuh pada tahun 2009. Karena itu tahun 2009
merupakan tahun yang tidak menentu bagi industri serat dan benang polyester, dengan
peningkatan harga bahan baku pada akhir tahun.
Sejak tahun 1995 beberapa produsen polyester Indonesia telah mengekspor produksi
mereka karena kapasitas produksi telah melebihi permintaan domestik. Keadaan ini telah
menyebabkan persaingan yang sangat ketat di pasar domestik. Karena itu turunnya pasar
ekspor sangat dirasakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Untunglah pasar domestik tetap stabil pada tahun 2009, disamping berfluktuasinya harga
bahan baku. Harga bahan baku sangat berfluktuasi pada tahun 2008 dan 2009 ketika
harga minyak bumi mencapai lebih dari US$ 120 per barrel pada tahun 2008 dan jatuh
menjadi hanya US$40 per barrel pada 2009. Pada tahun 2010 harga minyak bumi telah
meningkat mendekati US$80 per barrel pada akhir 2010 sebagai akibat mulai pulihnya
perekonomian dunia. Tetapi harga bahan baku relative stabil pada tahun 2010 sebagai
akibat melemahnya USD.
Kinerja perusahaan
Krisis global pada tahun 2008 mempunyai dampak serius pada perusahaan pada tahun
2009. Produktivitas, efisiensi operasi, dan profitabilitas turun cukup besar. Penurunan
profitabilitas terutama disebabkan karena turunnya pendapatan dari penjualan. Tetapi
pangsa pasar relative tidak berubah karena seluruh industri juga mengalami keadaaan
yang sama.
Untunglah ketika perekonomian global mulai membaik pada tahun 2010, kinerja
perusahaan mulai membaik pada tahun tersebut. Produksi mulai meningkat sebagai akibat
menguatnya permintaan yang dicerminkan oleh meningkatnya penjualan. Demikian juga
profitabilitas membaik. Harga bahan baku relative stabil pada tahun 2010 meskipun tidak
setinggi pada tahun 2008. Untuk mempertahankan daya saing, kebijakan pemasaran yang
agresif digunakan oleh perusahaan. Sebagai akibatnya laba operasional menjadi agak
sensitive terhadap pendapatan penjualan karena operating profit margin agak tipis.
Karena itu penting bagi perusahaan untuk bisa mencapai penjualan yang tinggi.
Sebagaimana dikatakan oleh Direktur Keuangan atau Companys Chief Financial Officer
(CFO), kita perlu menjual lebih banyak agar bisa berproduksi lebih banyak agar bisa
menurunkan biaya rata-rata. Biaya tetap kita agak tinggi, misalnya biaya tenaga kerja,
listrik, biaya administrasi, depresiasi, sebagian biaya overhead, semuanya biaya tetap.
Sayangnya kita tidak dapat mengidentifikasikan biaya-biaya tersebut. Mungkin hanya
biaya bahan baku yang merupakan biaya variable.
Perusahaan Polyndo Star lebih banyak menggunakan hutang jangka panjang daripada
hutang jangka pendek. Kebijakan ini banyak dianut oleh perusahaan-perusahaan dalam
industri polyester. Sedangkan struktur modal perusahaan lebih banyak hutangnya
daripada ekuitasnya. Karena itu industri tersebut sensitif terhadap perubahan suku bunga.
Untunglah pada tahun 2009 dan 2010 suku bunga jauh lebih rendah daripada tahun 2008.
Meskipun demikian dampak penurunan suku bunga tersebut agak tidak terasa oleh
peruahaan karena lebih banyaknya hutang jangka panjang yang digunakan dengan suku
bunga tetap. Obligasi jangka panjang diterbitkan pada tahun 2008 dengan suku bunga
Case 2

tetap (fixed coupon rate) sebesar 11,5 persen per tahun dengan nominal Rp1.000 miliar.
Hutang jangka pendek dalam bentuk hutang bank dengan suku bunga 11 persen. Jumlah
hutang jangka pendek tersebut disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan akan
pendanaan. Pada tahun 2010 perusahaan mengurangi hutang jangka pendek sebesar
Rp70 miliar.
Ringkasan laba rugi dan neraca perusahaan untuk tahun 2009 dan 2010 disajikan pada
Exhibit 1 dan 2.
Rencana Perusahaan
Perusahaan menyadari bahwa untuk meningkatkan daya saing dan profitabilitasnya
haruslah perusahaan menjadi pemain yang besar di industri, tidak cukup menjadi
pemain rata-rata. Dua alternatif strategi sedang dipertimbangan oleh perusahaan.
Pertama, memperluas kapasitas produksi dari produk-produk yang diproduksikan saat ini.
Strategi ini memungkinkan perusahaan meningkatkan pangsa pasar dan/atau pasar
ekspor. Apabila hal ini dapat dilaksanakan maka margin penjualan yang lebih tinggi
mungkin bisa dicapai. Kedua, melakukan diversifikasi ke produk-produk yang masih
berkaitan, baik ke hulu maupun ke hilir. Alternatif yang kedua memungkinkan peningkatan
efisiensi operasional tetapi mempunyai risiko memasuki pasar baru.
Direktur Utama condong untuk memilih strategi pertama yaitu memperluas kapasitas
produksi. Pendapat tersebut didukung oleh Direktur Keuangan yang berpendapat bahwa
perusahaan bisa memperoleh laba lebih besar apabila berproduksi lebih banyak karena
akan dapat menghemat biaya tetap. Lagi pula perusahaan akan tetap menekuni bisnis
yang sudah lama dikerjakan. Untuk memperkuat pendapatnya ia menunjukkan rugi laba
tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2009 penjualan mencapai Rp2.630 miliar dengan laba
operasi Rp95 miliar, atau hanya 3,61% apabila dibandingkan dengan penjualan. Untuk
tahun 2010 rasio laba operasi terhadap penjualan mencapai 10,68%. Peningkatan rasio
tersebut, karena penjualan pada tahun 2010 lebih tinggi dari 2009, disebabkan karena
tingginya komponen biaya tetap, demikian Direktur Keuangan menjelaskan. Dengan
menggunakan angka-angka tersebut kita bisa menaksir biaya tetap dan biaya variabel.
Total Biaya (Cost of Goods Sold plus GSA Expenses) pada tahun 2009 sebesar Rp2.635
miliar sedangkan pada tahun 2010 sebesar Rp2.992 miliar. Karena Total Biaya = Total
Biaya Tetap + Total Biaya Variabel, maka apabila Total Biaya Variabel = (Variable Cost to
Sales Ratio) x Penjualan, maka dengan menggunakan angka-angka tahun 2009 dan 2010
kita dapat menaksir Total Biaya Tetap dan Variable Cost to Sales Ratio, lanjut Direktur
Keuangan.
Direktur Operasi meminta penjelasan lebih lanjut tentang konsep yang dijelaskan oleh
Direktur Keuangan. Maksud saya begini. Apabila Total Biaya Tetap sebesar Rp100 dan
untuk memproduksikan produk seharga Rp100 diperlukan Biaya Variabel sebesar Rp60,
maka Variable Cost to Sales Ratio = 0,6. Dengan demikian apabila kita memproduksikan
produk senilai Rp1.000, maka Total Biaya = Rp100 + (0,6 x Rp1.000) = Rp700. Saya
menduga Biaya Tetap kita cukup tinggi sehingga kita perlu berproduksi lebih besar.
Demikian tambahan penjelasan Direktur Keuangan.
Disamping itu rasio-rasio keuangan kita pada tahun 2009 lebih buruk daripada industri.
Baru pada tahun 2010 mendekati rasio-rasio industri, demikian lanjut Direktur Keuangan.
Hal ini saya kira karena kira berproduksi terlalu rendah pada tahun 20009. Kita perlu
berproduksi lebih banyak agar bisa menekan biaya rata-rata. Karena itulah saya
mendukung alternatif yang pertama.

Case 2

Pertanyaan
1. Evaluasilah kondisi keuangan perusahaan dengan membandingkannya dengan industri
(lihat Exhibit 3). Benarkah pendapat Direktur Keuangan tentang perbandingan rasio-rasio
keuangan perusahaan apabila dibandingkan dengan industri (halaman 3 alinea terakhir)?
Jelaskan.
2. Dengan menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Direktur Keuangan dan
angka-angka penjualan dan laba operasional pada tahun 2009 dan 2010, taksirlah
komponen biaya tetap dan biaya variable pada tahun-tahun tersebut.
3. Misalkan perusahaan ingin memperluas kapasitasnya pada tahun 2011. Tambahan aset
tetap sebesar Rp200 miliar akan dibeli pada awal tahun. Usia ekonomis asset tersebut
selama 10 tahun tanpa nilai sisa. Tambahan hutang jangka panjang, dengan tenor 5
tahun, dengan bunga 10 persen akan diterbitkan pada awal tahun untuk membiayainya.
Penjualan diharapkan akan naik sebesar 20 persen. Tambahan beberapa asumsi untuk
tahun 2011 adalah sebagai berikut.
a. Biaya tetap untuk fasilitas produksi lama sama seperti perhitungan saudara/ri
pada pertanyaan 2. Tetapi tambahan investasi pada asset tetap akan menaikkan
biaya tetap sebesar Rp40 miliar (Rp20 miliar dari tambahan depresiasi dan Rp20
miliar lagi dari biaya tetap yang harus dikeluarkan secara tunai (out of pocket
fixed costs).
b. Rasio biaya variable terhadap penjualan (variable cost to sales ratio) sama seperti
jawaban saudara/ri pada pertanyaan 2.
c. Beban depresiasi asset tetap lama sebesar Rp175 miliar.
d. Rasio asset lancar terhadap penjualan (ratio of current assets to sales) pada
tahun 2011 sama seperti tahun 2010.
e. Perusahaan akan mendistribusikan dividen sebesar Rp30 miliar (dari laba tahun
2010).
f.

Rasio hutang dagang dan accruals terhadap penjualan (ratios of trade payable
and accruals to sales) pada 2011 sama dengan rasio pada 2010.

g. Tidak ada penerbitan ekuitas baru pada tahun 2011.


h. Apabila perusahaan memerlukan tambahan external financing, hutang bank
jangka pendek akan ditambah sesuai kebutuhan. Tetapi apabila internal financing
lebih dari cukup untuk mendukung operasi, hutang jangka pendek akan dikurangi.
Tambahan hutang bank akan dilakukan pada awal tahun, tetapi pengurangan
hutang bank akan dilakukan pada akhir tahun.
Apakah Polyndo Star akan memerlukan tambahan dana ataukah mampu menghasilkan
kelebihan dana (excess funds)? Tunjukkan perhitungannya.
4. Dengan menggunakan proyeksi pada pertanyaan 3 apakah diharapkan profitabilitas
meningkat? Bagaimana dengan aspek-aspek yang lain?
---sh--Yogyakarta, September 2013

Case 2

Exhibit 1
Polyndo Star Inc.
Income statement summary (in billion rupiah)
Sales revenues
Cost of goods sold
Gross profit
General, Selling, and Administrative expenses
Operating income
Other expenses*
Earnings before tax
Corporate income tax (30%)**
Net Income after tax

2009
2,630
-2,454
176
-81
95
-195
-100
+30
-70

2010
3,350
-2,905
445
-87
358
-187
171
-51
120

*mainly interest expense


**In practice this means that the Company did not need to pay corporate income tax in 2009, and
paid only Rp.21 billion in 2010. In other words, for the period 2009 to 2010 the Company paid only
Rp.21 billion due to the losses in 2009.

Exhibit 2
Polyndo Star Inc.
Balance sheet summary (in billion rupiah)
Current asset
Fixed Assets, net
Total assets
Trade payables
Accruals
Short term bank loans
Long-term bonds***
Paid in capital
Retained earnings
Total liabilities and equity

End of 2009
1,192
2,280
3,572
416
154
720
1,000
750
532
3,572

End of 2010
1,659
2,105
3,764
530
182
650
1,000
750
652
3,764

*** The maturity is in 2013

Exhibit 3
Some industry financial ratios in 2009 and 2010
2009
Operating income / Sales (%)
Operating income / Total Assets (%)
Net Income After Tax / Total Equity (%)
Sales / Total Assets
Current Assets / Current Liabilities
Total liabilities / Total Equity

Case 2

2010
6.3
3.4
-3.2
0.54
1.10
1.75

13.2
9.6
9.5
0.73
1.22
1.70

Anda mungkin juga menyukai