Anda di halaman 1dari 11

Bidang Ilmu

Peternakan
PERBAIKAN MANAGEMEN (PAKAN) UNTUK MENINGKATKAN KONDISI
TUBUH DAN KINERJA REPRODUKSI SAPI BALI YANG DIPELIHARA
SECARA INTENSIF
Sudirman Baco, Ratmawati Malaka dan Muhammad Hatta
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin,
Makassar 9024, e-mail : sudirmanbaco@gmail.com

ABSTRAK
Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kondisi tubuh dan kinerja
reproduksi induk sapi Bali pada periode breeding dengan sistem pemeliharaan intensif
(intensive management). Sebanyak 13 induk sapi Bali dipelihara dalam 1 kandang
kelompok bersama 1 ekor pejantan. Sstem perkawinan yang diterapkan adalah perkawinan
secara alam, pejantan dilepas bersama induk dalam 1 kandang secara terus menerus. Pakan
konsentrat yang diberikan 1,5% dari bobot badan ternak dan hijauan/rumput secara ad
bilitum. Parameter yang diamati antara lain kondisi tubuh induk (BCS), berahi pertama
setelah melahirkan (post-partum estrus), tingkat kebuntingan dan service perconception
(S/C). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan managemen pada periode breeding
setelah kelahiran :1) dapat memperbaiki kondisi induk setelah melahirkan dengan BCS
5,40,8 menjadi 6,31,0 selama 3 bulan pemeliharaan dengan sistem intensif dan 6,70,8
selama 6 bulan pertama pemeliharaan. Post-partum estrus pertama 64,531,5 hari. Tingkat
kebuntingan 53,8% dengan S/C 2,20,5 selama 3 bulan pemeliharaan dan 100% tingkat
kebuntingan dengan S/C 2,50,8 selama 6 bulan pemeliharaan.

Kata Kunci: Skor Kondisi Tubuh Induk (BCS), Post-partum esterus, Tingkat
Kebuntingan, Service perconception (S/C), managemen intensif,
Produktifitas, sapi Bali.

PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang banyak dipelihara oleh petani di
Sulawesi Selatan. Hal tersebut disebabkan bangsa sapi ini memiliki beberapa keunggulan
antara lain, tidak selektif dan mampu memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah,
memiliki tingkat adaptasi terhadap lingkungan yang cukup tinggi bahkan dapat hidup dan
berproduksi baik di lahan kritis sedangkan bangsa sapi lainnya tidak demikian (Murtidjo,
1990 dan Baco, 2010), dan mempunyai persentase karkas tinggi, daging yang sedikit
lemak serta keempukan dagingnya tidak kalah dengan daging sapi impor (Ngadiyono,
1997). Dengan demikian sapi Bali dapat memberikan kontribusi penting dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga sapi Bali dijadikan komoditas unggulan
Sulawesi Selatan pada bidang peternakan. Bahkan Pemda Sulsel menargetkan
pertumbuhan populasi pada tahun 2013 sebesar 1 juta ekor melalui Program Aksi
Pencapaian Sejuta ekor sapi untuk mendukung Program Swasembada Daging (PSDS)
tahun 2014 dan Program Nasional Kecukupan Daging yang telah dicanangkan oleh
pemerintah (Anonim, 2009). Bahkan diwacanakan dilakukan gerakan pencapaian populasi
2 juta ekor pada tahun 2015. Dengan melihat kondisi dan penampilan sapi Bali di Sulawesi
Selatan saat ini oleh beberapa peneliti telah mensinyalir bahwa sapi Bali terjadi penurunan
mutu genetik dan produktifitasnya (Sonjaya dan Abustam, 1993). Hal ini dapat dilihat
bahwa sangat sulit untuk mendapatkan sapi bibit betina dengan tinggi pundak melebihi dari
104 cm. Penurunan performansi sapi Bali mungkin disebabkan karena faktor bibit yaitu
terjadinya inbreeding (silang dalam) dan tidak adanya pejantan unggul di dalam kelompok
ternak masyarakat yang digunakan sebagai pemacek sehingga terjadi perkawinan acak
tanpa kontrol dalam kelompok (Baco, 2000 dan 2001). Selain itu, manajemen penanganan
induk pada saat musim breeding atau kawin juga kurang mendapat perhatian dengan baik.
Namun demikian hasil penelitian Baco dan Rahim (2007) tentang analisis keragaman
genetik sapi Bali di Sulawesi Selatan menunjukkan keragaman genetik masih tinggi. Hal
ini memberikan indikasi bahwa sangat memungkin perbaikan performans dan produktifitas
sapi Bali melalui perbaikan genetik dan lingkungan atau manajemen. Secara teoritis bahwa
penentu tingkat produktifitas dan performans ternak adalah faktor genetik (ternak) dan
lingkungan (pakan, manajemen pemeliharaan, kesehatan, iklim dan sebagainya).
Pada umumnya manajemen pemeliharaan sapi Bali di masyarakat masih bersifat
tradisional dan akibatnya produktifitas ternak rendah. Dengan sistem pemeliharaan seperti
itu, tidak mampu mengekspoitasi potensi ternak meskipun secara genetik ternak tersebut
memiliki potensi produktifitas tinggi (Wello dan Ismartoyo, 2010; Baco, 2011 a). Survei di
lapangan menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan ternak sapi di peternakan rakyat masih
rendah 20 40%, umur melahirkan pertama 3 4 tahun, interval kelahiran panjang 1,5 2
tahun dan berat sapih pedet rendah 70 80 kg bahkan tingkat kematian pedet sangat tinggi
(30 50%). Jika dibanding dengan potensi sapi Bali, produktifitas tersebut masih sangat
rendah (Baco, 2010). Hal ini didasari atas pengalaman penulis melakukan kajian-kajian
pendahuluan di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
terlihat bahwa sapi Bali yang dipelihara secara Semi-Intensif di Laboratorium Ternak
Potong Unhas hasil sementara menunjukkan tingkat kebuntingan dan kelahiran dapat
mencapai 95% (Baco, 2011b), akan tetapi tingkat kematian pedet masih tinggi 20 -30% dan
pertumbuhan pedet sebelum sapih rendah 0,1 0,2 kg per ekor per hari. Hasil sementara
dari pengalaman pengelolaan di Laboratorium Ternak Potong tersebut yaitu;1)Dengan
perbaikan manajemen melalui pola pemeliharaan Semi-Intensif dengan pemberian pakan
tambahan dengan hanya dedak padi secara terbatas sudah dapat meningkatkan tingkat
kebuntingan dan kelahiran pedet tetapi belum mampu menekan tingkat kematian pedet 0
2

3%, 2) Pertumbuhan pedet sebelum sapih masih rendah sehingga berat pedet pada saat
sapihan (weaning weigth) rendah pula, dengan demikian waktu pubertas, bunting dan
kelahiran pertama tertunda, interval kelahiran menjadi panjang, akibatnya biaya produksi
menjadi tinggi dan tidak efisien.
Dengan melihat permasalahan tersebut di atas dapat diduga bahwa salah satu
penyebabnya adalah kualitas pakan ternak dan pola manajemen yang diterapkan. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian bagaimana pengaruh perbaikan manajemen melalui
perbaikan pakan terhadap tingkat produktifitas dan performans sapi Bali yang dipelihara
secara Intensif?. Dengan perbaikan pakan pada saat periode breeding diharapkan tingkat
produktifitas induk meningkat, maka percepatan penyapihan dengan berat pedet yang
tinggi tercapai, sehingga umur pembiakan pertama dan umur kelahiran pertama (firt
calving age) lebih cepat atau lebih muda. Dengan demikian terjadi efisiensi biaya produksi
sehingga peternak mendapatkan keuntungan yang optimal.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh perbaikan manajemen melalui
perbaikan pakan periode breeding terhadap BCS induk, produktifitas sapi Bali yang
dipelihara secara intensif.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan,
Universitas Hasanuddin Makassar pada bulan April Nopember 2013.
Materi penelitian yang digunakan adalah sebanyak 13 ekor induk sapi Bali yang
telah melahirkan 1 7 kali dan 1 ekor pejantan yang berumur 4 tahun.
Bahan pakan ternak (bahan konsentrat) yang digunakan adalah bahan lokal dari
hasil sisa (limbah) pertanian dan industri. Bahan pakan hijauan yang digunakan adalah
rumput gajah dan alam.
Alat yang digunakan adalah timbangan digital elektronik, timbangan khusus untuk
ternak sapi yang memiliki kapasitas 2000 kg, digunakan untuk mengukur bobot ternak.
Perbaikan pakan dilakukan dengan memberikan pakan konsentrat pada fase
breeding sebanyak 1,5% berat badan induk. Komposisi bahan konsentrat sebagaimana
tertera pada Tabel 1. Bahan pakan konsentrat berbasis bahan lokal, murah dan mudah
diperoleh serta ketersedian sepanjang waktu (LEISA). Sistem pemeliharaan dilakukan
secara Insensif dengan perkandangan. Sistem perkawinan dilakukan secara alami dengan
seekor pejantan sapi Bali umur 4 tahu. Pakan konsentrat diberikan pada pagi hari dan sore.
Setelah konsentrat habis kemudian diberikan pakan hijauan 2 kali per hari dan diberikan
secara ad-libitum. Selain pemberian pakan, kesehatan ternak tetap selalu terkontrol melalui
sanitasi kandang yang baik dan pemberian obat-obatan. Pemeliharaan ternak induk
maupun pejantan secara umum tetap menerapkan Good Management Practice (GMP) dan
Good Breeding Practice (GBP). Untuk melihat pengaruh dari perlakuan pada penelitian
ini, maka dilakukan pembanding dengan system pemeliharaan semi-intensif yang telah
dilakukan sebelumnya di tempat yang sama.
Perlakuan dilakukan terhadap induk yang baru saja melahirkan dan dikelompok
dalam satu kelompok untuk pemberian perlakukan. Kelompok induk tersebut dipelihara
bersama seekor pejantan dengan umur 4 tahun untuk mengawini induk secara alam selama
6 bulan. Induk yang mempunyai pedet tetap menyusui anaknya selama perlakuan.
Pengamatan terhadap berahi dilakukan setiap saat sedangkan pengukuran bobot badan
induk dilakukan pada setiap 3 bulan dan dilakukan selama 3 kali (awal, 3 bulan pertama
dan 3 bulan kedua). Pada saat pengukuran bobot badan sapi juga dilakukan pengamatan
3

kondisi tubuh induk untuk menentukan BCS. Pakan konsentrat diberikan sebanyak 1,5%
dari berat badan pedet sedangkan hijauan diberikan secara ad-libitum. Komposisi bahan
pakan konsentrat pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk melihat bagaimana
pengaruh perlakuan maka dilakukan pengukuran pada awal, setelah 3 bulan pertama dan 6
bulan perlakuan.
Parameter Penelitian adalah body condition score (BCS), bobot badan induk setelah
kelahiran/periode breeding, estrus pertama setelah kelahiran (post-partum estrus), tingkat
kebuntingan dan service preconception (S/C).
BCS diukur berdasarkan penilaian kuantitatif yaitu nilai 1 (sangat kurus) sampai 9
(sangat gemuk/obesitas). Tingkat kebunting ditentukan jika ternak betina tidak berahi
kembali pada jadwal berikut setelah kawin (no return estrus). Selanjutnya monitoring
kebuntingan tetap dilakukan sampai terjadi kelahiran pedet atau anak.
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis parametrik dan nonparametrik. Parameter dengan jenis data kuantitatif interval atau rasio dianalisis dengan
menggunakan t-test. Sedang parameter dengan data kuantitatif nominal atau data kualitatif
dianalisis dengan analisis deskritif. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini juga
dilakukan pembandingan dengan data-data yang diperoleh dari penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan produktifitas sapi Bali
dari pengaruh perbaikan pakan.
Pengolahan data menggunakan komputer paket program SPSS Versi 12 for
Windows (Anonim, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Skor Kondisi Tubuh (Body Condition Score) dan Berat Badan
Cadangan energi tubuh dapat dinilai dengan metode penilaian visual yang dikenal
sebagai body condition score (BCS) atau skor kondisi tubuh. Skor relatif yang didapatkan
dari penilaian BCS membantu peternak dalam memperoleh gambaran mengenai tingkat
cadangan otot dan lemak tubuh dari setiap ekor ternak sapi. BCS sangat penting untuk
keberhasilan reproduksi ternak sapi. Beberapa studi menunjukkan bahwa BCS pada saat
calving/kelahiran dan pada awal musim kawin/breeding adalah indikator paling penting
terhadap kinerja reproduksi (Spitzer, et al., 1995). Skor kondisi tubuh pada saat calving
memiliki efek yang paling besar terhadap tingkat kebuntingan (Lalman et al., 1997). Pada
penelitian ini, skor kondisi tubuh (BCS) induk sapi Bali setelah melahirkan dan periode
perlakuan dengan perbaikan managemen (perbaikan pakan pada periode breeding) dengan
system pemeliharaan dikandangkan (intensif) dapat dilihat pada Gambar 1. Pada grafik
tersebut menunjukan bahwa BCS berkecenderungan meningkat secara gradual dari 5,4
menjadi 6,3 selama 3 bulan pertama pemeliharaan dan selanjutnya dengan pemeliharaan 6
bulan pertama, BCS mencapai 6,7. Hal ini memberikan indikasi bahwa perbaikan
managemen pada sapi Bali induk dengan system intensif dapat memperbaiki kondisi induk
sapi setelah melahirkan. Kondisi ini memberikan petunjuk kepada pihak managemen
bahwa breeding/perkawinan sapi pada kondisi tersebut sangat layak dan ideal untuk
melakukan perkawinan sehingga terjadi kebuntingan yang aman. Terjadi peningkatan BCS
setelah kelahiran mungkin disebabkan oleh karena asupan gizi yang diperlukan dalam
proses perbaikan kondisi tubuh setelah kelahiran pedet terpenuhi dengan baik.

Peningkatan BCS sebagaimana terlihat pada Gambar 1, selaras dengan peningkatan


bobot badan sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Rata-rata bobot badan induk sapi Bali
mengalami peningkatan dari 192,3 kg menjadi 200,3 kg selama 6 bulan pemeliharaan
dengan perbaikan managemen/pakan dalam kandang. Peningkatan bobot badan tersebut
dalam periode 6 bulan pertama breeding sebesar 4%, dan nampaknya bahwa meningkatnya
bobot badan tersebut mungkin hanya karena akibat dari perbaikan kondisi pada induk
setelah kelahiran atau pertumbuhan awal embrio pada periode kebunting awal induk sapi.
Hal ini merupakan indikasi yang baik pada awal kebuntingan ternak dalam breeding.

Post-Partus Estrus dan Tingkat Kebuntingan


Post-partum estrus (PPE) merupakan sifat reproduksi pada sapi potong yang sangat
startegis untuk meningkatkan reproduksi pedet tahunan. Post-partum estrus ditetapkan jika
induk ternak memperlihatkan gejala berahi pertama setelah kelahiran. Semakin lama waktu
estrus pertama setelah melahirkan semakin panjang interval kelahiran. Interval kelahiran
yang panjang mengakibatkan efisiensi produksi ternak rendah. Secara ideal, rata-rata postpartum estrus 40 hari setelah melahirkan. Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa, rata-rata
post-partum estrus induk dengan system intensif dan semi intensif adalah masing-masing
adalah 64,531,5 hari dan 47,112,7 hari. Nilai tersebut keduanya lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai yang ideal tetapi lebih pendek dibandingkan dengan pada sapi
Peranakan Onggole (PO) dengan PPE 97 115,9 hari dengan penyapihan dini pada
peternakan rakyat (Affandhy, dkk., 2008) dan 145,3 168,2 hari pada induk yang
dikandangkan dengan berkelompok (Pratiwi, dkk., 2008). Post-partum estrus induk sapi
Bali dengan system intensif sangat nyata lebih panjang waktunya dibanding dengan semiintensif dan mempunyai tingkat variasi yang tinggi pada system intensif. Hal ini mungkin
disebabkan system managemen pemeliharaan, oleh karena pada system intensif, ternak
diberikan pakan dalam kandang yang memungkinkan ternak mengalami stress dan
persaingan merebut pakan di dalam kandang.
Tingkat kebuntingan merupakan ukuran keberhasil seekor pejantan dalam peristiwa
perkawinannya dengan seekor betina atau ukuran fertilitas dalam usaha peternakan sapi
potong. Tingkat kebunting adalah sifat reproduksi ternak yang sangat penting untuk
meningkatkan produktifitas ternak dalam populasi. Tingkat kebuntingan induk diharapkan
minimal 80% dari induk/betina yang sudah siap kawin pada satu masa musim kawin atau
dalam satu tahun.
Pada Tabel 2, menunjukkan tingkat kebuntingan induk sapi Bali, frekuensi estrus
dan service perconception (S/C) yang mendapat perlakuan perbaikan managemen dengan
perbaikan pakan pada periode breeding. Tingkat kebuntingan mencapai 53,8% dari betina
yang dikawinkan. Tingkat kebuntingan tersebut diperoleh dari 2 3 kali siklus
estrus/berahi atau S/C 2,2 selama pemeliharaan 3 bulan pertama dalam periode perbaikan
pakan di dalam kandang. Sedang induk sapi Bali yang masih mengalami berahi kembali
(return estrus) sebanyak 46,2% dengan frekuensi berahi 1 2 kali. Tingkat kebunting sapi
sebesar 100% dicapai setelah 6 bulan pemeliharaan dalam kandang dengan S/C 2,5 atau
frekuensi estrus antara 2 4. Hal ini menunjukkan bahwa induk yang dipelihara dengan
system intensif dalam kandang meskipun diberikan pakan konsentrat sebanyak 1,5% dari
bobot badan, S/C lebih tinggi daripada ternak yang dipelihara secara semi-intensif (S/C
2,1). Peningkatan S/C ini pada system intensif/pemeliharaan didalam kandang
mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan frekuensi berahi sebelum terjadi kebuntingan.
Induk sapi yang mengalami berahi kembali, pada umumnya mempunyai kondisi BCS
5

rendah (di bawah 5). Oleh karena itu perbaikan kondisi ternak setelah kelahiran pedet
menjadi penting untuk dilakukan, terutama pada awal musim kawin atau breeding. Tingkat
kebuntingan yang diperoleh dari penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan tingkat
kebunting pada sapi Bali yang ditemukan di masyarakat petani dengan system tradisional
denga tingkat kebuntingan 37% (Baco, et al., 2013) dan sapi Peranakan Onggole 40
66% (Affandhy, dkk. 2008; Montoya, et al., 2013).
SIMPULAN
Perbaikan manajemen melalui perbaikan pakan pada system pemeliharaan secara
intensif dalam kandang kelompok pada periode breeding cenderung melambat dalam
perbaikan kondisi tubuh dan pertambahan bobot badan induk sapi Bali setelah melahirkan.
Kecenderungan juga terjadi perlambatan estrus pertama setelah melahirkan dan tingkat
kebuntingan melambat dengan S/C sebesar 2,5. Tingkat kebuntingan dapat mencapai 100%
dalam waktu 6 bulan periode breeding.
SANWACANA
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia
melalui DP2M Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, LP2M Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan kepercayaan dan supporting dana untuk melakukan
penelitian melalui Program Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2013. Seluruh
Tim Peneliti dan mahasiswa serta para pihak yang telah membantu dalam pelaksanaa
penelitian ini mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai pembuatan laporan penelitian, atas
bantuan dan kerjasamanya diucapkan banyak terima kasih.
.
DAFTAR PUSTAKA
Affandhy, L., D. Pamungkas dan D. Ratnawati. 2008. Respons reproduksi sapi potong
induk pada umur penyapihan pedet berbeda di kondisi peternakan rakyat di
lahan kering. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 132-136.
Anonim. 2009. Panduan Lengkap SPPS 12,0 for Windows. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Anomim. 2009. Sulawesi Selatan dalam Angka tahun 2008. Badan Pusat Statistik,
Sulawesi Selatan.
Baco, S., H. Harada and R. Fukuhara. 1998. Genetic Relationships of Body
Measurements at Registration to a Couple of Reproductive Traits in Japanese
Black Cows. Anim. Sci. Technol. (Jpn.), 69(1): 1-7.
Baco, S. 2000. Genetic Parameters for Performance Traits of Bali Cattle on Smallholders
in South Sulawesi. Laporan Penelitian URGE Dikti.
Baco, S. 2001. Perbandingan Bobot Badan dan Beberapa Ukuran Dimensi Tubuh Sapi
Bali Betina yang Dipelihara Secara Ekstensif pada Daerah Dataran Rendah dan
Pegunungan Di Kabupaten Bone. Laporan Penelitian Proyek DPP Universitas
Hasanuddin.
6

Baco, S., dan L. Rahim. 2007. Analisis Keragaman Genetik Sapi Bali Di Sulawesi
Selatan Berdasarkan Perbedaan Performans dan Topografi Menggunakan
RAPD-PCR. Laporan Penelitian Fundamental DIKTI.
Baco, S. 2010. Performansi sapi Bali pada Kawasan Instalasi populasi dasar Breeding
Center di Kabupaten Bone. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Hal. 236 245.
Baco, S., R. Malaka dan L. Rahim. 2010. Kesamaan Genetik dalam dan antar Populasi
Sapi Bali dan Persilangannya Di Sulawesi Selatan Berdasarkan Analisis
Polymerase Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA (PCRRAPD). Laporan Penelitian Stranas-Dikti.
Baco, S. 2011a. Konservasi Sapi Bali sebagai Plasma Nutfah Ternak Indonesia. Buletin
Peternakan. 40 : 12 21.
Baco, S. 2011b. Arah dan strategi pengembangan sapi bali secara berkelanjutan. Buletin
Peternakan. 42 : 1 8.
Baco, S., M. Yusuf, B. Wello and M. Hatta. 2013. Current status of reproductive
management in Bali cows in South Sulawesi Province, Indonesia. Open J.
Forestry. Vol. 3 (4B) : 2 6. http://dx.doi.org/10.4236/ojf.2013.34B002.
Glaze,

J.B.
2009.
Body
condition
score
(BCS)
in
beef
http://osufacts.okstate.edu/bcs_pres_carl.pdf. 15 Nopember 2013.

cattle.

Lalman, D.L., D.H. Keisler, J.E. Williams, E.J. Scholljegerdes and D.M. Mallet. 1997.
Influence of postpartum weight and body condition score change on duration
of anestrus by undernourished suckled beef heifers. J. Anim. Sci., 75 (8):
20032008.
Montoya, E.S., R.B. Rosales and T.R. Cortes. 2013. Reproductive trend in Cebu cattle
grazing rice crop residues in Colombian tropical dry forest. Open J. Forestry.
Vol. 3 (4B) : 7 12. http://dx.doi.org/10.4236/ojf.2013.34B003.
Murtidjo. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.
Ngadiyono, N. 1997. Kinerja dan Prospek Sapi Bali di Indonesia. Seminar Environmental
Pollution and Natural Product and Bali Cattle in Regional Denpasar, Bali.
Pratiwi, W.C., L. Affandhy dan D. Ratnawati. 2008. Pengaruh umur penyapihan terhadap
performans induk dan pertumbuhan pedet sapi potong di kandang kelompok.
Prosiding Semnar Nasional Sapi Potong. Palu, : 115-122.
Sonjaya, H. dan E. Abustam. 1993. Penampilan dan kondisi peternakan sapi Bali di
daerah pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Bull. Ilmu Peternakan dan
Perikanan Vol. II (6) : 54-71.
Spitzer, J.C., D.G. Morrison, R.P. Wettemann and L.C. Faulkner. 1995. Reproductive
responses, calf birth and weaning weight as affected by body condition at
7

parturition and postpertum weight gain in primiparous beef cows. J. Anim.sci.,


73: 1251-1257.
Wello, B. dan Ismartoyo. 2010. Strategi Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi
Bali di Sulawesi Selatan. [terhubung berkala]. http://disnaksulsel.info/index.
php?option=com_docman&task=doc.(28 Agustus 2010).

Body Condition Score (BCS)

9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

5.4

Awal

6.3

6.7

P-1

P-2

Gambar 1. Body Condition Score (BCS) selama perlakuan (Awal: BCS awal
penelitian/setelah kelahiran, P-1: Penilaian 3 bulan pemeliharaan/breeding
dan P-2 : 6 bulan pemeliharaan)

Berat Badan (kg)


250
200
150
100

192.3

196.7

200.3

Awal

P-1

P-2

50
0

Gambar 2. Berat Badan Induk selama perlakuan (Awal: awal penelitian/setelah kelahiran,
P-1: Penilaian 3 bulan pemeliharaan/breeding dan P-2 : 6 bulan
pemeliharaan)
9

Post-partus Estrus (hari)


100
75
50
25

64.5
47.1

0
Intensif

Semi-Intensif

Gambar 3. Post-Partus Estrus Pertama Setelah Melahirkan dengan perbaikan pakan di


dalam kandang (Intensif) dan Semi-Intensif (penelitian sebelumnya)
Tabel 1. Komposisi Bahan Konsentrat penelitian
No. Bahan
1.
Dedak Padi
2.
Tumpi Jagung
3.
Bungkil Kelapa
4.
Molases
5.
Mineral
6.
Urea
7.
Garam
8.
Probiotik

Komposisi (%)
42,5
42,5
7,0
5,0
1,0
0,5
1,0
0,5

Tabel 2. Tingkat Kebuntingan Induk sapi Bali, Frequensi Estrus dan Servis Perconception
(S/C)
No Status
3 Bulan Pemeliharaan/Breeding
1. Bunting
2. Belum Bunting
6 Bulan Pemeliharaan/Breeding
1. Bunting

Frequenci
(%)

Freq-Estrus

S/C

53,8
46,2

23
12

2,20,5

100

24

2,50,8
10

2.

Tidak Bunting

11

Anda mungkin juga menyukai