SINUSITIS Case Linda
SINUSITIS Case Linda
Disusun oleh:
Mustika zeinia malinda (1102010188)
Tiara anggun nurarto (1102008253)
Pembimbing:
Dr. Yose Rizal, SpTHT-KL
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul SINUSITIS
MAKSILARIS SINISTRA sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian di kepaniteraan
klinik SMF THT di RSUD Serang.
Pada kesempatan kali ini, izinkan kami sebagai penulis untuk mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami untuk menyelesaikan presentasi kasus
ini, terutama kepada pembimbing saya Dr.Yose Rizal, Sp.THT-KL yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing kami. Terima kasih juga kami ucapkan kepada keluarga kami
yang selalu memberikan dukungan dan memotivasi kami hingga saat ini, serta kepada temanteman kami yang sedang menjalani kepanitraan di RSUD Serang.
Kami menyadari bahwa penulisan pada presentasi kasus ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh sebab itu kami mengharapkan saran serta kritik yang dapat membangun
dalam presentasi kasus ini guna untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga presentasi kasus
ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua baik sekarang maupun dihari yang akan
datang.
Penulis
BAB I
PRESENTASI KASUS
I.
II.
IDENTITAS
Nama
Usia
Agama
Jenis kelamin
Alamat
Status
Pekerjaan
Tanggal Periksa
ANAMNESA
Keluhan utama
Keluhan tambahan
: Ny. Z
: 48 Tahun
: Islam
: Perempuan
: Padarincang, Pandeglang
: Menikah
: Ibu rumah tangga
: 22 Juli 2015
: Keluar cairan yang dari kedua hidung terus menerus
: - Bersin-bersin
- Nyeri kepala
- Demam
memberat sejak 1 minggu terakhir. Rasa lendir mengalir ditenggorokan diakui oleh pasien.
Rasa penuh di hidung diakui oleh pasien. Keluhan disertai dengan bersin yang dirasakan
sering
5 10x / hari. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri kepala yang lebih dirasakan
pada pagi hari. Selain itu pasien juga merasa nyeri di daerah hidung. Pasien juga merasakan
demam yang hilang timbul tidak menentu sejak tiga hari terakhir. Gangguan penciuman
disangkal. Pasien mengatakan kontrol ke dokter spesialis THT sejak satu tahun terakhir.
Pasien mengatakan sebelumnya mempunyai riwayat sering bersin dan meler sejak
satu tahun yang lalu dan tidak mendapat terapi apapun. Gangguan pendengaran, nyeri telinga,
pusing berputar dan berdenging disangkal. Nyeri menelan, sulit bicara dan adanya massa
disangkal. Keluhan sakit gigi dan disangkal, tetapi gigi berlubang diakui oleh pasien.
Keluhan keluar darah dari hidung disangkal.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Sakit Sedang
Kesadaran
: Compos mentis.
Tanda-tanda vital
: T : 120 / 60 mmHg.
N : 72 X/ mmt.
R : 24 X/ mmt.
S : 36,3 C.
Status Lokalis :
TELINGA
Bagian Telinga
Aurikula :
Telinga Kanan
Telinga Kiri
- Deformitas
(-)
(-)
- Hiperemis
(-)
(-)
- Edema
Daerah preaurikula :
(-)
(-)
- Hiperemis
(-)
(-)
- Edema
(-)
(-)
- Fistula
(-)
(-)
- Nyeri tekan
Daerah retroaurikula :
(-)
(-)
- Hiperemis
(-)
(-)
- Edema
(-)
(-)
- Fistula
(-)
(-)
- Nyeri tekan
(-)
(-)
CAE :
- Serumen
(-)
(-)
- Edema
(-)
(-)
- Hiperemis
(-)
(-)
- Furunkel
(-)
(-)
- Otore
(-)
(-)
- Granuloma
(-)
(-)
- Darah
Membran timpani :
(-)
(-)
- Perforasi
(-)
(-)
- Cone of light
Gambar
(+)
(+)
HIDUNG
Rinoskopi Anterior
Mukosa
Septum :
- Deviasi
Mengarah ke sinistra
- Deformitas
(-)
- Hematoma
(-)
(-)
(-)
- Hiperemis
(+)
Meatus nasi media &
(+)
inferior
- Sekret kering
(+)
(+)
- Polip
(-)
(-)
- Darah
Gambar :
(-)
(-)
TENGGOROKAN
Bagian
Mukosa orofaring
Uvula
Palatum durum &
Keterangan
Hiperemis (-), massa (-),
Ditengah , hiperemis (-)
Hiperemis (-), massa (-)
palatum mole
Mukosa Faring
Tonsil
Gambar
Gigi :
Keterangan :
87654321
12345678
87654321
12345678
RESUME
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Serang dengan keluhan sering keluar cairan
yang berwarna putih kekuningan dari kedua hidung yang semakin memberat sejak satu
minggu terakhir. Pasien mengatakan sebelumnya mempunyai riwayat sering bersin dan meler
sejak
satu tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada daerah
sekitar hidung, concha media dan inferior hiperemis dan terdapat sekret di kedua hidung.
SARAN
Dilakukan Pemeriksaan :
1. darah tutin (hemoglobin, hemotokrit, leukosit, trombosit),
2. roentgen sinus paranasal / SPN,
3. konsul dokter gigi
IV.
DIAGNOSIS KERJA
Sinusitis maksillaris sinistra
V.
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Antibiotika:
-
Analgetik:
-
Dekongestan oral
-
Nonmedikamentosa (bedah)
Sinusektomi
Prognosa
1. Quo ad vitam
: ad bonam
2. Quo ad functionam
: ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latar Belakang
Sinusitis maksilaris kronis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek
dokter sehari-hari, bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
seluruh dunia (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011), Sedangkan menurut
Dorland (2000) sinusitis merupakan suatu peradangan membran mukosa yang dapat
mengenai satu ataupun beberapa sinus paranasal.
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang (Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011).
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang rongga bertulang yang dilapisi oleh mukosa
hidung dan epitel kolumnar bertingkat semu yang bersilia. Rongga udara ini dihubungkan
oleh serangkaian duktus yang mengalir ke dalam rongga hidung.
Sinus paranasal terdiri dari, sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus sfenoidalis, dan sinus
maksilaris (Brunner & Suddarth, 2001).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia
antara 15-18 tahun (Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). Sinus maksila atau antrum
highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar, dan yang pertama terbentuk,
diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa (Mangunkusumo & Soetjipto dalam
Soepardi dkk, 2011).
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid
kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Semua sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu
menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat,
sinus terutamanya berisi udara (Hilger,1997).
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan
sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang
terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Drake,1997).
Sinus Maksilaris
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga
antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml.
Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu
15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding
anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding
posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid
( Tucker dan Schow, 2008).
Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari
anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3,
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi
rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang
sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila
dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006)
Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 tahun (Ramalinggam, 1990).
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya
dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak
berkembang (Lee, 2008). Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini
(Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008). Ukuran sinus frontal adalah
mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya
bersekat-sekat
dan
tepi
sinus
berlekuk-lekuk
(Netter,
2006;
Soetjipto
dan
sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997; Netter, 2006).
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons (Ramalinggam, 1990).
2.2 Fisiologi Sinus Paranasal
Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini
belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat
bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai
akibat pertumbuhan tulang muka. Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan
sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang
lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinussinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap
tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media,
tempat yang paling strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di
atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding
lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di
depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung
dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba.
Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu
ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).
2.3 Klasifikasi Sinusitis
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas
sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai
empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga
bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis
(Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe
rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau
masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta
yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar
dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel
epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu
lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel
mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004).
Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger,
1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman akan
masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi
ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan
berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan
mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar
sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium
sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga
terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan
tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah
satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
2.4.5 Gejala Klinis
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang
tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah
terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya
sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas
yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif nonproduktif juga seringkali ada (Sobol,2011).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena
terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini
hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya
kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala
sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001).
a. Sinusitis akut
Sinusitis maksillaris
-
Demam, malaise
Nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian aspirin. Sakit dirasa
mulai dari pipi ( di bawah kelopak mata ) dan menjalar ke dahi atau gigi. Sakit
bertambah saat menunduk.
Nyeri pipi yang khas : tumpul dan menusuk, serta sakit pada palpasi dan perkusi.
Sekret mukopurulen yang dapat keluar dari hidung dan kadang berbau busuk
Adanya pus atau sekret mukopurulen di dalam hidung, yang berasal dari metus media,
dan nasofaring.
Sinusitis ethmoidalis
-
Nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung menjalar ke
arah temporal
Nyeri sering dirasakan di belakang bola mata dan bertambah apabila mata digerakkan
Pada anak sering bermanifestasi sebagai selulitis orbita karena lamina papiracea anak
seringkali merekah
Adanya pus dalam rongga hidung yang berasal dari meatus media
Sinusitis frontalis
-
Nyeri kepala yang khas di atas alis mata. Nyeri biasanya pada pagi hari, memburuk
pada tengah hari dan berangsur angsur hilang pada malam hari.
Nyeri hebat pada palpasi atau perkusi daerah sinus yang terinfeksi
Sinusitis sphenoidalis
-
Nyeri kepala dan retro orbita yang menjalar ke verteks atau oksipital
Sinusitis kronis
-
Postnasal drip
Sebagian besar kasus sinusitis melibatkan lebih dari satu sinus paranasal dan yang paling
sering yaitu sinus maksilaris dan sinus etmoidalis. Hal ini disebabkan sinus maksila adalah
sinus yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasarnya, dimana dasarnya merupakan
dasar akar gigi sehingga sinusitis maksilaris sering berasal dari infeksi gigi (Manjoer, 2000).
Berdasarkan perjalanan penyakit sinusitis maksilaris terbagi atas sinusitis akut, terjadi bila
infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu, sinusitis subakut, terjadi bila infeksi beberapa
minggu sampai beberapa bulan, dan sinusitis kronik, terjadi bila infeksi beberapa bulan
sampai beberapa tahun (Adams dalam Manjoer, 2000).
Insiden sinusitis didapat antara 1,3 - 1,5 per 100 kasus orang dewasa pertahun.
Peneliti dari Norwegia mengemukakan insiden sinusitis yaitu 3,5 per 100 kasus pada orang
dewasa dengan 7% pasien memiliki dua kali kunjungan dan 0,5% memiliki tiga kali atau
lebih kunjungan selama periode 12 bulan (Hickner, 2005).
2.4.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang
edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana
yang terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau
hiperplasia (Mansjoer, 2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila
yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap
(Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat
melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada
sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis
etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis
akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk
post nasal drip (Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan. Foto
polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah
perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan
mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang
diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai
panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari
gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan
akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat kondisi sinus maksila
yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
2.4.7 Terapi
Terapi primer dari sinusitis akut adalah secara medikamentosa.
1. Analgetik
Rasa sakit yang disebabkan oleh sinusitis dapat hilang dengan pemberian aspirin atau
preparat codein.
Kompres hangat pada wajah juga dapat menbantu untuk mengjilangkan rasa sakit
tersebut
2. Antibiotik
Secara umum, dapat diberikan antibiotika yang sesuia selama 10 14 hari walaupun
gejala klinik telah hilang.
Pembersihan hidung dan sinus dari sekret yang kental dapat dilakukan dengan saline
sprays atau irigasi.
Cara yang efektif dan murah adalah dengan menggunakan canula dan Higgisons
syringe
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat yang paling efektif untuk mengurangi udem pada
mukosa yang berkaitan dengan infeksi.
5. Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila pengobatan dengan medikamentosa sudah gagal.
Pembedahan radikal dilakukan dengan mengankat mukosa yang patologik dan membuat
drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell
Luc, sedangkan untuk sinus ethmoid dilakukan etmoidektomi.
Pembedahan tidak radikal yang akhir akhir ini sedang dikembangkan adalah
menggunakan endoskopi yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.Prisnsipnya
adalah membuka daerah osteomeatal kompleks yang menjadi sumber penyumbatan dan
infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melaui ostium alami.
2.4.8 Komplikasi
Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus paranasal yang
berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal
dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi
thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah
infeksi orbital menyebabkan mata tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada
nervus optikus (Hilger, 1997). Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul
akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan Schow, 2008)
Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke otak melalui tulang atau
pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan meningitis, abses otak dan abses ekstradural
atau subdural (Hilger, 1997).
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan
bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Ballenger, 2009).
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah:
1. Kelainan intrakranial
-
Meningitis
Encephalitis
Osteitis
Osteomyelitis
Bronkitis kronik
Bronkhiektasis
4. Otitis media
5. Toxic shock syndrome
6. Mucocele , pyococele
2.4.9 Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang
dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik
atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).