Anda di halaman 1dari 16

Tinjauan Pustaka

Pelayanan Kesehatan Masyarakat dalam Pemberantasan


Demam Berdarah Dengue
Budiman Atmaja
102011205 / B4
30 Juni 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : budimanatmaja@hotmail.com

Pendahuluan
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat, dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insiden DHF di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk; dan pernah meningkat
tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DHF cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.1 Data dari
Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa pada tahun 2004 selama bulan Januari dan
Februari, pada 25 provinsi tercatat 17.707 orang terkena DHF dengan kematian 322
penderita.2 Diperlukan pencegahan lebih lanjut agar kejadian DHF ini tidak menimbulkan
jumlah kesakitan dan kematian yang besar.
Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
pemberantasan DHF dalam hal pendekatan epidemiologi, surveilance, kejadian luar biasa,
tingkat pencegahan penyakit, pelayanan puskesmas, program pemberantasan DHF, dan
pemberdayaan masyarakat.

Pendekatan Epidemiologi
Epidemiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari distribusi kejadian sakit,
gangguan fungsi tubuh (disability) dan kematian, serta faktor-faktor yang memengaruhi
frekuensi

kejadian

pada

kelompok-kelompok

masyarakat

tertentu.

Dalam

aspek

epidemiologi, terdapat model segitiga epidemiologi menggambarkan kejadian suatu penyakit


yang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu host, agent, dan environtment.3

Gambar 1. Model segitiga epidemiologi.3


Host atau pejamu adalah manusia yang mudah terkena atau rentan terhadap suatu bibit
penyakit, yang menyebabkan ia sakit. Faktor utama pada host yang memudahkannya terkena
penyakit adalah sistem kekebalan atau imunitas dan perilakunya sendiri. Sistem kekebalan
tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan ras.3
Agent adalah faktor yang menjadi bibit penyakit yang menjadi penyebab suatu
penyakit. Penyebab penyakit ada yang bersifat biologis, fisik, kimia, dan sosiopsikologis.
Yang bersifat biologis seperti DHF disebabkan virus dengue.3
Environtment atau lingkungan adaalah situasi atau kondisi di luar host dan agent yang
memudahkan interaksi antar keduanya. Faktor ini juga dapat menjadi risiko timbulnya
gangguan penyakit pada host karena lingkungan memberikan peluang agent untuk
berkembang (breeding). Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan biologis, fisik,
kimia, dan sosial.3
Paradigma sehat menurut H.L. Blum juga dapat digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara empat faktor utama yang menentukan derajat kesehatan masyarakat di suatu
wilayah. Keempat faktor tersebut adalah genetik, pelayanan kesehatan, perilaku manusia, dan
lingkungan.3

Gambar 2. Paradigma kesehatan.3


Faktor genetik paling kecil pengaruhnya terhadap kesehatan perorangan atau
masyarakat dibandingkan ketiga faktor lain. Pengaruh pada status kesehatan perorangan
terjadi secara evolutif dan paling sukar dideteksi. Untuk itu, perlu dilakukan konseling
genetik. Untuk kepentingan kesehatan masyarakat atau keluarga, faktor genetik perlu
mendapat perhatian di bidang pencegahan penyakit.3
Ketersediaan sarana pelayanan, tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang
berkualitas akan berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat. Pengetahuan dan
keterampilan petugas kesehatan yang diimbangi dengan kelengkapan sarana / prasarana, dan
dana akan menjamin kualitas pelayanan kesehatan. Pelayanan seperti ini akan mampu
mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan yang berkembang di suatu wilayah atau
kelompok masyarakat. 3
Faktor perilaku masyarakat terutama di negara berkembang paling besar pengaruhnya
terhadap munculnya gangguan kesehatan atau masalah kesehatan di masyarakat. Tersedianya
jasa pelayanan kesehatan tanpa disertai perubahan perilaku masyarakat akan mengakibatkan
masalah kesehatan tetap potensial berkembang di masyarakat,3
Lingkungan yang terkendali, akibat sikap hidup dan perilaku masyarakat yang baik
akan dapat menekan perkembangan masalah kesehatan. Sektor-sektor terkait di luar sektor
kesehatan seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Cipta Karya (PU),
Kependudukan akan besar sekali perannya dalam upaya pengendalian sampah. Sampah yang
menumpuk, kampung kumuh, dan genangan air akan memudahkan vektor DHF
berkembang.3
3

Untuk menganalisis program kesehatan di lapangan, paradigma H.L. Blum dapat


dimanfaatkan untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan masalah sesuai dengan faktorfaktor yang berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. Analisis keempat faktor tersebut
perlu dilakukan secara cermat sehingga masalah kesehatan masyarakat dan masalah program
dapat dirumuskan dengan jelas.3
Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit
virus yang berbahaya. Virus penyebab DHF

ini adalah virus dengue dari kelompok

Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini
termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae.2 Terdapat empat serotipe virus ini yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. 1 Gejala
klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan
manifestasi perdarahan yang biasanya didahului tanda khas berupa bintik-bintik merah
(petechia) pada badan penderita. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti, sedangkan
vektor potensialnya adalah Aedes albopictus.4
Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah: sayap dan badannya belang-belang atau
bergaris-garis putih. Selain itu nyamuk ini berkembang biak di air jernih yang tidak
beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang
menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan lainlain. Jarak terbangnya 100 m dan nyamuk betinanya bersifat multiple biters (menggigit
beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat). Nyamuk
ini tahan suhu panas dan kelembaban tinggi.2

Gambar 3. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti.2

Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DHF adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi
saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya).
Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari nyamuk ke
telur-telurnya.2
Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air
liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan
bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari
dan orang tersebut akan mengalami sakit DHF. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh
manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.2
Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit DHF.
Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau bahkan ada yang
sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama
satu minggu, sehingga dapar menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada
nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.2

Gambar 4. Cara penularan demam berdarah dengue.5


Penyebaran penyakit DHF di Jawa biasanya terjadi mulai bulan Januari sampai April
dan Mei. Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DHF antara lain:
imunitas pejamu, kepadatan populasi nyamuk, transmisi virus dengue, virulensi, keadaan
geografis setempat. Faktor penyebaran kasus DHF antara lain: pertumbuhan penduduk,
urbanisasi yang tidak terkontrol, transportasi.2
Kriteria diagnosis daru DHF adalah lewat kriteria klinis dan kriteria laboratoris.
Kriteria klinisnya adalah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang kelas dan berlangsung
terus-menerus selama 2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan, pembesaran hati, dan syok.
5

Kriteria laboratorusnya adalah trombositopenia (<100.000/mm3), hemokonsentrasi (Ht


meningkat >20%). Seorang pasien dinyatakan menderita penyakit DHF bila terdapat minimal
2 gejala klinis yang positif dan 1 hasil laboratorium yang positif. Bila gejala dan tanda
tersebut kurang dari ketentuan di atas maka pasien dinyatakan menderita demam dengue.2

Surveilance
Surveilans adalah observasi kejadian yang sedang berlangsung, aktif, dan sistematik
terhadap kejadian dan distribusi penyakit dalam suatu populasi, dan kejadian atau kondisi
yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko kejadian suatu penyakit. Sistem surveilans
dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang berbagai macam peristiwa.6
Surveilans juga dapar digunakan untuk mengukur outcome lainnya yang disebabkan
oleh pelayanan atau kinerja, atau proses tindakan yang diambil untuk mencapai suatu
outcome (seperti kepatuhan pada suatu kebijakan atau peraturan yang telah disepakati). Dua
tujuan utama program surveilans dalam fasilitas pelayanan kesehatan adalah: memperbaiki
kualitas pelayanan pasien; dan mengidentifikasi, mengimplementasikan, dan mengevaluasi
strategi untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial dan kejadian tidak
diinginkan lainnya. Empat tujuan suatu program surveilans adalah: 1. Mempersiapkan standar
nilai, atau rate penyakit endemik; 2. mengidentifikasi peningkatan rate penyakit di atas
standar nilai yang telah ditetapkan, atau yang diperkirakan; 3. mengidentifikasi faktor risiko
penyakit; dan 4. mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.6
Terdapat beberapa metode surveilans yang telah digunakan dalam fasilitas pelayanan
kesehatan. Metode ini dapat dipisahkan ke dalam empat kategori utama: 1. Surveilans
prospektif total, ketika semua pasien dipantau untuk infeksi nosokomial pada semua divisi
rumah sakit; 2. Surveilans yang bertarget, yaitu dengan menyurvei infeksi terseleksi, tempat
infeksi, atau organisme tertentu yang akan disurvei; 3. Survei prevalensi, untuk jumlah
infeksi yang aktif selama periode waktu tertentu, dan rate prevalensi yang dihitung; 4.
Surveilans periodik, yang dapat dilakukan selama suatu periode waktu tertentu pada unit-unit
yang terpilih dan surveilans periode berikutnya dilakukan pada unit lain sehingga
keseluruhan rumah sakit dapat disurvei pada selama tahun tersebut.6

Suatu program surveilans yang telah dirancang dengan baik seharusnya mempunyai
kegiatan pengumpulan data, manajemen data, analisis data, dan diseminasi data yang
berkelanjutan untuk mengendalikan dan mencegah penyakit.6
Tanpa mengabaikan fasilitas pelayanan kesehatan, orang-orang yang merancang suatu
program surveilans untuk fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya dapat menetapkan suatu
sistem yang dapat mencegah timbulnya infeksi dan kejadian merugikan lainnya lebih banyak
lagi dengan sumber daya yang ada. Daftar ini dapat digunakan untuk merancang suatu
program surveilans: 1. Menargetkan outcome yang akan dicegah dan proses yang akan
dikembangkan serta mengembangkan indikator yang spesifik dengan tujuan tertentu; 2.
Menetapkan prioritas menurut tujuan tersebut; 3. Mengalokasi waktu dan sumber daya yang
sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan; 4. Setelah menyelesaikan 3 langkah pertama,
strategi surveilans, pencegahan, dan pengendalian kemudian dirancang agar langkah-langkah
tersebut dapat mendukung tujuan yang telah ditetapkan; 5. Setelah waktu surveilans
ditentukan, langkah berikutnya adalah mengevaluasi program survelians, pencegahan, dan
pengendalian, serta merevisi program tersebut jika dibutuhkan.6
Pemilihan denominator yang tepat adalah salah satu aspek yang paling penting dalam
pengukuran frekuensi penyakit. Denominator yang digunakan harus mendekati populasi
berisiko yang sebenarnya. Insidens mengukur frekuensi kasus atau kejadian selama suatu
periode tertentu. Rumusnya adalah:6

Insidens =

Jumlah kasus ataukejadian yang terjadi


dalam suatu periode waktu tertentu
x 10n
Jumlah orang di dalam populasi berisiko
dalam periode yang sama

Selain itu terdapat juga prevalensi yang mengukur kejadian kasus baru maupun kasus
yang telah ada dari suatu penyakit.Rumusnya adalah:6

Prevalensi =

semua kasus baru dan kasus yang telah


ada selama suatu periode tertentu
x 100
populasi yang berisiko selama
periode yang sama

Surveilans vektor DHF ditujukan untuk memperoleh informasi tentang kepadatan dan
distribusi vektor DHF, tempat bersarannya yang berpotensial, jarak terbang, arah infiltrasi

vektor ke dalam masyarakat, dan pengaruh perubahan cuaca atau mutasi terhadap populasi
vektor.7

Kejadian Luar Biasa


KLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya
suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok
penduduk dalam kurun waktu tertentu. Kriteria KLB (kriteria kerja) antara lain: 1. Timbulnya
suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal di suatu daerah.; 2. Adanya
peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang dua kali atau lebih dibandingkan dengan
jumlah kesakitan/kematian yang biasa terjadi pada kurun waktu sebelumnya (jam, hari,
minggu) tergantung dari jenis penyakitnya.; 3. Adanya peningkatan kejadian kesakitan terus
menerus selama 3 kurun waktu (jam, hari, minggu) berturut-turut menurut jenis penyakitnya.8

Tingkat Pencegahan Penyakit


Ada tiga tingkat pelaksanaan tindakan pencegahan dalam pengendalian penyakit
primer, sekunder, dan tersier. Tujuan pencegahan primer adalah mencega awitan suatu
penyakit atau cedera selama masa prapatogenesis (sebelum proses suatu penyakit dimulai).
Contoh pencegahan primer antara lain, program pendidika kesehatan dan promosi kesehatan,
proyek rumah aman, dan pengembangan personalitas dan pembentukan karakter. Contoh lain
adalaah penggunaan imunisasi terhadap penyakit tertentu, praktik higiene personal, misalnya
mencuci tangan, penggunaan sarung tangan, dan klorisasi persediaan air masyarakat.9
Sayangnya penyakit atau cedera tidak dapat selalu dicegah. Penyakit kronis,
khususnya terkadang menyebabkan disabilitas (ketidakmampuan) yang cukup parah sebelum
akhirnya terdeteksi dan diobati. Dalam hal ini intervensi segera mencegah kematian atau
membatasi disabilitas. Pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan pengobatan segera
penyakit sebelum penyakit itu berkembang dan disabilitas. Pencegahan sekunder adalah
diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit sebelum penyakit itu berkembang dan
disabilitas menjadi parah.9
Salah satu tindakan pencegahan sekunder yang paling penting adalah skrining
kesehatan. Tujuan skrining ini bukan untuk mencegah terjadinya penyakit tetapi lebih untuk
8

mendeteksi keberadaannya selama masa patogenitas awal, sehingga intervensi (pengobatan)


dini dan pembatasan disabilitas dapat dilakukan. Perlu diperhatikan pula bahwa tujuan
skrining kesehatan bukan untuk mendiagnosis penyakit. Alih-alih, tujuannya adalah memilah
secara ekonomi dan efisien mereka yang kemungkinan sehat dari mereka yang kemungkinan
positif terjangkit penyakit. Mereka yang ternyata positif kemudian dapat dirujuk untuk
menjalani prosedur diagnostik yang lebih spesifik.9
Tujuan pencegahan tersier adalah melatih kembali, mendidik kembali, dan
merehabilitasi pasien yang mengalami disabilitas permanen. Tindakan pencegahan tersier
mencakup tindakan yang diterapkan setelah berlangsungnya masa patogenesis.9
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular mencakup pendekatan primer,
sekunder, dan tersier. Pelaksanaan yang sukses dari pendekatan ini, terutama pencegahan
primer yang mengakibatkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas penyakit menular
yang tidak pernah terjadi sebelumnya, merupakan salah satu prestasi luar biasa dalam bidang
kesehatan masyarakat di abad ini.9
Langkah-langkah pencegahan primer penyakit menular dapat digambarkan dengan
menggunakan mata rantai infeksi. Dalam model ini, strategi pencegahan tampak dalam
masing-masing sambungan pada rantai. Pelaksanaan yang sukses dari setiap strategi dapat
dipandang sebagai kelemahan suatu sambungan, dengan tujuan akhir memutus mata rantai
infeksi, atau mengganggu siklus penyebaran penyakit. Contoh tindakan masyarakat antara
lain pemeliharaan sistem saluran pembuangan yang berfungsi dengan baik, pembuangan
limbah padat secara tepat, dan lainnya. Ke dalamnya juga ditambahkan upaya personal dalam
pencegahan primer, misalnya mencuci tangan.9
Langkah pencegahan sekunder terhadap penyakit menular bagiu individu melibatkan
diagnosis sendiri dan pengobatan sendiri dengan obat yang ada di rumah, tampa obat dari
resep dokter, atau diagnosis dan pengobatan dengan antibiotik yang diresepkan dokter. Upaya
pencegahan sekunder yang dilaksanakan oleh masyarakat terhadap penyakit menular
biasanya ditujukan untuk mengendalikan atau membatasi penyebaran suatu epidemi.
Contohnya antara lain pemeliharaan secara cermat catatan kasus dan mematuhi kebijakan
yang mengharuskan pelaporan penyakit yang harus dilaporkan dan melakukan investigasi
kasus serta kontak mereka yang ungkin terinfeksi melalui kontak dekat dengan kasus yang
positif.9

Upaya pencegahan tersier untuk pengendalian

penyakit menular bagi individu

mencakup upaya pemulihan dari infeksi, penyembuhan sampai sehat total, dan kembali
menjalankan aktivitas normal. Pada sebagian kasus, kembali menjalankan aktivitas normal
mungkin tidak mungkin walau setelah terapi fisik ekstensif sekalipun. Di tingkat komunitas,
upaya pencegahan tersier ditujukan untuk pencegahan kekambuhan suatu penyakit epidemik.
Pencegahan tersier dapat melibatkan pelaksanaan kembali upaya pencegahan primer dan
sekunder sebagai cara untuk mencegah munculnya kasus lain.9

Pelayanan Puskesmas
Sesuai strategi Indonesia sehat tahun 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor
kesehatan di era desentralisasi ini, Depkes Pusat sudah menetapkan visi dan misi Puskesmas.
Visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah terwujudnya Kecamatan Sehat
2010.3
Kecamatan sehat 2010 merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang
hidup di lingkungan yang sehat dan perilaku hidup masyarakatnya juga sehat, mampu
menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta memiliki derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan visi dan misi Puskesmas diperlukan analisis
internal dan eksternal lingkungan Puskesmas.3
Untuk mewujudkan visi Kecamatan sehat 2010, setiap Puskesmas harus
memanfaatkan kapasitas dan potensi Puskesmas secara potimal untuk kemudian
dikembangkan secara bertahap untuk mewujudkan visi Puskesmas. Tiga misi yang harus
diemban adalah: 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan yakni pembangunan
yang mampu menciptakan lingkunan sehat dan membentuk perilaku hidup sehat masyarakat;
2. Memberdayakan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan.; 3.
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu yaitu komprehensif, holistik,
terpadu antar program, dan berkesinambungan. Setiap Puskesmas menambah misi sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan lembaga di wilayah kerjanya. Sesuai misi
tersebut diatas, Puskesmas mempunyai funsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan
Kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan,
dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama.3

10

Program kesehatan dasar Puskesmas yang dikembangkan di era desentralisasi ini


lebih disederhanakan yang meliputi program: Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan,
Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi, Pemberantasan
Penyakit Menular, dan Pengobatan Dasar.3 Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) menjadi
titik berat dalam konteks DHF.
Tujuan dari P2M adalah menemukan kasus penyakit menular sedini mungkin, dan
mengurangi faktor risiko lingkungan masyarakat yang memudahkan terjadinya penyebaran
penyakit menular di suatu wilayah, memberikan proteksi khusus kepada kelompok
masyarakat tertentu agar terhindar dari penularan penyakit. Sasaran program ini adalah ibu
hamil, balita, dan anak-anak sekolah untuk kegiatan imunisasi. Sasaran sekunder adalah
lingkungan pemukiman masyarakat. Untuk pemberantasan penyakit menular tertentu,
kelompok-kelompok tertentu masyarakat yang berperilaku risiko tinggi juga perlu dijadikan
sasaran kegiatan P2M. Lingkup kegiatannyaadalah surveilans epidemiologi, imunisasi, dan
pemberantasan vektor.3

Gambar 5. Hubungan fungsi pengawasan dengan fungsi manajemen lainnya.3


Proses manajemen terdiri dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, aktuasi, dan
pengawasan. Fungsi perencanaan adalah fungsi terpenting dalam manajemen karena akan
menentukan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Tanpa fungsi perencanaan, tidak mungkin
fungsi manajemen lainnya akan dapat dilaksanakan dengan baik. Perencanaan manajerial
akan memberikan pola pandang secara menyeluruh terhadap semua pekerjaan yang
dijalankan, siapa yang akan melakukan dan kapan akan dilakukan. Pengorganisasian adalah
11

salah satu fungsi manajemen yang juga mempunyai peranan penting seperti halnya
perencanaan. Melalui fungsi pengorganisasian, seluruh sumber daya yang dimikili oleh
organisasi akan diatur penggunaannya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan. Fungsi aktuasi merupakan penggerak semua kegiatan
program untuk mencapai tujuan program. Prinsip ini lebih menekankan pada bagaimana
manajer mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang
telah disepakati. Fungsi pengawasan dan pengendalian merupakan fungsi yang terakhir dari
proses manajemen. Fungsi ini mempunyai kaitan erat dengan ketika ketiga fungsi manajemen
lainnya, terutama dengan fungsi perencanaan. Melalui fungsi pengawasan dan pengendalian,
standar keberhasilan suatu program yang dituangkan dalam bentuk target, prosedur kerja, dan
sebagainya harus selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau yang mampu
dikerjakan oleh staf.3
Untuk melaksanakan usaha pokok Puskesmas secara efisien, efektif, produktif, dan
berkualitas, pimpinan Puskesmas harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip
manajemen. Manajemen bermanfaat untuk membantu pimpinan dan pelaksana program agar
kegiatan program Puskesmas dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penerapan manajemen
kesehatan di Puskesmas terdiri dari Micro Planning (MP) yaitu perencanaan tingkat
Puskesmas. Pengembangan program Puskesmas selama lima tahun disusun dalam MP.
Lokakarya Mini Puskesmas (LKMP) yaitu bentuk penjabaran MP ke dalam paket-paket
kegiatan program yang dilaksanakan oleh staf, baik secara individu maupun berkelompok.
LKMP dilaksanakan setiap tahun. Sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas
(SP2TP) adalah kompilasi pencatatan program yang dilakukan secara terpadu setiap bulan.
Stratifikasi Puskesmas merupakan kegiatan evaluasi program yang dilakukan setiap tahun
untuk mengetahui pelaksanaan manajemen program Puskesmas secara menyeluruh. Penilaian
dilakukan oleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Data-data SP2TP
dimanfaatkan oleh Puskesmas untuk penilaian stratifikasi. Supervisi rutin oleh pimpinan
Puskesmas dan rapat-rapat rutin untuk koordinasi dan memantau kegiatan program. Supervisi
oleh pimpinan, monitoring dan evaluasi merupakan penjabaran fungsi manajemen
(pengawasan dan pengendalian) di Puskesmas.3

Program Pemberantasan DHF

12

Pemberantasan Aedes aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk


memberantas DHF, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya
belum ditersedia. Pemberantasan dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya.4
Pemberantasan nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapanfogging) dengan insektisida yaitu: organofosfat misalnya malation, fenitrotion; piretroid
sintetik, misalnya lamda sihalotrin, permetrin; karbamat.4

Gambar 6. Skema pengelolaan DHF.2


Pemberantasan jentik dikenal dengan istilah PSN (pemberantasan sarang nyamuk),
dilakukan dengan cara kimia, biologi, dan fisik. Secara kimia, pemberantasan larva dilakukan
dengan larvasida yang dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan
adalah temefos. Formulasi temefos yang digunakan ialah granules. Dosis yang digunakan 1
ppm atau 10 gram (+1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos
tersebut mempunyai efek residu 3 bulan. Secara biologis misalnya memelihara ikan pemakan
jentik. Secara fisik, dikenal cara 3M (menguras, menutup, mengubur) yaitu menguras bak
mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum, dan lainlain), serta mengubur atau memusnahkan barang bekas (seperti kaleng, ban, dan lain-lain).
Pengurasan TPA perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar
nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu.4

13

Apabila PSN dilaksanakan seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk dapat


terbasmi. Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara
terus menerus dalam jangka waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan
erat dengan perilaku masyarakat.4
Pengendalian nyamuk dilakukan dengan cara: 1. Perlindungan perseorangan untuk
mencegah gigitan nyamuk yaitu memasang kawat kasa di lubang-lubang angin di atas jendela
atau pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida dan
penggunaan repellent pada saat berkebun; 2. Pembuangan atau mengubur benda-benda di
pekarangan atau di kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban mobil,
dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes aegypti (man made breeding
places); 3. Mengganti air atau membersihkan tempat-tempat air secara teratur tiap minggu
sekali, pot bunga, tempayan dan bak mandi; 4. Pemberian temefos ke dalam tempat
penampungan air / penyimpanan air bersih; 5. Melakukan fogging dengan malation setidaktidaknya 2 kali dengan jarak waktu setidak-tidaknya 10 hari di daerah yang terkena wabah di
daerah endemi DHF; 6. Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar masyarakat
dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan
tempat-tempat perindukan Aedes aegypti di sekitar rumah.4
Pemantauan kepadatan populasi Aedes aegypti merupakan hal yang penting sekali
untuk meningkatkan kewaspadaan wabah DHF.4
Pengukuran kepadatan populasi dilakukan dengan cara survei larva. Pada survei larva
semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiak Aedes aegypti
diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya larva. Untuk memeriksa tempat penampungan air
(TPA) yang berukuran besar seperti bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan
lainnya, jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak ditemukan larva, tunggu kira-kira
- 1 menit untuk memastikan bahwa larva benar tidak ada. Untuk memeriksa tempat
berkembangbiak yang kecil seperti vas bunga dan botol air didalamnya perlu dipindahkan ke
tempat lain, sedangkan untuk memeriksa larva di tempat yang agak gelap atau airnya keruh
digunakan lampu senter. Survei larva dapat dilakukan dengan single larval method atau cara
visual. Pada single larval method survei dilakukan dengan mengambil satu larva di setiap
TPA lalu diidentifikasi. Bila hasil identifikasi menunjukkan Aedes aegypti maka seluruh larva
yang ada dinyatakan sebagai larva Aedes aegypti. Pada cara visual, survei cukup dilakukan
dengan melihat ada atau tidaknya larva di setiap TPA tanpa mengambil larvanya. Dalam
14

program pemberantasan DBD survei larva yang biasa digunakan adalah cara visual. Ukuran
yang dupakai untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti ialah: angka bebas jentik dan
house index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah sedangkan
Breteau Index menunjukkan kepadatan dan penyebaran larva Aedes aegypti. Container index
menggambarkan kepadatan nyamuk.4
Rumus-rumusnya sebagai berikut:4

Angka Bebas Jentik (ABJ) =

House Index (HI) =

Container Index (CI) =

Jumlah rumahatau bangunan yang


tidak ditemukan jentik
x 100
Jumlah rumah ataubangunan
yang diperiksa
Jumlah rumahatau bangunan
yang ditemukan jentik
x 100
Jumlah rumahatau bangunan
yang diperiksa

Jumlah container berisi jentik


x 100
Breteau Index = Jumlah
Jumlah container yang diperiksa

container berisi jentik dalam 100 rumah / bangunan.

Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan satu dari tiga misi yang harus diemban
puskesmas

selain

menggerakkan

pembangunan

berwawasan

kesehatan

dan

menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu. Masyarakat dan keluarga perlu
dididik oleh staf Puskesmas tentang perilaku hidup sehat sehingga mereka lebih peka dengan
masalah kesehatan yang potensial muncul di wilayahnya; mendidik keluarga dan masyarakat
untuk hidup sehat, diarahkan agar mereka memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang
ada di masyarakat. Untuk itu, program PKM dan konseling perlu lebih digalakkan ol.eh staf
puskesmas. Keterampilan melakukan konseling dan pemasaran perlu lebih dilatih. Untuk
memberdayakan masyarakat, Puskesmas dapat bekerja sama dengan LSM setempat yang
peduli kesehatan.3

15

Penutup
DHF merupakan penyakit yang sering terjadi di Indonesia. Karena itu perlu dilakukan
pencegahan penyakit ini yaitu dengan melakukan pemberantasan terhadap vektor
penyakitnya. Vektor DHF adalah nyamuk aedes aegypti. Sebelum melakukan pemberantasan,
perlu dilakukan pendekatan epidemiologi dan surveilans terlebih dahulu untuk mempelajari
situasi yang terjadi di masyarakat. Setelah itu, Puskesmas sebagai pihak yang bertanggung
jawab harus menjalankan suatu program berdasarkan prinsip manajemen. Program tersebut
harus tepat pada sasaran sehingga pemberantasan DHF dapat dilakukan dengan efektif dan
efisien.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 2773.
2. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan & pemberantasan.
Jakarta: Erlangga; 2008. h. 60-7.
3. Muninjaya AAG. Manajemen kesehatan. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
h. 265.
5. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas. Jakarta: EGC; 2009. h. 33
6. Arias KM. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas pelayanan kesehatan.
Jakarta: EGC; 2010. h. 26.
7. Mubarak WI, Chayatin N. Ilmu kesehatan masyarakat: teori dan aplikasi. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika; 2009.
8. Departemen kesehatan RI. Pedoman kerja puskesmas; pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular. Jilid III. Jakarta: Bakti husada; 1991.
9. McKenzie JF, Pinger RR, Kotecki JE. Kesehatan masyarakat suatu pengantar. Edisi

ke-4. Jakarta: EGC; 2007. 103.

16

Anda mungkin juga menyukai