Pendahuluan
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat, dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insiden DHF di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk; dan pernah meningkat
tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DHF cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.1 Data dari
Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa pada tahun 2004 selama bulan Januari dan
Februari, pada 25 provinsi tercatat 17.707 orang terkena DHF dengan kematian 322
penderita.2 Diperlukan pencegahan lebih lanjut agar kejadian DHF ini tidak menimbulkan
jumlah kesakitan dan kematian yang besar.
Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
pemberantasan DHF dalam hal pendekatan epidemiologi, surveilance, kejadian luar biasa,
tingkat pencegahan penyakit, pelayanan puskesmas, program pemberantasan DHF, dan
pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan Epidemiologi
Epidemiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari distribusi kejadian sakit,
gangguan fungsi tubuh (disability) dan kematian, serta faktor-faktor yang memengaruhi
frekuensi
kejadian
pada
kelompok-kelompok
masyarakat
tertentu.
Dalam
aspek
Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini
termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae.2 Terdapat empat serotipe virus ini yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. 1 Gejala
klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan
manifestasi perdarahan yang biasanya didahului tanda khas berupa bintik-bintik merah
(petechia) pada badan penderita. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti, sedangkan
vektor potensialnya adalah Aedes albopictus.4
Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah: sayap dan badannya belang-belang atau
bergaris-garis putih. Selain itu nyamuk ini berkembang biak di air jernih yang tidak
beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang
menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan lainlain. Jarak terbangnya 100 m dan nyamuk betinanya bersifat multiple biters (menggigit
beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat). Nyamuk
ini tahan suhu panas dan kelembaban tinggi.2
Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DHF adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi
saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya).
Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari nyamuk ke
telur-telurnya.2
Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air
liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan
bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari
dan orang tersebut akan mengalami sakit DHF. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh
manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.2
Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit DHF.
Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau bahkan ada yang
sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama
satu minggu, sehingga dapar menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada
nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.2
Surveilance
Surveilans adalah observasi kejadian yang sedang berlangsung, aktif, dan sistematik
terhadap kejadian dan distribusi penyakit dalam suatu populasi, dan kejadian atau kondisi
yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko kejadian suatu penyakit. Sistem surveilans
dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang berbagai macam peristiwa.6
Surveilans juga dapar digunakan untuk mengukur outcome lainnya yang disebabkan
oleh pelayanan atau kinerja, atau proses tindakan yang diambil untuk mencapai suatu
outcome (seperti kepatuhan pada suatu kebijakan atau peraturan yang telah disepakati). Dua
tujuan utama program surveilans dalam fasilitas pelayanan kesehatan adalah: memperbaiki
kualitas pelayanan pasien; dan mengidentifikasi, mengimplementasikan, dan mengevaluasi
strategi untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial dan kejadian tidak
diinginkan lainnya. Empat tujuan suatu program surveilans adalah: 1. Mempersiapkan standar
nilai, atau rate penyakit endemik; 2. mengidentifikasi peningkatan rate penyakit di atas
standar nilai yang telah ditetapkan, atau yang diperkirakan; 3. mengidentifikasi faktor risiko
penyakit; dan 4. mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.6
Terdapat beberapa metode surveilans yang telah digunakan dalam fasilitas pelayanan
kesehatan. Metode ini dapat dipisahkan ke dalam empat kategori utama: 1. Surveilans
prospektif total, ketika semua pasien dipantau untuk infeksi nosokomial pada semua divisi
rumah sakit; 2. Surveilans yang bertarget, yaitu dengan menyurvei infeksi terseleksi, tempat
infeksi, atau organisme tertentu yang akan disurvei; 3. Survei prevalensi, untuk jumlah
infeksi yang aktif selama periode waktu tertentu, dan rate prevalensi yang dihitung; 4.
Surveilans periodik, yang dapat dilakukan selama suatu periode waktu tertentu pada unit-unit
yang terpilih dan surveilans periode berikutnya dilakukan pada unit lain sehingga
keseluruhan rumah sakit dapat disurvei pada selama tahun tersebut.6
Suatu program surveilans yang telah dirancang dengan baik seharusnya mempunyai
kegiatan pengumpulan data, manajemen data, analisis data, dan diseminasi data yang
berkelanjutan untuk mengendalikan dan mencegah penyakit.6
Tanpa mengabaikan fasilitas pelayanan kesehatan, orang-orang yang merancang suatu
program surveilans untuk fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya dapat menetapkan suatu
sistem yang dapat mencegah timbulnya infeksi dan kejadian merugikan lainnya lebih banyak
lagi dengan sumber daya yang ada. Daftar ini dapat digunakan untuk merancang suatu
program surveilans: 1. Menargetkan outcome yang akan dicegah dan proses yang akan
dikembangkan serta mengembangkan indikator yang spesifik dengan tujuan tertentu; 2.
Menetapkan prioritas menurut tujuan tersebut; 3. Mengalokasi waktu dan sumber daya yang
sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan; 4. Setelah menyelesaikan 3 langkah pertama,
strategi surveilans, pencegahan, dan pengendalian kemudian dirancang agar langkah-langkah
tersebut dapat mendukung tujuan yang telah ditetapkan; 5. Setelah waktu surveilans
ditentukan, langkah berikutnya adalah mengevaluasi program survelians, pencegahan, dan
pengendalian, serta merevisi program tersebut jika dibutuhkan.6
Pemilihan denominator yang tepat adalah salah satu aspek yang paling penting dalam
pengukuran frekuensi penyakit. Denominator yang digunakan harus mendekati populasi
berisiko yang sebenarnya. Insidens mengukur frekuensi kasus atau kejadian selama suatu
periode tertentu. Rumusnya adalah:6
Insidens =
Selain itu terdapat juga prevalensi yang mengukur kejadian kasus baru maupun kasus
yang telah ada dari suatu penyakit.Rumusnya adalah:6
Prevalensi =
Surveilans vektor DHF ditujukan untuk memperoleh informasi tentang kepadatan dan
distribusi vektor DHF, tempat bersarannya yang berpotensial, jarak terbang, arah infiltrasi
vektor ke dalam masyarakat, dan pengaruh perubahan cuaca atau mutasi terhadap populasi
vektor.7
mencakup upaya pemulihan dari infeksi, penyembuhan sampai sehat total, dan kembali
menjalankan aktivitas normal. Pada sebagian kasus, kembali menjalankan aktivitas normal
mungkin tidak mungkin walau setelah terapi fisik ekstensif sekalipun. Di tingkat komunitas,
upaya pencegahan tersier ditujukan untuk pencegahan kekambuhan suatu penyakit epidemik.
Pencegahan tersier dapat melibatkan pelaksanaan kembali upaya pencegahan primer dan
sekunder sebagai cara untuk mencegah munculnya kasus lain.9
Pelayanan Puskesmas
Sesuai strategi Indonesia sehat tahun 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor
kesehatan di era desentralisasi ini, Depkes Pusat sudah menetapkan visi dan misi Puskesmas.
Visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah terwujudnya Kecamatan Sehat
2010.3
Kecamatan sehat 2010 merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang
hidup di lingkungan yang sehat dan perilaku hidup masyarakatnya juga sehat, mampu
menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta memiliki derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan visi dan misi Puskesmas diperlukan analisis
internal dan eksternal lingkungan Puskesmas.3
Untuk mewujudkan visi Kecamatan sehat 2010, setiap Puskesmas harus
memanfaatkan kapasitas dan potensi Puskesmas secara potimal untuk kemudian
dikembangkan secara bertahap untuk mewujudkan visi Puskesmas. Tiga misi yang harus
diemban adalah: 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan yakni pembangunan
yang mampu menciptakan lingkunan sehat dan membentuk perilaku hidup sehat masyarakat;
2. Memberdayakan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan.; 3.
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu yaitu komprehensif, holistik,
terpadu antar program, dan berkesinambungan. Setiap Puskesmas menambah misi sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan lembaga di wilayah kerjanya. Sesuai misi
tersebut diatas, Puskesmas mempunyai funsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan
Kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan,
dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama.3
10
salah satu fungsi manajemen yang juga mempunyai peranan penting seperti halnya
perencanaan. Melalui fungsi pengorganisasian, seluruh sumber daya yang dimikili oleh
organisasi akan diatur penggunaannya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan. Fungsi aktuasi merupakan penggerak semua kegiatan
program untuk mencapai tujuan program. Prinsip ini lebih menekankan pada bagaimana
manajer mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang
telah disepakati. Fungsi pengawasan dan pengendalian merupakan fungsi yang terakhir dari
proses manajemen. Fungsi ini mempunyai kaitan erat dengan ketika ketiga fungsi manajemen
lainnya, terutama dengan fungsi perencanaan. Melalui fungsi pengawasan dan pengendalian,
standar keberhasilan suatu program yang dituangkan dalam bentuk target, prosedur kerja, dan
sebagainya harus selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau yang mampu
dikerjakan oleh staf.3
Untuk melaksanakan usaha pokok Puskesmas secara efisien, efektif, produktif, dan
berkualitas, pimpinan Puskesmas harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip
manajemen. Manajemen bermanfaat untuk membantu pimpinan dan pelaksana program agar
kegiatan program Puskesmas dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penerapan manajemen
kesehatan di Puskesmas terdiri dari Micro Planning (MP) yaitu perencanaan tingkat
Puskesmas. Pengembangan program Puskesmas selama lima tahun disusun dalam MP.
Lokakarya Mini Puskesmas (LKMP) yaitu bentuk penjabaran MP ke dalam paket-paket
kegiatan program yang dilaksanakan oleh staf, baik secara individu maupun berkelompok.
LKMP dilaksanakan setiap tahun. Sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas
(SP2TP) adalah kompilasi pencatatan program yang dilakukan secara terpadu setiap bulan.
Stratifikasi Puskesmas merupakan kegiatan evaluasi program yang dilakukan setiap tahun
untuk mengetahui pelaksanaan manajemen program Puskesmas secara menyeluruh. Penilaian
dilakukan oleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Data-data SP2TP
dimanfaatkan oleh Puskesmas untuk penilaian stratifikasi. Supervisi rutin oleh pimpinan
Puskesmas dan rapat-rapat rutin untuk koordinasi dan memantau kegiatan program. Supervisi
oleh pimpinan, monitoring dan evaluasi merupakan penjabaran fungsi manajemen
(pengawasan dan pengendalian) di Puskesmas.3
12
13
program pemberantasan DBD survei larva yang biasa digunakan adalah cara visual. Ukuran
yang dupakai untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti ialah: angka bebas jentik dan
house index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah sedangkan
Breteau Index menunjukkan kepadatan dan penyebaran larva Aedes aegypti. Container index
menggambarkan kepadatan nyamuk.4
Rumus-rumusnya sebagai berikut:4
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan satu dari tiga misi yang harus diemban
puskesmas
selain
menggerakkan
pembangunan
berwawasan
kesehatan
dan
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu. Masyarakat dan keluarga perlu
dididik oleh staf Puskesmas tentang perilaku hidup sehat sehingga mereka lebih peka dengan
masalah kesehatan yang potensial muncul di wilayahnya; mendidik keluarga dan masyarakat
untuk hidup sehat, diarahkan agar mereka memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang
ada di masyarakat. Untuk itu, program PKM dan konseling perlu lebih digalakkan ol.eh staf
puskesmas. Keterampilan melakukan konseling dan pemasaran perlu lebih dilatih. Untuk
memberdayakan masyarakat, Puskesmas dapat bekerja sama dengan LSM setempat yang
peduli kesehatan.3
15
Penutup
DHF merupakan penyakit yang sering terjadi di Indonesia. Karena itu perlu dilakukan
pencegahan penyakit ini yaitu dengan melakukan pemberantasan terhadap vektor
penyakitnya. Vektor DHF adalah nyamuk aedes aegypti. Sebelum melakukan pemberantasan,
perlu dilakukan pendekatan epidemiologi dan surveilans terlebih dahulu untuk mempelajari
situasi yang terjadi di masyarakat. Setelah itu, Puskesmas sebagai pihak yang bertanggung
jawab harus menjalankan suatu program berdasarkan prinsip manajemen. Program tersebut
harus tepat pada sasaran sehingga pemberantasan DHF dapat dilakukan dengan efektif dan
efisien.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 2773.
2. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan & pemberantasan.
Jakarta: Erlangga; 2008. h. 60-7.
3. Muninjaya AAG. Manajemen kesehatan. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
h. 265.
5. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas. Jakarta: EGC; 2009. h. 33
6. Arias KM. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas pelayanan kesehatan.
Jakarta: EGC; 2010. h. 26.
7. Mubarak WI, Chayatin N. Ilmu kesehatan masyarakat: teori dan aplikasi. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika; 2009.
8. Departemen kesehatan RI. Pedoman kerja puskesmas; pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular. Jilid III. Jakarta: Bakti husada; 1991.
9. McKenzie JF, Pinger RR, Kotecki JE. Kesehatan masyarakat suatu pengantar. Edisi
16