BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ANATOMI
Faring adalah suatu kantung fibromuskular yang berbentuk seperti corong
dibagian atas dan sempit dibagian bawah, dari dasar tengkorak menyambung ke
esofagus setinggi S-6. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar): selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, sebagian besar bukofaringeal.
Faring atas dibatasi oleh rongga hidung melalui koana. Bagian bawah dibatasi oleh
esofagus melalui aditus laring. Bagian depan dibatasi oleh rongga mulut melalui
ismus orofaring. Batas belakang dibatasi oleh vertebra servikalis.1,7
18
Muskularis
bentuknya
sirkular
(melingkar)
&
longitudinal
(memanjang). 1,7
Otot sirkular faring (terletak di sebelah luar). Terdiri dari m. konstriktor
faring superior, m. konstriktor faring media dan m. konstriktor faring inferior.
Berfungsi untuk mengecilkan lumen faring. Dipersyarafi oleh n.vagus (n.x). Pada
bagian belakang bertemu jaringan ikat rafe faring (raphe pharyngis). Otot
Longitudinal (terletak di sebelah dalam). Terdiri dari m. Stilofaring untuk
melebarkan faring dan menarik laring dipersyarafi oleh n.glossofaring (n.ix). M.
Palatofaring
sebagai
otot
elevator
penting
waktu
menelan.
Otot
ini
mempertemukan istmus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring
(n.vagus). Otot palatum mole terdiri dari m. levator veli palatine sebagian besar
19
INERVASI
-
Persarafan motorik dan sensorik berasal dari pleksus faring yang dibentuk
oleh: cabang faring dari n.vagus (n.x), cabang n,glosofaring (n.ix), serabut
simpatis
SISTEM LIMFATIK
PEMBAGIAN FARING
1. NASOFARING
Batasan
Batas atas : sinus sphenoid
Batas bawah : palatum mole
Batas depan : rongga hidung
Batas belakang : vertebra servikal I
Bangunan penting yang terdapat didalamnya adalah :
20
Adenoid
Fossa Rosenmuler
Kantong Rathke
Torus tubarius
Koana
Foramen jugulare
Bagian petrosus os temporalis
Foramen laserum
Muara tuba eustachius
2.OROFARING
Batasan
Batas atas : palatum mole
Batas bawah : tepi atas epiglotis
Batas depan : rongga mulut
Batas belakang : vertebra cervical
Struktur yang terdapat dalam orofaring adalah :
Dinding posterior faring
Tonsil palatina
Fosa tonsil
Fossa Tonsil
- Dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior
- Batas lateral: m. konstriktor faring superior
- Batas atas: kutub atas (upper pole) terdapat fosa supratonsil
Uvula
Tonsil lingual
Foramen sekum
21
22
3. Tonsil lingual
Permukaan tonsil palatine (tonsil) bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel
skuamosa. Di dalam kriptus ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan disebut dengan detritus. Permukaan lateral melekat pada
fasia faring kapsul tonsil .
Vaskularisasi diperoleh dari:
a. a. Palatina minor
b. a. Palatina asendens
c. Cabang tonsil a.maksila eksterna
d. a. Faring ascendens
e. a. Lingualis dorsal
-
a. Pharyngeal ascendes
23
Inferior
Anterior
: a.lingualis dorsal
Superior
I.
IMUNOLOGI
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.
Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat
kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke
saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen
makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
24
EPIDEMIOLOGI
25
26
ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui
mulut masuk bersama makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh
serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen
pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.13
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis
kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup
A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan
nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan
pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.8,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis
Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman
gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E.
coli.9
Infeksi
virus
biasanya
ringan
dan
dapat
tidak
memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.
Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan
coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil.
Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
27
GEJALA KLINIK
28
servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil
karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di
atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsil bed dengan bagian
tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17
29
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
30
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis
dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria
histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugras
abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah
temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa
Tonsilitis Kronis.20
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara
menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan
yang dapat membingungkan diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis
berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang
mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada
tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling
sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan
adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,16,17
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya
31
32
33
1,8
34
review
(2004)
melaporkan
bahwa
efektivitas
35
indikasi
tonsilektomi
menurut
The
American
of
36
Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut
yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit
berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 9,18
menyingkirkan
kemungkinan
adanya
hipertermia
maligna.
37
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma
akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada
keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih
banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi
38
akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih
berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan
kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit.
Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil
yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah
yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi.
Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan
tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit.
Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.21
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang
terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat
alat umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan
jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi
sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu
terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late complication. 21
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat
berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi.
Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan
yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup
berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak
cermat atau terlepasnya ikatan.
21
39
serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang
terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas
sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan
terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama
dengan perdarahan primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula
mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai
biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi
uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia
dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin
dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih
dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut
karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat
tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi,
komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau
potongan jaringan tonsil. 21
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut
di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan
rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit
umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat
mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 21
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18
Postoperative
Airway
Compromise
:Jarang
terjadi,
biasanya
Dehidrasi
40
XI.
KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.1
Beberapa literatur menyebutkan
lain:9,23
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya.
Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan
serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi
yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi
abses.
41
42
infeksi
tonsil
menjadi
patogenesa
terjadinya
penyakit
Glomerulonefritis.
XII. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan
yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu
yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa
penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi
yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis
dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.9