Abstrak
Ketahanan pangan merupakan salah satu program utama di Indonesia. Tujuan paper
ini menganalisis ketahanan pangan nasional saat ini dan kaitannya dengan penguatan ketahanan
pangan daerah. Hasil kajian ketahanan pangan nasional membaik dengan ditunjukkan oleh
peningkatan produksi pangan, ketergantungan pangan terhadap impor sangat kecil dan
peningkatan konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan. Namun hal itu tidak
menjamin di daerah, kasus busung lapar menunjukkan adanya permasalahan ketahanan pangan
di daerah. Oleh karena itu, diperlukan penguatan ketahanan pangan daerah dengan melakukan
advokasi kembali yang lebih intensif kepada pemerintah daerah sesuai dengan tugas, wewenang
dan kesepakatan yang telah dibuat. Selain itu pemerintah daerah harus terus berupaya untuk
mensosialisasi kelembagaan ketahanan pangan daerah yang telah terbentuk dan mendorong
keikutsertaan swasta dan masyarakat agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk
mewujudkan ketahanan pangan daerah dengan memperhatikan aspek ketahanan pangan.
Kata kunci : penguatan, ketahanan pangan daerah, ketahanan pangan nasional
PENDAHULUAN
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals
(MDG) terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator menegaskan bahwa tahun 2015
setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun
1990. Salah satu tujuan besar dari kesepakatan tersebut adalah mengurangi bencana
kelaparan dan kemiskinan (http://millennium indicators.un.org). Membicarakan masalah
kemiskinan tidak terlepas dari membahas masalah ketahanan pangan bahkan juga
ketahanan gizi, karena kedua hal tersebut saling terkait.
Disisi lain mengabaikan ketahanan pangan berarti membiarkan rendahnya
kualitas sumberdaya manusia. Dari Human Development Report (HDR) tahun 2003
diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia (yang ditentukan
dengan indikator tingkat ekonomi, pendidikan dan kesehatan) hanya menempati urutan
ke 112 dari 175 negara, merosot dari urutan ke 105 pada HDR tahun 1999 (Irawan,
2004).
23
Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar (215 juta orang),
masalah pangan selalu merupakan masalah yang sensitif. Sering terjadi gejolak politik
karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga menjadi
komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas (Sambutan Menko
Perekonomian, 2005) Ketahanan pangan telah menjadi komitmen nasional berdasarkan
pada pemahaman atas peran strategis dalam pembangunan nasional. Tiga aspek
peran strategis tersebut antara lain adalah : 1) Akses terhadap pangan dan gizi yang
cukup merupakan hak yang paling azasi bagi manusia. 2) Peranan penting pangan bagi
pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas dan 3) Ketahanan pangan
merupakan salah satu pilar utama yang menopang ketahanan pangan ekonomi dan
ketahanan nasional ( Anonimous, 2003).
Komitmen Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan tertuang pada
Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia (PP) No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Ketahanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau.
Berkaitan dengan ketahanan pangan juga terdapat dalam Peraturan Presiden
No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang salah
satunya bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan baik pada tingkat rumah
tangga, daerah maupun nasional. Pada tanggal 11 Juni 2005, pemerintah
mencanangkan strategi kebijakan yang disebut Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (RPPK). Strategi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, nelayan dan petani-hutan; meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan
dan kehutanan; serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan dan
kehutanan (Kantor menko Perekonomian dkk, 2005). RPPK diawali dengan penegasan
dan pengakuan atas posisi strategis dan peran multi fungsi pertanian, perikanan dan
kehutanan yang salah satunya dikaitkan dengan ketahanan pangan. Makalah ini
membahas situasi ketahanan pangan saat ini dan kaitannya dengan ketahanan pangan
daerah.
SITUASI KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Secara definisi, konsep ketahanan pangan telah jelas seperti telah disebutkan
terdahulu. Namun dalam penjabarannya terdapat variasi dikarenakan konsep ketahanan
pangan memang luas dan komplek menyangkut berbagai hal. Menurut Pribadi (2005)
cakupan ketahanan pangan adalah : (1) Ketersediaan pangan yang mencakup produksi,
cadangan dan pemasukan, (2) Distribusi/aksesibilitas mencakup fisik (mudah dijangkau)
dan ekonomi (terjangkau daya beli), serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan
24
serta kecukupan gizi individu. Terdapat empat elemen untuk mencapai ketahanan
pangan yaitu : (1) Tersedianya pangan yang cukup yang sebagian besar berasal dari
produksi sendiri; (2) Stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, tanpa pengaruh
musim; (3) Akses atau keterjangkauan terhadap pangan yang dipengaruhi oleh akses
fisik dan ekonomi terhadap pangan, dan (4) Kualitas konsumsi pangan serta keamanan
pangan.
Dalam bagian ini akan dianalisis perkembangan: (1) Ketersediaan dan
kemandirian pangan; dan (2) Tingkat dan Kualitas konsumsi pangan. Dengan
menganalisis aspek konsumsi pangan rumah tangga secara implisit sudah tercermin
aspek keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan, atau sudah masuk aspek harga
pangan dan pendapatan rumah tangga karena faktor utama yang mempengaruhi
konsumsi pangan adalah daya beli rumah tangga yang merupakan gabungan dari aspek
pendapatan rumah tangga dan harga pangan. Analisis konsumsi merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dengan upaya mencapai sasaran ketahanan pangan secara
keberlanjutan karena analisis konsumsi pangan adalah entry point analisis ketahanan
pangan, khususnya di tingkat rumah tangga.
Perkembangan Produksi dan Kemandirian Pangan
Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan
konsumsi, namun dinilai belum mencukupi (necessary but not sufficient) dalam konteks
ketahanan pangan, karena masih banyak variabel yang berpengaruh untuk mencapai
ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga. Oleh karena itu, berbagai upaya
telah dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri
(domestik). Bila terjadi kelebihan (surplus), pangan tersebut dapat diperdagangkan
antar wilayah terutama bagi wilayah yang mengalami defisit pangan dan ekspor.
Sebaliknya bila terjadi defisit, sebagian pangan untuk konsumsi dalam negeri dapat
dipenuhi dari pasar luar negeri atau impor.
Gambaran perkembangan produksi dan kemandirian pangan dapat dilihat
pada Tabel 1 dan 2. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan ketahanan pangan
melalui berbagai kebijakan yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan pangan.
Bahkan pemerintah telah menetapkan kebijakan swasembada pangan untuk lima
komoditas penting yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula. Pada tahun 2004,
Indonesia telah berswasembada beras dan terus diupayakan keberlanjutannya,
sementara target swasembada jagung pada tahun 2007, gula tahun 2009, daging sapi
tahun 2010 dan kedelai tahun 2015 (Dewan Ketahanan Pangan dan FAO, 2005).
Seperti terlihat pada Tabel 1, produksi beberapa jenis pangan sumber pangan
nabati dan hewani di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Laju
peningkatan pertumbuhan sekitar 1-13 persen per tahun selama periode 2001-2004
dengan peningkatan terkecil untuk komoditas beras dan terbesar komoditas buahbuahan. Permasalahan beras memang rumit karena beras yang harus disediakan untuk
25
memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam jumlah yang besar sebagai akibat
peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pengolahan pangan dengan
bahan baku beras. Di sisi lain, upaya peningkatan produksi beras menghadapi berbagai
tantangan seperti konversi lahan sawah, rusaknya saluran irigasi dan stagnasi teknologi
yang mampu meningkatkan produktivitas padi.
Tabel 1. Perkembangan Produksi Pangan, 2000-2004 (000 Ton)
2000
2001
2002
2003
2004
Laju
(%/th)
51.899
50.461
51.490
52.138
54.341
1,26
Jagung
9.677
9.347
9.654
10.886
11.355
4,81
Kedelai
1.018
827
673
672
731
-9,30
737
710
718
786
834
3,57
Ubikayu
16.089
17.055
16.913
18.524
19.507
4,71
Ubijalar
1.828
1.749
1.772
1.991
1.876
1,83
Sayuran
7.559
6.920
7.145
8.575
8.699
5,06
Buah-buahan
8.413
9.959
11.664
13.551
13.936
12,72
M.kelapa sawit
7.581
9.097
10.020
10.683
12.366
11,21
Gula
1.691
1.725
1.755
1.632
2.020
3,20
Daging sapi
386
382
373
410
426
2,73
Daging unggas
804
900
1.083
1.117
1.142
8,85
Telur
786
850
946
974
1.051
7,10
Susu
496
480
493
553
596
5,21
5.107
Ikan
Sumber : BPS, Berbagai tahun
5.353
5.516
5.841
6.231
4,88
Komoditas
Pangan nabati
Padi
Kacangtanah
Pangan hewani
Beras terlanjur sebagai pangan pokok utama bahkan juga pertama di berbagai
daerah termasuk daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok non beras
seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Selain itu beras terlanjur sebagai komoditas
politik dan publik yang melibatkan banyak pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi.
Walaupun terjadi peningkatan produksi pangan namun tetap harus waspada
terutama dalam aspek kestabilan pangan jangka panjang baik dari segi harga, volume
maupun kestabilan antara wilayah. Kestabilan tersebut akan berpengaruh tidak hanya
memacu terwujudnya ketahanan pangan tetapi juga ketahanan nasional, sebagai upaya
untuk meredam timbulnya konflik-konflik yang muncul akibat kelangkaan pangan.
26
Banyak kasus, huruhara yang terjadi di beberapa daerah atau kriminalitas akibat
kelangkaan pangan atau harga pangan yang mahal.
Kemandirian pangan yang diukur dengan ketergantungan ketersediaan
pangan terhadap impor dapat digunakan sebagai indikator kemampuan negara untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Dari angka rasio pada Tabel 2, ketergantungan
pangan Indonesia terhadap impor sangat kecil. Impor beras pada tahun 2003 hanya 2,2
persen dari total ketersediaan beras domestik, sedangkan pada tahun 2004 penurunan
menurun hanya 1,83 persen. Hanya komoditas jagung, kedelai, dan susu yang
mempunyai rasio relatif tinggi dibandingkan jenis pangan yang lain. Kinerja ini lagi-lagi
menunjukkan keberhasilan upaya pemerintah untuk terus memacu peningkatan
produksi domestik.
Tabel 2. Perkembangan Rasio Impor Pangan terhadap Ketersediaan Pangan Domestik, 20012004 (%)
Komoditas
2001
2002
2003
Pangan nabati
2,16
2,64
0,99
Beras
12,50
15,00
14,20
Jagung
15,11
21,20
18,60
Kedelai
Pangan hewani
0,00
0,00
0,00
Daging unggas
35,00
34,00
39
Susu
2,12
2.00
2,00
Ikan
Sumber : BPS dalam Deptan 2004 dan Dewan Ketahanan Pangan, 2005
2004
1,83
10,95
62,29
0,09
91,31
2,78
27
Kota
89,7
96,0
108,9
- Beras
113,5
5,4
7,7
5,6
7,1
- Ubikayu
2,8
2,1
2,6
0,2
- Mie instant
18,6
15,9
13,4
13,6
- Tahu+tempe
0,9
0,8
1,2
1,4
- Daging sapi
4,4
2,5
5,2
3,6
- Daging ayam
6,6
5,0
7,4
6,0
- Telur ayam
14,5
14,8
19,0
13,8
- Ikan segar
1,9
1,5
1,7
1,9
- Ikan olahan
Desa
109,6
111,8
121,0
- Beras
123,7
14,4
12,2
9,8
15,8
- Ubikayu
1,5
1,0
1,2
0,1
- Mie instant
13,9
10,8
10,0
8,6
- Tahu+tempe
0,3
0,3
0,3
0,3
- Daging sapi
1,5
1,2
2,7
1,6
- Daging ayam
3,9
3,1
4,6
3,3
- Telur ayam
12,6
12,2
14,6
11,8
- Ikan segar
2,7
2,4
2,8
3,0
- Ikan olahan
Sumber : BPS, Susenas 1993,1996,1999,2002 (diolah)
-11,8
37,5
-26,9
18,7
-33,3
-51,9
-32,4
-22,1
-11,8
-6,6
-9,9
33,3
17,0
12,5
76,0
32,0
2,0
26,7
-2,2
-38,0
1100
16,3
0,0
68,8
39,4
23,7
6,7
-7,6
24,5
-16,7
8,0
0,0
-55,6
-32,6
-16,4
-14,3
-2,0
18,0
50,0
28,7
0,0
25,0
12,9
3,3
12,5
Pencapaian ketahanan pangan tingkat rumah tangga juga dapat dilihat dari
tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein. Konsumsi energi dan protein rumah
tangga dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan bahkan sudah melebihi
28
anjuran terutama untuk kebutuhan protein. Berdasarkan hasil WNPG VI, tahun 1998,
rata-rata konsumsi energi dan protein yang dianjurkan untuk penduduk Indonesia adalah
2200 Kalori/kapita/hari dan 48 gram/kapita/hari.
Sebetulnya tingkat kecukupan konsumsi energi menunjukkan peningkatan
pada kondisi sebelum krisis yaitu dari 87,4 persen menjadi 94,0 persen; namun dengan
adanya krisis ekonomi, konsumsi energi menurun hampir 10 persen baik di kota maupun
di desa. Walaupun pada periode1999-2002, tingkat konsumsi energi meningkat sekitar 6
persen namun tingkat konsumsi energi masih belum kembali seperti pada waktu
sebelum krisis ekonomi.
Tabel 4. Perkembangan Konsumsi Energi dan Protein Secara Nasional Menurut Wilayah, 19932002
Wilayah
Energi(Kal/kap/hr)
Kota
Desa
Kota + Desa
1993
1996
1999
2002
1763
(82,0)
1937
(90,1)
1879
(87,4)
1983
(92,3)
2040
(94,9)
2019
(94,0)
1802
(81,9)
1879
(85,5)
1849
(84,0)
1954
(88,8)
2013
(91,5)
1987
(90,3)
Protein (gr/kap/hr)
Kota
55,9
49,3
55,9
45,3
(116,7)
(102,7)
(121,0)
(98,3)
53,2
48,2
53,7
Desa
45,6
(110,8)
(100,4)
(116,2)
(98,7)
54,4
48,6
54,5
Kota + Desa
45,5
(113,3)
(101,5)
(118,0)
(98,5)
Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan tingkat kecukupan Energi dan Protein .
Sumber : BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)
Kualitas konsumsi pangan yang diukur dengan konsep Pola Pangan Harapan
(PPH), juga menunjukkan peningkatan. Skor mutu pangan terus meningkat dari 66,2
tahun 1993 menjadi 69,8. Namun pada waktu krisis ekonomi, kualitas konsumsi pangan
menurun menjadi 62,4. Hal yang menggembirakan walaupun tingkat konsumsi energi
pada tahun 2002 masih lebih kecil dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis ekonomi
namun kualitas konsumsi pangannya menunjukkan kebalikannya. Kondisi pemulihan
ekonomi telah mampu meningkatkan kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan
dengan skor mutu pangan mencapai 71,8. Hal ini juga mengindikasikan bahwa
masyarakat telah mulai berubah dalam konsep pangan yang sudah mengarah pada
terjadinya diversifikasi konsumsi pangan dengan menganekaragamkan jenis pangan
yang dikonsumsi. Seperti terlihat pada Tabel 5, konsumsi energi dari pangan hewani,
kacang-kacangan dan sayur+buah meningkat secara signifikan.
29
Tabel 5. Perkembangan Konsumsi Energi dan Kualitas Konsumsi Pangan Menurut Pola Pangan
Harapan (PPH), 1993-2002
Konsumsi energi (Kalori/kapita/hari)
1993
1996
1999
2002
1
Padi - padian
1348
1328
1240
1246
2
Umbi umbian
101
68
69
68
3
Pangan hewani
97
124
88
128
4
Minyak + lemak
155
175
171
202
5
Buah/biji berminyak
62
51
41
50
6
Kacang kacangan
53
62
54
73
7
Gula
97
100
92
103
8
Sayur + buah
82
83
70
84
9
Minuman dan bumbu
41
29
26
34
Total
2035
2022
1851
1988
Skor PPH
66,2
69,8
62,4
71,8
Sumber : BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)
Keterangan: Skor PPH merupakan penjumlahan dari persentase konsumsi energi masingmasing kelompok pangan dikalikan dengan pembobotnya
No.
Kelompok Pangan
30
31
Kegiatan tersebut telah menyita waktu dan dana pemerintah daerah, sehingga
pembangunan ketahanan pangan dan pembangunan daerah secara umum ada kesan
agak terabaikan. Seorang aparat di provinsi Nusa Tenggara Timur mengatakan tidak
ada yang mikir ketahanan pangan, tetapi yang dipikir adalah bagaimana bisa menjadi
kepala daerah. Juga dana untuk program ketahanan pangan dipakai untuk hajatan
pilkada, sehingga alokasi dana APBD untuk program ketahanan pangan berkurang.
Situasi seperti tersebut di atas tidak boleh terus menerus terjadi karena
dampaknya akan besar tidak hanya terjadinya rawan pangan pada masyarakat tetapi
dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif pada kualitas sumberdaya manusia,
yang pada gilirannya menurunkan daya saing bangsa Indonesia di kancah pergaulan
dunia. Oleh karena itu penguatan ketahanan pangan daerah adalah solusi untuk
mewujudkan ketahanan nasional dan upaya untuk mencapai kualitas sumberdaya
manusia yang berkualitas tinggi.
Sejalan dengan otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 dan PP
No. 25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di
pusat dan daerah yang dijabarkan dalam program pembangunan sistem ketahanan
pangan, diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah. Berkaitan dengan
penguatan ketahanan pangan daerah maka :
1. Pemerintah pusat meningkatkan advokasi kembali kepada pemerintah daerah
tentang tugas, tanggung jawab dan pentingnya ketahanan pangan daerah
seperti yang diamanatkan dalam PP no. 68 dan kesepakatan bersama
Gubernur/Ketua Dewan ketahanan Pangan Provinsi. Pemerintah daerah
mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya rawan pangan yang berarti
terus berupaya untuk meningkatan ketahanan pangan daerah. Jika diperlukan
pemerintah pusat dapat memberi sangsi kepada pemerintah daerah apabila
pemerintah daerah tidak melakukannya,sebaliknya pemerintah pusat memberi
penghargaan apabila ketahanan pangan daerah dapat terwujud.
2. Penguatan kelembagaan ketahanan pangan daerah. Terwujudnya ketahanan
pangan daerah adalah tugas bersama, pemerintah, swasta dan masyarakat
dari tingkat provinsi sampai tingkat desa. Di daerah telah terbentuk lembaga
ketahanan pangan seperti Dewan Ketahanan Pangan Provinsi, namun
tampaknya lembaga ini masih belum berfungsi optimal dan belum melibatkan
berbagai unsur dalam masyarakat. Sehingga sering muncul konsep ketahanan
pangan yang salah dengan menganggap ketahanan pangan identik dengan
beras dan yang bertanggung jawab adalah Dinas Tanaman Pangan. Untuk itu,
pemerintah daerah harus terus berupaya untuk mendorong mensosialisasi
kelembagaan tersebut dan mendorong keikutsertaan swasta dan masyarakat
agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk mewujudkan
ketahanan pangan daerah.
3. Sesuai dengan tugas yang diembannya, pemerintah pusat berperan dalam
memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif melalui penetapan kebijakan
32
33
34
35
Tabel Lampiran 1. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang Menurut Provinsi di Indonesia, 2003
Gizi Buruk +
Gizi
Gizi
Gizi
Gizi
Lebih Gizi Kurang
Baik
Kurang
Buruk
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
1 Bali
3,58
12,60
80,84
2,99
16,18
2 DI Yogyakarta
4,04
12,46
81,08
2,42
16,49
3 Jambi
2,75
18,37
77,06
1,82
21,12
4 DKI-Jaya
5,93
15,60
72,77
5,70
21,53
5 Sultra
5,93
16,60
74,63
2,84
22,52
6 Jatim
5,88
17,05
74,71
2,36
22,92
7 Jabar
5,46
17,74
73,38
3,42
23,20
8 Sulut
8,37
16,40
70,23
5,00
24,77
9 Jateng
5,80
19,12
73,28
1,80
24,91
10 Maluku Utara
8,89
16,48
66,88
7,75
25,36
11 Sumbar
7,03
18,39
73,02
1,56
25,42
12 Kaltim
8,47
17,64
72,89
1,00
26,11
13 Bengkulu
7,52
18,68
70,62
3,19
26,20
14 Banten
8,17
18,37
70,74
2,72
26,54
15 Riau
9,86
17,23
70,95
1,96
27,09
16 Lampung
7,40
20,39
69,72
2,48
27,79
17 Kalteng
9,05
19,16
68,11
3,68
28,21
18 Bangka Belitung 9,30
20,00
67,04
3,66
29,30
19 Sumsel
10,15
19,59
66,78
3,48
29,75
20 Maluku
8,89
21,20
68,89
1,03
30,09
21 Sulteng
9,34
21,27
65,88
3,51
30,61
22 Sulsel
10,07
20,59
67,97
1,37
30,66
23 Papua
14,32
16,44
64,13
5,11
30,76
24 Sumut
12,35
18,59
66,49
2,57
30,94
25 Kalsel
9,35
22,72
64,92
3,01
32,07
26 NTB
10,43
23,83
63,51
2,23
34,26
27 Kalbar
13,28
24,13
60,54
2,05
37,41
28 NTT
12,52
25,93
60,10
1,46
38,44
29 Gorontolo
21,48
24,62
52,01
1,88
46,11
Total
8,31
19,19
70,04
2,46
27,50
Sumber: Depkes 2004, Aceh tidak dikumpulkan data antropometri
Provinsi
36
Status
provinsi
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
37