Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan
melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di
negara kita. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum
masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain
para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya
dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya
dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur,
memberikan terapi dan melakukan tindakan

medik sesuai

standar

pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.

Di negara-negara maju tiga besar dokter spesialis menjadi sasaran


utama tuntutan ketidaklayakan dalam praktek, yaitu spesialis bedah
(ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi dan spesialis kebidanan
& penyakit kandungan. Maka disini perlu lebih diketahui lagi bagaimana
aspek hukum dan upaya yang dapat

dilakukan dalam

kaitannya

dengan malpraktek.
Dari permasalahan diatas, penulis tertarik untuk menulis suatu
tulisan yang berbentuk paper dengan judul Aspek-Aspek Hukum
Malpraktek di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan diatas, dapat diajukan dua rumusan pe
rmasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah aspek hukum yang mengatur mengenai malpraktik di
Indonesia
2. Upaya apakah yang dapat dilakukan dalam rangka penegakkan
hukum Malpraktik?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Malpraktek Medik
Malpraktek

medik

adalah

kelalaian

seorang

dokter

untuk

mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim


di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini
adalah sikap kekurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau
sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak
akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula
dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan
medik.
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika
kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang
lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum De
minimis noncurat lex, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal
yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian
materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini dikl
asifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil. Tolak
ukur culpa lata adalah:

1. Bertentangan dengan hukum.


2. Akibatnya dapat dibayangkan.
3. Akibatnya dapat dihindarkan.
4. Perbuatannya dapat dipersalahkan.
B. Aspek Hukum Yang Mengatur Tentang Malpraktek Di Indonesia
a. UU RI No.29 thn. 2004 tentang praktek Kedokteran
b. KUHP
c. UUD 1945
Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan
pelayanan kedokteran di bawah standar. Malpraktek medik murni
(criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya
melakukan

pembedahan

dengan

niat membunuh pasiennya atau

adanya Dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya


tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang
sebenarnya

tidak

perlu

dilakukan,

jadi

semata-mata

untuk

mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi


materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut teri
mbas, malpraktek diatas dapat meluas.
Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
1. Dokter kurang menguasai Iptek kedokteran yang sudah berlaku umum

dikalangan profesi kedokteran.

2. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak

lege artis)
3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan

tidak hati-hati.
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik
kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat
menuntut penggantian kerugian kerena kelalaian, maka Penggugatan
harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut:
1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2. Dokter

telah

melanggar

standar

pelayanan

medik

yang

lazim

dipergunakan.
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar
Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian
yang tergugat. Dalam hukum terdapat suatu kaidah yang berbunyi Res
Ipsa

Loquitur,

yang

berarti

faktanya

telah

berbicara,

misalnya

terdapatnya kain kasa yang tertinggal dirongga perut pasien, sehingga

menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang
harus

membuktikan

tidak

adanya

kelalaian

pada

dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti
pidana (kriminil), kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikapyang
sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap
sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa
menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggung
jawabterhadap tuntutan kriminal oleh Negara.
Contoh Kasus
1. Seorang dokter memberi cuti sakit berulang-ulang kepada seorang
tahanan, padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan
perkaranya. Dalam hal ini dokter terkena pelanggaran Kode Etik
Kedokteran (KODEKI) Bab-I pasal 7 dan KUHP pasal 267. KODEKI Bab I
pasal 7; Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapatyang
dapat dibuktikan kebenarannya. KUHP pasal 267 Dokter yang dengan
sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak
adanya

penyakit,

kelemahan

atau

cacat,

dihukum

dengan

hukuman penjara selama 4 tahun.


2. Seorang penderita gawat darurat dirawat di suatu rumah sakit dan
ternyata memerlukan pembedahan segera. Ternyata pembedahan

tertunda

tunda,

sehingga

penderita

meninggal

dunia.

Pelanggaran etik dan hukum kasus ini ada 2 kemungkinan:


1. Jika tertundanya penbedahan tersebut disebabkan kelalaian dokter,
maka sikap dokter tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter,
KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP pasal 304 dan 306. Lafal sumpah
dokter:Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
KODEKI Bab II pasal 10: Seorang dokter wajib melakukan
pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan.KUHP pasal
304 Barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau
membiarkan seseorang dalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib
memberi kehidupan, perawatan dan pemeliharaan berdasarkan
hukum yang berlaku baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-KUHP pasal 306(2) jika salah
satu perbuatan tersebut berakibat kematian, maka bersalah dihukum
dengan hukuman perjara selama-lamanya 9 tahun.
2. Jika

tertundanya

pembedahan

tersebut

disebabkan

keluarga

penderita belum membayar uang panjar untuk rumah sakit, maka


rumah sakitlahyang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306, sedang
dokter terkena pelanggaran KODEKI. Jadi walaupun kesadaran
hukum meningkat akhir-akhir ini, namun untuk menegakkan hukum itu

di

tengah-tengah

masyarakat,

masih

menghadapi

hambatan-

hambatan. Hambatanlain tentunnya, bahwa unsur-unsur penegak


hukum kadang kala belum siap menangani kasus-kasus yang
diajukan, karena terbatasnya pengetahuan dalam bidang medik dan
belum adanya perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan kasus-kasus yang diajukan.
Dalam etik sebenarnya tidak ada batas-batas yang jelas antara boleh
atau tidak, oleh karena itu kadang kala sulit memberikan sanksisanksinya.Di negara-negara maju terdapat Dewan Medis (Medical
Council)yang

bertugas

melakukan

pembinaan

etika

profesi

dan

menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap etik


kedokteran. Di Negara kita IDI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK), baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.
Walaupun demikian, MKEK ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik
oleh para dokter maupun masyarakat.
Masih banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum
ditangani oleh MKEK. Oleh karena fungsi MKEK ini belum memuaskan,
maka pada tahun 1982 Departeman Kesehatan membentuk Panitia
Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat
pula di pusat dan di tingkat propinsi. Tugas P3EK ialah menangani kasuskasus malpraktek etik yang tidak dapat ditanggulangi oleh MKEK, dan
memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat berwenang.Jadi

instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik ialah


MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh
MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi dan jika P3EK Propinsi tidak mampu
menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK Pusat. Begitu
juga kasus-kasus malpraktek etik yang dilaporkan kepada propinsi,
diharapkan dapat diteruskan lebih dahulu ke MKEK Cabang atau
Wilayah. Dengan demikian diharapkan bahwa semua kasus pelanggaran
etik dapat diselesaikan secara tuntas.
Tentulah jika sesuatu pelanggaran merupakan malpraktek hukum
pidana atau perdata, maka kasusnya diteruskan kepada pengadilan.
Dalam hal ini perlu dicegah bahwa oleh karena kurangnya pengetahuan
pihak

penegak

hukum

tentang

ilmu

dan

teknologi

kedokteran

menyebabkan dokter yang ditindak menerima hukuman yang dianggap


tidak adil.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Malpraktek dalam kaitan dengan standard profesi kedokteran ada
berbagai perumusan dari ahli hukum yaitu bahwa berbuat secara
teliti/seksama berdasarkan ukuran medik. Malpraktek medik adalah kelalaian
seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Dimana sebagai
seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dalam sarana yang
sama dan kondisi yang sama. Upaya yang sebanding dengan tujuan konkrit
tindakan perbuatan medik tersebut. Aspek hukum yang mengatur tentang
malpraktek di Indonesia adalah;
1. UU RI No.29 thn. 2004 tentang praktek Kedokteran
2. KUHP
3. UUD 1945
Upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan masalah malpraktek
diatur dalam ketentuan pidana dalam UU praktek Kedokteran No.29 tahun
2004. Seorang dokter yang melakukan malpraktek harus memerlukan

10

pembuktian. Adanya unsure kelalaian (Culva Lata) dan juga adanya akibat
fatal dari malpraktek tersebut dapat dipidana.

11

Anda mungkin juga menyukai