Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
KORTIKOSTEROID SISTEMIK
II.1

Definisi
Kortikosteroid (KS) adalah steroid yang dihasilkan

korteks adrenal (tidak

termasuk hormon seks), sebagai respon dari adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang
dilepaskan kelenjar hipofisis anterior.1
II.2

Biosintesis dan Kimia


Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan
bantuan enzim di ubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan
androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol.
Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar
(eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Sedangkan
sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan
ternak) atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan
dalam tumbuhan.2
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus
menerus. Bila biosintesis terhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah
yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal.
Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.7

II.3

Mekanisme Kerja
Kortikosteroid mempunyai efek yang berkaitan dengan perbedaan mekanisme
kerja, antara lain efek anti inflamasi, efek imunosupresif, efek antiproliferatif, dan efek
vasokontriksi.3,5
1.

Efek anti inflamasi


Kortikosteroid sistemik dan topikal memiliki efek anti inflamasi yaitu dengan
menghambat phospolipase A2, yaitu enzim yang berperan dalam pembentukan
prostaglandin, leukotrin, dan derivat lain dari asam arakidonat. Kortikosteroid juga
menghambat faktor transkipsi seperti activator protein 1 dan nuclear factor B yang
berperan dalam aktivasi gen proinflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi
pelepasan interleukin 1 (IL-1) yang merupakan sitokin pro-inflamasi yang
2

penting. Kortikosteroid menghambat fagositosis dan stabilisasi membran lisosom


dari sel-sel fagosit.3,5,8
2. Efek imunosupresif
Kortikosteroid sistemik dan topikal memiliki efek imunosupresif yaitu dengan
menekan produksi dan efek dari faktor humoral yang berguna bagi respon
inflamasi, menghambat migrasi leukosit ke tempat inflamasi dan menghalangi
fungsi sel endotel, granulosit, sel mast, dan fibroblast. Penelitian mengungkapkan
bahwa KS topikal dapat menyebabkan berkurangnya sel mast pada kulit,
menghambat kemotaksis lokal neutrofil dan menurunkan jumlah sel langerhans.
Kortikosteroid menurunkan proliferasi sel T dan meningkatkan apoptosis sel T.3,5,8
3. Efek antiproliferatif
Kortikosteroid topikal memiliki efek antiproliferatif yaitu dengan menghambat
sintesis DNA dan mitosis. Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen juga
dihambat oleh kortikosteroid.3,5
4. Efek vasokonstriksi
Kortikosteroid memiliki efek vasokonstriksi, yaitu menghambat vasodilator alami
seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Kortikosteroid topikal dapat
menyebabkan konstriksi pembuluh darah kapiler dermis superfisial sehingga
memicu timbulnya eritem. 3,5
II.3

Pembagian Kortikosteroid
Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan
berdasarkan masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi
mineralokortikoid (Tabel 1).3,8
Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan
kortikosteroid 8
Macam Kortikosteroid

1. Kerja singkat
a. Hidrokortison
b. Kortison
2. Kerja sedang
a. Metilprednisolon
b. Prednisolon
c. Prednison
d. Triamsinolon
3. Kerja lama
a. Betametason
b. Deksametason
c. Parametason

Potensi
glukokortikoid

Dosis ekuivalen
(mg)

Potensi
mineralokortikoid

1
0,8

20
25

1
0,8

5-6
4-5
4-5
4-5

4
5
5
4

0-0,5
0-0,8
0-0,8
0

20-30
30
10

0,60
0,5-0,7
2,0

0
0
0

Keterangan:
Kerja singkat ( 8-12 jam)
Intermediate, kerja sedang (12-36 jam)
Kerja lama (36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan
deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan
kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid.
Umumnya, kortikosteroid yang memiliki efek mineralokortikoid yang sedikit atau
tidak ada dipakai pada penderita dengan hipertensi, edema, gangguan kor, atau keadaan
lain yang retensi garam. Akan tetapi, deksametason yang juga tidak memiliki efek
mineralokortikoid jarang digunakan sebagai terapi karena merupakan golongan potensi
kuat dan waktu paruh yang lama yang lebih berisiko untuk menimbulkan efek samping.8
Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling lemah
sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai
potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan
hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus
diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.
II.4

Indikasi dan Dosis Pada Kasus Dermatologi


Kortikosteroid sistemik digunakan dalam dermatologi dengan indikasi :
penyakit kulit berlepuh (pemfigus, pemfigus bulosa, epidermolisis bulosa, herpes
gestasional, eritema multiformis, nekrolisis epidermal toksik),
penyakit jaringan ikat (dermatomiositis, SLE),
vaskulitis,
dermatosa neutrophilik,
sarkoidosis,
reaktif leprosi tipe I,
hemangioma pada anak,
sindrom kasabach-Merrit
panikulitis, dan
urtikaria/angioedem.3
Selain itu, terapi singkat kortikosteroid dapat digunakan untuk kasus seperti
dermatitis kontak, dermatitis atopic, fotodermatitis, dermatitis ekfoliatif dan eritroderma.
4

Kortikosteroid rendah pada malam hari digunakan untuk pengobatan akne dan hirstism
konsekuen dengan sindrom adrenogenital bila penyakit ini tidak berespon terhadap terapi
konservatif lainnya. Penggunaan kortikosteroid masih controversial untuk kasus eritema
nodusum, liken planus, limfoma kutaneus T-Cell dan lupus eritematosus discoid.
Berikut berbagai penyakit kulit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta
dosisnya :
Tabel 2. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis.9
Nama Penyakit
Dermatitis
Erupsi alergi obat ringan
SJS berat dan NET
Eritroderma
Reaksi lepra
DLE
Pemfiogid bulosa
Pemfigus vulgaris
Pemfigus foliaseus
Pemfigus eritematosa
Psoriasis pustulosa
Reaksi Jarish-Herxheimer

Macam Kortikosteroid dan dosisnya sehari


Prednison 4x5 mg atau 3x10 mg
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Deksametason 6x5 mg
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Prednison 3x10 mg
Prednison 3x10 mg
Prednison 40-80 mg
Prednison 60-150 mg
Prednison 3x20 mg
Prednison 3x20 mg
Prednison 4x10 mg
Prednison 20-40 mg

Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi


sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi
primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).
Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk :
insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg
hidrokortison harus diberikan setiap hari. perlu juga diberi preparat
mineralkortikoid yang dapat menahan Na dan air.
Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi
(20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). banyak pasien memerlukan
juga mineralkortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari,
atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.
Hyperplasia adrenal congenital
Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.2
Selain itu, kortikosteroid banyak dipakai untuk terapi kasus non-endokrin seperti
pematangan fungsi paru pada fetus, arthritis, karditis reumatik, penyakit kolagen, asma
5

bronchial dan penyakit saluran napas, penyakit alergi, penyakit mata (konjungtivitis
alergika, uveitis akut, neuritis optika, koroiditis), penyakit hepar, keganasan, gangguan
hematologik lain (anemia hemolitik, acquaired dan autoimun, leukemia, purpura alergika
akut, dll), syok, edema serebral, dan trauma sumsum tulang belakang.
II.5

Kontraindikasi
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relative.
Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi
jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin,
dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relative kortikosteroid dapat diberikan
dengan alasan sebagai live saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan
monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat
adanya gangguan jiwa, positive purified derivate, glaucoma, depresi berat, diabetes,
ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.7

II.6

Cara Pengobatan
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan melalui 4 jalur, yaitu ;
1. Intralesi. Memberikan akses langsung pada lesi yang relatif sedikit dan lesi yang
resisten. Triamcinolone acetonide, Bergantung pada lokasi lesi biasanya pada muka
(2mg/ml) dengan sifat lesi dermal tebal, keloid (20-40 mg/ml).
2. Intramuscular. Digunakan pada pasien dengan gangguan gastrointestinal. Jenisnya
Betametason & Deksametason (long acting). Kerugiannya dapat menimbulkan
abses steril (cold abcess), subcutaneous fat atrophy, dan efek sistemik, yaitu
gangguan menstruasi dan purpura.
3. Oral. Prednison merupakan obat pilihan terbaik. Bila digunakan selama 3-4
minggu, kortikosteroid dapat dihentikan tanpa harus di tappering. Dosis minimal
dari jenis short-acting yang diberikan setiap pagi dapat meminimalisir efek
samping obat. Kadar puncak kortisol terjadi pada pukul 8 pagi, dimana bila
diberikan pada waktu itu, supresi terhadap HPA axis sedikit sekali, dan feedback
dari kelenjar adrenal untuk sekresi ACTH dapat terjadi pada kondisi ini.
4. Intravena. Pemberian melalui jalur i.v dilakukan pada 2 kondisi, pertama pada
pasien dengan tingkat stress yang meningkat dikarenakan pasien ini sakit dan akan
menjalani operasi yang diketahui mengalami supresi adrenal akibat penggunaan
6

kortikosteroid. Kedua, pasien dengan beberapa penyakit seperti pioderma


gangrenosum

resisten,

pemfigus

berat,

pemfigoid

bulosa,

SLE

atau

dermatomiositis. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan control yang cepat terhadap
penyakit dan untuk meminimalisir kecenderungan untuk kebutuhan terhadap terapi
jangka panjang kortikosteroid oral dengan dosis tinggi. Efek samping yang dapat
terjadi melalui pemberian secara i.v antara lain reaksi anafilaktik, kejang, aritmia
dan kematian mendadak. Efek samping yang lain meliputi hipotensi, hipertensi,
hiperglikemia, perpindahan elektrolit, dan psikosis akut.
Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada
suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada
alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja
yang panjang. Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial
dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa
ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dan 3 4 minggu, kortikosteroid
diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek
dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai
puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari sekresi
ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi
ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam
hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus
akne maupun hirsustisme.
Pada pengobatan dengan kortikosteroid hendaknya jangan lupa mencari
penyebabnya. Kortikosteroid yang banyak dipakai ialah prednison karena telah lama
digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena
prednison dimetabolisme dihepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi,
gangguan kor, atau keadaan lain yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih
kortikosteroid yang efek kortikosteroidnya sedikit/tidak ada, lebih-lebih bila diperlukan
dosis kortikosteroid yang tinggi.9
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralokortikoid jangan dipakai pada
pemberian jangka panjang (lebih dan pada sebulan). Triamsinolon lebih sering memberi
efek samping berupa miopati dan anoreksia sehingga berat badan menurun. Pada
penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindroma
7

steven johnson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Biasanya yang
digunakan yaitu deksametason i.v karena lebih praktis. Jika masa kritis telah diatasi dan
penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.9
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami
perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami
eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika
terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi
terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per han dan kalau lebih dan sebulan. Pada
sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang
jarang melebihi 39C.9
Pada pengobatan penyakit autoimun diperlukan kortikosteroid dalam jangka waktu
yang lama dan dicani dosis pemelihanaan. Dosis pemeliharaan ditentukan dengan
menurunkan dosisnya berangsur-angsur. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks
kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada
pagi han (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan
pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk
mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid
dengan dosis yang lebih rendah danipada dosis pada han pemberian obat. Kemudian
perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison,
selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi.
Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis
fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.9
Terjadinya efek samping tergantung pada dosis, lama pengobatan dan macam
kortikosterid. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari / minggu) umumnya tidak
terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa
bulan / tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu:
1. Diet tinggi protein dan rendah garam.
2. Pemberian KC1 3x500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi
Kalium
3. Obat anabolik
4. ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya diberikan ialah ACTH sintetik,
yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (100 IU), pada pemberian kortikosteroid
dosis tinggi dapat diberikan seminggu sekali.
8

5. Antibiotik perlu diberikan, jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari


6. Antasida.9
II.7

Monitoring
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid
untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga
dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes,
hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan
steroid. Tekanan darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan
jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang
spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry,
atau dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).3
Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi
diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen,
demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar
mempunyai kemungkinan terjadinya efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis.
Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah
puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu
dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata
karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma.3
Tabel 3. Hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid
jangka panjang3
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Efek samping
Hipertensi
Berat badan meningkat
Reaktivasi infeksi
Abnormalitas metabolik

7.

Osteoporosis
Mata
Katarak
Glaukoma
Ulkus peptik

8.

Supresi kelenjar adrenal

Monitor
Tekanan darah
Berat badan
PPD, (12 hari setelah pemakaian prednison)
Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes dan
hiperlipidemia)
Densitas tulang
Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan)
Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke enam)
Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton
pump inhibitor
Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol pada
jam 8 pagi sebelum tapering off.
9

II.8

Efek Samping
Beberapa efek samping dari penggunaan KS topikal juga dapat ditemui pada efek
samping yang ditimbulkan KS sistemik seperti efek terhadap mata, efek metabolik, dan
efek ke kulit. Selain itu, KS dapat menimbulkan efek terhadap muskuloskeletal,
gastrointestinal, kardiovaskular, kulit, mata, sistem saraf pusat, metabolik, dan aksis
hipotalamus pituitary adrenal.6

1. Mata
Pemberian KS sistemik dan topikal dapat menimbulkan efek samping berupa
katarak, glaukoma, dan yang lebih jarang seperti emboli retina, makulopati serta
infeksi.10
Mekanisme terjadinya katarak akibat penggunaan KS masih belum jelas dan
meliputi

peningkatan

kadar

glukosa,

disebabkan

karena

meningkatnya

glukoneogenesis; hambatan Na+/K+ ATPase; meningkatnya permeabilitas kation;


hambatan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD); hambatan sintesis RNA; hilangnya
ATP; dan ikatan kovalen steroid pada protein lensa.11
Penggunaan KS sistemik dan lokal dapat berhubungan dengan meningkatnya
insiden hipertensi ocular. Sebanyak 30% pasien yang mendapatkan tetes mata
deksametason selama 4 minggu, ditemukan peningkatan okular.8 Kortikosteroid
menstabilkan membran lisosom goniosit yang menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikan

polimerisasi

dalam

trabecular

meshworks

(TM)

sehingga

meningkatkan resistensi outflow. Kortikosteroid menyebabkan peningkatan ekspresi


kolagen, elastin dan fibronektin dalam TM dan menginduksi ekspresi sialoglikoprotein.
Kortikosteroid juga menghambat fagositosis sel endotel, yang menyebabkan
penumpukan debris dalam TM. Mutasi gen myocilin menghasilkan pembentukan
produk gen abnormal yang ketika diproduksi dalam konsentrasi besar akan
menyebabkan tersumbatnya TM dan peningkatan tekanan intra okular. Kortikosteroid
mempengaruhi morfologi TM dengan peningkatan sintesis retikulum endoplasmik,
kompleks golgi, vesikel sekretori, dan peningkatan ukuran nuklear dan sel.12
2. Muskuloskeletal
Efek samping KS jangka panjang pada muskuloskeletal meliputi osteoporosis,
osteonekrosis dan miopati.
a. Osteoporosis
10

Penggunaan KS jangka panjang dapat meningkatkan terjadinya osteoporosis dan


resiko terjadinya patah tulang terutama pada vertebra dan femur proximal. Sebanyak
30-50% fraktur akibat osteoporosis terjadi pada pasien yang mendapatkan KS jangka
panjang. Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan penggunaan KS dengan
pengaruhnya terhadap densitas tulang. Kelainan mulai terjadi pada 6 bulan pertama dan
diperkirakan berlanjut selama KS digunakan.8 Mekanisme terjadinya osteoporosis
adalah multifaktorial yaitu, berkurangnya aktivitas osteoblast sehingga mempengaruhi
pembentukan tulang, meningkatnya resorbsi tulang sehingga berpengaruh terhadap
aktivitas osteoklas. Kejadian patah tulang pada individu yang mengkonsumsi steroid
adalah antara 10%-20% dan faktor resiko yang mempengaruhinya adalah usia di
bawah 15 tahun dan lebih dari 50 tahun, early menopause atau wanita amenore,
kaheksia, mobilitas terbatas, pengkonsumsi alkohol, perokok, rendah asupan kalsium,
dan ada riwayat patah tulang sebelumnya.8,13 Untuk pemakaian KS >3 bulan dilakukan
pemeriksaan densitas tulang, pemberian kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 400 unit
dua kali sehari.3
b. Osteonekrosis
Osteonekrosis yang dikenal sebagai nekrosis avaskular juga merupakan efek
samping dari KS sistemik. Faktor risiko dari osteonekrosis adalah trauma fisik,
konsumsi alkohol berlebih, merokok, dan meningkatnya kadar trigliserida. Insiden
osteonekrosis akibat KS meningkat berhubungan dengan riwayat transplantasi ginjal
sebelumnya, pasien dengan SLE, konsumsi alkohol, ada gangguan metabolisme lipid. 6
20% pasien dengan osteonekrosis memiliki gambaran X-rays yang normal, maka dari
itu dilakukan pemeriksaan bone scan dan magnetic resonance imaging (MRI). Pasien
juga rutin ditanyakan mengenai keterbatasan gerak sendi dan rasa nyeri yang
dirasakan.3

c. Steroid miopati
Katabolisme protein akibat penggunaan KS dapat menyebabkan berkurangnya
massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan otot dan miopati. Miopatik biasanya
terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada pengobatan
dengan dosis besar. Pada miopati yang terjadi adalah hambatan uptake glukosa pada
11

otot skeletal sehingga terjadi pemecahan protein otot. Kortikosteroid bekerja secara
langsung pada protein otot dengan stimulasi degradasi protein dan menghambat sintesis
protein.10
3. Metabolisme dan sistem endokrin
Efek KS terhadap metabolisme dan sistem endokrin meliputi gangguan dalam
metabolisme glukosa, yang dapat menyebabkan terjadinya diabetes, hiperlipidemia, dan
insufesiensi adrenal.10
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemi. Beberapa mekanisme dalam timbulnya hiperglikemi dan steroid-induced
diabetes meliputi penurunan sensitivitas insulin perifer, peningkatan produksi glukosa
hepatik, dan inhibisi sekresi serta produksi insulin pankreatik.6 Hiperlipidemia adalah
efek samping KS yang sering dijumpai. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi
makanan rendah lemak dan kalori.10
Penggunaan KS jangka panjang, yaitu lebih dari 1 tahun dapat berefek pada aksis
hipotalamus pituitary adrenal. Gejala yang dirasakan adalah letargi, lemah, nausea,
anoreksia, demam, orthostatic hypotension, hipoglikemi, dan penurunan berat badan.
Selain itu, supresi terhadap aksis hipotalamus pituitary adrenal dapat menyebabkan
Cushing syndrome (moon face, buffalo hump, obesitas sentral), insufesiensi adrenal,
dan gangguan pertumbuhan.10
4. Sistem kardiovaskular
Hipertensi dan dislipidemia adalah efek samping yang juga disebabkan KS.
Mekanisme glucocorticoid-induced hypertension belum diketahui secara jelas, namun
berhubungan dengan vasokonstriksi (dari katekolamin dan hambatan vasodilator),
retensi natrium, dan ekspansi volume intravaskular.6,10

5. Sistem saraf pusat


Perubahan mood dan gangguan kognitif dapat terjadi pada penggunaan KS
sistemik. Hipomania dan mania adalah gejala awal yang sering terjadi, dan dapat
berkelanjutan menjadi depresi. Pemberian antipsikotik, anti kejang, dan anti depresan
dapat membantu mengembalikan perubahan mood.3
12

6. Sistem gastrointestinal
Efek samping terhadap gastrointestinal berupa ulkus peptikum, kandidiasis, dan
pankreatitis. Belum ada mekanisme jelas mengenai ulkus peptikum akibat efek samping
KS. Namun, penelitian yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa KS dapat
meningkatkan sekresi asam lambung, mengurangi mukus lambung, dan menyebabkan
hiperplasia sel parietal dan sel gastrin. Ada beberapa faktor risiko terjadinya ulkus
peptikum, seperti ada riwayat ulkus peptikum sebelumnya, merokok, konsumsi alkohol
dan obat-obatan.13
7.

Sistem imun
Efek samping KS adalah meningkatnya risiko terhadap segala jenis infeksi dan

risiko reaktivasi tuberkulosis (TB) laten serta insiden terhadap varisela.13 Inhibisi sistem
imun spesifik dan reaksi inflamasi merupakan target utama dari pengobatan KS.10
8. Kulit
Baik KS topikal maupun sistemik sama-sama dapat menimbulkan efek samping
ke kulit. Kelainan pada kulit yang dijumpai berupa purpura, telengiektasis, atropi,
striae, pseudoscars, dan reaksi akne formis atau acne rosacea. Kortikosteroid sistemik
dapat menginduksi terjadinya akne atau folikulitis dengan beragam papulopustul pada
dada, dan punggung. Akne vulgaris dapat semakin memburuk ketika terapi KS
dilanjutkan, walupun KS memiliki efek anti-inflamasi. Akne formis atau acne rosacea
dapat terjadi akibat penggunaan KS inhalasi atau akibat penggunaan KS topikal.6

13

Anda mungkin juga menyukai