Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Skabies merupakan suatu infestasi penyakit yang berasal dari tungau

Sarcoptes scabiei var. hominis, famili Sarcoptidae, kelas Arachnida. Siklus hidup
tungau bergantung pada kulit manusia sebagai habitatnya. Tungau betina akan
menggali terowongan di stratum korneum epidermis untuk menyimpan 2-3 telur
sehari selama 30 hari. Diagnosis skabies atau yang dikenal sebagai kudis, dapat
terlihat dari lesi gatal khas yang timbul pada daerah predileksi, yaitu di sela jari,
pergelangan tangan, lateral telapak tangan, siku, aksila, skrotum, penis, labia dan
areola pada wanita (Burkhart, C.N , Burkhart C.G, 2012).
Pevalensi penyakit skabies bervariasi, diperkirakan terdapat 300 juta kasus
yang terjadi di dunia setiap tahunnya. Di beberapa negara, prevalensi skabies
mencapai angka antara 4 % dan 27% dari jumlah populasi. Di negara-negara
berkembang, skabies cenderung memiliki prevalensi lebih tinggi pada anak-anak
usia prasekolah dan remaja, sedangkan di negara-negara maju, prevalensi merata
di semua usia (Burkhart et al. 2000). Menurut tinjauan WHO dari 18 studi
prevalensi antara tahun 1971 dan 2001, prevalensi skabies berkisar antara 0,2%
dan 24%. Prevalensi sangat tinggi dilaporkan dari India, Pasifik Selatan dan Utara
Australia. Sebagai contoh, dalam sebuah studi di sebuah pedesaan India,
prevalensi skabies mencapai 70%. Pada masyarakat Aborigin Australia, angka
prevalensi hingga 50% , sedangkan studi di Fiji, Vanuatu dan Kepulauan Solomon
telah dilaporkan prevalensi skabies pada anak-anak sebesar 18,5%, 24%, dan 25%
(Ray et al, 2012).
Berdasrakan data Departemen Kesehatan RI, prevalensi skabies di
puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6 % 12,95 % dan
skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di bagian Kulit
dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 704 kasus skabies yang
merupakan 5,77 % dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi

skabies adalah 6 % dan 3,9 % (Sungkar , 1995). Kejadian skabies juga terjadi di
Palembang dengan laporan kejadian tahun 2012 sebesar 61,2% (Amanata, 2012
dalam Desmawati, 2015).
Skabies dapat ditularkan secara langsung dan tidak langsung. Kontak
langsung dengan penderita skabies seperti berjabat tangan, tidur bersama dan
hubungan seksual. Sedangkan, kontak tak langsung melalui benda yang dipakai
bersama seperti handuk, pakaian, sprei, bantal, dan lain-lain (Handoko, 2011).
Penyakit skabies pada umumnya menyerang individu yang hidup berkelompok
seperti

di

asrama,

pesantren,

lembaga

pemasyarakatan,

rumah

sakit,

perkampungan padat, dan rumah jompo. Penyakit ini mudah menular dan banyak
faktor yang membantu penyebarannya antara lain kemiskinan, higiene individu
yang jelek dan lingkungan yang tidak sehat (Sudirman, 2006).
Beberapa faktor resiko menarik perhatian peneliti untuk ditelit lebih lanjut,
yaitu personal hygiene dan sanitasi lingkungan. Ruang lingkup pesantren cukup
padat dengan adanya para santri yang memiliki berbagai kebiasan hidup. Dengan
hidup berkelompok di pesantren, kemungkinan terjadi penyebaran penyakit lebih
tinggi. Hal itu tentunya juga ditunjang dengan personal hygiene dan sanitasi
lingkungan sekitar.
Peneliti sebelumnya, Nelly dkk, dalam Jurnal Epidemiologi dan Penyakit
Bersumber Binatang yang diterbitkan oleh Jurnal Buzki (2012) menyatakan
bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara sanitasi lingkungan dan personal
hygiene terhadap kejadian skabies di Pondok Pesantren Darul Hijrah Kalimatan
Selatan. Begitu juga dengan Desmawati, mahasiswa Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Riau (2015) menyatakan bahwa tidak ada korelasi yang
signifikan antara sanitasi lingkungan dan personal hygiene terhadap kejadian
skabies di Pondok Pesantren Al-Kautsar Pekanbaru. Lain halnya dengan hasil
penelitian di SD Negeri 3 Madyogondo yang dilakukan oleh Btari Sekar
Saraswati Ardana Putri, mahasiswa program pendidikan S-1 kedokteran umum
FK UNDIP (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara
higiene perseorangan dan status gizi dengan kejadian skabies, namun antara
sanitasi lingkungan dengan kejadian skabies tidak ada hubungan yang bermakna.

Menurut Syafni Yulia Sistri, mahasiswa program pendidikan S-1 Kedokteran


Umum FK Muhammadiyah(2013), terdapat hubungan antara personal hygiene
dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta
Kasus skabies tercatat masih cukup banyak akibat transmisi penyakit yang
mudah terutama pada lingkungan padat yang hidup bersama seperti pesantren.
Kebanyakan masyarakat masih menganggap remeh penyakit skabies ini.
Sebenarnya gatal yang dikeluhan penderita dapat menggangu aktifitas dan
berkurangnya konsentrasi belajar. Peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai faktor resiko dan kejadian skabies para santri di Pondok Pesantren
Nurul Qomar Palembang.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana personal hygiene para santri di Pondok Pesantren Nurul Qomar
Palembang?
2. Bagaimana sanitasi lingkungan di sekitar Pondok Pesantren Nurul Qomar
Palembang?
3. Berapa besar kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren Nurul
Qomar Palembang?
4. Bagaimana hubungan antara personal hygiene terhadap kejadian skabies
pada santri di Pondok Pesantren Nurul Qomar Palembang?
5. Bagaimana hubungan antara sanitasi lingkungan terhadap kejadian skabies
pada santri di Pondok Pesantren Nurul Qomar Palembang?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan antara personal hygiene dan sanitasi
lingkungan terhadap kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren Nurul
Qomar Palembang.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan tingkat personal hygiene para santri di di Pondok
Pesantren Nurul Qomar Palembang.
2. Mendeskripsikan sanitasi lingkungan di sekitar Pondok Pesantren Nurul
Qomar Palembang.
3. Mengetahui angka kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren Nurul
Qomar Palembang.

4. Menganalisis hubungan antara personal hygiene terhadap kejadian skabies


pada santri di Pondok Pesantren Nurul Qomar Palembang.
5. Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan terhadap kejadian
skabies pada santri di Pondok Pesantren Nurul Qomar Palembang?
1.4.Hipotesis
Ho:

Tidak ada hubungan antara personal hygiene para santri di di Pondok


Pesantren Nurul Qomar Palembang.
Tidak ada hubungan antara sanitasi lingkungan di sekitar Pondok
Pesantren Nurul Qomar Palembang.

H1:

Ada hubungan antara personal hygiene para santri di di Pondok Pesantren


Nurul Qomar Palembang.
Ada hubungan antara sanitasi lingkungan di sekitar Pondok Pesantren
Nurul Qomar Palembang.

1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat teoritis
1. Memberikan pengetahuan tentang faktor resiko dan penccegahan yang
berhubungan dengan kejadian skabies.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data untuk penelitian
selanjutnya.
3. Sebagai usaha pengembangan ilmu kedokteran khususnya di bidang
kesehatan masyarakat dan parasitologi.

1.5.2. Manfaat praktis


1. Sebagai sumber informasi bagi para santri dan pengurus pesantren serta
masyarakat terhadap faktor resiko skabies.
2. Sebagai acuan untuk mengurangi angka kejadian penyakit skabies di
Palembang dan sekitarnya.
3. Memberikan informasi kepada tenaga pelayanan kesehatan untuk
mengalokasikan sumber daya dan perencanaan program promotif,
preventif dan kuratif terhadap penyakit skabies.

Anda mungkin juga menyukai