Anda di halaman 1dari 5

Robert Sunny 13120210029 Aesthetics B1

Analisis Film
Judul: Spring, Summer, Fall, Winter and Spring
Sutradara: Kim Ki-Duk ()
Durasi: 105 menit
Film ini mengisahkan tentang kehidupan seorang biksu dan muridnya yang hidup di sebuah kuil
yang mengapung di tengah-tengah danau yang dikelilingi oleh pegunungan di sekitarnya. Penghubung kuil
itu dengan daratan hanyalah sebuah perahu kayu. Dan di daratan itu terdapat sebuah pintu sebagai
penghubung kuil itu dengan dunia luar. Gerbang itu berdiri sendiri tanpa dinding atau pembatas di
sekitarnya. Perjalanan hidup biksu dan muridnya ini dilambangkan dengan pergantian musim. Setiap musim
melambangkan satu tahapan kehidupan mereka. Setiap pergantian musim ini juga ditandakan dengan
gerbang yang terbuka, menandakan tahapan baru telah dimulai.
A. Spring
Musim semi diawali dengan gerbang yang terbuka. Terlihat kuil yang mengapung di tengah danau.
Di dalam kuil itu terdapat seorang biksu tua yang sedang berdoa dan muridnya yang sedang tertidur di
sebuah kamar yang hanya dibatasi oleh sebuah pintu tanpa dinding. Biksu tua itu selesai berdoa dan
membangunkan muridnya. Muridnya pun bangun dan keluar dari kamar tersebut dengan membuka
pintu itu dan menutupnya kembali. Ini melambangkan sebuah ketaatan pada sebuah aturan. Setelah itu
murid itu berdoa di depan patung Buddha. Sementara itu, biksu tua mematikan lilin yang terletak di
luar. Setelah itu terlihat bahwa kuil itu sangatlah kecil, mengapung di tengah-tengah pegunungan, tanpa
apa-apa. Kondisi ini melambangkan sebuah kesederhanaan seperti yang ada pada 7 ciri zen buddhisme.
Pakaian yang dikenakan oleh biksu dan muridnya pun sangatlah sederhana. Setelah itu biksu tua itu
menaiki perahu kayu kecil mereka, murid itu mengikutinya. Biksu itu pun mendayung perahu itu hingga
ke daratan, membuka gerbang dan membiarkan anak kecil itu untuk memetik tumbuhan. Ketika
memetic tumbuhan, murid itu melihat ada ular yang mendekatinya, ia mengambil ular itu dan
membuangnya jauh. Setelah itu, murid itu memanjat ke puncak sebuah patung Buddha dan melihat
sekelilingnya. Setelah beberapa lama, biksu dan murid itu pun kembali ke gerbang itu untuk pulang.
Biksu itu menutup gerbang, menaiki perahu dan mendayungnya pulang. Mereka disambut oleh anjing
kecil yang ada di kuil itu. Sesampainya di kuil kecil itu, mereka berdua memilah tumbuhan yang telah
dikumpulkan. Biksu itu mengajarkan bahwa ada tumbuhan yang dipetik muridnya yang beracun, tapi
tumbuhan itu terlihat sama dengan yang lainnya. Di sini biksu itu mengajarkan bahwa perbedaan
terletak pada detil kecil yang memerlukan persepsi, pengenalan, dan pengetahuan. Setelah itu, anak kecil
itu terlihat bermain bersama anjing kecil yang ada di kuil itu. Anjing itu melambangkan kesetiaan.
Kesetiaan sang anak murid terhadap biksu dan ajarannya. Setelah itu film menggambarkan adegan
dimana anak itu belajar mendayung perahu, bermain ketapel di atas pohon, dan aktivitas lainnya sampai
malam hari.

Robert Sunny 13120210029 Aesthetics B1


Keesokan harinya, anak kecil itu sudah berada di seberang kuil. Ia berada di daerah bebatuan di
daratan itu. Ia bermain air dan kemudian mengikatkan batu kepada 3 binatang, ikan, kodok, dan ular.
Tanpa disadarinya, biksu tua menyaksikan kelakuan anak itu. Biksu tua itu hanya terdiam dan terlihat
sedih dan kaget dengan kelakuan anak itu, sementara anak itu terlihat bahagia dan tertawa. Sebelum
pulang ke kuil, biksu tua itu mengambil sebuah batu besar. Malamnya, ketika anak itu sedang tidur,
biksu tua itu masuk ke kamarnya, dan mengikatkan batu besar itu kepada muridnya. Keesokan paginya,
anak itu bangun dan merasakan batu besar yang ada di punggungnya. Ia memohon kepada biksu tua
agar melepaskan batu itu. Tapi Biksu itu mengatakan bahwa ia harus melepaskan terlebih dahulu batu
yang ia ikatkan pada ketiga hewan itu. Biksu itu juga mengatakan bahwa jika ada di antara ketiga hewan
itu yang mati, maka murid itu akan membawa beban itu di dalam hatinya untuk seumur hidup. Anak
kecil itu menemukan ikan yang terikat batu itu sudah mati, sehingga ia menguburnya di pasir. Ia
menemukan kodok itu masih hidup dan melepaskannya, kemudian menemukan ular itu mati dengan
darah disekitarnya. Ia memegang ular itu dan kemudian menangis. Dengan ini biksu itu ingin
mengajarkan hukum Karma kepada anak itu.
B. Summer
Musim panas telah datang. Pintu gerbang terbuka dan terlihat murid itu sudah tumbuh menjadi
seorang remaja. Ia mendayung perahu itu menuju gerbang dan sesampainya di seberang, ia melihat 2
ekor ular yang sedang bereproduksi dan ia terlihat tertarik akan hal itu. Setelahnya ia mendaki patung
Buddha besar itu lagi dan melihat ada orang yang menuju ke arah kuil itu. Ia pergi menjemput mereka,
seorang ibu dan anak gadisnya yang sedang sakit. Setelah menemui mereka, ia mengantar mereka ke
kuil itu dengan mendayung perahu kayu. Ia berhenti di sebuah pohon dan mengatakan kepada gadis
itu bahwa pohon itu berumur lebih dari 300 tahun dan gadis itu akan tumbuh sesehat pohon itu.
Setelahnya ia mendayung mereka ke kuil. Terlihat seekor ayam jantan di kuil itu. Biksu menyambut
mereka dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke kuil. Ibu dan anak itu pun mulai berdoa kepada
patung Buddha. Ketika berdoa, anak gadis itu terlihat kelelahan dan berkeringat. Ibu itu lanjut berdoa
hingga malam hari, sementara anak gadis itu terlihat pingsan atau tertidur di depan patung Buddha.
Keesokan harinya, ibu itu meninggalkan anak gadisnya dalam perlindungan biksu dan pergi kembali
ke kota. Di sinilah biksu muda itu mulai meraskan sebuah perasaan yang lain. Ia pernah sekali
memasuki ruangan ketika gadis itu berganti pakaian dan terdiam sebentar sebelum keluar. Suatu hari,
ketika perempuan itu sedang duduk di sebuah patung kecil, murid itu datang dan mengatakan bahwa
ia tidak boleh duduk di patung itu atau biksu tua akan memarahinya. Ada juga saat dimana gadis itu
tertidur ketika sedang berdoa, murid itu menyelimuti dia, sebuah aksi yang menunjukkan kasih saying,
namun kemudian mencoba meraba dada gadis itu. Gadis itu menyadarinya dan menampar murid itu.
Murid itu langsung berdoa di depan patung Buddha, gadis itu mengulurkan tangannya kearah bahu
murid itu, ketika biksu tua itu masuk dan menanyakan kenapa muridnya tiba-tiba berdoa di siang hari
yang malah membuatnya berdoa lebih cepat. Setelah itu terlihat lagi ayam jantan yang ada di kuil itu,
ayam itu melambangkan nafsu dalam beberapa ajaran. Esoknya, ia dan gadis itu pergi ke seberang dan

Robert Sunny 13120210029 Aesthetics B1


bermain untuk menangkap ikan. Di saat inilah hubungan mereka mulai kuat dan mulai terjadi adanya
sebuah keterikatan. Beberapa hari setelahnya, biksu itu pergi mendayung sampan dengan keras dan tak
beraturan, kemudian menyeburkan dirinya ke air, setelah itu ia menarik perempuan itu ikut
menyeburkan diri bersamanya. Setelahnya, ia mendayung ke seberang dan mereka berdua melakukan
hubungan seksual di daerah bebatuan. Di sini, sang murid telah melanggar ajaran penyangkalan diri,
dan mulai terikat pada gadis itu. Pada malam hari ketika ia akan tidur pun, ia mulai menerobos ke
ruangan gadis itu tanpa melalui pintu yang membatasi ruangan lagi, ini melambangkan sebuah
pelanggaran aturan. Setelah itu, mereka masih melakukan hubungna seksual di perahu kayu itu, tapi
kali ini mereka ditangkap basah oleh sang biksu tua. Biksu itu tidak memarahi muridnya, tapi karena
melihat bahwa gadis itu sudah sembuh, maka ia menyuruhnya untuk pulang. Murid itu tidak setuju jika
perempuan itu harus pergi, ini karena ia sudah mulai terikat. Di sinilah biksu tua itu memperingati
bahwa nafsu mengarahkan orang pada sifat posesif, keterikatan, yang akan berujung pada pembunuhan.
Setelah gadis itu diharuskan pergi. Murid itu juga melarikan diri pada malam harinya dengan membawa
ayam jantan itu bersama dengan patung Buddha yang ada di kuil itu. Ini melambangkan bahwa murid
itu pergi dan menyerah pada nafsu duniawinya tapi masih membawa ajaran Biksu itu bersamanya.
C. Fall
Kali ini gerbang utama itu dibuka oleh sang biksu tua yang baru saja pulang dari perjalanannya dari kota.
Di tasnya ia juga membawa seekor kucing. Ketika sedang mengeluarkan bawaannya tersebut, ia melihat
ada sebuah berita di koran yang menjadi bungkusan salah satu makanannya itu. Di koran itu tertera
foto muridnya dulu yang ternyata telah membunuh istrinya sendiri. Mengantisipasi kembalinya
muridnya itu. Ia menjahit kembali pakaian muridnya dulu. Tak lama kemudian, muridnya itu pun, yang
telah bertumbuh dewasa, kembali lagi ke kuil itu. Ia memiliki tampang yang kesal bercampur kecewa
akan dirinya di hadapan gurunya itu. Sesampainya di kuil itu, sang biksu tua menanyakan apakah hidup
muridnya sudah bahagia sampai sekarang. Murid itu justru marah dan mengatakan bahwa ia sedang
dalam dalam penderitaan. Ia mengatakan bahwa gadis yang ia cintai itu selingkuh di belakangnya dan ia
pun membunuhnya. Gurunya mengatakan kepadanya bahwa bukankah seharusnya dia tahu bahwa apa
yang dia suka juga akan disukai oleh orang lain, dan bahwa dalam hidup kita harus belajar untuk
merelakan beberapa hal. Murid itu kemudian mengembalikan patung Buddha itu di tempatnya dan
melampiaskan amarahnya dengan menancapkan pisau pada lantai kuil itu. Pada malam harinya ia tidak
bisa tidur karena perasaan bersalahnya. Keesokan harinya, ia melampiaskan amarahnya itu lagi dengan
mendayung perahu, dan melemparkan batu ke air di danau seberang. Di musim inilah ditunjukkan
pokok ajaran Zen Buddhisme tentang Dukkh, yaitu penderitaan. Penderitaan terikat pada manusia dan
penyebab penderitaan muncul itu kembali adalah hasrat, nafsu, keinginan, kehendak inderawi manusia.
Murid itu telah berkehendak untuk memiliki gadis itu untuk dirinya sendiri dan ketika kehendak itu
tidak tercapai, ia membunuh, tapi dengan membunuh ia tidak semakin tenang, justru semakin gelisah,
karena ia sekarang telah tenggelam dan hanyut dalam kehendaknya. Setelah melampiaskan amarahnya
tersebut, ia kembali ke kuil dan berdoa di depan Buddha, tapi bukannya berdoa dengan serius, ia justru

Robert Sunny 13120210029 Aesthetics B1


menuliskan kata Shut pada kertas dan menempelkannya pada mulut, hidung, dan matanya. Ini adalah
simbolisasi seseorang akan mengakhiri hidupnya sendiri. Gurunya yang mengetahui akan hal itu
mencambuknya kemudian menggantungnya di langit-langit sebagai wujud penenangan diri. Setelah itu,
gurunya mengambil tinta dan menggunakan ekor kucing yang dibawanya tadi untuk menuliskan heart
sutra. Muridnya yang telah jatuh dari gantungan tali itu pun kemudian memotong rambutnya dengan
pisau dan keluar dari ruangan itu. Biksu tua yang ada diluar kemudian menyuruhnya untuk mengukir
tulisan yang telah ditulis dengan tinta itu untuk melampiaskan amarahnya. Ada 2 simbolisasi di sini,
heart sutra melambangkan hati yang telah sepenuhnya mengerti. Artinya disini bahwa ketika si murid
mengukir tulisan itu, ia berproses menjadi seorang yang mengalami pengertian dan pendalaman diri. Ia
mulai melepaskan sifat-sifat dirinya. Ia mengalami proses untuk menjadi kering atau sublim dan
berproses untuk kembali dalam ketenangan dan kesabaran dari keadaannya yang gelisah menghadapi
kesalahannya. Simbol kedua adalah hewan kucing. Kucing biasanya dilambangkan sebagai hewan
penyucian diri, artinya dalam musim ini, sang murid akan kembali untuk menyucikan dirinya yang telah
melakukan kesalahan. Setelah beberapa saat mengukir, tiba-tiba gerbang utama itu terbuka dan 2 polisi
masuk dari situ, mereka datang untuk menangkap si murid. Ketika sampai di kuil, kedua polisi itu
langsung mengarahkan pistol itu pada si murid, dan si murid mengangkat pisaunya. Sang Biksu justru
menyuruh si murid untuk menyelesaikan mengukir heart sutra itu. Merasa bosan, kedua polisi itu
kemudian bermain untuk menembak kaleng dengan pistol yang dibawa oleh mereka. Merasa jengkel,
biksu tua itu melemparkan sebuah batu dan langsung mengenai kaleng tersebut. Murid itu melanjutkan
ukiran itu semalam suntuk, dan ketika malam hari, salah seorang polisi membantunya dengan
memegang lilin sebagai penerangan. Ketika ia selesai mengukir huruf terakhir, anak itu langsung tertidur,
dan polisi yang lainna lagi menyelimuti dia dengna jaketnya. Ketika biksu tua itu bangun, ia menyapu
sisa-sisa kayu dari ukiran itu kemudian mewarnai heart sutra itu dalam warna merah, biru, hijau, dan
ungu. Setelah selesai mewarnai, biksu itu membangungkan si murid. Murid itu bangun dan melihat
pemandangan sekitar danau dengan kuil yang berputar itu. Setelahnya ia pergi bersama kedua polisi
tanpa diborgol. Perahu yang didayung oleh polisi itu tidak bergerak sebelum sang biksu mengucapkan
selamat tinggal pada anaknya itu. Ketika mereka pergi. Gerbang utama itu tertutup dengan sendirinya
dan perahu kayu itu pun kembali ke kuil dengan sendirinya. Setelah itu biksu tua itu juga menuliskan
kata shut pada sebuah kertas dan menutup telinga, mata, mulut, hidung, dan matanya. Ia ingin
mengakhiri hidupnya dengan membakar diri pada perahu kayu itu. Ketika dalam proses itu, ia menangis
dan membasahi kertas bertuliskan shut itu. Setelah kematiannya, ada seekor ular yang keluar dari
perahunya dan berenang menuju kuil.
D. Winter
Gerbang kembali terbuka, dan disini murid yang telah dipenjara itu kembali lagi ke kuil. Kuil itu
sekarang dikelilingi oleh air danau yang telah membeku. Murid itu telah bertumbuh dewasa. Ia pertamatama menyembah kuil itu dari kejauhan, kemudian menyembah perahu yang telah tenggelam dalam es.
Ia masuk ke kuil dan menemukan pakaian gurunya telah terlipat rapi, dan ada ular yang berada di atas

Robert Sunny 13120210029 Aesthetics B1


baju tersebut. Ini menandakan bahwa gurunya telah meninggal. Ia kemudian menyalakan lilin di dalam
kuil dan kemudian keluar untuk menggali es dan mengumpulkan sisa-sisa gigi gurunya, Setelah itu ia
pergi ke sebuah air mancur yang airnya sudah membeku. Ia memahat patung Buddha disana dan
memasukkan gigi-gigi gurunya yang telah dibungkus dalam sebuah kertas merah ke dahinya. Ia
kemudian mendiamkan patung itu di tengah air mancur. Setelah itu ia menggali lagi lubang di tengah
lapangan es itu dan kemudian berdoa di malam hari dengan pentungan. Keesokan harinya ia mencuci
muka di kubangan yang telah digalinya itu, menemukan sebuah buku tentang pose-pose atau kuda-kuda
yang dapat dilakukan untuk bermeditasi. Ia bermeditasi berhari-hari di tengah dinginnya danau yang
beku itu tanpa mengenakan baju. Ini adalah salah satu proses untuk mencapai Pencerahan (Nirwana),
yaitu dengan penyangkalan diri dan penghapusan hasrat.
Beberapa hari kemudian, biksu muda itu yang sedang berdoa dikunjungi oleh seorang ibu yang
menutup mukanya dan membawa anak bayinya bersamanya. Ia berdoa dan menangis semalaman di kuil
kecil itu. Setelah beberapa lama, ibu itu terlihat berbaring bersama bayinya. Biksu muda itu mencoba
membuka penutup wajahnya tapi ternyata ia masih sadar. Ia kemudian membuka penutup wajahnya itu
hanya untuk menunjukkannya kepada bayinya sebelum ia pergi meninggalkannya di tengah malam.
Ketika ibu itu kabur, ia terjatuh kedalam kubangan es yang dibuat oleh sang biksu. Keesokan paginya,
bayi itu bangun dan merangkak menuju kubangan air yang sekarang hanya tersisa sebuah sepatu yang
mengapung di atasnya. Biksu itu kemudian menggali mayat ibu itu, membuka penutup wajahnya
kemudian meletakkan patung Buddha di atas penutup kepalanya itu. Biksu itu kemudian mengambil
patung Buddha Maitreya, mengikatkan batu pada pingganggnya dan memulai perjalanannya untuk
mendaki puncak gunung. Aktivitas ini disimbolkan sebagai sebuah cara penebusan diri dari kesalahan
yang telah diperbuat, sebagai sebuah penebusan karma yang pernah dilakukan Biksu ini ketika ia masih
muda. Disinilah dia mencoba menghapuskan ego dan nafsunya sendiri sebagai upaya untuk mencapai
Nirwana. Di akhir perjalanannya ia menaruh patung Buddha Maitreya itu di atas puncak salah satu
gunung yang mengelilingi kuil itu beralaskan batu lingkaran yang diikatkan pada pingganggnya tadi. Ia
kemudian bermeditasi di puncak gunung itu.
E. and Spring
Bayi yang ditinggalkan oleh ibu tadi sekarang telah tumbuh menjadi anak kecil. Binatang yang ada di
kuil itu sekarang adalah seekor kura-kura yang melambangkan hidup yang panjang. Si anak kecil itu
kembali melakukan kesalahan yang pernah dilakukan oleh biksu muda itu hanya dengan lebih kejam, ia
memasukkan batu kedalam mulut ikan, katak, dan ular. Ini melambangkan sebuah siklus karma yang
tidak berujung. Adegan terakhir film ini adalah menunjukkan patung Buddha Maitreya yang berada di
puncak gunung dan menyaksikan siklus itu terjadi. Maitreya dipercaya dalam ajaran Buddha akan lahir
di bumi dan menjadi penerus dari Buddha Shakyamuni untuk kembali menghidupkan ajaran Buddha,
sehingga manusia akan kembali diajarkan bagaimana cara menghentikan roda karma, roda kehidupan
dan reinkarnasi (The Wheel of Life and Rebirth) yang tidak berujung.

Anda mungkin juga menyukai