PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Demam pada anak merupakan salah satu masalah yang sering ditemukan dalam
Tindakan yang
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1
Identitas
1.
Nama Penderita
a.
Umur
: 11 tahun
b.
Jenis Kelamin
: Perempuan
c.
Pendidikan
: SD
d.
Alamat
Parengan, Tuban
e.
2.
Masuk RS
Nama Ayah
: 4 Agustus 2015
: Tn. Suparjo
a.
Umur
: 44 tahun
b.
Pendidikan
: SD
c.
Agama
: Islam
d.
Pekerjaan
: Buruh
e.
Alamat
Parengan Tuban
3.
Nama Ibu
: Ny. Sarnah
a.
Umur
: 36 tahun
b.
Pendidikan
: SD
c.
Agama
: Islam
d.
Pekerjaan
e.
Alamat
Parengan Tuban
2.2 Anamnesa
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama pasien adalah panas. Panas dirasakan sudah 8 hari sebelum
masuk rumah sakit. Panas naik turun memberat terutama pada malam dan mereda pada
pagi dan siang hari. Menggigil (-) Kejang (-) Batuk (-) Pilek (-)
Nyeri perut (+) dirasakan terutama pada bagian uluh hati, nyeri perut dirasakan
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit disertai kembung. Mual (+) Muntah (-).
Nyeri tenggorokan (+) dirasakan terutama saat menelan sejak 3 hari yang lalu
sebelum masuk rumah sakit, tapi nyeri tenggorokan sekarang sudah mereda.
Pusing (+) dirasakan sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit dirasakan hilang
timbul seperti berputar-putar.
Makan dan minum tidak mengalami gangguan. BAK terakhir hari ini jam
02.30 WIB kuning jernih. BAB terakhir 3 hari yang lalu, pasien merasa susah BAB.
Kentut (+).
Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah sakit seperti ini dan tdak mempunyai riwayat
masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami sakit seperti ini dan tidak ada dalam
anggota keluarga yang sedang sakit.
Riwayat Obat
Sudah diberi obat penurun panas dari puskesmas, panas dapat turun tapi
kambuh kembali.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi makanan dan obat-obatan.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap sesuai umur.
Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak ke tiga dari 3 bersaudara. Pasien Lahir normal dan
cukup bulan (usia kehamilan 9 bulan) ditolong oleh bidan. Gangguan saat kehamilan
disangkal. BBL = 3500 gram.
2.3
Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran
: Alert
Tinggi Badan
: 144 cm
Berat Badan
: 29 kg
Vital sign
Tekanan Darah
: 100/60 mmHg
Nadi
Frekuensi napas
: 22x/menit
Suhu
: 37, 9 C
Thorax
Pulmo :
Inspeksi : Bentuk simetris, gerakan dinding dada simetris, pelebaran sela
iga (-),
Palpasi : Pengembangan dinding dada simetris, fremitus raba sama,
nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi
Cor :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba ICS V Axila anterior line sinistra
Perkusi : Batas Jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal Reguller, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: Distensi (-)
Auskultasi
: BU (+) normal
Perkusi
: Meteorismus (+)
Palpasi
: Masa (-), hepar tak teraba, lien tak teraba, nyeri (+)
epigastrium dan umbilikus
Ekstremitas atas
Warna kulit normal, turgor kulit normal, edema -/-, akral kering hangat
+/+, CRT < 2 detik. Rash (-) Ptekie (-) Ekimosis (-)
Ekstremitas bawah
Warna kulit normal, turgor kulit normal, edema -/-, akral kering hangat
+/+ CRT < 2 detik. Rash (-) Ptekie (-) Ekimosis (-)
2.4
Diagnosis
Observasi Febris 8 hari et causa Suspect Demam Tifoid
Diagnosis Banding :
1. TB (Milier)
2. Endokarditis Infektif
3. Demam Rematik Akut
4. Abses dalam
2.5
Pemeriksaan Penunjang
-
Tes Widal
Tes Mantoux
Foto Thorax
2.6
Terapi Definitif
-
Istirahat total
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat
3.2
Epidemiologi
Demam sering ditemukan pada bayi dan anak. Pizzo et al. mengatakan bahwa
10-15% bayi yang berkunjung ke dokter mengeluh demam. Orang tua menaruh
perhatian lebih untuk berobat bila anaknya demam dibandingkan keluhan yang lain,
meskipun keluhan selain demam lebih dahulu diderita. Penelitian lain menyebutkan
bahwa anak-anak berusia kurang dari 2 tahun mengalami 4-6 kali serangan sakit yang
10
memiliki gejala demam. Selain itu, demam pada anak-anak berusia kurang dari 2 tahun
seringkali merupakan manifestasi dari penyakit yang serius. Oleh karena itu perlu
diketahui karakter klinis demam pada anak agar dapat mengatasi secara komprehensif.
(Guyton, 2002)
3.3
Etiologi
Demam atau peningkatan suhu tubuh merupakan manifestasi umum penyakit
infeksi, namun dapat juga disebabkan oleh penyakit non-infeksi ataupun keadaan
fisiologis. Demam karena infeksi melputi infeksi bakteri maupun infeksi virus.
Demam non infeksi meliputi alergi, autoimun, atau keganasan. Demam fisiologis
misalnya setelah latihan fisik atau apabila kita berada di lingkungan yang sangat panas.
(Ganong, 2002)
Penyebab demam adakalanya sulit ditemukan, sehingga tidak jarang pasien
sembuh tanpa diketahui penyebab penyakitnya. Klasifikasi demam diperlukan dalam
melakukan pendekakatan masalah. Untuk kepentingan diagnosis, demam dapat
diklasifikasikan menurut WHO menjadi 4 kelompok, yaitu: (WHO, 2011)
1.
2.
3.
4.
11
b.
c.
d.
e.
f.
Tanpa fokus tetapi dapat dikenali dengan cepat dengan dengan lab,
misalnya infeksi saluran kemih, malaria, dll
g.
Leukositosis
h.
i.
b.
c.
d.
12
e.
f.
g.
h.
Umumnya terlokalisasi
13
>3hari
menurun. Limfositosis,
trombositopenia.
Penurunan sitokin
Sitokin meningkat
Procalcitonin normal
Seperti disebutkan diatas, 10% kasus demam pada anak, dapat digunakan
sebagai tanda bahwa anak tersebut terserang infeksi bakteri. Hubungan demam sebagai
prediktor infeksi bakteri tersembunyi adalah: (Radhi et al., 2009)
Demam dengan suhu 39 0C 39,40C, kemungkinan bakterimia <2 %
Demam dengan suhu 39,50C 400C, kemungkinan bakterimia 2-3 %
Demam dengan suhu 400C 40,40C, kemungkinan bakterimia 3-4 %
Demam dengan suhu >40,50C, kemungkinan bakterimia 4-5%
Bakterimia pada anak yang mengalami demam, juka ditandai dengan
peningkatan jumlah leukosit. Leukosit lebih dari 15000 meningkatkan risiko
bakterimia menjadi 3-5%. Leukosit lebih dari 20.000 meningkatkan risiko bakterimia
menjadi 8-10%. Untuk mendeteksi bakterimia tersembunyi, hitug neutrofil absolute
lebih sensitive daripada hitung leukosit. Selain itu, absoulut neutrofil >10.000/mm3
meningkatkan risiko bakterimia menjadi 8-10%.
14
3.4
Patofisiologi Demam
Demam ditimbulkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen. Dikenal dua jenis
pirogen, yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen merupakan senyawa
yang berasal dari luar tubuh pejamu dan sebagian besar terdiri dari produk mikroba,
toksin atau mikroba itu sendiri. Bakteri Gram negative memproduksi pirogen eksogen
berupa polisakarida yang disebut pula sebagai endotoksin. Bakteri Gram positif
tertentu dapat pula memproduksi pirogen eksogen berupa polipeptida yang dinamakan
eksotoksin. Pirogen eksogen menginduksi pelepasan senyawa di dalam tubuh pejamu
yang dinamakan pirogen endogen. Pirogen endogen tersebut diproduksi oleh berbagai
jenis sel di dalam tubuh pejamu terutama sel monosit dan makrofag. Senyawa yang
tergolong pirogen endogen ialah sitokin, seperti interleukin (interleukin-1,
interleukin-1, interleukin-6), tumor necrosis factor (TNF-, TNF-) dan interferon.
(Ganong, 2002)
Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan sel tertentu
lainnya secara langsung atau dengan perantaraan pembuluh limfe masuk system
sirkulasi dan dibawa ke hipotalamus di daerah preoptik berikatan dengan reseptor,
akan merangsang hipotalamus untuk mengaktivasi fosfolipase-A2 yang selanjutnya
akan melepaskan asam arakhidonat dari membran fosfolipid dan kemudian oleh enzim
siklooksigenase-2 akan diubah menjadi PGE2. Di dalam pusat pengendalian suhu
tubuh pirogen endogen menimbulkan perubahan metabolik, antara lain sintesis
prostaglandin E2 (PGE2) yang mempengaruhi pusat pengendalian suhu tubuh
sehingga set point untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk suatu suhu tubuh yang lebih
tinggi. Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk
meningkatkan aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi
15
Demam kontinyu
Celcius
400
39,50
390
38,50
380
37,50
370
36,50
360
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Hari 8
16
b.
Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian
kembali ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang
hingga akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 10 C. Contoh
penyakitnya antara lain; demam tifoid, malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada
beberapa subtipe dari demam intermiten, yaitu : (Soedarmo, 2010)
1) Demam quotidian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria falciparum dan
demam tifoid.
2) Demam tertian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana
(Plasmodium vivax).
3) Demam quartan
Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria kuartana
(Plasmodium malariae)
c. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu
normal, fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh penyakitnya antara lain;
infeksi virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.
17
Celcius
400
39,50
390
38,50
380
37,50
370
36,50
360
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7 Hari 8
Celcius
400
39,50
390
38,50
380
37,50
370
36,50
360
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Hari 8
18
19
3.6
demam thyphoid, TB (Milier), Endokarditis Infektif, Demam Rematik Akut dan Abses
dalam. Diagnosis banding tersebut didasarkan atas keadaana sebagai berikut,
Diagnosis Demam
Demam tifoid
TB (milier)
- Demam tinggi
- Berat badan turun
- Anoreksia
- Pembesaran hati dan/atau limpa
- Batuk
- Tes tuberkulin dapat positif atau negatif (bila anergi)
- Riwayat TB dalam keluarga
- Pola milier yang halus pada foto polos dada
20
- Pembesaran limpa
- Petekie
- Splinter haemorrhages in nail beds
- Hematuri mikroskopis
Demam Rematik
Akut
Abses dalam
(Deep Abscess)
21
BAB IV
PEMBAHASAN
22
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum anak tampak lesu/lemah,
pengukuran suhu axial mengalami peningkatan 37, 9 oC (Sub-febris) dan pemeriksaan
abdomen didapatkan nyeri tekan perut bagian epigastrium dan umbilicus serta saat
perkusi didapatkan meteorismus. Sehingga pada pemeriksaan fisik hanya
menunjukkan sebagian kecil dari gejala khas yang mengarah pada demam tifoid
seperti lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), bradikardi
relarif, hepatomegali, splenomegali, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. (Prasetyo, 2010)
c. Diskusi
Demam tifoid adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh Salmonella
typhi, kuman gram negatif berbentuk batang yang hanya ditemukan pada manusia.
Salmonella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae yang memiliki lebih dari 2300
serotipe. Salmonella typhi merupakan salah satu Salmonellae yang termasuk dalam
jenis gram negatif, memiliki flagel, tidak berkapsul, tidak bersporulasi, termasuk
dalam basil anaerobik fakultatif dalam fermentasi glukosa, mereduksi nitrat menjadi
nitrit. (Richard, 2000)
Penularan penyakit demam tifoid adalah secara faeco-oral, dan banyak
terdapat di masyarakat dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik. Kuman
Salmonella typhi masuk ke tubuh melalui mulut bersama dengan makan atau minuman
yang tercemar. Sesudah melewati asam lambung, kuman menembus mukosa usus dan
masuk peredaran darah melalui aliran limfe. Selanjutnya, kuman menyebar ke seluruh
tubuh (bakteriemia pertama). Dalam sistem retikuloendotelial (hati, limpa, dll), kuman
23
24
Selain demam, pasien juga mengalami nyeri perut, kembung dan perasaan
mual sejak 3 hari yang lalu tanpa disertai muntah dan sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit pasien tidak ada buang air besar disertai menurunnya nafsu makan. Pada
demam tifoid, dalam minggu pertama perjalanan penyakit, keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yakni demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk dan epistaksis. (Soedarmo, 2010)
Dan pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat disertai nyeri
tekan pada daerah epigastrium dan umbilicus serta pada perkusi abdomen didapatkan
meteorismus.
Jika perjalanan penyakit demam tifoid pasien terus dimonitor, maka biasanya
pada minggu kedua didapatkan gejala-gejala yang lebih jelas. Gejala yang timbul pada
minggu kedua berupa demam, bradikardi relarif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi
dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. (Prasetyo, 2010)
Menurut WHO, Pertimbangan demam tifoid pada anak jika pada anak
didapatkan demam dan mempunyai salah satu tanda berikut ini: diare atau konstipasi,
muntah, nyeri perut, sakit kepala atau batuk, terutama jika demam telah berlangsung
selama 7 hari atau lebih dan diagnosis lain sudah disisihkan. (WHO, 2011)
Pada pemeriksaan dan gambaran gejala klinis yang khas adalah Demam lebih
dari tujuh hari, anak terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas, nyeri
perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi, delirium, hepatosplenomegali. Pada
demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan icterus. Selain
itu demam tifoid dapat timbul dengan tanda yang tidak tipikal terutama pada bayi
25
muda sebagai penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermi. (Soedarmo,
2010)
4.2 Penatalaksanaan
a. Anti piretik
Tidak semua kasus demam harus diturunkan dengan segera, tidak sedikit kasus
demam yang turun dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Walau begitu, demam
tentu saja tidak membuat pasien merasa nyaman, bahkan terkadang jika tidak
diturunkan dapat meningkat tiba-tiba ke level yang membahayakan. Menurut data
statistik yang ada, kerusakan pada otak pada umumnya terjadi jika suhu tubuh
mendekati 42 0C (107, 6 0F).
Secara umum, pasien yang mengalami demam akan disarankan untuk
meningkatkan hidrasi, karena demam juga dapat merupakan salah satu manifestasi dari
dehidrasi tubuh, selain itu peningkatan hidrasi terbukti dapat membantu menurunkan
demam. Resiko hiponatremia relatif yang disebabkan oleh peningkatan masukan
cairan dapat dikurangi dengan menggunakan formula cairan rehidrasi oral yang sesuai,
dengan kadar elektrolit seimbang.
Penanganan sederhana lain yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan
kompres hangat pada daerah peredaran darah besar; misalnya di leher, ketiak, dan lipat
inguinal. Tujuan kompres hangat pada daerah tersebut ialah untuk membuat hangat
daerah sekitar pembuluh darah besar tersebut, dan kemudian akan menghangatkan
darah itu sendiri. Keadaan tersebut akan merangsang pusat pengaturan suhu untuk
menurunkan termostat ke titik yang lebih rendah dari sebelum, sehingga manifestasi
26
yang dapat kita lihat pada pasien yaitu proses berkeringat dan kulit yang memerah
(flushing) karena vasodilatasi pembuluh darah, sebagai upaya pembuangan panas
tubuh.
Medikasi yang utama untuk penatalaksanaan demam ialah dengan pemberian
antipiretik. Contoh antipiretik yang sering digunakan untuk kasus demam antara lain;
parasetamol, ibuprofen, dan asam asetilsalisilat. Pada beberapa sumber mengatakan
antipiretik asam asetilsalisilat dan ibuprofen lebih efektif untuk penatalaksanaan
demam pada anak, sekaligus mengurangi gejala prodromal lain yang menyertai
demam, karena efek analgetiknya lebih kuat dibandingkan dengan parasetamol.
Namun begitu, asam asetilsalisilat dan ibuprofen memiliki resiko perdarahan lambung
dan gangguan agregasi trombosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan parasetamol.
Oleh karena itu, obat tersebut tidak dianjurkan untuk diberikan pada kasus demam
yang disertai perdarahan, misalnya pada demam berdarah dengue, purpura
trombositopenik idiopatik, ulkus peptikum, dan lain-lain.
Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 38 0C.
Orang tua dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan
demam. Seharusnya antipiretik tidak diberikan secara automatis, tetapi memerlukan
pertimbangan. Pemberian antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari
suhu yang tertera pada angka termometer saja. Saat ini pemberian resep antipiretik
terlalu berlebihan, antipiretik diberikan untuk keuntungan orang tua daripada si anak.
Meski tidak ada efek samping antipiretik pada perjalanan penyakit, namun terdapat
beberapa bukti yang memperlihatkan efek yang merugikan. Indikasi pemberian
antipiretik, antaralain:
27
1) Demam lebih dari 39 0C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak
nyaman, biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia.
2) Demam lebih dari 40,5 0C
3) Demam
berhubungan
dengan
peningkatan
kebutuhan
metabolisme.
Keadaan gizi kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi,
memerlukan antipiretik.
4) Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.
b. Klasifikasi Antipiretik
Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para
aminofenol (parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat
(aspirin, salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan dibahas pada
bagian ini ialah antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan demam
pada anak; yaitu parasetamol, ibuprofen, dan aspirin.
1) Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini
parasetamol merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan
analgesik dalam pengobatan demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam
sediaan sirup, tablet, infus, dan supositoria. Cara terakhir ini merupakan alternatif bila
obat tidak dapat diberikan per oral; misalnya anak muntah, menolak pemberian cairan,
mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas yang
setara antara parasetamol oral dan supositoria. Dengan dosis yang sama daya
terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin, hanya parasetamol tidak mempunyai
28
daya antiinflamasi, oleh karena itu tidak digunakan pada penyakit jaringan ikat seperti
artritis reumatodi. Parasetamol juga efektif menurunkan suhu dan efek samping lain
yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon dan pada pasien
keganasan yang menderita infeksi. Dosis parasetamol lazim yang digunakan untuk
menurunkan suhu ialah 10-15 mg/kgBB per dosis, maka akan tercapai konsentrasi
efek antipiretik dan direkomendasikan diberikan setiap 4 jam. Dosis parasetamol
20 mg/kgBB tidak akan menambah daya penurunan suhu tetapi memperpanjang efek
antipiretik sampai 6-8 jam.
Setelah pemberian dosis terapeutik, penurunan demam terjadi setelah 30 menit,
puncaknya sekitar 3 jam, dan demam akan rekuren dalam 3-4 jam setelah pemberian.
Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 30 menit. Makanan yang mengandung
karbohidrat tinggi akan mengurangi absorpsi sehingga menghalangi penurunan
demam.
Parasetamol mempunyai efek samping ringan bila diberikan dalam dosis biasa.
Tidak akan timbul perdarahan saluran cerna, nefropati, maupun koagulopati. Obat
yang dilaporkan mempunyai interaksi dengan parasetamol, diantaranya adalah
warfarin, metoklopramid, beta bloker, dan klopromazin.
Organ
Manifestasi Klinis
Saluran cerna
Sistem hemopoetik
Kulit
Paru
Spasme bronkus
Lain-lain
Hipoglikemia, hipotermia
29
2) Ibuprofen
Ibuprofen ialah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan
antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (Non
Steroid Anti Inflammatory Drug), ibuprofen beraksi dengan memblokade sintesis
PGE-2 melalui penghambatan siklooksigenasi. Sejak tahun 1984 satu-satunya NSAID
yang direkomendasikan sebagai antipiretik di Amerika Serikat adalah ibuprofen,
sedangkan di Inggris sejak tahun 1990. Obat ini diserap dengan baik oleh saluran
cerna, mencapai puncak konsentrasi serum dalam 1 jam. Kadar efek maksimal untuk
antipiretik (sekitar 10 mg/L) dapat dicapai dengan dosis 5 mg/kgBB, yang akan
menurunkan suhu tubuh 2 0C selama 3-4 jam. Dosis 10 mg/kgBB/hari dilaporkan lebih
poten dan mempunyai efek supresi demam lebih lama dibandingkan dengan dosis
setara parasetamol. Awitan antipiretik tampak lebih dini dan efek lebih besar pada bayi
daripada anak yang lebih tua. Ibuprofen merupakan obat antipiretik kedua yang paling
banyak dipakai setelah parasetamol.
Efek antiinflamasi serta analgesik ibuprofen menambah keunggulan
dibandingkan dengan parasetamol dalam pengobatan beberapa penyakit infeksi
yang berhubungan dengan demam. Indikasi kedua pemakaian ibuprofen adalah artritis
reumatoid. Dengan dosis 20-40 mg/kgBB/hari, efeknya sama dengan dosis aspirin
60-80 mg/kgBB/hari disertai efek samping yang lebih rendah. Pemberian sitokin
(misalnya GM-CSF)
seringkali
menyebabkan
demam
ternyata obat yang efektif untuk mengatasi efek samping tersebut. Ibuprofen
mempunyai keuntungan pengobatan dengan efek samping ringan dalam penggunaan
yang luas. Beberapa efek samping yang dilaporkan disebabkan adanya penyakit yang
sebelumnya telah ada pada anak tersebut dan bukan disebabkan oleh pengobatannya.
30
Di pihak lain efek samping biasanya berhubungan dengan dosis dan sedikit lebih
sering dibandingkan dengan parasetamol dalam dosis antipiretik.
Efek samping ibuprofen lebih rendah daripada aspirin. Anak yang menelan 100
mg/kgBB tidak menunjukkan gejala, bahkan sampai dosis 300 mg/kgBB seringkali
asimptomatik. Tatalaksana kasus keracunan
ibuprofen,
dilakukan
pengeluaran
obat dengan muntah (kumbah lambung), arang aktif, dan perawatan suportif secara
umum. Tidak ada antidotum spesifik terhadap keracunan ibuprofen.
Saluran cerna
Sistem SSP
Kulit
Dosis antipiretik
Dosis antiinflamasi
Dosis lebih
(5-10 mg/kgBB)
(20-40 mg/kgBB)
(>100 mg/kgBB)
Ruam
Ruam
Hati
Peningkatan enzim
Peningkatan enzim
Sistem
Agranulositosis,
anemia hemolitik
hemopoetik
Lain-lain
Ruam
Konfusio,
penglihatan kabur,
nistagmus, kejang,
koma
Hipertermia,
penurunan fungsi
dengar
Lupus eritematosus
31
3) Salisilat
Aspirin sampai dengan tahun 1980 merupakan antipiretik- analgetik yang luas
dipakai dalam bidang kesehatan anak. Di Amerika Serikat pangsa pasar salisilat
mencapai 70% sedangkan parasetamol hanya mencapai 30%, di Inggris
kecenderungannya terbalik. Dalam penelitian perbandingan antara aspirin dan
parasetamol dengan
antipiretik yang sama tetapi aspirin lebih efektif sebagai analgesik. Setelah dilaporkan
adanya hubungan antara sindrom Reye dan aspirin, Committee on Infectious Diseases
of the American Academy of Pediatrics, berkesimpulan pada laporannya tahun 1982,
bahwa aspirin tidak dapat diberikan pada anak
32
disesuaikan untuk mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 2030 mg/dL. Oleh karena akhir-akhir dilaporkan adanya sindrom Reye pada
kasus artrtis reumatoid yang mendapat aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai
pada pengobatan artritis reumatoid.
c). Thromboxane A2 merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet
aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus
siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai
aktivitas antitrombosit dan fibrinolitik rendah, direkomendasikan bagi anak
dengan penyakit kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit
jantung koroner.
Kontraindikasi pemberian aspirin antara lain sebagai berikut:
a) Infeksi virus, khususnya infeksi saluran napas bagian atas atau cacar air.
Aspirin dapat menyebabkan sindrom Reye.
b) Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), pada keadaan ini aspirin
dapat menyebabkan anemia hemolitik.
c) Anak yang menderita asma, dapat menginduksi hipersensitifitas karena
penggunaan aspirin (aspirin-induced hypersensitivity), berupa urtikaria,
angioedema, rhinitis, dan hiperreaktivitas bronkus. Aspirin dapat menghambat
sintesis, yang mempengaruhi efek dilatasi bronkus. Akhir-akhir ini terbukti
adanya peningkatan pembentukan leukotrien pada keadaan asma yang
diinduksi aspirin. Leukotrien merupakan vasokonstriktor poten terhadap otototot polos saluran napas.
33
d) Pada pasien yang akan mengalami pembedahan atau pasien yang memiliki
kecenderungan untuk mengalami perdarahan, aspirin dapat menghambat
agregasi trombosit yang bersifat reversibel.
Efek samping yang timbul pada kadar salisilat darah < 20 mg/100
mL, umumnya dianggap sebagai efek samping sedangkan gejala yang timbul pada
kadar yang lebih tinggi disebut keracunan. Gambaran yang saling tumpang tindih
timbul diantara kedua kelompok tersebut. Efek samping berasal dari efek langsung
terhadap berbagai organ atau menghambat sintesis prostaglandin pada organ-organ
terkena. Pada anak besar gambaran klinis menunjukkan alkalosis respiratorik,
sedangkan pada anak yang lebih muda fase alkalosis respiratorik terjadi singkat dan
ketika anak tiba di rumah sakit sudah terjadi asidosis metabolik bercampur dengan
alkalosis respiratorik. Pada bayi atau keracunan salisilat berat, keseimbangan asambasa sangat terganggu ditandai dengan penurunan pH (dapat kurang dari 7, 0).
Alkalosis respiratorik menunjukkan adanya keracunan ringan atau tanda awal
keracunan berat. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah; darah
perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati, waktu protrombin,
analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit.
34
mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis) peroral selama 10 hari. Bila klinis tidak ada perbaikan
digunakan generasi ketiga sefalosporin seperti seftriakson (80 mg/kg IM atau IV,
sekali sehari, selama 5-7 hari) atau sefiksim oral (20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
selama 10 hari).
d. Edukasi
-
Meningkatkan makan dan minum yang bergizi, rendah serat dan tidak
mengiritasi saluran pencernaan
35
BAB V
KESIMPULAN
36