Meningitis Edit Paper
Meningitis Edit Paper
PENDAHULUAN
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut sebagai meningitis. Berbagai
faktor dapat menyebabkan terjadinya meningitis, diantaranya infeksi virus,
bakteri, dan jamur. Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai salah satu
meningitis yang disebabkan oleh bakteri, yakni meningitis tuberkulosa.10
Meningitis tuberkulosa merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit,
tulang, sendi, dan selaput otak.9 Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan
prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis tuberkulosa terjadi setiap 300
tuberkulosis primer yang tidak diobati. CDC melaporkan pada tahun 1990
morbiditas meningitis tuberkulosa 6,2% dari tuberkulosis ekstrapulmonal. Insiden
meningitis tuberkulosa sebanding dengan tuberkulosis primer, umumnya
bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan
faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang.1
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosa dapat membantu untuk
mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis, mengingat bahwa
insidensi kematian akibat meningitis masih cukup tinggi.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Meningitis Tuberkulosa
2.2.1. Definisi
Meningitis tuberkulosa adalah infeksi pada meningen yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis dan terjadi pada sekitar 0,5-1% dari total penyakit
tuberkulosis. Meningitis tuberkulosa pada anak paling sering merupakan kejadian
ikutan dari suatu tuberculosis paru primer. Sedangkan pada dewasa merupakan
kejadian lanjutan setelah beberapa tahun setelah infeksi primer.1,3
2.2.2. Etiologi
Menigitis tuberkulosis disebakan oleh bakteri tahan asam mycobacterium
tuberkulosis, dan jarang sekali disebabkan oleh mycobacterium bovis atau
mycobacterium fortuitum, kecuali pada penderita HIV.2
2.2.3. Insidensi
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering
ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua
usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau
6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3%
anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual.5
2.2.4. Patogenesis
Meningitis tuberkulosa terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosa melalui 2 tahap. Mulamula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara
hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi
pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis
terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan
di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung masuk ke subarachnoid.
Meningitis tuberkulosa biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Kebanyakan bakteri masuk ke CSF dalam bentuk kolonisasi dari nasofaring atau
secara hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak, atau selaput
meningen.Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran
retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh
fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi,
adanya benda asing seperti implan koklear, VP shunt, dan lain-lain. Sering juga
kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan meningitis. Walaupun
meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan meningen
dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan vena dan
memblok aliran CSF yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi.4,9
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan dibasis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit
dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi.
Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling
sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai sarafkranial II, maka kiasma
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta
bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan
menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.4
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang
melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan
inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan
timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada
pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan,
proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel
dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika
media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah
arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis
interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi
dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme
terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.5
2.2.5. Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien dengan meningitis tuberkulosa memiliki riwayat sakit yang
tidak spesifik (vague ill health) 2-8 minggu sebelum berkembangnya iritasi
meningeal. Gejala non spesifik ini meliputi malaise, anoreksia, fatigue, demam,
myalgia dan nyeri kepala. Gejala prodormal pada anak termasuk iritabilitas,
mengantuk, berkurangnya nafsu makan, dan nyeri perut. Pada akhirnya nyeri
kepala memburuk dan menetap. Kaku kuduk dilaporkan terjadi pada sekitar 25%
pasien, tetapi meningismus terdeteksi pada lebih banyak pasien saat diperiksa.
Pada anak-anak dapat dijumpai ubun-ubun yang tegang dan menonjol. Demam
ringan yang menetap dijumpai pada sekitar 80% pasien. Riwayat tuberkulosis
sebelumnya dijumpai pada 50% anak dengan meningitis tuberkulosa, dan
pada 10% pasien dewasa. Paresis saraf kranial terjadi pada 20-30% pasien
meningitis tuberkulosa. Nervus kranial keenam merupakan nervus kranial yang
paling sering terkena. Kebutaan dapat menjadi gejala dominan meningitis
tuberkulosa. Optochiasmatik arachnoiditis, penekanan 5 ventrikel tiga pada
chiasma (jika terjadi hidrosefalus), granuloma nervus optikus, dan intoksikasi
ethambutol, mungkin sebagai faktor yang menyebabkan kebutaan pada pasien.
Pada pemeriksaan opthalmoscopy, dapat dijumpai edema papil. Pada pemeriksaan
funduskopi dapat dijumpai tuberkel choroid, lesi kekuningan tunggal atau
berkelompok dengan pinggiran kabur.
Gejala
Nyeri Kepala 50-80%
Demam 60-95%
Muntah 30-60%
Fotofobia 5-10%
Anoreksia/penurunan berat badan 60-80%
Tanda
Kaku kuduk 40-80%
Paresis saraf kranial 30-50%
VI 30-40%
III 5-15%
VII 10-20%
Koma 30-60%
Hemiparese 10-20%
Paraparese 5-10%
Kejang
Anak 50%
Dewasa 5%
Pada fase lanjut, infeksi dapat dijumpai gejala klinis yang lebih berat seperti
hemiplegi, kuadriplegi sekunder akibat infark serebri bilateral, koma, spasme,
deserebrasi atau dekortikasi.1
2.2.6. Prosedur Diagnosis
Prosedur yang dilakukan untuk menegakkan meningitis tuberkulosa diantaranya:
1. Analisa CSF
Pemeriksaan CSF dalah penting dan khas pada meningitis tuberkulosa. Pada
analisa CSF dijumpai leukositosis (10-1000 x 103 sel/cc) dominan limfosit),
protein meningkat (0,5-3,0 gr/l) dan glukosa CSF;plasma <50%. CSF dapat
diambil melalui lumbal pungsi.
2. Kultur dan Tes Sensitivitas
Mencari bakteri tahan asam di CSF adalah penting untuk diagnose definitive
meningitis tuberkulosa. Pada literature disebutkan bahwa bakteri tahan asam
dijumpai pada 80% kasus pasien dewasa, tetapi hanya 15-20% pada anak-anak.
3. Tes Tuberkulin Kulit
Gambaran hasil tes tuberculin kulit untuk tuberculosis SSP bervariasi, pada
beberapa penelitian hanya 10-20% pasien dengan tuberculosis SSP yang
menunjukkan hasil positif. Pada anak dijumpai hasil yang bervariasi (30-65%).
Pada anak yang tinggal di daerah dengan prevalensi tuberculosis tinggi,
dijumpai hasil positif palsu yang tinggi.
4. Polymerase Chain Reaction (PCR-TB)
Merupakan metode terbaik dalam diagnosis infeksi mycobacterium. Tes ini
menggunakan reaksi rantaipolymer untuk mengidentifikasi sekuensi RNA atau
DNA dalam CSF. Metode ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang sangat
tinggi untuk mendeteksi meningitis tuberkulosa.
Pemeriksaan imejing
1. Head CT Scan
Gambaran yang dapat dijumpai adalah:
Penebalan dan enhancement meningen, terutama di region basilar.
Gambaran infark daerah thalamus, basal ganglia, dan kapsula interna
Ventriculomegali dan paraventrikular edema
Eksudat yang tebal terlihat dan menyangat kontras di sisterna basal dan
sylvian fissure (spider-leg appearance)7
2. MRI Scan8
Pada MRI T1 kontras, keterlibatan meningen dapat terlihat. Penelitian terakhir
Pamir dkk10, menemukan bahwa FLAIR post kontras memperlihatkan sensitifitas
3. Foto Toraks
Sekitar 50% pasien dengan meningitis tuberkulosis mempunyai foto toraks
dengan gambaran menunjukkan tuberkulosis aktif atau pernah menderita
tuberkulosis pulmonal. Sepuluhpersen tuberkulosis miliar mengalami keterlibatan
SSP.
terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak
terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan
piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap
100 mg isoniazid.
3. Pirazinamid ( Z ) 15
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid
hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna.
Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari.
Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek
samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anakanak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500mg.
4. Streptomisin ( S )
Efek samping : Gangguan pendengaran dan vestibuler Streptomisin bersifat
bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal
atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini
streptomisin
jarang
digunakan
dalam
pengobatan
tuberkulosis,
tetapi
melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan
resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung
(tinismus) dan pusing.
Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran
janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
5. Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari
dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol
tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan
baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua
kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna
merahhijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa
pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan
kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca
pengobatan.
Rekomendasi
WHO
yang
terakhir
mengenai
pelaksanaan
REGIMEN DOSIS
INH Dewasa : 10-15 mg/kgBB/hari + piridoksin 50 mg/hari
Anak : 20 mg/kgBB/hari
Streptomisin 20 mg/kgBB/hari i.m selama 3 bulan
Etambutol 25 mg/kgBB/hari p.o selama 2 bulam pertama
Dilanjutkan 15 mg/kgBB/hari
Rifampisin Dewasa : 600 mg/hari Anak 10-20 mh/kgBB/hari
Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan
deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan
perlekatan antara araknoid dan otak. Steroid diberikan untuk:17
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal
Dosis steroid :
Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena selama 2
minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan. Bagan Penatalaksanaan
Meningitis Jika dijumpai tanda klinis meliputi :
1) Panas
2) Kejang
3) Tanda rangsang meningeal
4) Penurunan kesadaran
Cari tanda kenaikan tekanan intra cranial :
1) Muntah
2) Nyeri kepala
3) Ubun-ubun cembung (anak)
2.2.9. Komplikasi
Pada meningitis tuberkulosa, dijumpai eksudat tipis seperti gel pada sekitar
sylvian fissure, sisterna basal, batang otak ,dan serebelum. Hidrosefalus bisa
terjadi sebagai akibat sumbatan pada sisterna basal, aliran keluar ventrikel empat,
atau pada aquaductus serebri. Infark serebri sering terjadi pada sekitar sylvian
fissure dan ganglia basalis. Akumulasi dari eksudat ini umumnya mempengaruhi
saraf kranial. Eksudat meningitis tuberkulosa dapat mengakibatkan penyumbatan
aliran CSF, sehingga terjadi hidrosefalus. Akumulasi eksudat ini juga dapat
menekan chiasma optikum, nervus, dan arteri karotis interna. Eksudat dapat
DAFTAR PUSTAKA
1. Gofar, A. Neurosurgery Lecture Note.Cerebral Infection.Medan: USU Press;
622-628
2. Lindsay, Bone. Neurology and Neurosurgery Illustrated. Netherland:
Livingstone ; 433-434
3. Andrew, HE. Essential Neurosurgey. Australia: Blackwell; 174-175
4. Razonable RR, Cunha BA. Meningitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall. [Accessed on
January 12th 2013].20
5. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56.
6. Tarakad S Ramachandran. Tuberculous Meningitis Clinical Presentation.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/1166190-clinical#a0256
7.Meningitis.Availablefromhttp://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/01/me
ningitis.pdf
8. Pradhana D. Referat Meningitis. Last Updated 2009. Available from
http://www.docstoc.com/docs/19409600/new-meningitis-edit
9. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson AB. Nelson Textbook of Pediatrics 17th
Edition. Chapter 594: Central Nervous System Infection. United States of
America : Elsevier Science, 2004: 2039-2047
10.Nofareni. Status imunisasi bcg dan faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
Meningitistuberkulosa.Availablefromhttp://library.usu.ac.id/download/fk/anaknof
areni.