Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut sebagai meningitis. Berbagai
faktor dapat menyebabkan terjadinya meningitis, diantaranya infeksi virus,
bakteri, dan jamur. Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai salah satu
meningitis yang disebabkan oleh bakteri, yakni meningitis tuberkulosa.10
Meningitis tuberkulosa merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit,
tulang, sendi, dan selaput otak.9 Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan
prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis tuberkulosa terjadi setiap 300
tuberkulosis primer yang tidak diobati. CDC melaporkan pada tahun 1990
morbiditas meningitis tuberkulosa 6,2% dari tuberkulosis ekstrapulmonal. Insiden
meningitis tuberkulosa sebanding dengan tuberkulosis primer, umumnya
bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan
faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang.1
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosa dapat membantu untuk
mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis, mengingat bahwa
insidensi kematian akibat meningitis masih cukup tinggi.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Meningitis Tuberkulosa
2.2.1. Definisi
Meningitis tuberkulosa adalah infeksi pada meningen yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis dan terjadi pada sekitar 0,5-1% dari total penyakit
tuberkulosis. Meningitis tuberkulosa pada anak paling sering merupakan kejadian
ikutan dari suatu tuberculosis paru primer. Sedangkan pada dewasa merupakan
kejadian lanjutan setelah beberapa tahun setelah infeksi primer.1,3
2.2.2. Etiologi
Menigitis tuberkulosis disebakan oleh bakteri tahan asam mycobacterium
tuberkulosis, dan jarang sekali disebabkan oleh mycobacterium bovis atau
mycobacterium fortuitum, kecuali pada penderita HIV.2
2.2.3. Insidensi
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering
ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua
usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau
6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3%
anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual.5

2.2.4. Patogenesis
Meningitis tuberkulosa terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosa melalui 2 tahap. Mulamula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara
hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi
pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis
terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan
di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung masuk ke subarachnoid.
Meningitis tuberkulosa biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Kebanyakan bakteri masuk ke CSF dalam bentuk kolonisasi dari nasofaring atau
secara hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak, atau selaput
meningen.Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran
retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh
fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi,
adanya benda asing seperti implan koklear, VP shunt, dan lain-lain. Sering juga
kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan meningitis. Walaupun
meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan meningen
dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan vena dan
memblok aliran CSF yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi.4,9
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan dibasis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit
dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi.
Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling
sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai sarafkranial II, maka kiasma
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta

bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan
menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.4
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang
melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan
inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan
timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada
pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan,
proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel
dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika
media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah
arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis
interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi
dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme
terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.5
2.2.5. Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien dengan meningitis tuberkulosa memiliki riwayat sakit yang
tidak spesifik (vague ill health) 2-8 minggu sebelum berkembangnya iritasi
meningeal. Gejala non spesifik ini meliputi malaise, anoreksia, fatigue, demam,
myalgia dan nyeri kepala. Gejala prodormal pada anak termasuk iritabilitas,
mengantuk, berkurangnya nafsu makan, dan nyeri perut. Pada akhirnya nyeri
kepala memburuk dan menetap. Kaku kuduk dilaporkan terjadi pada sekitar 25%
pasien, tetapi meningismus terdeteksi pada lebih banyak pasien saat diperiksa.
Pada anak-anak dapat dijumpai ubun-ubun yang tegang dan menonjol. Demam

ringan yang menetap dijumpai pada sekitar 80% pasien. Riwayat tuberkulosis
sebelumnya dijumpai pada 50% anak dengan meningitis tuberkulosa, dan
pada 10% pasien dewasa. Paresis saraf kranial terjadi pada 20-30% pasien
meningitis tuberkulosa. Nervus kranial keenam merupakan nervus kranial yang
paling sering terkena. Kebutaan dapat menjadi gejala dominan meningitis
tuberkulosa. Optochiasmatik arachnoiditis, penekanan 5 ventrikel tiga pada
chiasma (jika terjadi hidrosefalus), granuloma nervus optikus, dan intoksikasi
ethambutol, mungkin sebagai faktor yang menyebabkan kebutaan pada pasien.
Pada pemeriksaan opthalmoscopy, dapat dijumpai edema papil. Pada pemeriksaan
funduskopi dapat dijumpai tuberkel choroid, lesi kekuningan tunggal atau
berkelompok dengan pinggiran kabur.
Gejala
Nyeri Kepala 50-80%
Demam 60-95%
Muntah 30-60%
Fotofobia 5-10%
Anoreksia/penurunan berat badan 60-80%
Tanda
Kaku kuduk 40-80%
Paresis saraf kranial 30-50%
VI 30-40%
III 5-15%
VII 10-20%
Koma 30-60%
Hemiparese 10-20%
Paraparese 5-10%
Kejang
Anak 50%
Dewasa 5%

Pada fase lanjut, infeksi dapat dijumpai gejala klinis yang lebih berat seperti
hemiplegi, kuadriplegi sekunder akibat infark serebri bilateral, koma, spasme,
deserebrasi atau dekortikasi.1
2.2.6. Prosedur Diagnosis
Prosedur yang dilakukan untuk menegakkan meningitis tuberkulosa diantaranya:
1. Analisa CSF
Pemeriksaan CSF dalah penting dan khas pada meningitis tuberkulosa. Pada
analisa CSF dijumpai leukositosis (10-1000 x 103 sel/cc) dominan limfosit),
protein meningkat (0,5-3,0 gr/l) dan glukosa CSF;plasma <50%. CSF dapat
diambil melalui lumbal pungsi.
2. Kultur dan Tes Sensitivitas
Mencari bakteri tahan asam di CSF adalah penting untuk diagnose definitive
meningitis tuberkulosa. Pada literature disebutkan bahwa bakteri tahan asam
dijumpai pada 80% kasus pasien dewasa, tetapi hanya 15-20% pada anak-anak.
3. Tes Tuberkulin Kulit
Gambaran hasil tes tuberculin kulit untuk tuberculosis SSP bervariasi, pada
beberapa penelitian hanya 10-20% pasien dengan tuberculosis SSP yang
menunjukkan hasil positif. Pada anak dijumpai hasil yang bervariasi (30-65%).
Pada anak yang tinggal di daerah dengan prevalensi tuberculosis tinggi,
dijumpai hasil positif palsu yang tinggi.
4. Polymerase Chain Reaction (PCR-TB)
Merupakan metode terbaik dalam diagnosis infeksi mycobacterium. Tes ini
menggunakan reaksi rantaipolymer untuk mengidentifikasi sekuensi RNA atau
DNA dalam CSF. Metode ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang sangat
tinggi untuk mendeteksi meningitis tuberkulosa.
Pemeriksaan imejing
1. Head CT Scan
Gambaran yang dapat dijumpai adalah:
Penebalan dan enhancement meningen, terutama di region basilar.
Gambaran infark daerah thalamus, basal ganglia, dan kapsula interna
Ventriculomegali dan paraventrikular edema

Eksudat yang tebal terlihat dan menyangat kontras di sisterna basal dan
sylvian fissure (spider-leg appearance)7
2. MRI Scan8
Pada MRI T1 kontras, keterlibatan meningen dapat terlihat. Penelitian terakhir
Pamir dkk10, menemukan bahwa FLAIR post kontras memperlihatkan sensitifitas

yang sama dibandingkan dengan T1 kontras untuk mendeteksi penyangatan


leptomeningen. Pada sisterna basalis,dijumpai eksudat paling sering di sekitar
sirkulus willisi, yang meluas ke sisterna ambiens, sylvian fissure, dan sisterna
pontin. Dapat juga dijumpai infark iskemik di sekitar chiasma, dan gambaran
hidrosefalus. Trias diagnostik radiologi pada meningitis hidrosefalus adalah :
eksudat di sisterna basal, adanya infark dan hidrosefalus.

3. Foto Toraks
Sekitar 50% pasien dengan meningitis tuberkulosis mempunyai foto toraks
dengan gambaran menunjukkan tuberkulosis aktif atau pernah menderita
tuberkulosis pulmonal. Sepuluhpersen tuberkulosis miliar mengalami keterlibatan
SSP.

2.2.7. Diagnosa Banding


1. Acute disseminated encephalomyelitis
Penyakit ini biasanya diderita oleh anak anak yang belum menginjak pubertas.
Sebagaian kasus mungkin terjadi karena hasil dari respon inflamasi dipicu oleh
infeksi prapubertas dengan virus, vaksin virus, atau agen menular lainnya. Pada
pasien yang menderita Acute disseminated encephalomyelitis ditandai dengan
irritability dan lethargy, demam berulang 94%, nyeri kepala 45%-65%, dan tanda
meningitis dideteksi dalam 20%-30% kasus setelah 1-20 hari demam berulang.
Lebih dari beberapa menit hingga 6 minggu atau lebih terjadi perkembangan
abnormalitas neurologi. Ditandai juga dengan adanya rangsal meningeal, Di
antara kelainan yang paling umum adalah gangguan visual dan bahasa, status
mental, dan kelainan kejiwaan. Gangguan status mental meliputi kelesuan,
kelelahan, kebingungan, mudah marah, dan koma dan ditemukan di 65-85%.
Perubahan kejiwaan termasuk lekas marah, depresi, perubahan kepribadian, dan
psikosis. Kejang fokal atau umum terjadi sebagai tanda awal di 10 - 25% kasus.
Kelemahan (50-75% kasus) lebih sering dilihat daripada cacat sensorik (15-20%).
Kombinasi dari tanda-tanda ini mungkin kortikal, subkortikal, batang otak, saraf
kranial, atau lokalisasi sumsum tulang belakang. Ataksia ditemukan pada 35-60%
kasus.
2. Meningitis Aseptik 10
Meningitis aseptik adalah penyakit yang ditandai dengan peradangan serosa dari
lapisan-lapisan dari otak (yaitu, meninges), biasanya dengan pleositosis
mononuklear yang menyertainya. Manifestasi klinis bervariasi, dengan sakit
kepala dan demam mendominasi. Penyakit ini biasanya ringan dan berjalan saja
tanpa pengobatan, namun beberapa kasus dapat parah dan mengancam nyawa.
Enterovirus adalah penyebab utama meningitis aseptik. Fokus utama dari
diagnosis tetap mengkonfirmasi infeksi enterovirus atau mengesampingkan
infeksi bakteri. Bakteri meningitis aseptik dan tidak dapat dibedakan dengan
karakteristik klinis saja. Sampai temuan CSF. Diagnosis meningitis viral
didasarkan pada presentasi klinis dan cairan cerebrospinal (CSF) temuan yang

mencakup pleocytosis limfosit-dominan kurang dari 500 sel /, konsentrasi glukosa


normal, protein normal atau sedikit lebih tinggi, dan tes antigen bakteri negatif.
Profil CSF dalam obat-induced meningitis aseptik, yang meliputi pleocytosis
neutrofilik. Tes asam nukleat benar diimplementasikan CSF lebih sensitif
dibandingkan kultur dalam mendiagnosis infeksi enterovirus dan memiliki potensi
untuk mengurangi biaya dan pengobatan yang tidak perlu. Temuan lainnya,
termasuk konsentrasi rendah dari tumor necrosis factor (TNF) dan asam laktat,
menambahkan validitas lebih lanjut untuk mendiagnosis aseptik daripada
meningitis bakteri.
3. Haemophilus Meningitis
Sepanjang era modern bakteriologi, Haemophilus influenzae tipe b (Hib) telah
diidentifikasi sebagai 1 dari 3 penyebab paling umum dari meningitis bakteri pada
remaja. 2 lainnya adalah Neisseria meningitidis dan Streptococcus pneumoniae.
Manifestasi awal meningitis, terlihat dalam lebih dari setengah dari semua kasus
meningitis Hib, perubahan pemikiran, mual atau muntah, demam, sakit kepala,
foto fobia, meningismus, iritabilitas, anoreksia, dan kejang. Kemungkinan Hib
meningitis oleh adanya faktor risiko (misalnya, waktu tahun, usia pasien, status
vaksinasi). Manifestasi awal meningitis, terlihat dalam lebih dari setengah dari
semua kasus Haemophilus influenzae tipe b (Hib) meningitis, meliputi: Latergi,
mual atau muntah, demam, sakit kepala, photopobia, meningismus, iretability,
Anoreksia, kejang.
4. Abses Epidural Intrakranial
Abses epidural intrakranial sering memiliki onset berbahaya, dengan gejala
berkembang selama beberapa minggu ke bulan. Tanda dan gejala adalah sebagai
berikut: 11
Biasanya, pasien datang dengan sakit kepala yang baik difus atau lokal ke satu sisi
dengan kelembutan kulit kepala. Sakit kepala mungkin satu-satunya gejala. Pasien
mungkin mengalami demam persisten yang berkembang selama atau setelah
pengobatan untuk sinus atau infeksi telinga tengah. Discharge purulen dari telinga
atau sinus, periorbital bengkak, dan edema kulit kepala. Karena abses epidural

biasanya membesar perlahan, tanda-tanda berikut tidak berkembang sampai


infeksi telah mencapai ruang subdural, sehingga subdural empiema, pasien
mungkin dengan leher pegal, mual, muntah, lesu, dan hemiparesis. Kejang
mungkin menjadi gejala yang pertama dalam beberapa kasus. Gejala dan tandatanda peningkatan tekanan intrakranial (ICP) termasuk mual, muntah, dan edema
papil. Jarang, ketika abses epidural berkembang dekat tulang petrosa dan
melibatkan kelima dan keenam saraf kranial, pasien mungkin dengan gejala nyeri
wajah ipsilateral dan kelemahan otot rektus lateral yang (yaitu, yang disebut
sindrom Gradenigo). Banyak sekali, kulit kepala selulitis, sinusitis, atau patah
tulang tengkorak dapat menarik perhatian dokter sedemikian rupa bahwa
diagnosis abses epidural mungkin terlewatkan.
5. Meningococcal Meningitis
Disebabkan oleh organisme neisseria meningitides, ini merupakan bakteri gram
negative, aerobic. Meningitis meningokokus ditandai dengan onset akut intens
sakit kepala, demam, mual, muntah, fotofobia, dan leher kaku. Lansia cenderung
memiliki kondisi mental yang diubah dan berlangsung lama dengan demam.
Kelesuan atau mengantuk pada pasien sering dilaporkan. Pingsan atau koma
kurang umum. Jika koma hadir, prognosis buruk.
6. Status Epilepticus
Generalized kejang Status epileptikus sering dikenali dengan dokter di samping
tempat tidur ketika aktivitas tonik-klonik khas berirama hadir. Kesadaran
terganggu. Jarang, status epileptikus dapat hadir sebagai kejang tonik persisten.
Papill edema, tanda peningkatan tekanan intrakranial, menunjukkan lesi massa
mungkin atau infeksi otak. Fitur neurologis lateralized, seperti peningkatan tonus,
refleks asimetris, atau fitur lateralized gerakan selama SE itu sendiri, sugestif
kejang dimulai di wilayah lokal otak, dan mereka mungkin menyarankan kelainan
otak struktural. Tersangka Status epileptikus halus atau diubah statusnya
epileptikus dalam setiap pasien yang tidak memiliki peningkatan tingkat
kesadaran dalam waktu 20-30 menit 12 dari penghentian aktivitas kejang umum.
Ekspresi motor aktivitas listrik kortikal abnormal dapat berubah sehingga

secercah kelopak mata atau kedutan ekstremitas adalah satu-satunya tanda


pelepasan listrik umum yang sedang berlangsung. Cedera yang berhubungan yang
mungkin hadir pada pasien dengan kejang termasuk laserasi lidah (biasanya
lateral), dislokasi bahu, trauma kepala, dan trauma wajah.
7. Subdural Empyema
Subdural empyema adalah intracranial yang terisi dengan cairan purulenta
diantara dura mater dan arachnoid. Infeksi yang mengancam jiwa yang pertama
kali dilaporkan dalam literatur sekitar 100 tahun yang lalu. Ini menyumbang
sekitar 15-22% dari infeksi intrakranial fokal. Seorang pasien dengan subdural
empiema bisa memiliki salah satu gejala berikut: Demam - Suhu di atas 38 C
(100,5 F), sakit kepala Awalnya fokus dan kemudian umum, sejarah terkini
(<2 minggu) sinusitis, otitis media, mastoiditis, meningitis, operasi tengkorak atau
trauma, bedah sinus, atau infeksi paru, kebingungan, mengantuk, pingsan, atau
koma, hemiparesis atau hemiplegia, penyitaan - Focal atau umum, mual atau
muntah, penglihatan kabur (amblyopia). Seorang pasien dengan subdural
empiema dapat menunjukkan beberapa tanda-tanda berikut: perubahan status
mental - kebingungan, mengantuk, pingsan, dan koma, tanda tanda
meningismus atau meningeal, hemiparesis atau defisit hemisensory, afasia atau
dysarthria, papilledema dan fitur lain dari peningkatan tekanan intrakranial,
seperti mual / muntah, perubahan status mental, palsi saraf kranial III, V, VI atau,
terutama jika abses dekat bagian petrous dari tulang temporal, menyebabkan rasa
sakit wajah dan kelemahan otot rektus lateral, pupil melebar di sisi ipsilateral
akibat kompresi saraf kranial III.
8. Ensefalitis Virus
Ensefalitis virus biasanya ditandai dengan onset akut dari penyakit demam. Pasien
Dengan ensefalitis virus umumnya mengalami tanda dan gejala iritasi
leptomeningeal (misalnya, sakit kepala, demam, leher kaku). Pasien dengan
ensefalitis virus juga mengembangkan tanda-tanda neurologis fokal, kejang, dan
perubahan kesadaran, dimulai dengan lesu dan maju kebingungan, pingsan, dan
koma. Gangguan perilaku. Gerakan abnormal dapat dilihat tetapi jarang.

Keterlibatan hipotalamus / hipofisis dapat menyebabkan hipertermia atau


poikilothermia.13
Gejala yang berhubungan dengan infeksi virus tertentu. Petunjuk khusus yang
diambil dari riwayat pasien tergantung pada etiologi virus. Temuan klinis
mencerminkan perkembangan penyakit sesuai dengan tropisme virus untuk sistem
saraf pusat yang berbeda jenis sel.
9. Viral meningitis
Beberapa temuan fisik umum pada meningitis viral yang umum untuk semua agen
penyebab. Yang klasik diajarkan, trias meningitis terdiri dari demam, kaku kuduk,
dan perubahan status mental, tetapi tidak semua pasien memiliki semua gejala.
Demam adalah umum (80-100% kasus) dan biasanya berkisar antara 38 -40 C.
Kaku kuduk atau tanda-tanda lain dari iritasi meningeal (Brudzinski atau Kernig
tanda) dapat dilihat di lebih dari setengah dari pasien, tetapi gejala ini umumnya
kurang parah daripada di meningitis bakteri. Pasien anak, terutama neonatus,
cenderung tidak menunjukkan kaku kuduk pada pemeriksaan. Iritabilitas,
disorientasi, dan mengubah pemikiran dapat dilihat. Kelesuan yang parah atau
menggembung ubun pada neonatus adalah tanda peningkatan tekanan intrakranial
tetapi mungkin tidak ada di lebih dari setengah dari semua kasus. Neonatus
mungkin menunjukkan hypotonia, lekas marah. Sakit kepala adalah umum dan
bersifat parah. Fotofobia relatif umum tetapi mungkin ringan. Phonophobia
mungkin juga hadir. Kejang terjadi kadang-kadang dan biasanya akibat dari
demam, meskipun keterlibatan otak parenkim (ensefalitis) harus dipertimbangkan.
Ensefalopati global dan defisit neurologis fokal yang jarang tetapi dapat hadir.
Dalam tendon refleks biasanya normal tetapi mungkin cepat.6
2.2.8. Penatalaksanaan
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yaitu
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid


danrifampisin hingga 12 bulan. Terapi Farmakologis yang dapat diberikan pada
meningitis tuberkulosa berupa :
1. Rifampisin ( R ) 14
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam
2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari,
dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari.
Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi
15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik
pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan
normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat,
sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya
adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya
tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.
2. INH ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasuk
liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki
adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang
biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan
diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam
bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid

terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak
terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan
piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap
100 mg isoniazid.
3. Pirazinamid ( Z ) 15
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid
hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna.
Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari.
Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek
samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anakanak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500mg.
4. Streptomisin ( S )
Efek samping : Gangguan pendengaran dan vestibuler Streptomisin bersifat
bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal
atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini
streptomisin

jarang

digunakan

dalam

pengobatan

tuberkulosis,

tetapi

penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan


MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan
kadar puncak 45-50 g / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik
melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak
yang tidak meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi

melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan
resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung
(tinismus) dan pusing.
Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran
janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
5. Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari
dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol
tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan
baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua
kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna
merahhijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa
pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan
kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca
pengobatan.

Rekomendasi

WHO

yang

terakhir

mengenai

pelaksanaan

tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan


dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB
berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obatobat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan.
Regimen : RHZE / RHZS

REGIMEN DOSIS
INH Dewasa : 10-15 mg/kgBB/hari + piridoksin 50 mg/hari
Anak : 20 mg/kgBB/hari
Streptomisin 20 mg/kgBB/hari i.m selama 3 bulan
Etambutol 25 mg/kgBB/hari p.o selama 2 bulam pertama
Dilanjutkan 15 mg/kgBB/hari
Rifampisin Dewasa : 600 mg/hari Anak 10-20 mh/kgBB/hari
Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan
deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan
perlekatan antara araknoid dan otak. Steroid diberikan untuk:17
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal
Dosis steroid :
Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena selama 2
minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan. Bagan Penatalaksanaan
Meningitis Jika dijumpai tanda klinis meliputi :
1) Panas
2) Kejang
3) Tanda rangsang meningeal
4) Penurunan kesadaran
Cari tanda kenaikan tekanan intra cranial :
1) Muntah
2) Nyeri kepala
3) Ubun-ubun cembung (anak)

2.2.9. Komplikasi
Pada meningitis tuberkulosa, dijumpai eksudat tipis seperti gel pada sekitar
sylvian fissure, sisterna basal, batang otak ,dan serebelum. Hidrosefalus bisa
terjadi sebagai akibat sumbatan pada sisterna basal, aliran keluar ventrikel empat,
atau pada aquaductus serebri. Infark serebri sering terjadi pada sekitar sylvian
fissure dan ganglia basalis. Akumulasi dari eksudat ini umumnya mempengaruhi
saraf kranial. Eksudat meningitis tuberkulosa dapat mengakibatkan penyumbatan
aliran CSF, sehingga terjadi hidrosefalus. Akumulasi eksudat ini juga dapat
menekan chiasma optikum, nervus, dan arteri karotis interna. Eksudat dapat

mengakibatkan terjadinya inflamasi di sepanjang pembuluh darah kecil, dan


menyebabkan proliferasi reaktif pada struktur microvaskular.2 19

DAFTAR PUSTAKA
1. Gofar, A. Neurosurgery Lecture Note.Cerebral Infection.Medan: USU Press;
622-628
2. Lindsay, Bone. Neurology and Neurosurgery Illustrated. Netherland:
Livingstone ; 433-434
3. Andrew, HE. Essential Neurosurgey. Australia: Blackwell; 174-175
4. Razonable RR, Cunha BA. Meningitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall. [Accessed on
January 12th 2013].20
5. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56.
6. Tarakad S Ramachandran. Tuberculous Meningitis Clinical Presentation.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/1166190-clinical#a0256
7.Meningitis.Availablefromhttp://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/01/me
ningitis.pdf
8. Pradhana D. Referat Meningitis. Last Updated 2009. Available from
http://www.docstoc.com/docs/19409600/new-meningitis-edit
9. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson AB. Nelson Textbook of Pediatrics 17th
Edition. Chapter 594: Central Nervous System Infection. United States of
America : Elsevier Science, 2004: 2039-2047
10.Nofareni. Status imunisasi bcg dan faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
Meningitistuberkulosa.Availablefromhttp://library.usu.ac.id/download/fk/anaknof
areni.

Anda mungkin juga menyukai