Anda di halaman 1dari 17

BAB II

DASAR TEORI
2.1 Pemanasan Global
Temperatur bumi bergantung pada keseimbangan energi yang masuk ke bumi, dan
keluar dari bumi. Saat energi panas matahari diserap bumi, suhu permukaan bumi
meningkat. Saat energi panas matahari dipantulkan kembali keluar angkasa, suhu di
permukaan bumi menurun. Salah satu faktor yang menyebabkan terganggunya
keseimbangan energi di sistem bumi kita adalah efek rumah kaca (Environmental
Protection Agency, 2007). Pada dasarnya gas-gas rumah kaca adalah gas-gas yang
secara alami dibutuhkan oleh bumi untuk membantu mengatur suhu di permukaan
bumi agar dapat mendukung kehidupan makhluk hidup. Tanpa adanya gas-gas rumah
kaca maka suhu di bumi akan sangat dingin dan tidak memungkinkan adanya
kehidupan (Environmental Protection Agency, 2007). Namun kondisi yang terjadi
saat ini, emisi karbon yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang
berlebihan, mengakibatkan konsentrasi gas rumah kaca dalam jumlah besar di
atmosfer bumi. Untuk menunjang kelangsungan hidupnya, manusia sangat
bergantung pada bahan bakar fossil. Kegiatan-kegiatan industri khusus-nya di
negara-negara maju, tidak lepas dari kebutuhan akan bahan bakar fosil. Penggunaan
bahan bakar fosil ini meng-emisikan gas-gas rumah kaca yang bisa membahayakan
bila terkumpul dalam jumlah besar. Akibatnya, radiasi yang seharusnya dipantulkan
keluar angksa, terperangkap

oleh gas-gas rumah kaca. Fenomena ini dapat

mengakibatkan kenaikan suhu rata-rata bumi. Peningkatan suhu rata-rata di


permukaan bumi disebut dengan pemanasan global (Environmental Protection
Agency, 2007).
2.2 Gas-gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang berpotensi menjebak radiasi panas matahari
tetap di atmosfer.
Gas gas rumah kaca dihasilkan dari emisi gas buang hasil sisa pembakaran bahan
bakar fosil. Gas rumah kaca terdiri dari :
1.

Karbon Dioksida ( CO2 )

2.

Metana ( CH4 )
8

3.

Nitrous Oksida ( N2O )

4.

Gas gas Florin

Semakin banyak gas gas rumah kaca di-emisikan, semakin banyak konsentrasi gas
rumah kaca yang terperangkap di atmosfer mengakibatkan radiasi yang terjebak
semakin banyak dan terus mengakibatkan peningkatan suhu di permukaan bumi di
atas normal (Environmental Protection Agency, 2007). Fenomena ini dinamakan
Efek rumah kaca. Gambar 2.1 menunjukan proses terjadinya efek rumah kaca.

Gambar 2.1 Ilustrasi efek rumah kaca (IPCC 2007)

2.2.1

Karbon Dioksida

Karbon dioksida merupakan gas yang paling banyak diemisikan oleh manusia. Pada
tahun 1700, konsentrasi karbon dioksida yang terdapat pada lapisan atmosfer bumi
diperkirakan sebesar 280 ppm (parts per million). Sekarang, konsentrasi gas Karbon
dioksida yang terdapat pada lapisan atmosfer bumi diperkirakan sebesar 390 ppm
(Pidwirny, 1994). Kenaikan konsentrasi gas karbon dioksida yang cukup drastis ini
disebabkan karena adanya revolusi industri. Dari keseluruhan konsentrasi gas karbon
dioksida yang terdapat pada lapisan atmosfer bumi, 65 % adalah hasil emisi bahan
bakar fosil. 35 % sisanya, berasal dari penebangan hutan dan peralihan fungsi hutan
9

(Solomon, 2007). Salah satu upaya alami untuk mengurangi jumlah karbon dioksida
di atmosfir adalah penyerapan gas tersebut oleh oleh vegetasi tumbuhan.
2.2.2

Stok Karbon

Pengamatan terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan oleh peningkatan level


CO2 di atmosfir menimbulkan perhatian serius terhadap peran tutupan lahan sebagai
penyimpan karbon atau dikenal sebagai stok karbon. Beberapa tutupan-lahan
memegang peranan yang sangat penting dalam siklus karbon global karena dapat
menyimpan sejumlah korbon pada biomassa vegetasi dan tanah (Pusat Infrastuktur
data Spasial, 2008). Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan
dengan (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah
cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi
pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat
tumbuh (Sedjo and Salomon,1988). Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan
dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan
cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Lasco et al.,
2004).

Stok karbon merupakan kuantitas carbon yang terkandung pada sebuah pool yaitu
suatu reservoir atau sistem yang memiliki kapasitas untuk mengakumulasi atau
melepaskan karbon (FAO Forestry Terms and definitions).
Mengukur stok karbon meliputi stok karbon diatas tanah (Aboveground biomass )
dan karbon tanah. Pada dasarnya cadangan karbon diestimasi dari besarnya biomasa
suatu pohon, yaitu sebesar 46% dari jumlah biomassa (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Menurut Baral, (2011) biomassa dapat diartikan sebagai berat kering dari tumbuhan,
yang terdiri dari biomassa di atas tanah (above ground biomass biasa disingkat AGB)
dan biomassa di bawah tanah (below ground biomass biasa disingkat BGB). AGB
adalah biomassa dari semua bagian tumbuhan yang berada di atas tanah, sedangkan
BGB adalah biomassa dari akar-akar hidup yang berdiameter lebih dari 2 mm.
Karbon dioksida yang diserap oleh tumbuhan disimpan dalam AGB dan BGB,
namun penyimpanan terbesar karbon dioksida dan memiliki hubungan langsung
pada deforestasi dan degradasi hutan terdapat pada AGB (Gibbs, et al., 2007).
10

Biomassa pohon diestimasi dengan menggunakan perhitungan yang ditunjukan pada


persamaan (1) sebagai berikut (Brown, 1997) :

BK

= 0,118 D 2,53.(1)

Dimana
BK = Berat kering (kg)
D = keliling batang pada ketinggian 1,3 m/
= 3.14155927
Konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya sekitar 46% (Hairiah dan Rahayu,
2007), oleh karena itu estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung dengan
perhitungan yang tertera pada persamaan (2):
Karbon tersimpan (C ton/ha) = Berat kering biomassa atau nekromassa (ton/ha) x
0,46(2)
Dalam pendugaan cadangan karbon pada tegakan pohon, dibuat plot pengukuran
yang dibagi berdasarkan besarnya diameter pohon. Untuk pohon dengan diameter >
30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 20 x 100 m2 (disebut sebagai plot
besar), sementara untuk pohon dengan diameter 5 30 cm pengukuran dilakukan
pada plot berukuran 5 x 40 m2 yang terletak di dalam plot besar (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Plot pengukuran data stok Karbon pengukuran lapangan (PIDS 2008)

Selanjutnya Dilakukan pengukuran keliling pohon dengan cara melilitkan pita ukur
disekeliling pohon pada ketinggian 1,3 m dari atas permukaan tanah (Gambar 2.3).

11

Gambar 2.3 Pengukuran Sampel Pohon (PIDS 2008)

Hasil pengukuran keliling batang kemudian dikonversi menjadi diameter batang


(diameter at breast height/dbh) (diameter = keliling batang/ ).
Perhitungan stok karbon pada penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh
dengan satelit Landsat-5 TM yang merupakan satelit Optis sehingga hanya dapat
memantau stok karbon di atas tanah. Namun konsentrasi karbon dioksida yang
disimpan biomassa atas tanah lebih dominan jika dibandingkan cadangan karbon
dibawah tanah (PIDS, 2008). Menurut Hairiyah (2007), pengukuran jumlah karbon
(C) yang disimpan dalam tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat
menggambarkan banyaknya karbon

di atmosfer yang diserap oleh tanaman.

Sehingga informasi stok karbon, dapat dijadikan suatu indikator pertumbuhan,


kondisi, dan potensi dari tumbuhan itu sendiri dalam menyerap karbon (Krisnawati
& Imanudin, 2011).

2.3 Landsat 5 TM
Landsat pada awalnya disebut dengan nama ERTS-1 (Earth Resource Technology
Satellite) yang diluncurkan pada tanggal 23 juli 1972 yang mengorbit hingga 6
Januari 1978 tepat sebelum peluncuran ERTS-B. Tanggal 22 Juli 1975, NASA secara
resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat sehingga ERTS-1
berubah menjadi Landsat 1 dan ERTS-B berubah menjadi Landsat 2. Landsat 2
berhenti beroperasi pada tahun 1981. Landsat 3 diuncurkan pada tanggal 5 Maret
1978 dan berhenti beroperasi pada tahun 1983. Landsat 4 diluncurkan pada Juli 1982
dan landsat 5 pada maret 1984. Landsat 4 berhenti beroperasi pada tahun 1993.
12

Landsat 6 gagal mencapai orbit karena terjadi kecelakaan yang dicoba diluncurkan
pada tanggal 5 Oktober 1993. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999.
Landsat 5 TM diluncurkan pada 1 Maret 1984. Landsat 5 dibuat dan didesain
bersamaan dengan Landsat 4, membawa peralatan yang sama yaitu Multispectral
Scanner System (MSS) dan Thematic Mapper (TM) instrumen. MSS instrumen tidak
digunakan lagi sejak Agustus 1995. Sistem sensor TM pertama dioperasikan pada
tanggal 16 Juli 1982 dan yang kedua pada tanggal 1 Maret 1984. Lebar sapuan
(scanning) dari sistem Landsat TM sebesar 185 km, yang direkam pada tujuh saluran
panjang gelombang dengan rincian; 3 saluran panjang gelombang tampak, 3 saluran
panjang gelombang inframerah dekat, dan 1 saluran panjang gelombang termal
(panas).

Sensor TM memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra multispektral

dengan resolusi spasial, spektral dan radiometrik yang lebih tinggi daripada sensor
MSS. Dalam penelitian ini, data penginderaan jauh yang digunakan adalah data citra
satelit penginderaan jauh dari Satelit Landsat 5 TM band 1, 2, 3, 4, 5, dan band 7.
Tabel 2-1 berupa penjabaran band citra Landsat-5 TM berdasarkan rentang spektrum
gelombangnya :

Table 2-1 Band Citra Landsat-5 TM (Sumber NASA)


No

Band

Spektrum

Band 1 blue

Band 2 - green

Band 3 red

Band 4 - Near Infrared

0.77-0.90

Band 5 Short-wave Infrared

1.55-1.75

Band 6 Thermal Infrared

10.40-12.50

Band 7 Short-wave Infrared

2.09-2.35

0.45-0.52
0.52-0.60
0.63-0.69

2.4 Teknik Perhitungan Stok Karbon dengan Citra Landsat 5 TM


Untuk menghitung daerah dengan cakupan yang luas, teknik penginderaan jauh
efektif dilakukan. Salah satu metode penginderaan jauh dalam perhitungan stok
karbon adalah dengan menggunakan data citra dari sensor optis. Menurut Gibbs, et
al., (2007) konsep dasar dari penggunaan metode penginderaan jauh optis adalah
13

dengan memanfaatkan gelombang tampak dan inframerah untuk mengukur indeks


spektral lalu dikorelasikan dengan data stok karbon hasil pengukuran lapangan.
Keuntungan dari metode ini ialah data citra satelit optis yang tersedia secara rutin
dan tidak dikenakan biaya serta konsisten secara global. Dalam penelitian ini,
digunakan indeks spektral SR, NDVI, SAVI, MSAVI 2, GVI, WI, dan NDWI
(sebagai variabel bebas) untuk dilakukan regresi (tunggal dan multiregresi) terhadap
data stok karbon hasil pengukuran lapangan. Output dari proses regresi tersebut
adalah model matematika untuk pendugaan stok karbon. Teknik-teknik pengolahan
citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini, akan dijelaskan pada sub-bab
berikut:
2.4.1

Reduksi Outlier

Outlier adalah data pengamatan dengan nilai yang berada jauh dari pengamatanpengamatan yang lainnnya. Secara umum outliers dapat dikelompokan ke dalam 4
penyebab (Tukey, 1977) ,yaitu :
1.

Kesalahan prosedur

2.

Kejadian diluar kebiasaan dengan penjelasan

3.

Kejadian diluar kebiasaan tanpa penjelasan

4.

Tidak diluar kebiasaan tapi dengan kombinasi yang unik

Pada penelitian ini Outlier di evaluasi dengan cara Labeling Rule. Metode Labeling
rule membatasi data dalam 2 rentang yaitu Upper boundary dan Lower boundary,
yang dihitung pada persamaan (3) dan (4) sebagai berikut (Tukey, 1977) :
Upper boundary = Q3+( Q3 Q1 )*g.(3)
Lower boundary = Q1-( Q3 Q1 )*g .(4)
Dimana Q1 merupakan Percentile 75 dari data pengamatan, Q3

merupakan

Percentile 25 dari data pengamatan, dan g merupakan multiplyer dengan nilai 2.2.

2.4.2 Penghilangan Daerah Laut


Salah satu sumber error dari proses pengolahan citra satelit adalah adanya daerah
lautan pada citra. Hal ini menyebabkan eror dikarenakan nilai digital number yang
14

ada pada daerah yang di tutupi oleh laut menjadi sangat rendah, dimana nilai digital
number ini tidak dibutuhkan karena penelitian terfokus di daerah daratan. Karena itu
perlu dilakukan proses penghilangan daerah laut dengan cara dijitasi daerah yang
diliputi laut sehingga hanya menyisakan daerah daratan.

2.4.3 Koreksi Radiometrik


Pada saat gelombang elegtromagnetik dari sebuah sensor melintasi atmosfer, dapat
terjadi beberapa fenomena yang menyebabkan gangguan pada proses perekaman
citra seperti hamburan dan serapan (dimana fenomena ini menyebabkan citra tampak
lebih cerah karena efek hamburan, dan lebih gelap karena efek serapan). Kondisi ini
menyebabkan nilai yang terekam oleh citra satelit, bukan merupakan nilai
sebenarnya (Sri Hartanti. 1994).
Oleh karena perbedaan informasi itu, harus dilakukan suatu koreksi yakni dengan
mengubah nilai digital setiap piksel (DN) ke nilai reflektan untuk setiap piksel pada
citra satelit agar dapat dibaca dengan jelas dan di-interpretasikan sesuai kegunaan
citra yang dipakai (Gao, 2009). Koreksi radiometrik juga diperlukan karena
pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi stok karbon berdasarkan nilai
spektral citra dimana diperlukan nilai reflektansi yang akurat dari suatu objek di
permukaan bumi.

Untuk mengubah DN ke nilai reflektan, maka DN harus diubah ke nilai radiansi


terlebih dahulu, setelah itu nilai radiansi dikonversi ke nilai reflektansi (Smith,
2005). Radiansi didapatkan dari DN dengan perhitungan yang ditunjukan pada
persamaan (5) sebagai berikut:

. ( ) + (5)

Dimana L adalah nilai radiansi setiap piksel dalam (W m-2sr-1m-1), adalah


band spektral, DNMIN = 1, DNMAX = 255, LMIN dan LMAX adalah nilai
radiansi untuk setiap band pada DNMIN dan DNMAX. Dan DN merupakan nilai
digital untuk setiap piksel pada citra satelit. citra satelit. Nilai LMIN dan LMAX
dalam (W m-2 sr-1 m-1) untuk data citra Satelit Landsat TM 5 band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7
yang didapat dari file metadata citra tersebut, ditampilkan pada tabel 2-2.
15

Nilai radiansi diubah menjadi nilai reflektansi dengan persamaan (6):

. . 2

.cos ( )

(6)

Dimana adalah nilai reflektansi pada lapisan atas atmosfir untuk setiap piksel pada
citra, L adalah nilai radiansi diperoleh dari persamaan 2.7, Esun adalah konstanta
radiansi exoatmosferik matahari, s adalah sudut zenith matahari dalam derajat,
sebesar 3.14159 dan d adalah jarak bumi-matahari dalam unit astronomi (UA). Pada
tabel 2-2, disajikan nilai-nilai konstanta dalam perhitungan nilai reflektansi untuk
data citra satelit Landsat band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang didapatkan dari file metadata
masing-masing citra tersebut:

Tabel 2-2 Nilai-nilai konstanta perhitungan nilai reflektansi


(Sumber: file metadata masing-masing citra)

2.4.4

Band

Esun

d2(UA)

1957

1.3042

1829

1.3042

1557

1.3042

1047

1.3042

219.3

1.3042

74.52

1.3042

cos s
0.72424
0.72424
0.72424
0.72424
0.72424
0.72424

Lmax

Lmin

193

-1.52

365

-2.84

264

-1.17

221

-1.51

30.2

-0.37

16.5

-0.15

Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik adalah koreksi pada proses transformasi koordinat citra ke sistem
koordinat referensi baru yang dianggap benar secara geometris. Proses ini dilakukan
karena masih adanya kesalahan pada geometri citra, yang belum merepresentasikan
geometri sebenarnya dari sebuah lokasi pengamatan.
Kesalahan geometrik terjadi karena adanya kondisi tidak ideal pada sebuah sensor
ketika merekam objek dilapangan. Akibatnya ukuran, posisi dan bentuk citra menjadi
tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Dibutuhkan bantuan titik control
tanah ( Ground Control Point ) sebagai titk sekutu (titik yang diketaui koordinatnya
pada sistem referensi yang juga teridentifikasi pada citra) untuk melakukan proses
transformasi koordinat pada citra Landsat 5 TM. Proses transformasi ini akan
16

menggunakan model transformasi affine-2D. Transformasi Affline 2D digunakan


sebagai persamaan matematika untuk mentransformasikan nilai-nilai koordinat dari
suatu sistem koordinat dua dimensi ke sistem koordinat dua dimensi lainya. Pada
penelitian ini digunakan datum WGS 1984 dan sistem proyeksi UTM zona 48 bumi
bagian selatan sebagai sistem koordinat acuan.

Persamaan dari transformasi affine-2D ditunjukan pada persamaan (7) dan (8)
(Soedomo & Sudarman, 2004):
= + + 1 .(7)
= + + 2 .(8)

Dimana (X,Y) adalah koordinat baru sebuah titik pada sistem koordinat setelah
transformasi, (x,y) adalah koordinat titik pada sistem koordinat sebelum
transformasi, serta a, b, c, d, C1, dan C2 adalah parameter transformasi. Untuk
mendapatkan ke-enam parameter transformasi, dibutuhkan minimal 3 titik sekutu.

Setelah dilakukan proeses tranformasi koordinat pada citra, ke sistem referensi baru
yang dianggap benar secara geometris, dilakukan perhitungan nilai standar deviasi,
sebagai parameter tingkat ketelitian geometris dari data GCP yang kita gunakan
(Ramadhani, 2010).

Persamaan untuk perhitungan nilai standar deviasi ditunjukan pad persamaan (9)
(11) berikut:
( )2
= =1
. (9)

=

=1 ( )2
. . (10)

, = 2 + 2 (11)

17

Dimana (X,Y) adalah koordinat citra hasil koreksi geometrik, (, ) adalah


koordinat titik kontrol tanah pada bidang referensi, n adalah jumlah pengamatan, u
adalah jumlah parameter, X adalah standar deviasi komponen X, Y adalah standar
deviasi komponen Y, dan X,Y adalah standar deviasi resultan.
Untuk validasi ketelitian dari koreksi geometrik yang kita lakukan, dibutuhkan titik
Independent Check Point (ICP) yang diletakan secara merata didalam kawasan
cakupan GCP pada citra yang dikoresi. Tingkat ketelitian dari ICP dapat ditentukan
oleh nilai dari akar kuadrat kesalahan rata-ratanya (Root Mean Square Error biasa
disingkat RMSE). Perhitungan RMSE dari ICP tertera pada persamaan (12):

=1( )2 + ( )2

.(12)

,
Dimana (X,Y) adalah koordinat citra hasil koreksi geometrik, (X
Y) adalah koordinat

titik kontrol tanah pada bidang referensi, dan n adalah jumlah pengamatan.

Keberhasilan proses koreksi geometrik dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai
standar deviasi GCP dan RMSEICP -nya. Secara umum nilai-nilai tersebut kurang dari
satu pada setiap pixel. Apabila nilainya lebih besar dari satu, maka terdapat
kemungkinan bahwa citra tersebut masih mengalami distorsi (Purwadhi & Santojo,
2008).

2.5

Vegetation Index (VI)

Indeks Vegetasi merupakan kombinasi pengukuran dua atau lebih band spectral dari
spektrum gelombang elegtromagnetik yang berbeda untuk menghasilkan informasi
tentang tutupan lahan di permukaan bumi (Campbell, 1996). Indeks vegetasi yang
diperoleh dari citra satelit, merupakan salah satu sumber informasi penting untuk
memonitor kondisi sebuah

vegetasi. Suatu Vegtasi dikatakan subur, jika

mengandung clorophil (Zat hijau daun) dalam jumlah besar sehingga aktif
berfotosintesis atau dengan kata lain, aktif menyerap karbon. Fenomena penyerapan
cahaya merah oleh klorofil (0.4 m 0.7 m) pada vegetasi dan pemantulan cahaya
inframerah dekat oleh jaringan mesofil (0.7 m 1.1 m) pada daun akan membuat
18

nilai kecerahan yang diterima sensor berbeda (Sudiana & Diasmara, 2008). Sebuah
satelit remote sensing, bisa mendeteksi seberapa optimal suatu tumbuhan menyerap
karbon, dikarenakan adanya karakteristik yang berbeda pada saat tumbuhan dalam
menyerap dan memantulkan spectrum gelombang tertentu (NIR dan RED) pada
gelombang yang dipancarkan oleh sensor satelit.

Pada penelitian ini digunakan beberapa indeks vegetasi dalam pendekatan


perhitungan cadangan karbon yaitu : Simple Ratio (SR), Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), Modified Soil
Adjusted Vegetation Index 2 (MSAVI 2), Green Vegetation Index (GVI).
2.5.1

Simple Ratio Vegetation Index (SR)

Simple Ratio Vegetation Index (SR) pertama kali dikembangkan oleh Jordan (1969).
Simple Ratio memanfaatkan perbedaan karakteristik antara tumbuhan subur dan
tidak subur, ketika bereaksi pada radiasi spektrum gelombang NIR dan RED. Dari
fenomena tersebut, dibuat rasio dengan melakukan perbandingan NIR dan RED dari
sebuah citra yang terekam. Kelebihan dari metode ini adalah mengurangi pengaruh
efek atmosfer dan efek dari topografi. Kekurangan dari indeks vegetasi SR adalah
mudah tersaturasi di daerah dengan densitas vegetasi yang padat. Range nilai dari SR
mulai dari 0 sampai 30.

2.5.2 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)


Normalized Difference Vegetation Index diperkenalkan oleh Rouse et al. (1974)
dengan tujuan memodifikasi indeks Simple Ratio (SR) dimana indeks Simple Ratio
menunjukan nilai yang terlalu besar untuk daerah dengan densitas vegetasi tinggi.
Indeks ini menggunakan rasio antara band NIR dan RED dengan persamaan yang
dinormalisasi. NDVI merupakan indeks vegetasi yang paling banyak digunakan
karena kemampuanya untuk meminimalisir kesalahan akibat buruknya kondisi
topografi. NDVI juga disukai karena perhitunganya yang linear dan sederhana. Skala
NDVI memiliki rentang -1 sampai 1, dimana nilai 1 menunjukan daerah yang kaya
akan vegetasi, nilai 0 menunjukan keadaan sangat sedikit vegetasi, dan nilai -1
menunjukan daerah bukan vegetasi.

19

2.5.3 Soil-Adjusted Vegetation Indices (SAVI )


Area dengan kondisi vegetasi yang minim, menonjolkan warna tanah yang cukup
dominan. Hal ini bisa menyebabkan kesalahan pada proses perhitungan yang
melibatkan indeks vegetasi. Soil-Adjusted Vegetation Index (SAVI) diperkenalkan
oleh Huete (1988). SAVI merupakan modifikasi dari NDVI. SAVI bertujuan untuk
meminimalisir kesalahan dari variasi warna tanah dengan melibatkan faktor koreksi
L pada persamaan umum NDVI. Faktor koreksi L bervariasi tergantung dari
karakteristik reflektansi dari tutupan vegetasi. Untuk daerah dengan tingkat densitas
vegetasi yang sangat rendah, dipilih nilai faktor koreksi L sebesar 1. Untuk daerah
dengan tingkat densitas vegetasi yang sangat tinggi, dipilih nilai faktor koreksi L
sebesar 0.25. Faktor koreksi L= 0.5 paling banyak digunakan karena dapat
mengakomodasi daerah vegetasi rendah dan tinggi. Pada penelitian ini, dipilih faktor
koreksi 0.5 (Champagne, 2001).
2.5.4 Modified Soil-Adjusted Vegetation Indices 2 (MSAVI- 2)
Modified Soil-Adjusted Vegetation Indices (MSAVI-1 and

MSAVI-2)

doperkenalkan pertamakali oleh Qi et al. (1994) adalah indeks vegetasi yang berbasis
dari modifikasi faktor koreksi L dari SAVI. Kedua Indeks Vegetasi ini, bertujuan
untuk memperbaiki tingkat kecerahan warna tanah dari tutupan vegetasi yang
berbeda. Faktor koreksi L mengalami penurunan nilai pada vegtasi dengan densitas
rendah dan sedang (Qi, et al., 1994). MSAVI-2, memodifikasi faktor koreksi L untuk
memperbaiki noise warna tanah yang tidak terkoreksi pada NDVI dan memperbaiki
akurasi nilai pada vegetasi dengan densitas tinggi.

2.5.5 Green Vegetation Index (GVI)


Green Vegetation Index ditemukan oleh Kauth and Thomas pada tahun 1976 terdiri
dari persamaan linear yang memiliki koefisien positif pada spectrum gelombang
tampak dan koefisien negatif pada gelombang infrared dekat yang diperkirakan dapat
meminimalisir efek dari warna tanah dan lebih sensitif terhadap zat hijau daun.
Pada tabel 2-3, disajikan formula perhitungan matematis indeks vegetasi yang
digunakan:

20

Table 2-3 Persamaan Indeks Vegetasi (Sumber: Fazel Amiri, 2009)


Vegetation Index
SR

Equation

Reference

(NIR/RED)

Tucker, 1979

NDVI

(NIR-RED)/(NIR+RED)

Tucker, 1979

SAVI

1.5(NIR-RED)/(NIR+RED+0.5)

Qi et al., 1994

(2NIR+1-[(2NIR+1)2-8(NIR-RED)]0.5)/2

Qi et al., 1994

MSAVI 2

GVI

BG-G-R+NIR+MIR-SWIR

Kauth and Thomas


(1976)

2.5.6 Water Band Index


Water Band Index adalah Index yang menggambarkan kondisi kadar air pada suatu
wilayah.Water Index digunakan dalam penelitian ini, untuk mengakomodasi
pengaruh kadar air yang terdapat pada suatu vegetasi, terhadap citra yang terekam.
Aspek ini menjadi penting karena semakin tinggi kadar air pada suatu vegetasi,
mengindikasikan kondisi vegetasi yang lebih sehat (Penuelas, Serrano, & R.Save,
1995).
Pada penelitian ini digunakan 2 pendekatan water band index dalam pendugaan
cadangan karbon yaitu: Water Index (WI), dan Normalized Difference Water Index
(NDWI).

2.5.7 Water Index (WI)


Jumlah air yang meningkat, secara drastis menyerap gelombang NIR dan MID
Infrared yang mengakibatkan citra tampak lebih gelap ( (Environmental Protection
Agency , Queensland). Water Index menggunakan rasio reflektansi dari NIR dan
Shortwave Infrared, untuk mengkalkulasi absorsi dan penetrasi cahaya pada
permukaan air, sehingga dapat mengestimasi kadar air pada wilayah yang direkam
(Gao, 1995).

21

2.5.8 Normalized Difference Water Index (NDWI)


Normalised difference water index (NDWI) diperoleh dengan menggunakan prinsip
yang sama dengan perhitungan NDVI. Pada NDVI, daerah vegetasi dan tutupan
lahan ditampilkan, dimana daerah perairan tampak lebih gelap dikarenakan
perbedaan karakteristik dalam memantulkan radiasi gelombang (McFeeters 1996).
Sebaliknya pada NDWI menunjukan dominasi dari daerah perairan karena
penggunaan spectrum gelombang Green pada rentang (1.55 1.75 m),
memaksimalkan reflektansi air oleh objek yang terekam.
Pada tabel 2-4, disajikan formula perhitungan matematis tiap-tiap Water band indeks:

Table 2-4 Water Band Index (Sumber: Fazel Amiri, 2009)


Water Index

2.6

WI

Equation
(NIR/RED)

Reference
Serrano et all,
2000

NDWI

(Green-NIR)/(Green+NIR)

Serrano et all,
2000

Perhitungan Stok Karbon dengan pendekatan Regresi

Analisis regresi merupakan analisis yang mempelajari bagaimana membangun


sebuah model fungsional dari data untuk dapat menjelaskan ataupun meramalkan
suatu fenomena alami atas dasar fenomena yang lain (Soemartini, 2007).
Tujuan utama dari analisis regresi adalah Gujarati (2006):
1.

Membuat estimasi rata-rata dan nilai variabel tergantung dengan


didasarkan pada nilai variabel bebas.

2.

Untuk meramalkan nilai rata-rata variabel bebas dengan didasarkan pada


nilai variabel bebas diluar jangkaun sample

Regresi digunakan untuk memodelkan hubungan antara variable terikat (Dependent


Variabel) dengan variabel bebas (Independent Variabel). Variabel bebas (atau
variabel tidak bergantung atau independent atau predictor atau X) merupakan
variabel yang berubah-ubah tanpa adanya pengaruh variabel atau variabel-variabel
22

yang lain. Perubahan yang terjadi pada variabel bebas akan mengakibatkan
perubahan pada variabel terikat. Variabel tidak bebas (atau variabel terikat atau
dependent atau Y) merupakan variabel yang hanya akan berubah jika terjadi
perubahan pada variabel bebas. Kedua jenis variabel tersebut dapat saling
berhubungan satu sama lainya atau tidak. Bentuk hubungan antara variabel bebas (X)
dan variabel terikat (Y) dapat berupa hubungan negatif atau positif dan hubungan
linear atau nonlinear (Soemartini, 2007).

Hubungan linear dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan linear
ditunjukan pada persamaan (13) (Mason, 1996.) :
Y = a + b1x1.,, (13)
Hubungan linear lebih dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan
linear ditunjukan pada persamaan (14):
Y = a + b1x1 + b2x2 bnxn +..... (14)

Hubungan non-linear dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan
eksponensial ditunjukan pada persamaan (15):
Y = exp (b0 + b1*X1)...(15)
Hubungan non-linear lebih dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk
persamaan exponential ditunjukan pada persamaan (16):
Y = exp (b0 + b1*X1+ b2*X2+... + bn*Xn).(16)
Dimana :
x, x1, x2..xk = variabel-variabel
a, b1, b2..bk = bilangan konstanta koefisien variabel

Untuk keperluan evaluasi seberapa baik korelasi antara variabel-variabel yang


digunakan, dihitung koefisien determinasi (R-square atau R2). Nilai R2 memiliki
rentang dari 0 sampai 1. Semakin mendekati 1 nilai sebuah R2 dari model
matematika hasil perhitungan regresi, semakin baik kualitas model tersebut. R2
23

bernilai 0 artinya variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan untuk
persamaan regresi tidak saling berkorelasi. Pada persamaan (17) ditunjukan
persamaan umum perhitungan nilai R2 adalah (Anto dan Dajan, 1991):

R2 =

b1 x1 y + b 2 x 2 y

.. (17)

Dimana :
x, x1, x2..xk = variabel-variabel
a, b1, b2..bk = bilangan konstanta koefisien variabel

Pada penelitian ini dilakukan proses regresi linear tunggal, regresi exponential
tunggal, multiregresi linear, dan multiregresi exponential untuk dibuat model
matematika pendugaan stok karbon.

24

Anda mungkin juga menyukai