Anda di halaman 1dari 7

Budaya Aceh

Senjata Tradisional

• Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih
dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan Bismillah . Rencong termasuk dalam kategori
dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).

• Sikin Panyang (Pedang) adalah Pedang digunakan sebagai senjata untuk menyerang.Jika rencong
digunakan untuk menikam, maka pedan g digunakan beriringan dengan itu, yaitu sebagai senjata .

• Klewang adalah klewang mirip golok dengan bilah agak melengkung dan ujung bilah berbentuk
segitiga kurang lebih 60 derajat panjang nya antara 40-55 cm lebar antara 3, 5-5 cm ketajaman
pada lengkung luar. Bergagang kayu, namun terkadang tanduk. Tidak memiliki lengkung yang
berguna menahan tangan dari terlepas digagang.

• Peudeung oon Teubee

Rumah Tradisional

Rumoh Aceh

Rumoh Aceh merupakan rumah tradisional Aceh yang menjadi bangunan induk Museum Negeri di kota
Banda Aceh. Dibuat pada tahun 1914 untuk Gelanggang Pameran di Semarang, Jawa Tengah. Kemudian
dibawa pulang ke Banda Aceh tahun 1915 oleh Gubernur Van Swart (Belanda) yang kemudian dijadikan
museum hingga kini. Bangunan ini berupa sebuah rumah panggung yang berpintu sempit namun
didalamnya seluruh ruangan tersebut tidak bersekat.
Dengan tampilan luar hitam pekat diseling ornamen berwarna cerah khas Aceh, bangunan ini menyimpan
beberapa koleksi keramik dan lukisan pahlawan Aceh. Saat memasukinya akan terasa suasana tradisi
yang kental. Bagaimana tata ruang rumah tradisional Aceh sangat terasa. Mulai dari penataan ruang
pertemuan, ruang tidur, dapur dan penyimpanan perabot sehari-hari. Tentu saja hal ini akan sulit dijumpai
kini.

Namun selepas bencana Tsunami dua tahun silam, banyak yang mengadopsi gaya rumah panggung ini.
Mungkin ada yang terpikir kalau Tsunami melanda lagi akan jauh lebih aman dengan tipe bangunan
seperti ini. Tentu harus dipertimbangkan pondasi yang lebih kokoh, tak lagi dari sebatang kayu.
Bagaimanapun kearifan masa lalu selalu menawarkan sebuah medium perenungan. Untuk selalu
bercermin diri dan terus belajar bertegur sapa akrab dengan alam.

Tarian

• Tari Bines, dari Gayo • Tari Rapai Geleng


• Tari Guel, dari Gayo • Tari Rateb Meuseukat
• Tari Laweut • Tari Saman
• Tari Likok Pulo • Tari Seudati
• Tari Pho • Tarek Pukat
• Tari Ranup Lampuan

Pakaian Adat Aceh

Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernik yang biasa selalu dikenakan pada acara-
acara tertentu. Pernik-pernik tersebut antara lain:

Keureusang

Keureusang adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada
yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian.
Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir.
Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan
barang mewah d an yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.
Phatam Dhoe

Phatam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibu at dari emas ataupun dari
perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. Patam Dhoeterbuat dari perak sepu h emas.
Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat
ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad motif ini
disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

Peuniti

Peuniti ialah Seuntai Peun iti yang terbuat dari emas; terdiri dari t iga buah hiasan motif Pinto Aceh.
Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga.
Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh
ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh.
Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.

Simplah

Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24
buah lempenga n segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan
ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah.

Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantai Simplah mempunyai ukuran
Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.

Subang Aceh
Subang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan
permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing.

Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini
disebut juga subang bungong mata uro.

Taloe Jeuem

Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk
rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait
berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di
baju.

Makanan Khas
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik kare kambing yang
lezat, Gulee Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie
yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa asal serta bolu manis asal Peukan Bada,
Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi NAD.

Pemerintahan
Daerah Tingkat II
Daerah Tingkat II Sejak tahun 1999, Nanggroe Aceh Darussalam telah mengalami beberapa pemekaran
wilayah hingga sekarang mencapai 4 pemerintahan kota dan 17 kabupaten sebagai berikut :

Daftar Gubernur

No. Periode Nama Gubernur Keterangan


1 1945 - 1946 Teuku Nyak Arif
2 1947 - 1948 Teuku Daud Syah
3 1948 - 1951 Daud Beureuh Gubernur Militer
4 1951 - 1952 Danu Broto
Teuku Sulaiman
5 1952 - 1953
Daud
6 1953 - 1955 Abdul Wahab
7 1955 - 1956 Abdul Razak
Prof. Dr. Ali
8 1957 - 1964
Hasyimi
9 1954 - 1966 Nyak Adam Kamil
10 1966 - 1967 H. Asbi Wahidi
11 1968 - 1978 A. Muzakir Walad
12 1978 - 1981 A. Madjid Ibrahim
13 1981 - 1986 Hadi Thayeb
Prof. Dr. Ibrahim
14 1986 - 1991
Hassan
Prof. Dr. Ibrahim
15 1991 - 1993
Hassan
Prof Dr Syamsudin
16 1993 - 21 Juni 2000
Mahmud
21 Juni 2000 -
18 Ramli Ridwan Pejabat Gubernur
November 2000
November 2000 - 19 Nanggroe Aceh Darussalam, diberhentikan sementara
17 Abdullah Puteh
Juli 2004 sejak 26 Desember 2004
Plt Azwar Abubakar, mengantikan Abdullah Puteh yang
18 19 Juli 2004 - Azwar Abubakar
dipenjara 10 Tahun karena kasus korupsi

Pahlawan
Perempuan: Pria:

• Cut Nyak Dhien • Sultan Iskandar Muda


• Cut Nyak Meutia • Teungku Chik Di Tiro
• Laksamana Malahayati • Teuku Umar
• Pocut Baren • Panglima Polem
• Teungku Fakinah • Teuku Nyak Arif

Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang
bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah Pahlawan (baik pria maupun wanita), serta
bukti-bukti lainnya (sembilan jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang
pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).

Sejarah
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal
Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam,
kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Sri
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang.

Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan den gan
Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana)
sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat
terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk
mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi. Pada
abad ke 16, Ratu Inggeris Elizabeth I, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan
Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta
seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di
Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh.
Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan
surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang
Kaya Putih". Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggeris dan Scotlandia.
Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini
masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James. Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits
-pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh
Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke
Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal
sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid
sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri
oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang
Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam
beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernard suami
mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran
Ottoman yang berkedudukan di Konstantinompel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka
utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi
sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka
diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun
sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap
dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal
dengan nama Meriam Lada Sicupak.

Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh. Kerajaan
Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula
bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam
perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai
hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat
menggemari benda-benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan
Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini
Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang
mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk
memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih
dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu
tetamu-tetamunya. Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus
menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah
kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil
Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau
merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6
bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang
beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita.

Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang
menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa
kejayaan wanita di Aceh. Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan
kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam
perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib
Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu
sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh
dan Belanda. Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera.
Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Daud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masijd Indra Puri. Sultan M.
Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta
Ibondanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di
luluhlantakkan dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur.
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-
wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam,
sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar
tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah
membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian
pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik
pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA, sebuah organisasi anti-Belanda.
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk,
Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur
Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan). Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia
Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh
pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata
pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk
mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para
ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang.

Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada
tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944. Sejak tahun
1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan
Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia
akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut. Pada
26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir
barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa. Disamping itu telah
muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk
memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 propinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri
dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil. Serta Aceh Barat Selatan
atau ABAS yang terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan
Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri
ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan dilanjutkan dengan unjukrasa yang
menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Nanggroe Aceh Darussalam.

Anda mungkin juga menyukai