DOKTER Dalam proses pendidikan menjadi seorang dokter umum, mahasiswa kedokteran mendapatkan pengecualian melakukan tindakantindakan yang sebenarnya merupakan wewenang dokter. Pada pasal 35 Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, wewenang seorang dokter adalah sebagai berikut: mewawancarai pasien memeriksa fisik dan mental pasien menentukan pemeriksaan penunjang menegakkan diagnosis menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien melakukan tindakan kedokteran menulis resep obat dan alat kesehatan meracik dan menyerahkan obat kepada pasien Kemudian kewajiban dan hak dokter juga ditetapkan pada peraturan perundang-undangan, yakni UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Selain itu, juga ada dalam kode etik yang secara moral wajib ditaati. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, terdapat kewajiban-kewajiban dokter yang dibedakan menjadi empat, yaitu : 1. Kewajiban umum 2. Kewajiban terhadap penderita 3. Kewajiban terhadap teman sejawat 4. Kewajiban terhadap diri sendiri Kewajiban Umum Dokter Kewajiban umum dokter ini yang paling banyak dimuat dalam pasal 1 s/d 9 adalah sebagai berikut : a. Wajib menjujung tinggi, menghayati, dan mengamalkan Sumpah Dokter ( pasal 1) b. Wajib senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi ( pasal 2) c. Dalam melakukan pekerjaan kedokternya tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi ( pasal 3) d. Perbuatan yang dipandang bertentangan dengan etik : setiap perbuatan yang memuji diri sendiri ; Menerapkan pengetahuan dan keterampilan baik bersama maupun sendiri tanpa kebebasan profesi. Menerima imbalan diluar kelayakan sesuai dengan jasanya kecuali dengan keikhlasan dan atau kehendak penderita ( pasal 4) e. Setiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk.
Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi
kedokteran, sebagai konsekuensi kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban tersebut tertuang dalam prinsip moral profesi, yaitu : a. Autonomy : Mengomati hak-hak pasien b. Beneficence : Berorientasi kepada kebaikan pasien c. Non Maleficence : Tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien d. Justice : Keadilan distribus, meniadakan diskriminasi Diatas merupakan sebagai prinsip utama. Sedangkan, prinsip turunannya adalah : a. Veracity : Kebenaran atau truthfull information b. Fidelity : Kesetiaan c. Privacy dan Confidentiality : Menjaga kerahasiaan Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien umumnya, maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternatif jenis hubungan yang sama. Pada awalnaya hubungan dokterpasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonom pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang Barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggungjawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upaya yang sungguh-sungguh (inspanningsverbintennis). Profesi dokter yang menggeluti bidang kosmetik seringkali terjebak untuk memperjanjikan hasil seperti pada resultaat verbintennis. Hal itu berbahaya oleh karena hasil dari tindakan dokter umumnya tidak dapat dipastikan 100%. Hubungan kontrak semacam itu harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu. Leenen mengatakan bahwa standar profesi kedokteran tersebut memiliki 5 unsur, yaitu : 1. Teliti, seksama, dan berhati-hati 2. Sesuai dengan ukuran medik 3. Kemampuan rata-rata
4. Situasi dan kondisi yang sama
5. Upaya yang proporsional dengan tujuan. Dalam menjaga hubungan dokter-pasien tersebut maka sejak sebelum Masehi telah ada Code of Hammurabi yang memberikan ancaman pidana bagi dokter yang karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya, dan Code of Hittites yang mewajibkan dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya yang terbukti telah dirugikan karena kesalahannya atau kelalaiannya. Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien, dengan tanpa mengabaikan bentuk hubungan kontraktual. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi peraturan dan kewajiban saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules) sehingga biasa disebut sebagai bottom line ethics. Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy, compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan/keutamaan). Pada hubungan dokterpasien yang virtue-based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu ketentuan pun yang ditentukan pada permulaan yang berlaku untuk seterusnya. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsipprinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal dari prinsip autonomy. Informed consent bukanlah sekedar upaya memperoleh persetujuan tindakan medis, melainkan merupakan upaya menjelaskan segala sesuatu kepada pasien dan menyerahkan kepada pasien yang telah mengerti dan mampu membuat keputusan yang tepat untuk menentukan sendiri apa yang akan dilakukan pada dirinya.