Desentralisasi Politik Dan Otonomi Desa
Desentralisasi Politik Dan Otonomi Desa
otonomi asli ketika desa sudah masuk menjadi bagian, bahkan di bawah,
negara? Apakah antara self-governing community dan local-self
government tidak bisa disatukan? Jika desa sudah berada dalam negara,
sebaiknya kewenangan apa yang harus diakui dan dibagi kepada desa?
Kami tidak memperoleh jawaban yang jelas dan memadai atas
pertanyaan itu.
Bahkan problem serius itu muncul sejak
pascakemerdekaan, terutama sejak 1965, tetapi sampai sekarang tidak
ada jawaban dan solusi yang memadai. Demikian komentar Selo
Sumardjan (1992: 3):
Mengenai pembentukan daerah-daerah administratif pada umumnya tidak
dijumpai masalah-masalah yang berarti, baik secara hukum maupun politis.
Sebaliknya menghadapi desa, negeri, marga dan sebagainya yang diakui
sebagai daerah istimewa tampaknya ada berbagai pendapat yang berbeda-beda
yang sampai sekarang belum dapat disatukan dengan tuntas. Perbedan
pendapat itu mengakibatkan keragu-raguan pemerintah untuk memilih antara
sistem desentralisasi dua tingkat, yaitu dengan daerah otonomi tingkat I dan
tingkat II saja dan sistem tiga tingkat dimana di bawah tingkat II ditambah
tingkat III.
adalah petani desa. Strukturasi ini berakibat pada pembagian hasil tanah
apanage dan kesenjangan sosial. Meskipun konsepnya membagi dua
(marwa, maro) tetapi petani dan desa akhirnya mendapat bagian kecil
dan harus membayar berbagai kewajiban feodal, seperti pajak dan
kewajiban kerja untuk raja/birokrat dan ada pungutan dan sumbangan
insidental yang tidak terhitung berapa kali ditarik dalam setahun.
Dengan kata lain desa dieksploitasi oleh kerajaan.
Kondisi desa yang selalu tereksploitasi berlanjut pada zaman
penjajahan, diawali dengan hadirnya orang-orang Belanda yang
memusatkan perhatian pada perdagangan yang bergerak pada usaha
agraris. Usaha ini mau tidak mau harus melibatkan desa sebagai tulang
punggung yang menyediakan faktor produksi utama, yakni tanah dan
tenaga kerja. Dalam ikatan feodal yang berlaku di desa tidak hanya
menyumbangkan dua faktor produksi tersebut, tetapi juga berbagai
sumbangan feodal yang sifatnya non-budget system (Suhartono, 1991).
Masyarakat desa tidak menghargai uang karena ia terikat pada ikatan
feodal yang dengan kata lain karena adanya hubungan dependensi.
Pada era kemerdekaan keberadaan desa masih dalam kondisi yang
kurang berubah, artinya kondisi eksploatatif dan ketergantungan
terhadap supra desa masih cukup tinggi. Hal ini tidak lepas dari
kepentingan supradesa ataupun kecenderungan yang muncul dalam
masyarakat desa. Kondisi tersebut telah merusak kemandirian desa dan
menciptakan kondisi yang semakin memprihatinkan bagi masyarakat
desa sendiri. Adalah sebuah ironi dalam masyarakat yang sedang
berkembang
ketika
kondisi
masyarakat
desa
sendiri
kurang
menguntungkan, khususnya berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi
dan kulturnya. Seringkali terjadi bahwa keberadaan sebuah peraturan
yang sebenarnya ditujukan bagi upaya menciptakan kesejahteraan
masyarakat desa, akan tetapi dalam aktualisasinya ternyata regulasi
digunakan untuk melakukan birokratisasi dan intervensi terhadap desa,
yang di tingkat lokal juga dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat desa
untuk mendapatkan status yang memberikan efek yang menguntungkan
baik secara ekonomi maupun politis.
Di masa Orde Baru, misalnya, pemerintah menerapkan UU No.
5/1979, sebuah kebijakan untuk menata ulang terhadap kelembagaan
pemerintahan desa, membuat desa tradisional menjadi desa modern,
dan mengintegrasikan desa secara seragam dalam struktur negara
modern. Model birokrasi modern dimasukkan ke desa untuk menata
mekanisme administrasi dan kelembagaan desa. Desa dikendalikan oleh
tangan-tangan birokrasi dari istana negara, kementerian dalam negeri,
propinsi, kabupaten dan sampai kecamatan. Pemerintah pusat
melakukan penyeragaman (regimentasi) terhadap seluruh unit
pemerintahan terendah menjadi nama desa, sebagai upaya untuk
memudahkan kontrol dan korporatisasi terhadap masyarakat desa.
Kebijakan tersebut sangat efektif menciptakan stabilitas dan katahanan
5
desa. Tetapi kerugiannya bagi masyarakat lokal jauh lebih banyak dan
lebih serius. Bagi komunitas lokal di luar Jawa, UU No. 5/1979 merupakan
bentuk penghancuran terhadap kearifan lokal, keragaman identitas lokal,
maupun adat-istiadat lokal. UU No. 5/1979 juga meneguhkan posisi
kepala desa sebagai penguasa tunggal di desa, sekaligus membuat
kepala desa lebih berorientasi ke atas ketimbang sebagai pemimpin desa
yang memperoleh legitimasi kuat di hadapan masyarakat. Akibatnya
benturan antara kepala desa dengan pemimpin adat maupun
masyarakat terjadi secara serius (Sutoro Eko, 2003d, 2003e, 2004h,
2004i).
Ketika keberadaan desa merupakan obyek politik kekuasaan, maka
desa sebagai alat ekonomi dan politik masyarakat merupakan suatu
keniscayaan. Alasannya cukup sederhana, yakni menjadikan desa
sebagai alat adalah mahal. Ini bisa dilakukan ketika mereka (masyarakat)
memiliki kontrol dan akses terhadap kekayaan dan kekuasaan. Pada sisi
lain masyarakat desa sebenarnya kurang peduli terhadap makna
organisasi kedesaan yang memiliki fungsi sebagai alat ekonomi-politik.
Bagi mereka, desa entah itu terorganisir atau tidak, baginya yang
terpenting kalau itu menyelenggarakan kehidupan bersama sebagai
satuan ekonomi-budaya yang bukan untuk menguasai (bukan berpolitik)
tetap untuk saling menjaga harmoni (tapi berbudaya).
Mengikuti pendapat Karl Polanyi (1957), desa dilihat sebagai
semacam surga yang hilang, the lost horison. Keadaan masyarakat desa
masa lalu, karena belum ada tatanan sosio-politik maka diaksiomakan
sebagai kerakyatan dan dalam kesimbangan dengan alam sekitar,
memang ekonomi sudah membentuk kerangka hubungan saling
membantu dan bertandang (reciprocity, antara lain patron-client atau
majkan- bawahan). Desa telah kehilangan surganya, bukan semata
karena intervensi kekuasaan negara, tetapi juga karena proses
komersialisasi dan dominasi pengetahuan serta teknologi. Atau,
sebagaimana dikemukakan oleh D.H. Penny (1990), sistem pasar telah
mengakibatkan kemiskinan, bahkan mengekspose orang ke bahaya
kelaparan. Kondisi ini mendorong kerinduan Boeke (1952) akan desa
egalitarian populis yang secara subsisten cukup bertahan terucap
sebagai cita-cita untuk melakukan Rekonstruksi Desa. Sebuah utopia
yang memang layak jadi panutan mengkritisi keadaan yang bubrah dan
resah, sebuah keadaan yang bagi Boeke dinamai proses dualisme sosial.
Sebuah proses maraknya kiprah kapitalisme (dapat) juga sosialisme
menerjang dan memporakporandakan ekonomi egalitarian populis desa
(Boeke, 1953). Berangkat dari utopia ini kiranya tidak akan berhenti
sebagai sebuah mimpi belaka, akan tetapi lebih merupakan sebuah kritik
abadi terhadap keadaan yang sedang terjadi. Gambaran tentang desa
sebagai sebuah utopia paling tidak akan mengisi semangat manusia
untuk maju. Kemajuan di sini bukan dimengerti sebagai pencapaian
asli desa, terutama otonomi dalam mengelola hak ulayat desa adat.
Menurut UU No. 22/1999, kewenangan Desa mencakup: (1) kewenangan
yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (2) kewenangan yang
oleh
peraturan
perundang-perundangan
yang
berlaku
belum
dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan (3) Tugas Pembantuan
dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Ayat (1) menunjukkan bahwa desa memiliki kewenangan asli yang
tidak boleh diintervensi oleh pemerintah supradesa. Namun hal ini dalam
kenyataannya tidak jelas kewenangan yang dimaksud, sehingga desa
tetap saja tidak mempunyai kewenangan yang benar-benar berarti
(signifikan) yang dapat dilaksanakan secara mandiri (otonom).
Kewenangan yang selama ini benar-benar dapat dilaksanakan di desa
hanyalah kewenangan yang tidak mempunyai kontribusi yang signifikan
terhadap kehidupan masyarakat desa itu sendiri.
Kewenangan asli tersebut sebenarnya yang menjadi pertanda bagi
desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau desa sebagai subyek
hukum yang otonom. Tetapi, sekarang, kewenangan generik bukan
hanya susah untuk diingat kembali, tetapi sebagian besar sudah hancur.
Komunitas adat (desa adat) yang paling menderita atas kehancuran
kewenangan generik. Adat telah kehilangan eksistensinya sebagai
subyek hukum untuk mengelola property right. Banyak tanah ulayat
yang kemudian diklaim menjadi milik negara. Ketika desa dan adat
diintegrasikan ke dalam negara, maka negara membuat hukum positif
yang berlaku secara nasional, sekaligus meniadakan hukum adat lokal
yang dulunya digunakan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Sengketa hukum dan agragia antara negara dengan
adat pun pecah dimana-mana yang sampai sekarang sulit diselesaikan
secara karitatif karena posisi (kedudukan) desa adat yang belum diakui
sebagai subyek hukum yang otonom. Di tingkat lokal juga sering terjadi
dualisme antara kepala desa dengan penghulu adat atau sering terjadi
benturan antara desa negara dengan desa adat yang menggelar
sengketa dalam hal pemerintahan, kepemimpinan, aturan dan batasbatas wilayah.
Titik krusial lain adalah perubahan dari kewenangan mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri menjadi kewenangan mengatur dan
mengurus
kepentingan
masyarakat
setempat
sebagaimana
terumuskan dalam UU No. 22/1999 maupun RUU Revisi. Kalau hanya
sekadar kewenangan mengelola kepentingan masyarakat setempat,
kenapa harus diformalkan dalam UU, sebab selama ini masyarakat sudah
mengelola kepentingan hidup sehari-hari mereka secara mandiri. Tanpa
pemerintah dan UU sekalipun masyarakat akan mengelola kepentingan
mereka sendiri. Dimata para kepala desa, mengurus dan melayani
kepentingan masyarakat setempat sudah merupakan kewajiban dan
tanggungjawab mereka sehari-hari.
10
14
20
1. Kebebasan dari
Pendekatan kebebasan dari untuk otonomi lokal didasarkan pada
pemahaman konstitusional tentang hubungan lokal-pusat. Dalam banyak
hal, pendekatan ini menggambarkan pendekatan ilmu politik klasik
terhadap topik tersebut dan mendefinisikan otonomi lokal dipandang dari
segi tingkat kebebasan yang dimiliki otoritas lokal. Akibatnya, fokus pada
otonomi lokal sebagian besar top-down, yang menyelidiki proses delegasi
kekuasaan oleh pemerintah nasional kepada unit pemerintah lokal. Para
penulis berbeda membahas gagasan kebebasan dari ini dalam cara
teoritis dan empiris yang berbeda. Namun, semuanya mengkonsepkan
otonomi lokal sebagai kebebasan dari otoritas yang lebih tinggi.
Clark (1984) memberikan teori yang paling maju dalam konsteks
ini. Dia mempergunakan ide Jeremy Bentham untuk mengembangkan
sebuah teori otonomi lokal berdasarkan pada dua prinsip inisiasi dan
imunitas. Menurut Clark (1984), inisiasi atau prakarsa pada dasarnya
serba membolehkan (permissive) dan menunjuk pada kekuasaan untuk
bertindak, apapun keadaannya, asalkan hak untuk berbuat begitu
sebelumnya ada. Imunitas, sebaliknya:
pada dasarnya merupakan kekuasaan lokalitas untuk bertindak
tanpa rasa takut terhadap otoritas oversight tingkat negara yang
lebih tinggi. Dalam pengertian ini imunitas memungkinkan
pemerintah lokal untuk bertindak bagaimanapun mereka inginkan
dalam batas-batas yang ditetapkan oleh kekuasaan inisiatif mereka
(G.L. Clark, 1984: 197-198).
Dengan membedakan antara inisiasi dan imunitas Clark dapat
mengembangkan tipologi rangkap empat untuk membandingkan otoritas
lokal yang berbeda, otoritas lokal yang paling otonom mempunyai
kekuasaan inisiasi dan imunitas sementara otoritas yang paling tidak
otonom sangat dibatasi kekuasaan inisiasi dan imunitasnya. Teori ini
menarik banyak minat karena Clark cenderung menunjuk pada tingkat
otonomi yang rendah pada sebagian besar sistem pemerintah lokal.
Teori otonomi lokal yang dikembangkan juga mempertimbangkan
keadaan lokal dalam hubungannya dengan argumen otonomi relatif neoMarxist, yang menyelidiki seberapa luas pemerintah lokal mempunyai
otonomi dari kekuatan kapitalis yang lebih luas, juga dari institusi negara
lainnya (C. Cockburn, 1977 serta R.T Gurr
and D. King,
1987).
Kesimpulan dari semua studi ini, bagaimanapun, adalah bahwa otonomi
lokal sangat dibatasi oleh jangkauan faktor ekonomi dan politik.
Sementara jangkauan pendekatan empiris dan teoritis untuk
otonomi lokal sebagai kebebasan dari otoritas yang lebih tinggi sangat
meluas, namun kesimpulan dan implikasi mereka cenderung sangat
mirip. Ada dua faktor menonjol. Pertama, ada fokus umum pada posisi
konstitusional pemerintah lokal di negara yang berbeda dan cara
21
23
bagi bangsa Indonesia hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa
secara sistematis di berbagai daerah seperti Timor Timur, Aceh, Ambon,
Irian Jaya, dan lain sebagainya. Kedua, monopoli informasi dengan
alasan bahwa pemerintah tahu lebih baik mana yang baik dan tidak baik,
mana yang boleh dan tidak boleh dibaca, ditonton dan didiskusikan oleh
rakyat, pasca reformasipun rupanya pemerintah masih belum dapat
menghilangkan kebiasaan ini. Pernyataan yang pernah dilontarkan
Habibie tentang Komas (Komunisme, Marhaenisme, dan Sosialisme) yang
kontroversial itu jelas menunjukkan indikasi ke arah sana. Ketiga,
pembatasan organisasi-organisasi rakyat pada organisasi-organisasi
resmi, hal ini menunjukkan ada praktik korporatisme negara.
Lebih menukik pada penggugatan praktik politik sentralistik,
Dennis A. Rondinelli (1981) mengungkapkan bahwa ada banyak hal yang
menunjukkan bahwa politik sentralistik lebih membawa pada kondisi
yang anti demokrasi. Pertama, seringnya rencana-rencana pemerintah
yang tidak diketahui oleh masyarakat di tingkat bawah. Padahal setiap
tindakan
masyarakat
itu
berkenaan
dengan
kepentingan
masyarakat/rakyat. Jadi bila rakyat sudah tidak mengerti akan apa yang
sedang dilakukan oleh pemerintahnya maka pada saat yang bersamaan
telah terjadi pengingkaran kehendak rakyat oleh pemerintah (penguasa).
Kedua, lemahnya dukungan elite lokal. Elite lokal merupakan institusi
representasi alternatif atas keberadaan rakyat di samping institusi formal
semacam legislatif. Ia memiliki basis legitimasi yang cukup kuat atas
status perwakilannya itu. Dalam iklim sentralistik pendapat-pendapat
elite lokal ini akan sangat terabaikan (kecuali mereka memiliki akses ke
pusat, hal ini lain persoalannya). Padahal dengan kuatnya kepercayaan
rakyat terhadap mereka tentu membuat pendapat elite lokal ini tidak
dapat diabaikan begitu saja dalam kerangka demokrasi. Ketiga,
lemahnya kontak pemerintah daerah dengan masyarakat. Keempat,
tidak dapat mendorong red tape prosedur politik dan administrasi yang
panjang.
Permasalahan dalam negara yang diselenggarakan dengan sistem
yang sentralistik semacam ini rupanya telah banyak membuat frustasi
para pekerja demokrasi selama ini. Di lapangan sering dijumpai
bagaimana para demonstran atau mereka yang kurang menyepakati
beberapa keputusan pemerintah lokal yang anti demokrasi akhirnya
hanya mendapatkan jawaban bahwa pemerintah lokal hanya
menjalankan perintah atasan atau aspirasi saudara akan diterukan ke
pusat
Pada era Orde Baru strategi pengembangan ini dilakukan dengan
pengembangan politik steak and carrot dengan sebuah jaringan matamata yang inherent dalam sistem pemerintahan yang dibangun (Cornelis
Lay. 2003). Penempatan secara cermat dan sistematis wakil-wakil
hasrat Jakarta baik ke dalam pos-pos politik yang tampaknya tidak
penting tapi justru strategis, semisal Wagub maupun penguasa secara
28
c.
d.
e.
f.
32
b.
33
d.
38
39