MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri, M.PH
Oleh :
Betrix Rifana K.I
Emma Dhara Marini
Putri Sarifatul Mila
Rahma Ismayanti
130612607896/2013
130612607872/2013
130612607845/2013
130612607891/2013
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................................ i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3
2.1 Kekurangan Energi Protein ......................................................................... 3
2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein .................................................. 3
2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein ............................................ 3
2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein
.............. 4
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
KEP (Kekurangan Energi dan Protein) atau Protein Energy Malnutrition
merupakan salah satu gangguan gizi yang penting bagi banyak negara yang
sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. KEP
terdapat terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Dari berbagai
hasil penelitian menunjukan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi
yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta
menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian terutama pada kelompok rentan biologis.
Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makro
nutrien ke defisiensi mikro nutrien, namun beberapa daerah di Indonesia
prevalensi KEP masih tinggi (> 30 %) sehingga memerlukan penanganan intensif
dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Berbagai upaya untuk menanggulangi
kejadian KEP antara lain pemberdayaan keluarga, perbaikan lingkungan, menjaga
ketersediaan pangan, perbaikan pola konsumsi dan pengembangan pola asuh,
melakukan KIE, melakukan penjaringan dan pelacakan kasus KEP, memberikan
PMT penyuluhan, pendampingan petugas kesehatan, mengoptimalkan Poli Gizi di
Puskesmas, dan revitalisasi Posyandu.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun tetap saja kasus KEP
bermunculan di setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kompleksnya penyebab KEP
itu sendiri. Mengingat pentingnya pengetahuan akan KEP tersebut, maka kami
menyusun makalah berjudul Kekurangan Energi Protein ini yang didalamnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan KEP itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekurangan Energi Protein
2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein
Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani, 2000).
Sedangkan menurut Depkes RI (1999) Kurang Energi Protein (KEP)
adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung
energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. KEP sendiri lebih sering
dijumpai pada anak prasekolah (Soekirman, 2000).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekurangan Energi Protein adalah
keadaan kurang gizi yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi
energi dan protein kurang dan gangguan kesehatan.
2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat
beratnya KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan
sedang dan KEP III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus,
kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama penggolongan ini
adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan
klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas.
Batasan ini di setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari
kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian
empiris dan keadaan klinis.
Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI
Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan),
KEP II (sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan adalah
WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut umur.
Status
BB/U
(%Baku WHO-NCHS, 1983)
Gizi Sedang
Gizi Buruk
Klasifikasi
Malnutrisi sedang
Malnutrisi Berat
Edema
Tanpa edema
Dengan edema
BB/TB
-3SD s/d -2 SD
< -3 SD
TB/U
-3SD s/d -2 SD
< -3 SD
Kwashiorkor
1. Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh,
2. wajah sembab dan membulat
3. mata sayu
4. rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut
dan
rontok
5. cengeng, rewel dan apatis
6. pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak
merah ke coklatan di
pengukuran skinfold.
Sumber: Durmin & Wormersley Body Fat Assessed from total body
Density and its estimation from skinfold Thickness dalam Budiharjo, Romi,
& Prakosa (2004)
Hasil dari persentase lemak tubuh berdasarkan rumus matematis dari
Durmin & Wormersley kemudian dibandingkan dengan kategori nilai
presentasi lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin dan umur pada tabel
berikut (Morrow et al, 2005)
10
2010). IMT juga merupakan sebuah ukuran berat terhadap tinggi badan
yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam
kategori Underweight (kekurangan berat badan), Overweight (kelebihan
berat badan) dan Obesitas (kegemukan). Rumus atau cara menghitung IMT
yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat dari
tinggi badan dalam meter (kg/m2) (Andaka,2008).
7) Pemeriksaan Biokimia
Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai biokimia seperti
kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum transferin, kreatinin,
hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini, bersama dengan hasil
pemeriksaan antropometrik akan membantu memberi gambaran tentang
status nutrisi dan respon imunologi seseorang (Arisman, 2004).
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status nutrisi
kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin dan hematokrit,
penurunan nilai limposit, serum albumin kurang dari 3,5 gram/dl dan
peningkatan atau penurunan kadar kolesterol (Nurachmah, 2001).
a. Hemoglobin dan Hematokrit
11
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini
maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009).
Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah pengukuran
yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi
berat, kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein.
Pengukuran hemoglobin menggunakan satuan gram/desiliter dan
hematokrit menggunakan satuan persen.
b. Transferrin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam
mengkaji status protein viseral. Serum transferin dihitung menggunakan
kapasitas total ikatan zat besi atau total iron binding capacity (TIBC),
dengan menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah, 2001)
Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah miligram/desiliter.
Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl.
c. Serum Albumin
Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan sintesa
protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan infeksi, injuri,
atau penyakit yang mempengaruhi kerja hepar, ginjal, dan saluran
pencernaan.
d. Keseimbangan nitrogen
Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar
pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal tubuh
12
13
14
ekstra sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak
dibandingkan tanpa edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel
sehingga menimbulkan gangguan metabolik pada organ-organ seperti ginjal,
otot dan pankreas. Dalam sel otot kadar natrium dan fosfor anorganik
meninggi dan kadar magnesium menurun. Kelainan organ sering terjadi
seperti sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem
gastrointestinum (hepar, pankreas), jantung, ginjal, system endokrin sehingga
gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan cermat.(Krisnansari,
2010)
Keadaan kekurangan protein dalam tubuh apabila secara berlebihan dapat
menyebabkan penyakit kekurangan energi kronik seperti marasmus dan
kwashiorkor. Gejala penyakit tersebut yang paling spesifik adalah adanya
oedem, ditambah dengan adanya gangguan pertumbuhan serta terjadinya
perubahan-perubahan psikomotorik. Anak-anak yang menderita penyakit
kekurangan engergi protein menjadi apatis, nafsu makan kurang, rewel, dan
wajahnya bengkak berbentuk bulan. Terjadinya oedem mula-mula dianggap
sebagai akibat turunnya kadar serum albumin. Hal ini selalu terjadi pada
penderita kuashiorkor. Turunnya serum albumin akan menyebabkan turunnya
tekanan osmotik darah, akibatnya terjadi perembesan cairan menerobos
pembuluh darah masuk ke dalam jaringan tubuh, sehingga terjadi oedem
(USU, 2004)
Sedangkan penyakit lain akibat kekurangan energi protein adalah
marasmus. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus,
wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut
tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput
(Krisnansari, 2010)
Terdapat gejala lain seseorang terkena kekurangan energi protein, antara
lain berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan LILA (lingkaran
lengan atas) kurang dari 23,5cm. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran
LILA pada kelompok wanita usia subur(WUS) adalah salah satu deteksi dini
yang mudah dan dapat dilaksanakan masyarakat awam, untuk mengetahui
kelompok beresiko KEK. Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun.
15
Ambang batas LILA pada WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah
23,5cm, apabila ukuran LILA kurang dari 23,5cm atau dibagian merah pita
LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan
melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko
kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan
anak (USU, 2004)
Diagnosis KEP ditegakkan berdasarkan perubahan atau kelainan yang
dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi, perubahan metabolik
dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi
pada komposisi cairan tubuh (laboratorium). Secara garis besar penegakkan
diagnosis KEP dilapangan maupun dirumah sakit adalah berdasarkan
(Krisnansari, 2010):
1.
Jumlah asupan zat gizi rendah atau kurang seperti karbohidrat, lemak,
dan protein.
2.
16
Mengatasi/mencegah hipoglikemia
2.
Mengatasi/mencegah hipotermia
3.
Mengatasi/mencegah dehidrasi
4.
5.
Mengobati/mencegah infeksi
6.
7.
8.
9.
17
anak
dengan
malnutrisi
berat
berisiko
mengalami
18
juga
dengan
antibiotik
spektrum
luas
Pemantauan
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah
dengan darah dari ujung jari atau tumit setelah 30 menit. Sekali
diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit. Bila gula
darah turun lagi sampai < 50 mg/dL, ulangi pemberian 50 mL
(bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian
setiap 30 menit sampai stabil. Ulangi pemeriksaan gula darah bila
suhu
aksila
<
36
dan
atau
kesadaran
menurun.
Pencegahan
Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah
dehidrasi yang ada dikoreksi. Selalu memberikan makanan
sepanjang malam.
Catatan
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap
anak KEP berat menderita hipoglikemia dan atasi segera.
2. Pengobatan/Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak dan suhu dubur < 36oC maka dilakukan langkah
sebagai berikut;
1. Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi
bila perlu)
2. Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup
kepala.
Letakkan
dekat
lampu
atau
pemanas
(jangan
menggunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu dan
selimuti.
19
anak.
Bila
ada
hipotermia,
periksa
kemungkinan
hipoglikemia.
Pencegahan
Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (langkah 6).
Sepanjang malam selalu beri makan. Selalu selimuti dan hindari
basah. Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau
pemeriksaan medis terlalu lama)
3. Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada
keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hatihati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan
jantung (penanganan kegawatan)
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na
dan kurang K untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan
larutan garam khusus yaitu Resomal atau penggantinya. Tidaklah
mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat
dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua
anak KEP berat dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga
harus diberi cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgbb setiap 30
menit selama 2 jam p.o. atau lewat pipa nasogastrik. Selanjutnya beri
5-10 mL/kgbb/jam untuk 4-10 jam berikutnya; jumlah tepat yang
harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya
dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah. Ganti
resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula
khusus sejumlah, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil. Selanjutnya
mulai beri formula khusus (langkah 6). Selama pengobatan,
pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik, dan anak mulai
20
kencing.
Pemantauan
Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap -1 jam selama 2
jam pertama kemudian tiap jam untuk 6-12 jam, dengan memantau
denyut
nadi,
pernafasan,
frekuensi
kencing
dan
frekuensi
Siapkan
makanan
tanpa
diberi
garam.
21
sudah
memungkinkan,
paling
lambat
sebelum
anak
pertumbuhan
bakteri
anaerob
dalam
usus
halus.
22
untuk
memenuhi
metabolisme
basal
saja.
Jangan
memberikan
makanan
lebih
dari
100
Kkal/kgbb/hr pada fase stabilisasi ini. Pantau dan catat jumlah yang
diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi buang air besar dan
konsistensi tinja dan berat badan harian. Selama fase stabilisasi,
diare secara perlahan-lahan berkurang dan berat badan mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema, berat badannya akan menurun
dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB
mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian
nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten.
1. Perhatikan Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagi pendekatan secara gencar
agar tercapai masukan makan yang tinggi dan pertambahan berat
badan lebih dari 10 gram/kgbb/hari. Awal fase rehabilitasi ditandai
dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu, setelah
dirawat.
Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal
jantung yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam
jumlah banyak secara mendadak.
23
a. Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahanlahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan.
b. Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1 g
per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan
protein 2,9 g per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam.
c. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan
dengan kandungan energi dan protein yang sama.
d. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit
formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30
ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi
a. Frekuensi nafas
b. Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 x/ menit dan denyut nadi >
25 x/ menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi
volume pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi
menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi;
a. Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering
b. Energi 150-220 Kkal/kgBB/hari
c. Protein 4-6 g/kgBB/hari
d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk
tumbuh kejar.
Pemantauan setelah periode transisi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan,
timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan. Setiap minggu,
kenaikan
BB
dihitung
(g/kgBB/hari).
Bila
kenaikan
BB
24
masa
awal
dapat
memperburuk
keadaan
infeksinya.
25
26
besar
pada
anak.Perawat
atau
sukarelawan
harus
kembali
untuk
kontrol
secara
teratur,
pemberian
27
masing-masing.Orang
membawa
anaknya
untuk
tua
harus
imunisasi
diinformasikan
ulang
dan
untuk
booster.
Follow-up
Pasien diinformasikan untuk kontrol seminggu sejak tanggal dia
dipulangkan. Follow up lebih baik dilakukan di klinik yang khusus
untuk anak kekurangan gizi daripada klinik pediatrik biasa. Bilamana
mugkin volunteer diatur untuk melakukan homevisit dan mencari solusi
mengatasi masalah sosial dan ekonomi keluarga pasien selain
kounseling
c) Fase tindak lanjut (6-26 minggu)
Fase ini anak telah dipulangkan. Anak dan keluarga dipantau untuk
mencegah adanya kekambuhan serta menilai adanya perkembangan
fisik, mental dan emosi anak.
2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein
Pencegahan dari KEP pada dasarnya adalah bagaimana makanan yang
seimbang dapat dipertahankan ketersediannya di masyarakat. Langkahlangkah nyata yang dapat dilakukan untuk pencegahan KEP adalah (Wayan,
2011):
1. Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan
(Puskesmas, Puskesmas Pembantu).
2. Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi
pangan bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan
pendamping ASI (bagi balita).
3. Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai. Hal ini
dikarenakan kandungan zat gizi pada setiap jenis makanan ini berbeda-
28
anak
juga
ga
dapat
menyebabkan
pertumbuhan
terhambat,
te
yang
menyebabkan kemam
ampuan kognitif terganggu. Berikut peta perse
sebaran mengenai
anak dibawah 5 tahu
ahun yang mengalami hambatan pertumbuha
han atau stunting
(tubuh pendek)
29
2.2.1 Distribusi
si Frekuensi
F
Berdasarkan Usia
Kekurangan Energi
E
Protein (KEP) bisa terjadi pada se
semua usia, akan
tetapi hingga saa
aat ini yang menjadi sorotan utama dunia ada
dalah Kekurangan
Energi Protein ppada anak-anak, hal ini dikarenakan malnut
utrisi (yang salah
satunya adalah KEP)
K
diperkirakan berkontribusi dalam sepeertiga dari semua
kematian anak,, meskipun
m
jarang terdaftar sebagai penyebab la
langsung (WHO,
2015).
Di Indonesiaa kurangnya konsumsi energi yang paling ban
anyak justru pada
individu dengan
an usia antara 16-18 tahun. Sedangkan kura
urangnya kosumsi
protein yang palin
aling banyak pada individu dengan usia >56 tah
ahun
30
Di Indonesia sendiri
se
berdasarkan data Riskesdas tahun 2010
20
kekurangan
energi dan prote
tein paling banyak juga diderita oleh individ
vidu dengan jenis
kelamin laki-laki
ki
31
2.2.3 Distribusi
si Frekuensi
F
Berdasarkan Waktu
Pada tahun 2013
13, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun di
d seluruh dunia
memiliki berat badan
b
kurang. Prevalensi Gizi kurang teruss menurun , akan
tetapi lambat. Anntara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang padaa balita di seluruh
dunia mengalam
ami penurunan dari 25 persen menjadi 15
1 persen. Jika
penurunan ini terus
ter berlanjut , sasaran MDG 1 ( prevalensii gizi
g kurang pada
tahun 2015 berk
erkurang hingga 50% dibanding tahun 199
990 ) tidak akan
terpenuhi.
32
2.2.4 Distribusi
si Frekuensi
F
Berdasarkan Tingkat Penghasil
silan
Anak-anak dari
ri keluarga miskin beresiko dua kali lebih besar
b
mengalami
stunting atau pert
ertumbuhan terhambat dibanding anak-anak yang
ya
berasal dari
keluarga kaya.. Di
D Asia Selatan, kesenjangan antara anak
ak-anak kaya dan
miskin dalam hal
al pengerdilan lebih besar daripada di daerah lain.
la
33
34
Penyebab KEP
Langsung
Penyakit Infeksi
a.
T
Tidak
Langsung
Kurangnya Konsumsi
Energi dan Protein
Pendi
endidikan Orang Tua
Penda
endapatan Keluarga
J
Jumlah
Anggota
Keluarga
Jenis Kelamin
Umur
Penyebab Langs
gsung
Penyakit Infeksi
ksi
Penyakit infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang
ng rendah. Hal ini
dapat dijelaskann melalui mekanisme pertahanan tubuh yaituu pada
p
balita yang
KEP terjadi keku
kurangan masukan energi dan protein kedalam
m tubuh sehingga
kemampuan tub
ubuh untuk membentuk protein baru berk
erkurang, hal ini
kemudian menye
yebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler
sel
terganggu,
sehingga tubuh menderita
m
rawan serangan infeksi (Jeliffe, 198
989)
Pada anak yang
ng berusia lebih dari 1 tahun perlindungan
an antibodi yang
diperoleh dari ibunya
ibu
melalui plasenta dan ASI sudah berakhi
hir sehingga anak
sangat rentan sekali
sek terkena sakit terutama penyakit infeksi
si (Suyadi, 2009).
Disamping itu anak
an yang sakit cenderung nafsu makannya me
menurun sehingga
35
menyebabkan masukan gizi kurang dan pada akhirnya akan berdampak pada
status gizinya (Jalal, 1998).
Konsumsi Energi dan Protein
Konsumsi energi dan protein yang rendah secara otomatis akan menyebabkan
Kekurangan Energi Protein (KEP) baik ringan, sedang ataupun berat.
b. Penyebab Tidak Langsung
Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi status gizi pada anak
maupun keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan
melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki pendidikan lebih
tinggi cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas
maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka kemungkinan
anak berstatus gizi baik semakin besar.
Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi
rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan
perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
meningkatkan daya beli rumah tangga untuk mencukupi makanan bagi
anggota keluarganya.
Pendapatan Keluarga
Di negara berkembang, termasuk Indonesia masih banyak penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan merupakan akar masalah
kesehatan dan gizi. Dikatakan bahwa rata-rata persen BB/U pada kelompok
ekonomi rendah selalu lebih rendah daripada kelompok ekonomi tinggi. Hal
ini karena pedapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang
bergizi (Budiningsari, 1999)
Jumlah Anggota Keluarga
Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah anggota keluarga
maka semakin baik pertumbuhan anaknya, dengan jumlah anggota keluarga
yang besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP. Rumah tangga
yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4
kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil,
36
dan beresiko pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari
keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga kecil (Berg, 1986)
Umur
Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya pada usia 1-2
tahun. Hal ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningka tajam
sedangkan asi sudah tidak mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak
diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare
karena konsumsi pada makanan yang diberikan (Abunain dalam Lismartina
2000)
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang menentukan
kebutuhan gizi, sehingga jenis kelamin berkaitan erat dengan status gizi
balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada
perempuan, karena laki-laki cenderung lebih aktif dan lebih kuat dibanding
perempuan.
Berdasarkan
distribusi
frekuensi
yang
telah
disajikan
sebelumnya,
menunjukkan bahwa laki-laki beresiko lebih besar terkena KEP. Hal ini
didukung denganhasil penelitian Lismartina (2001) bahwa kejadian KEP
lebih besar pada anak laki-laki (25,9%) dibanding anak perempuan.
37
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, antara lain;
1. Definisi dari kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang
dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang
dan gangguan kesehatan.
2. Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun
1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II
(sedang) dan KEP III (berat).
3. Tanda dan gejala kekurangan energi protein antara lain; pada rambut terdapat
tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut kusam dan kering;
rambut tipis dan jarang (thinness and aparseness); rambut kurang kuat/ mudah
putus (straightness); tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan
pigmentasi
(defuse
depigmentation)
yang
tersebar
berlebih
apabila
disertai anemia; wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar,
lipatan naso labial; Edema dari lidah; lidah mentah atau scarlet; lidah
magenta; atrofi papilla; karies gigi; pengikisan (attrition).
4. pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein berdasarkan perubahan
atau kelainan yang dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi,
perubahan metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan
perubahan yang terjadi pada komposisi cairan tubuh (laboratorium).
5. Penatalaksanaan kekurangan energi protein bervariasi antara tiap jenis KEP,
pada KEP berat terdapat 3 fase dalam penatalaksanaan yaitu Fase inisial atau
akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari), Fase tindak lanjut (6-26
minggu, Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)
6. Pencegahan kekurangan energi protein dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut; (1) Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan (2)
Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan
bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping ASI (bagi
balita). (3) Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai.
38
39
DAFTAR PUSTAKA
Andaka. 2008. Normalkah Body Mass
Index Bmi Anda? (Online),
(http://www.andaka.com/normalkah-body-massindex-bmi-anda.php.)
diakses pada 3 Februari 2015
Arisman . 2004. Gizi dalam daur Kehidupan.. Jakarta: EGC.
Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Jakarta. Penerbit Rajawali.
Budiharjo, S., Romi, M.M., & Prakosa, D. 2004. Pengaruh latihan fisik intensitas
sedang terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu
Kedokteran Vol. 36, No.4: 195-200.
Darmojo, R.B. dan Subagio, H.W. 1998. Laporan penelitian pengamatan
kebiasaan makan pada manusia usia lanjut: studi kasus pada 100 orang
manula di Kelurahan Bergota Kota Madya Semarang. Semarang: Lembaga
Penelitian Universitas Diponegoro.
Depkes RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia. Sehat
2010. Jakarta.
Evelyn, Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga.
Jelliffe DB, EFP Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assesment with Special
Reference to Less Technically Developed Countries. Oxford: Oxford
Universitas Press
Krisnansari, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor
1, Januari 2010
Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. 2005. Measurement and Evaluation
in Human Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA
(http://books.google.co.id/book)
Nurachamah, E. 2001. Nutrisi dalam Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Pudjiadi. S. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta.
40
MUHAMMADIYAH
SEMARANG
VOLUME
2,
NOMOR 1.
Supariasa, IDN. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP. Jakarta: Universitas Indonesia
UNICEF. 1998. The State on the World Children. Oxford Univ. Press.
UNICEF. 2015. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under
5
and
is
widespread
in
Asia
and
Africa
(Online),
Sujana.
2011.
Kekurangan
Energi
Protein
(KEP),
(Online)
(http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10 diunduh
31 Maret 2015
WHO. 2015. Malnutrition (Online) (http://www.who.int/) diakses pada 31 Maret
2015
41