Anda di halaman 1dari 43

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri, M.PH

Oleh :
Betrix Rifana K.I
Emma Dhara Marini
Putri Sarifatul Mila
Rahma Ismayanti

130612607896/2013
130612607872/2013
130612607845/2013
130612607891/2013

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
MARET 2015

DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................................ i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3
2.1 Kekurangan Energi Protein ......................................................................... 3
2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein .................................................. 3
2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein ............................................ 3
2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein

.............. 4

2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein ................... 6


2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein ....................................16
2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein ............................................28
2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein .......................................29
2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia ..............................................30
2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ..............................30
2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu ..........................................32
2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan ....................33
2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein .................................................34
BAB III PENUTUP ..........................................................................................38
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................38
Daftar Pustaka ....................................................................................................40

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
KEP (Kekurangan Energi dan Protein) atau Protein Energy Malnutrition
merupakan salah satu gangguan gizi yang penting bagi banyak negara yang
sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. KEP
terdapat terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Dari berbagai
hasil penelitian menunjukan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi
yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta
menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian terutama pada kelompok rentan biologis.
Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makro
nutrien ke defisiensi mikro nutrien, namun beberapa daerah di Indonesia
prevalensi KEP masih tinggi (> 30 %) sehingga memerlukan penanganan intensif
dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Berbagai upaya untuk menanggulangi
kejadian KEP antara lain pemberdayaan keluarga, perbaikan lingkungan, menjaga
ketersediaan pangan, perbaikan pola konsumsi dan pengembangan pola asuh,
melakukan KIE, melakukan penjaringan dan pelacakan kasus KEP, memberikan
PMT penyuluhan, pendampingan petugas kesehatan, mengoptimalkan Poli Gizi di
Puskesmas, dan revitalisasi Posyandu.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun tetap saja kasus KEP
bermunculan di setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kompleksnya penyebab KEP
itu sendiri. Mengingat pentingnya pengetahuan akan KEP tersebut, maka kami
menyusun makalah berjudul Kekurangan Energi Protein ini yang didalamnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan KEP itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


Berikut rumusan masalah yang terkait dengan makalah ini;
1. Apa definisi dari kekurangan energi protein ?
2. Apa saja jenis dari kekurangan energi protein ?
3. Apa tanda dan gejala kekurangan energi protein ?
4. Bagaimana pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein ?
5. Bagaimana penatalaksanaan kekurangan energi protein ?
6. Bagaimana pencegahan kekurangan energi protein ?
7. Bagaimana distribusi frekuensi kekurangan energi protein ?
8. Apa saja faktor resiko kekurangan energi protein ?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini antara lain;
1. Mengetahui definisi dari kekurangan energi protein
2. Mengetahui jenis dari kekurangan energi protein
3. Mengetahui tanda dan gejala kekurangan energi protein
4. Mengetahui pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein
5. Mengetahui penatalaksanaan kekurangan energi protein
6. Mengetahui pencegahan kekurangan energi protein
7. Mengetahui distribusi frekuensi kekurangan energi protein
8. Mengetahui faktor resiko kekurangan energi protein

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekurangan Energi Protein
2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein
Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani, 2000).
Sedangkan menurut Depkes RI (1999) Kurang Energi Protein (KEP)
adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung
energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. KEP sendiri lebih sering
dijumpai pada anak prasekolah (Soekirman, 2000).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekurangan Energi Protein adalah
keadaan kurang gizi yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi
energi dan protein kurang dan gangguan kesehatan.
2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat
beratnya KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan
sedang dan KEP III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus,
kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama penggolongan ini
adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan
klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas.
Batasan ini di setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari
kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian
empiris dan keadaan klinis.
Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI
Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan),
KEP II (sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan adalah
WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut umur.

Klasifikasi KEP menurut Depkes RI (1999) :


Kategori

Status

BB/U
(%Baku WHO-NCHS, 1983)

Gizi Sedang

70 % 79,9 % Median BB/U

KEP II (KEP Sedang) Gizi Kurang

60 % 69,9 % Median BB/U

KEP I (KEP Ringan)

KEP III (KEP Berat)

Gizi Buruk

< 60 % Median BB/U

Sumber: Depkes RI (1999)


Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:

Klasifikasi
Malnutrisi sedang

Malnutrisi Berat

Edema

Tanpa edema

Dengan edema

BB/TB

-3SD s/d -2 SD

< -3 SD

TB/U

-3SD s/d -2 SD

< -3 SD

2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein


Berikut beberapa tanda klinis dari Kekurangan Energi Protein (KEP):
1. Pada Rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee):
rambut kusam dan kering;

Rambut tipis dan jarang (thinness and

aparseness); Rambut kurang kuat/ mudah putus (straightness); Kekurangan


pigmen rambut (dispigmentation): berkilat terang, terang pada ujung,
mengalami perubahan warna : coklat gelap/ terang, coklat merah/ pirang
dan kelabu; Tanda bendera (flag sign) dikarakteristikkan dengan pita
selang-seling dari terang/ gelapnya warna sepanjang rambut dan
mencerminkan episode selang-seling.
2. Sementara tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan
pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila
disertai anemia;
3. Wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso
labial; Pengeringan selaput mata (conjunction xerosis); Bintik bilot
(Bilots sport); Pengeringan kornea (cornea xerosis).

4. Tanda-tanda pada mata, antara lain pada Selaput mata pucat;


Keratomalasia, keadaan permukaan halus/ lembut dari keseluruhan bagian
tebal atau keseluruhan kornea;

Angular palpebritis. Sedangkan pada bibir

terjadi Angular stomatitis; Jaringan parut angular; Cheilosis.


5. Tanda-tanda pada lidah, Edema dari lidah; Lidah mentah atau scarlet;
Lidah magenta; Atrofi papila (papilla atrophic).
6. Tanda-tanda pada gigi: Mottled enamel; Karies gigi; Pengikisan (attrition);
Hipolasia enamel (enamel hypoplasia); Erosi email (enamel erosion).
7. Tanda-tanda pada gusi : Spongy bleeding gums, yaitu bunga karang
keunguan atau merah yang membengkak pada papila gigi bagian dalam
dan atau tepi gusi.
8. Tanda pada Kulit, antara lain : Xerosis, yaitu keadaan kulit yang
mengalami kekeringan tanpa mengandung air;Follicular hyperkeratosis;
Petechiae. Bintik haemorhagic kecil pada kulit atau membran berlendir
yang sulit dilihat pada orang kulit gelap; Pellagrous rash atau dermatosis
(spermatitis). Lesi kulit pelagra yang khas adalah area simetris,
terdemarkasi (batas) jelas, berpigmen berlebihan dengan atau tanpa
pengelupasan kulit (exfoliasi); Flaky-paint rash atau dermatosis;Scrotal
and vulval dermatosis; Lesi dari kulit skrotum atau vulva, sering terasa
sangat gatal. Infeksi sekunder bisa saja terjadi.
9. Sedangkan tanda-tanda pada kuku, diantaranya : Koilonychia, yaitu
keadaan kuku bagian bilateral cacat berbentuk sendok pada kuku orang
dewasa atau karena sugestif anemia (kurang zat besi). Kuku yang sedikit
berbentuk sendok dapat ditemukan secara umum hanya pada kuku jempol
dan pada masyarakat yang sering berkaki telanjang
Marasmus
1. sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit
2. wajah seperti orang tua
3. cengeng dan rewel
4. kulit keriput
5. jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada sering disertai diare kronik
dan penyakit kronik ,tekanan darah dan jantung serta pernafasan kurang.

Kwashiorkor
1. Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh,
2. wajah sembab dan membulat
3. mata sayu
4. rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut

dan

rontok
5. cengeng, rewel dan apatis
6. pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak

merah ke coklatan di

kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis) sering disertai


penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
Marasmus-Kwashiorkor
Gabungan dari marasmus dan kwashiorkor
2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein
Kekurangan Energi Protein mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan
perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap
penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk
mengetahui apakah seseorang mengalami kekurangan energi protein.
Mengkaji status gizi sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter
sehingga hasil kajian lebih akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Anamnesis
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang
dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan,
riwayat operasi yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit
keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat buang air besar atau buang air kecil,
dan kebiasaan lain yang dapat mengganggu asupan makanan (Supariasa,
2002).
b. Pengukuran antopometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan,
dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi
dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalahmasalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah, 2001).

Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menetukan status gizi


meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high), tebal lipatan kulit
(pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan
dan banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT)
(Fatmah, 2010).
Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada adalah
sebagai berikut:
1) Tinggi Badan
Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting
bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak
diketahui dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang
penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick)
faktor umur dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat
menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1
cm dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran
dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki.
2) Berat Badan
Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan.
Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi
seseorang dengan mengetahui indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan
ini menggunakan timbangan injak seca.
3) Tinggi Lutut
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan
bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau lansia.
Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya
mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah,
2010). Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya dengan
rumus persamaan Chumlea (1988):
Tinggi Badan (laki-laki)

64,19- (0,04-usia dalam tahun)


+(2,02 tinggi lutut dalam cm)

Tinggi Badan (perempuan) =

84,88 - (0,24-usia dalam tahun)


+(1,83 tinggi lutut dalam cm)

4) Tebal lipatan kulit


Pengukuran ketebalan lipatan kulit merupakan salah satu cara
menentukan presentasi lemak pada tubuh. Lemak tubuh merupakan
penyusun komposisi tubuh yang merupakan salah satu indikator yang bisa
digunakan untuk memantau keadaan nutrisi melalui kadar lemak dalam
tubuh .Pengukuran lipatan kulit mencerminkan lemak pada jaringan
subkutan, massa otot dan status kalori. Pengukuran ini dapat juga
digunakan untuk mengkaji kemungkinan malnutrsi, berat badan normal
atau obesitas (Nurachmah, 2001)
Untuk menentukan tebal lipatan kulit digunakan sebuah jangka
lengkung (caliper) yang dijepit pada bagian-bagian kulit yang telah
ditentukan. Adapun standar tempat pengukuran Skinfold menurut Heyward
Vivian H dan Stolarczyk L.M. dalam Supariasa (2002) ada sembilan
tempat, yaitu dada,subscapula, midaxilaris, suprailiaka, perut, trisep, bisep,
paha, dan betis. Berikut

menunjukkan tempat-tempat dan petunjuk

pengukuran skinfold.

(Sumber: Supariasa, 2002)


Hasil pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit pada empat sisi tubuh
yakni trisep, bisep, suprailiaka, dan subskapula dapat digunakan untuk
melihat presentase lemak tubuh melalui rumus matematis menurut Durmin
& Wormersley dalam Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004).
Persen lemak tubuh :

Sumber: Durmin & Wormersley Body Fat Assessed from total body
Density and its estimation from skinfold Thickness dalam Budiharjo, Romi,
& Prakosa (2004)
Hasil dari persentase lemak tubuh berdasarkan rumus matematis dari
Durmin & Wormersley kemudian dibandingkan dengan kategori nilai
presentasi lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin dan umur pada tabel
berikut (Morrow et al, 2005)

Rumus persamaan prediksi persentasi total lemak tubuh yang ditemukan


oleh Durmin & Wormersley dengan pengukuran tebal lemak bawah kulit
berdasarkan empat titik pada tubuh ini telah banyak digunakan dalam
penelitian luar maupun dalam negeri.
Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) telah menggunakan persamaan
Durmin & Wormersley

tersebut untuk melihat pengaruh latihan fisik

terhadap persentase lemak tubuh wanita lanjut usia di Yogyakarta.


5) Lingkar lengan atas
Lingkar lengan atas merupakan pengkajian umum yang digunakan untuk
menilai status nutrisi. Pengukuran LLA dilakukan dengan menggunakan
sentimeter kain (tape around). Pengukuran dilakukan pada titik tengah
lengan yang tidak dominan (Nurachmah, 2001).
6) Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT merupakan indikator status gizi yang cukup peka digunakan untuk
menilai status gizi orang dewasa diatas umur 18 tahun dan mempunyai
hubungan yang cukup tinggi dengan persen lemak dalam tubuh (Fatmah,

10

2010). IMT juga merupakan sebuah ukuran berat terhadap tinggi badan
yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam
kategori Underweight (kekurangan berat badan), Overweight (kelebihan
berat badan) dan Obesitas (kegemukan). Rumus atau cara menghitung IMT
yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat dari
tinggi badan dalam meter (kg/m2) (Andaka,2008).

Pengukuran berat badan menggunakan timbangan dengan ketelitian hingga


0,5 kg dengan pakaian seminimal mungkin dan tanpa alas kaki. Pengukuran
tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan dengan
kepekaan 0,1 cm. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa
menggunakan alas kaki. Status gizi ditentukan berdasarkan indeks IMT.

7) Pemeriksaan Biokimia
Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai biokimia seperti
kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum transferin, kreatinin,
hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini, bersama dengan hasil
pemeriksaan antropometrik akan membantu memberi gambaran tentang
status nutrisi dan respon imunologi seseorang (Arisman, 2004).
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status nutrisi
kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin dan hematokrit,
penurunan nilai limposit, serum albumin kurang dari 3,5 gram/dl dan
peningkatan atau penurunan kadar kolesterol (Nurachmah, 2001).
a. Hemoglobin dan Hematokrit

11

Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini
maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009).
Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah pengukuran
yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi
berat, kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein.
Pengukuran hemoglobin menggunakan satuan gram/desiliter dan
hematokrit menggunakan satuan persen.

Adapun kadar normal

hemoglobin berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin menurut


WHO dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah ini:

b. Transferrin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam
mengkaji status protein viseral. Serum transferin dihitung menggunakan
kapasitas total ikatan zat besi atau total iron binding capacity (TIBC),
dengan menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah, 2001)
Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah miligram/desiliter.
Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl.
c. Serum Albumin
Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan sintesa
protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan infeksi, injuri,
atau penyakit yang mempengaruhi kerja hepar, ginjal, dan saluran
pencernaan.
d. Keseimbangan nitrogen
Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar
pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal tubuh

12

memperoleh nitrogen melalui makanan dan mengeluarkannya melalui


urine dalam jumlah yang relatif sama setiap hari.
Transferrin Serum = (8 X TIBC)-43
Ketika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan
yang dikonsumsi setiap hari maka keseimbangan nitrogen menjadi
negatif. Bila nilai keseimbangan nitrogen yang negatif berlangsung
secara terus menerus maka pasien beresiko mengalami malnutrisi protein
(Nurachmah, 2001).
8. Mini Nutritional Assesment
Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi yang
dilakukan untuk mengetahui apakah seorang mempunyai resiko mengalami
malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit.
MNA ini merupakan metoda yang banyak dipakai karena sangat sederhana
dan mudah dalam pelaksanaannya. Penelitian yang dilakukan pada 200
pasien preoperasi gastrointestinal menunjukkan bahwa MNA dapat
dilakukan oleh para klinis terlatih, mempunyai reprodusibilitas tinggi dapat
menapis pasien yang mempunyai resiko menderita malnutrisi.
Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan pasien dalam
keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau malnutrisi berat. MNA
mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assesment, dimana
penjumlahan semua skor akan menentukan seorang pada status gizi baik,
beresiko malnutrisi atau beresiko underweight (Darmojo,2010).
9. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis adalah penilaian keadaan fisik yang berhubungan
dengan adanya malnutrisi. Prinsip pemeriksaan yang digunakan adalah
cephalo caudal atau head to feet yaitu dari kepala ke kaki. Tanda-tanda
dan gejala gejala klinik defisiensi nutrisi dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:

13

Selain cara-cara diatas KEP juga dapat diketahui dengan mengamati


timbulnya gejala. Salah satu gejala dari penderita KEP ialah hepatomegali,
yaitu pembesaran hepar yang terlihat sebagai pembuncitan perut. Anak yang
menderita tersebut sering pula terkena infeksi cacing. Kedua gejala
pembuncitan perut dan infeksi cacing ini diasosiasikan dalam pendapat oleh
para ibu-ibu di Indonesia bahwa anak yang perutnya buncit menderita
penyakit cacingan dan bukan karena kurang energi protein (USU, 2004).
Kejadian gizi buruk perlu didetekesi secara dini melalui intensifikasi
pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan
kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans
(Krisnansari, 2010).
Pada keadaan kekurangan energi protein terdapat perubahan nyata dari
komposisi tubuh seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan
protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih banyak cairan.
Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Cairan

14

ekstra sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak
dibandingkan tanpa edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel
sehingga menimbulkan gangguan metabolik pada organ-organ seperti ginjal,
otot dan pankreas. Dalam sel otot kadar natrium dan fosfor anorganik
meninggi dan kadar magnesium menurun. Kelainan organ sering terjadi
seperti sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem
gastrointestinum (hepar, pankreas), jantung, ginjal, system endokrin sehingga
gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan cermat.(Krisnansari,
2010)
Keadaan kekurangan protein dalam tubuh apabila secara berlebihan dapat
menyebabkan penyakit kekurangan energi kronik seperti marasmus dan
kwashiorkor. Gejala penyakit tersebut yang paling spesifik adalah adanya
oedem, ditambah dengan adanya gangguan pertumbuhan serta terjadinya
perubahan-perubahan psikomotorik. Anak-anak yang menderita penyakit
kekurangan engergi protein menjadi apatis, nafsu makan kurang, rewel, dan
wajahnya bengkak berbentuk bulan. Terjadinya oedem mula-mula dianggap
sebagai akibat turunnya kadar serum albumin. Hal ini selalu terjadi pada
penderita kuashiorkor. Turunnya serum albumin akan menyebabkan turunnya
tekanan osmotik darah, akibatnya terjadi perembesan cairan menerobos
pembuluh darah masuk ke dalam jaringan tubuh, sehingga terjadi oedem
(USU, 2004)
Sedangkan penyakit lain akibat kekurangan energi protein adalah
marasmus. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus,
wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut
tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput
(Krisnansari, 2010)
Terdapat gejala lain seseorang terkena kekurangan energi protein, antara
lain berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan LILA (lingkaran
lengan atas) kurang dari 23,5cm. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran
LILA pada kelompok wanita usia subur(WUS) adalah salah satu deteksi dini
yang mudah dan dapat dilaksanakan masyarakat awam, untuk mengetahui
kelompok beresiko KEK. Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun.

15

Ambang batas LILA pada WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah
23,5cm, apabila ukuran LILA kurang dari 23,5cm atau dibagian merah pita
LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan
melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko
kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan
anak (USU, 2004)
Diagnosis KEP ditegakkan berdasarkan perubahan atau kelainan yang
dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi, perubahan metabolik
dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi
pada komposisi cairan tubuh (laboratorium). Secara garis besar penegakkan
diagnosis KEP dilapangan maupun dirumah sakit adalah berdasarkan
(Krisnansari, 2010):
1.

Jumlah asupan zat gizi rendah atau kurang seperti karbohidrat, lemak,
dan protein.

2.

Klinis sesuai dengan jenisnya.

2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein


Pasien dengan KEP tidak kompleks

(KEP tipe I dan KEP tipe II)

seharusnya diobati di luar rumah sakit sejauh memungkinkan. Perawatan


rumah sakit meningkatkan resiko infeksi silang dan situasi yang tidak umum,
meningkatkan apatis dan anoreksia pada anak-anak, sehingga makannya akan
sulit. Berikut penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein (KEP);
a. KEP I (KEP ringan)
Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe I (KEP ringan);
1. Penyuluhan gizi/nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana
penderita rawat jalan)
2. Dianjurkan memberikan ASI eksklusif (bayi < 4 bl) dan terus
memberikan ASI sampai 2 th
3. Bila dirawat inap untuk penyakit lain, maka makanan disesuaikan
dengan penyakitnya agar tidak menyebabkan KEP sedang/berat dan
untuk meningkatkan status gizi.
b. KEP II (KEP sedang)

16

Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe II (KEP


sedang);
1. Rawat jalan : Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan
ASI, selalu dipantau kenaikan BB.
2. Tidak rawat jalan : Dapat dirujuk ke puskesmas untuk penanganan
masalah gizi
3. Rawat inap : Makanan tinggi energi dan protein dengan kebutuhan
energi 20-50% di atas AKG. Diet sesuai dengan penyakitnya dan
dipantau berat badannya setiap hari, beri vitamin dan penyuluhan gizi.
Setelah penderita sembuh dari penyakitnya, tapi masih menderita KEP
ringan atau sedang rujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah
gizinya.
c. KEP III (KEP Berat)
Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di rumah
sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan :
a. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah
utama)
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah
penting yaitu :
1.

Mengatasi/mencegah hipoglikemia

2.

Mengatasi/mencegah hipotermia

3.

Mengatasi/mencegah dehidrasi

4.

Mengkoreksi gangguan keseimbangan elektrolit

5.

Mengobati/mencegah infeksi

6.

Mulai pemberian makanan

7.

Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth)

8.

Mengkoreksi defisiensi nutrien mikro

9.

Melakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental

10. Menyiapkan dan merencanakan tindak lanjut setelah sembuh.


b. Pengobatan penyakit penyerta.

17

Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat,


yaitu : defisiensi vitamin A, dermatosis, parasit/cacing, diare melanjut,
dan tuberkulosis obati sesuai pedoman pengobatan.
c. Kegagalan pengobatan.
d. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas.
e. Tindakan pada kegawatan.
Strategi pengobatan dibagi ke dalam 3 tingkat (Penny, 2004; WHO, 1999):
a) Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari)
Pada fase ini diusahakan mengatasi komplikasi berupa dehidrasi,
hipoglikemia dan infeksi, bersamaan dengan dimulainya terapi nutrisi.
Pada fase inisial terdapat 10 langkah yang harus diperhatikan, yaitu;
1. Pengobatan /Pencegahan Hipoglikemia
Semua

anak

dengan

malnutrisi

berat

berisiko

mengalami

hipoglikemia (kadar gula darah <54mg/dl atau 3 mmol/l) yang


merupakan faktor penting penyebab kematian dalam 2 hari pertama
perawatan. Hipoglikemia dapat disebabkan infeksi sistemik berat
atau dapat terjadi pada anak malnutrisi berat yang tidak diberi makan
selama 4-6 jam . Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi
bersama-sama, sebagai tanda adanya infeksi. Pemberian makanan
yang sering yaitu paling kurang tiap 2-3 jam siang maupun malam
penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut. Tanda hipoglikemia
termasuk hipotermia (<36.5 C),
letargi, penurunan kesadaran. Apabila telah dicurigai adanya
hipoglikemia, pengobatan harus segera diberikan secepatnya tanpa
menunggu konfirmasi hasil laboratorium. Bila pasien masih sadar
dan dapat minum, segera berikan 50 ml glukosa atau sukrosa 10%,
atau berikan F-75 melalui mulut. Bila memungkinkan, berikan
larutan tersebut setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali berikan
bagian dari jatah untuk 2 jam). Namun bila tidak bisa, berikan
sekaligus semuanya. Pasien harus diperhatikan dengan ketat hingga
pasien benar-benar sadar. Terapi dilanjutkan diberikan tiap 2-3 jam
baik siang maupun malam.

18

Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak bisa dibangunkan


atau mengalami kejang, berikan 5ml/kgbb glukosa 10% steril
melalui intravena, kemudian diikuti dengan 50 ml glukosa atau
sukrosa 10% (1 sdt dalam 3 sdm air) melalui NGT. Bila glukosa
IV tidak bisa diberikan segera, berikan dulu lewat NGT. Bila pasien
mulai sadar, segera mulai terapi dengan diet F-75 atau larutan
glukosa (60g/l). Setiap anak dengan dugaan hipoglikemia harus
diterapi

juga

dengan

antibiotik

spektrum

luas

Pemantauan
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah
dengan darah dari ujung jari atau tumit setelah 30 menit. Sekali
diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit. Bila gula
darah turun lagi sampai < 50 mg/dL, ulangi pemberian 50 mL
(bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian
setiap 30 menit sampai stabil. Ulangi pemeriksaan gula darah bila
suhu

aksila

<

36

dan

atau

kesadaran

menurun.

Pencegahan
Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah
dehidrasi yang ada dikoreksi. Selalu memberikan makanan
sepanjang malam.
Catatan
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap
anak KEP berat menderita hipoglikemia dan atasi segera.
2. Pengobatan/Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak dan suhu dubur < 36oC maka dilakukan langkah
sebagai berikut;
1. Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi
bila perlu)
2. Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup
kepala.

Letakkan

dekat

lampu

atau

pemanas

(jangan

menggunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu dan
selimuti.

19

3. Berikan antibiotik (langkah 5)


Pemantauan
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai > 36,5 C,
bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit. Pastikan anak selalu
terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari. Raba
suhu

anak.

Bila

ada

hipotermia,

periksa

kemungkinan

hipoglikemia.
Pencegahan
Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (langkah 6).
Sepanjang malam selalu beri makan. Selalu selimuti dan hindari
basah. Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau
pemeriksaan medis terlalu lama)
3. Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada
keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hatihati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan
jantung (penanganan kegawatan)
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na
dan kurang K untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan
larutan garam khusus yaitu Resomal atau penggantinya. Tidaklah
mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat
dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua
anak KEP berat dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga
harus diberi cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgbb setiap 30
menit selama 2 jam p.o. atau lewat pipa nasogastrik. Selanjutnya beri
5-10 mL/kgbb/jam untuk 4-10 jam berikutnya; jumlah tepat yang
harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya
dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah. Ganti
resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula
khusus sejumlah, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil. Selanjutnya
mulai beri formula khusus (langkah 6). Selama pengobatan,
pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik, dan anak mulai

20

kencing.
Pemantauan
Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap -1 jam selama 2
jam pertama kemudian tiap jam untuk 6-12 jam, dengan memantau
denyut

nadi,

pernafasan,

frekuensi

kencing

dan

frekuensi

diare/muntah. Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan


ubun-ubun besar yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan
tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada KEP berat
perubahan ini sering kali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah
tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama
rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan.
Tanda kelebihan cairan : frekuensi pernafasan dan nadi meningkat,
edema dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tandatanda tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali
setelah 1 jam.
Pencegahan
Bila diare encer berlanjut, teruskan pemberian formula khusus
(langkah 6). Ganti cairan yang hilang dengan Resomal/pengganti
sebagai pedoman, berikan Resomal/penganti sebanyak 50-100mL
setiap kali buang air besar cair. Bila masih mendapat ASI teruskan.
4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh, walaupun kadar
Na plasma rendah. Defisiensi K dan Mg sering terjadi dan paling
sedikit perlu 2 minggu, untuk pemulihan. Ketidakseimbangan
elektrolit ini ikut berperan dalam terjadinya edema (jangan obati
edema dengan pemberian diuretik). Berikan K 2-4 mEq/kgbb/hr
(150-300 mg KCL/kgbb/hr), Mg 0,3-0,6 mEq/kgbb/hr (7,5-15 mg
MgCl2/kgbb/hr). Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah Na
(resomal/pengganti).

Siapkan

makanan

tanpa

diberi

garam.

Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang


ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 mL larutan
pada 1 L formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.

21

5. Pengobatan dan Pencegahan Infeksi


Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi
seperti demam seringkali tidak tampak, karenanya pada semua KEP
berat beri secara rutin antibiotika spektrum luas. Vaksinasi campak
bila usia anak > 6 bulan dan belum pernah diimunisasi (bila keadaan
anak

sudah

memungkinkan,

paling

lambat

sebelum

anak

dipulangkan). Ulangi pemeberian vaksin setelah keadaan gizi anak


menjadi baik. Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5
mg/kgbb, setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada
antibiotika spektrum luas guna mempercepat perbaikan mukosa usus
dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik
akibat

pertumbuhan

bakteri

anaerob

dalam

usus

halus.

Pilihan antibiotika spektrum luas, bila tanpa penyulit Kotrimoksazol


5 mL suspensi pediatri p.o. 2x/hari selama 5 hari (2,5 mL bila berat
badan < 4 kg). Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit
(hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran
kencing), berikan Ampisillin 50mg/kgbb im/iv setiap 6 jam selama 2
hari, kemudian p.o. amoksisilin 15mg/kgbb setiap 8 jam selama 5
hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgbb
setiap 6 jam p.o. dan Gentamisin 7,5 mg/kgbb/i.m./i.v. sekali sehari
selama 7 hari. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis,
tambahkan kloamfenikol 25 mg/kgbb/i.m/i.v. setiap 6 jam selama 5
hari. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan
antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan obat malaria bila
pemeriksaan darah untuk malaria positif. Bila anoreksia menetap
setelah 5 hari pengobatan antibiotika, lengkapi pemberian hingga 10
hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara
lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme
yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan
dengan benar.
6. Mulai pemberian Makanan

22

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati-hati


karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostasis
berkurang. Pemberian makanan harus segera dimulai setelah anak
dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein
cukup

untuk

memenuhi

metabolisme

basal

saja.

Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal


pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat
mencapai prinsip tersebut di atas (tabel pemberian diet dan cairan).
Berikan formula dengan cairan/gelas. Bila anak terlalu terlalu lemah,
berikan dengan sendok/pipet. Pada anak dengan selera makan baik
tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase stabilisasi ini
dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap).
Bila masukan makanan < 80 Kkal/kgbb/hr, berikan sisa formula
nasogastrik.

Jangan

memberikan

makanan

lebih

dari

100

Kkal/kgbb/hr pada fase stabilisasi ini. Pantau dan catat jumlah yang
diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi buang air besar dan
konsistensi tinja dan berat badan harian. Selama fase stabilisasi,
diare secara perlahan-lahan berkurang dan berat badan mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema, berat badannya akan menurun
dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB
mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian
nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten.
1. Perhatikan Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagi pendekatan secara gencar
agar tercapai masukan makan yang tinggi dan pertambahan berat
badan lebih dari 10 gram/kgbb/hari. Awal fase rehabilitasi ditandai
dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu, setelah
dirawat.
Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal
jantung yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam
jumlah banyak secara mendadak.

23

a. Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahanlahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan.
b. Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1 g
per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan
protein 2,9 g per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam.
c. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan
dengan kandungan energi dan protein yang sama.
d. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit
formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30
ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi
a. Frekuensi nafas
b. Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 x/ menit dan denyut nadi >
25 x/ menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi
volume pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi
menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi;
a. Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering
b. Energi 150-220 Kkal/kgBB/hari
c. Protein 4-6 g/kgBB/hari
d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk
tumbuh kejar.
Pemantauan setelah periode transisi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan,
timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan. Setiap minggu,
kenaikan

BB

dihitung

(g/kgBB/hari).

Bila

kenaikan

BB

kurang (< 5 g/kgBB/hr) perlu re-evaluasi menyeluruhJika BB


Sedang (5-10 g/kgbb/hr), maka perlu evaluasi mengenai masukan
makanan sudah mencapai target atau apakah infeksi telah dapat
diatasi.

24

2. Koreksi Defisiensi Nutrien-mikro


Semua KEP berat, menderita kekurangan vitamin dan mineral.
Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan
preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat
badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi
pada

masa

awal

dapat

memperburuk

keadaan

infeksinya.

Berikan setiap hari multivitamin, asam folat 1 mg/hr 95 mg pada hari


pertama), seng (Zn) 2 mg/kgbb/hr, tembaga (Cu) 0,25mg/kgbb/hr.
Bila berat badan mulai naik : Fe 3 mg/kgbb/hr atau sulfas ferrosus 10
mg/kgbb/hr.
Vitamin A oral pada hari ke-1
Anak > 1 tahun : 200.000 SI
6-12 bulan : 100.000 SI
0-5 bulan : 50.000 SI (jangan berikan bila pasti sebelumnya anak
sudah mendapat vitamin A)
b) Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)
Pada fase ini, terjadi peningkatan jumlah masukan nutrisi dan terjadi
peningkatan berat badan. Selain itu stimulasi emosi dan fisik
ditingkatkan, sedangkan ibu atau pengasuh dilatih untuk melanjutkan
pengasuhan di rumah hingga persiapan anak dipulangkan.
Seorang anak dianggap memasuki fase rehabilitasi bila nafsu makannya
telah membaik. Sebaliknya bila pemberian makannya masih tetap
melalui NGT maka ia belum bisa memasuki fase rehabilitasi (WHO,
1999).
Kriteria pemindahan terapi nutrisi anak ke fase rehabilitasi:
1. Nafsu makan baik
2. Status mental membaik: tersenyum, dapat menerima rangsangan,
tertarik terhadap lingkungan
3. Duduk, merangkak, berdiri atau berjalan (sesuai usia)
4. Suhu tubuh normal (36.537.5 C)
5. Tidak ada muntah dan diare
6. Tidak ada edema

25

7. Peningkatan berat badan > 5gr/kgbb/hari


Berikut langkah-langkah dalam penatalaksanaan fase rehabilitasi;
1. Memberikan Stimulasi Sensorik dan Dukung Emosional
Anak dengan KEP berat memiliki keterlambatan perkembangan
mental dan perilaku yang bila tidak diobati akan menjadi masalah
serius jangka panjang. Stimulasi fisik dan emosional yang dilalukan
melalui program yang dimulai sejak rehabilitasi hingga pasien
pulang, akan mengurangi risiko retardasi mental dan gangguan
emosional.
Wajah anak jangan ditutup; anak harus bisa melihat dan mendengar
apa yang terjadi disekelilingnya. Anak jangan dibungkus kain atau
diikat untuk mencegah ia berpindah dari tempat tidurnya.
Sangat penting keberadaan ibu atau pengasuh anak ini di rumah sakit
dan ia didorong untuk terus memberi makan, menjaga anak agar
tetap nyaman dan terus bermain dengannya jika memungkinkan.
Setiap orang dewasa disekelilingnya harus berbicara berinteraksi,
tersenyum kepada anak. Bial ada prosedur medis yang tidak nyaman
(setelah penyuntikan atau pemasangan infus) sebaiknya orang tua
atau pengasuhnya mendukung anak pada posisi yang nyaman.
Lingkungan
Suasana rumah sakit yang biasa tidak menunjang untuk pengobatan
anak KEP.Ruang rawat inap yang dihias dengan dinding berwarna
warni akan menarik perhatian anak. Jikalau memungkinkan staf dan
pegawai ruang rawat tidak memakai seragam melainkan pakaian
seharian.Apron yang berwarna boleh dipakai untuk melindungi baju
mereka. Musik dari radio yang mengiringi dapat menambah susasana
ceria di ruang rawat. Mainan yang aman,mudah dicuci dan sesuai
berdasarkan usia dan perkembangan anak harus selalu tersedia.Pada
dasarnya suasana di ruang rawat inap harus santai, ceria, dan
menarik.

26

Kegiatan main anak


Anak yang kekurangan gizi perlu berinteraksi dengan anak-anak lain
pada saat rehabilitasi Setelah fase awal rehabilitasi,anak-anak ini
perlu menghabiskan waktu yang lama dengan bermain dengan anakanak lain sambil diawasi oleh ibu atau play guide. Aktivfitas ini
tidak meninggikan resiko infeksi silang namun memberi keuntungan
yang

besar

pada

anak.Perawat

atau

sukarelawan

harus

bertanggungjawab menyediakan kurikulum untuk aktifitas main


anak-anak. Aktifitas yang dijalankan bertujuan mengembangkan
skill motorik dan bahasa. Waktu 15-30menit disediakan tiap hari
untuk bermain dengan setiap anak secara individual.Skill baru harus
didemonstrasikan terlebih dahulu oleh yang bersangkutan diikuti
oleh anaknya. Effort dari anak harus selalu dipuji.
2. Tindak Lanjut di Rumah
Bila anak berat badannya sudah mencapai 80% BB/U, dapat
dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makanan yang baik dan
stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah setelah penderita
dipulangkan. Oleh karena itu Peragakan kepada orang tua pemberian
makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat.
Serta terapi bermain yang terstruktur. Sarankan agar membawa
anaknya

kembali

untuk

kontrol

secara

teratur,

pemberian

suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster) serta pemberian


vitamin A setiap 6 bulan.
Orang tua harus diberi pengetahuan bagaimana cara mencegah
rekurensi dari malnutrisi. Sebelum anak dipulangkan orang tua harus
memahami penyebab dan cara mencegah malnutrisi yang meliputi
feeding yang benar,dan stimulasi mental dan emosional yang
berterusan. Pengetahuan tentang cara mengobati diare dan infeksi
lain harus adequate sehingga penyuluhan harus diberi kepada orang
tua. Aktifitas main (play activity) yang sesuai untuk anaknya juga
harus diajarkan kepada ibunya.

27

Kriteria memulangkan pasien


Seorang anak dikatakan sembuh dan dapat dipulangkan apabila BB/U >
80% atau BB/TB >90% menurut standard NCHS/WHO. Pada saat
tertentu anak dapat dipulangkan sebelum mencapai standard diatas
tetapi dipantau terus sebagai outpatient.
Sebelum dipulangkan pasien harus diimunisasi mengikut ketentuan di
Negara

masing-masing.Orang

membawa

anaknya

untuk

tua

harus

imunisasi

diinformasikan
ulang

dan

untuk
booster.

Follow-up
Pasien diinformasikan untuk kontrol seminggu sejak tanggal dia
dipulangkan. Follow up lebih baik dilakukan di klinik yang khusus
untuk anak kekurangan gizi daripada klinik pediatrik biasa. Bilamana
mugkin volunteer diatur untuk melakukan homevisit dan mencari solusi
mengatasi masalah sosial dan ekonomi keluarga pasien selain
kounseling
c) Fase tindak lanjut (6-26 minggu)
Fase ini anak telah dipulangkan. Anak dan keluarga dipantau untuk
mencegah adanya kekambuhan serta menilai adanya perkembangan
fisik, mental dan emosi anak.
2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein
Pencegahan dari KEP pada dasarnya adalah bagaimana makanan yang
seimbang dapat dipertahankan ketersediannya di masyarakat. Langkahlangkah nyata yang dapat dilakukan untuk pencegahan KEP adalah (Wayan,
2011):
1. Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan
(Puskesmas, Puskesmas Pembantu).
2. Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi
pangan bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan
pendamping ASI (bagi balita).
3. Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai. Hal ini
dikarenakan kandungan zat gizi pada setiap jenis makanan ini berbeda-

28

beda dan tida


dak ada satu pun jenis makanan yang meng
ngandung zat gizi
secara lengkap
ap, maka untuk memenuhi kebutuhan sebagia
gian besar zat gizi
diperlukan kon
konsumsi makanan yang beragam. Bagi ibu menyusui
m
dan ibu
hamil dianjurk
urkan menambah jumlah konsumsi, karena kebutuhan
ke
energi
dan zat gizi lai
lainnya pada ibu hamil dan menyusui meningk
gkat.
4. Memperbaiki/
ki/mengurangi efek penyakit infeksi yang suda
dah terjadi supaya
tidak menurun
unkan status gizi.
5. Meningkatkan
an peran serta masyarakat dalam program kelua
luarga berencana.
6. Meningkatkan
an status ekonomi masyarakat melalui pembberdayaan segala
sektor ekonom
omi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lain-lain)
la
2.2 Distribusi Freku
kuensi Kekurangan Energi Protein
Hampir separu
ruh dari semua kematian pada anak di bawah
b
5 tahun
disebabkan oleh keku
kurangan gizi. Kekurangan gizi menempatkan
an anak-anak pada
kondisi berisiko leb
ebih besar meninggal akibat infeksi umum
m, meningkatkan
frekuensi dan kepar
arahan infeksi tersebut, dan memberikan kkontribusi untuk
pemulihan tertunda.. Selain itu, interaksi antara gizi dan infeksi
si dapat membuat
siklus yang berpoten
tensi mematikan, memperburuk penyakit dan
an memperburuk
status gizi (UNICEF
EF, 2015). Gizi buruk pada 1.000 hari pert
ertama kehidupan
seorang

anak

juga
ga

dapat

menyebabkan

pertumbuhan

terhambat,
te

yang

menyebabkan kemam
ampuan kognitif terganggu. Berikut peta perse
sebaran mengenai
anak dibawah 5 tahu
ahun yang mengalami hambatan pertumbuha
han atau stunting
(tubuh pendek)

(Sumber: UNICEF, 2015)

29

2.2.1 Distribusi
si Frekuensi
F
Berdasarkan Usia
Kekurangan Energi
E
Protein (KEP) bisa terjadi pada se
semua usia, akan
tetapi hingga saa
aat ini yang menjadi sorotan utama dunia ada
dalah Kekurangan
Energi Protein ppada anak-anak, hal ini dikarenakan malnut
utrisi (yang salah
satunya adalah KEP)
K
diperkirakan berkontribusi dalam sepeertiga dari semua
kematian anak,, meskipun
m
jarang terdaftar sebagai penyebab la
langsung (WHO,
2015).
Di Indonesiaa kurangnya konsumsi energi yang paling ban
anyak justru pada
individu dengan
an usia antara 16-18 tahun. Sedangkan kura
urangnya kosumsi
protein yang palin
aling banyak pada individu dengan usia >56 tah
ahun

(Sumber: Riskesdas, 2010)


2.2.2 Distribusi
si Frekuensi
F
Berdasarkan Jenis Kelamin
Di dunia internasional,
in
salah satu tolak ukur meng
ngenai Malnutrisi
sekaligus KEP yaitu
y
angka stunting (tubuh pendek), hampi
pir semua negara
dengan data yan
ang tersedia, tingkat stunting (tubuh pendek)
k) lebih tinggi di
kalangan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.. Analisis untuk
menentukan peny
nyebab fenomena ini masih sedang berlangsun
ung , review awal
literatur menunju
jukkan bahwa stunting lebih tinggi di kalanga
gan anak laki-laki
karena tingginya
ya angka kelahiran prematur anak laki-laki ( yang
y
terkait erat
dengan berat lahir
la
rendah ) adalah alasan potensial untu
ntuk menjelaskan
perbedaan berdas
asarkan jenis kelamin pada stunting (tubuh pen
endek).

30

(Sumber: UNICEF, 2015)

Di Indonesia sendiri
se
berdasarkan data Riskesdas tahun 2010
20
kekurangan
energi dan prote
tein paling banyak juga diderita oleh individ
vidu dengan jenis
kelamin laki-laki
ki

(Sumber: Riskesdas, 2010)

31

2.2.3 Distribusi
si Frekuensi
F
Berdasarkan Waktu
Pada tahun 2013
13, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun di
d seluruh dunia
memiliki berat badan
b
kurang. Prevalensi Gizi kurang teruss menurun , akan
tetapi lambat. Anntara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang padaa balita di seluruh
dunia mengalam
ami penurunan dari 25 persen menjadi 15
1 persen. Jika
penurunan ini terus
ter berlanjut , sasaran MDG 1 ( prevalensii gizi
g kurang pada
tahun 2015 berk
erkurang hingga 50% dibanding tahun 199
990 ) tidak akan
terpenuhi.

(Sumber: UNICEF, 2015)


Sedangkan di Indonesia,
In
kecenderungan prevalensi statuss gizi
g anak balita
menurut ketiga indeks
in
BB/U, TB/U dan BB/TB terlihat preva
valensi gizi buruk
dan gizi kurangg meningkat
m
dari tahun 2007 ke tahun 2013.. Prevalensi
P
sangat
pendek turun 0,8
,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensii ppendek naik 1,2
persen dari tahun
un 2007 (Riskesdas, 2013).

(Sumber: Riskesdas, 2013)

32

2.2.4 Distribusi
si Frekuensi
F
Berdasarkan Tingkat Penghasil
silan
Anak-anak dari
ri keluarga miskin beresiko dua kali lebih besar
b
mengalami
stunting atau pert
ertumbuhan terhambat dibanding anak-anak yang
ya
berasal dari
keluarga kaya.. Di
D Asia Selatan, kesenjangan antara anak
ak-anak kaya dan
miskin dalam hal
al pengerdilan lebih besar daripada di daerah lain.
la

(Sumber: UNICEF, 2015)


Di India prevalen
lensi gizi juga menunjukkan ketidakadilan anta
tara si kaya dan si
miskin. Hal inii ditunjukkan
d
dengan tidak adanya penurunan
an yang signifikan
telah dicatat dala
alam prevalensi underweight pada anak darii kuintil
k
termiskin
selama periode dari
d sekitar 1993 sampai sekitar 2006. Seme
mentara itu, anakanak di kuintil ter
terkaya menunjukkan penurunan sekitar seperti
rtiga.

(Sumber: UNICEF, 2015)

33

2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein


Berdasarkan data distribusi frekuensi yang sudah disajikan dalam sudah
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwasanya Kekurangan Energi Protein
dipengaruhi oleh banyak faktor. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu
penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain
ketidakcukupan konsumsi makanan, dan penyakit infeksi. Sedangkan,
penyebab tidak langsung antara lain adalah kurangnya pengetahuan ibu
tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan
ditingkat keluarga yang tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola
konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak
merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau (Suyadi,
2009).
Masalah KEP dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor penentu
baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor tersebut antara
lain adalah kemiskinan, yang menyebabkan terbatasnya kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dan pekerjaan sehingga mengakibatkan kemampuan
untuk memperoleh pangan menjadi sangat rendah, penyakit infeksi yang
berkaitan erat dengan kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal; kurangnya
perhatian ibu terhadap balita karena bekerja; akses yang sulit terhadap sumber
pelayanan kesehatan; dan kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat
makanan bagi kesehatan anak, hal ini dikarenakan pendidikan ibu yang
rendah.
Menurut UNICEF (1998) pokok masalah timbulnya kurang gizi di
masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya
pemanfaatan sumber daya masyarakat, pengangguran, inflasi, kurang pangan
dan kemiskinan. Sedangkan yang menjadi akarnya masalah adalah krisis
ekonomi, politik dan sosial.
Berikut peta konsep mengenai penyebab Kekurangan Energi Protein (KEP):

34

Penyebab KEP

Langsung

Penyakit Infeksi

a.

T
Tidak
Langsung

Kurangnya Konsumsi
Energi dan Protein

Pendi
endidikan Orang Tua
Penda
endapatan Keluarga
J
Jumlah
Anggota
Keluarga
Jenis Kelamin
Umur

Penyebab Langs
gsung
Penyakit Infeksi
ksi
Penyakit infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang
ng rendah. Hal ini
dapat dijelaskann melalui mekanisme pertahanan tubuh yaituu pada
p
balita yang
KEP terjadi keku
kurangan masukan energi dan protein kedalam
m tubuh sehingga
kemampuan tub
ubuh untuk membentuk protein baru berk
erkurang, hal ini
kemudian menye
yebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler
sel
terganggu,
sehingga tubuh menderita
m
rawan serangan infeksi (Jeliffe, 198
989)
Pada anak yang
ng berusia lebih dari 1 tahun perlindungan
an antibodi yang
diperoleh dari ibunya
ibu
melalui plasenta dan ASI sudah berakhi
hir sehingga anak
sangat rentan sekali
sek terkena sakit terutama penyakit infeksi
si (Suyadi, 2009).
Disamping itu anak
an yang sakit cenderung nafsu makannya me
menurun sehingga

35

menyebabkan masukan gizi kurang dan pada akhirnya akan berdampak pada
status gizinya (Jalal, 1998).
Konsumsi Energi dan Protein
Konsumsi energi dan protein yang rendah secara otomatis akan menyebabkan
Kekurangan Energi Protein (KEP) baik ringan, sedang ataupun berat.
b. Penyebab Tidak Langsung
Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi status gizi pada anak
maupun keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan
melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki pendidikan lebih
tinggi cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas
maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka kemungkinan
anak berstatus gizi baik semakin besar.
Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi
rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan
perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
meningkatkan daya beli rumah tangga untuk mencukupi makanan bagi
anggota keluarganya.
Pendapatan Keluarga
Di negara berkembang, termasuk Indonesia masih banyak penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan merupakan akar masalah
kesehatan dan gizi. Dikatakan bahwa rata-rata persen BB/U pada kelompok
ekonomi rendah selalu lebih rendah daripada kelompok ekonomi tinggi. Hal
ini karena pedapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang
bergizi (Budiningsari, 1999)
Jumlah Anggota Keluarga
Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah anggota keluarga
maka semakin baik pertumbuhan anaknya, dengan jumlah anggota keluarga
yang besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP. Rumah tangga
yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4
kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil,

36

dan beresiko pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari
keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga kecil (Berg, 1986)
Umur
Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya pada usia 1-2
tahun. Hal ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningka tajam
sedangkan asi sudah tidak mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak
diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare
karena konsumsi pada makanan yang diberikan (Abunain dalam Lismartina
2000)
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang menentukan
kebutuhan gizi, sehingga jenis kelamin berkaitan erat dengan status gizi
balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada
perempuan, karena laki-laki cenderung lebih aktif dan lebih kuat dibanding
perempuan.
Berdasarkan

distribusi

frekuensi

yang

telah

disajikan

sebelumnya,

menunjukkan bahwa laki-laki beresiko lebih besar terkena KEP. Hal ini
didukung denganhasil penelitian Lismartina (2001) bahwa kejadian KEP
lebih besar pada anak laki-laki (25,9%) dibanding anak perempuan.

37

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, antara lain;
1. Definisi dari kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang
dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang
dan gangguan kesehatan.
2. Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun
1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II
(sedang) dan KEP III (berat).
3. Tanda dan gejala kekurangan energi protein antara lain; pada rambut terdapat
tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut kusam dan kering;
rambut tipis dan jarang (thinness and aparseness); rambut kurang kuat/ mudah
putus (straightness); tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan
pigmentasi

(defuse

depigmentation)

yang

tersebar

berlebih

apabila

disertai anemia; wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar,
lipatan naso labial; Edema dari lidah; lidah mentah atau scarlet; lidah
magenta; atrofi papilla; karies gigi; pengikisan (attrition).
4. pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein berdasarkan perubahan
atau kelainan yang dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi,
perubahan metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan
perubahan yang terjadi pada komposisi cairan tubuh (laboratorium).
5. Penatalaksanaan kekurangan energi protein bervariasi antara tiap jenis KEP,
pada KEP berat terdapat 3 fase dalam penatalaksanaan yaitu Fase inisial atau
akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari), Fase tindak lanjut (6-26
minggu, Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)
6. Pencegahan kekurangan energi protein dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut; (1) Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan (2)
Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan
bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping ASI (bagi
balita). (3) Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai.

38

(4) Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya


tidak menurunkan status gizi. (5) Meningkatkan peran serta masyarakat
dalam program keluarga berencana. (6) Meningkatkan status ekonomi
masyarakat melalui pemberdayaan segala sektor ekonomi masyarakat
(pertanian, perdagangan, dan lain-lain)
7. Distribusi frekuensi kekurangan energi protein didunia pada tahun 2013, 99
juta anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia memiliki berat badan
kurang. Prevalensi Gizi kurang terus menurun , akan tetapi lambat. Antara
tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang pada balita di seluruh dunia mengalami
penurunan dari 25 persen menjadi 15 persen.
8. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak
langsung. Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan,
dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung antara lain adalah
kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang
rendah, ketersediaan pangan ditingkat keluarga yang tidak mencukupi,
besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola
distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang
sulit dijangkau

39

DAFTAR PUSTAKA
Andaka. 2008. Normalkah Body Mass
Index Bmi Anda? (Online),
(http://www.andaka.com/normalkah-body-massindex-bmi-anda.php.)
diakses pada 3 Februari 2015
Arisman . 2004. Gizi dalam daur Kehidupan.. Jakarta: EGC.
Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Jakarta. Penerbit Rajawali.
Budiharjo, S., Romi, M.M., & Prakosa, D. 2004. Pengaruh latihan fisik intensitas
sedang terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu
Kedokteran Vol. 36, No.4: 195-200.
Darmojo, R.B. dan Subagio, H.W. 1998. Laporan penelitian pengamatan
kebiasaan makan pada manusia usia lanjut: studi kasus pada 100 orang
manula di Kelurahan Bergota Kota Madya Semarang. Semarang: Lembaga
Penelitian Universitas Diponegoro.
Depkes RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia. Sehat
2010. Jakarta.
Evelyn, Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga.
Jelliffe DB, EFP Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assesment with Special
Reference to Less Technically Developed Countries. Oxford: Oxford
Universitas Press
Krisnansari, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor
1, Januari 2010
Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. 2005. Measurement and Evaluation
in Human Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA
(http://books.google.co.id/book)
Nurachamah, E. 2001. Nutrisi dalam Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Pudjiadi. S. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta.

40

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Soekirman. 2000. Besar dan karakteristik masalah gizi Di Indonesia. Jakarta :
Akademi Gizi.
Sulistya Hapsari. 2013. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein Dengan
Kejadian Gizi Kurang Anak Usia 2-5 Tahun. KJURNAL GIZI
UNIVERSITAS

MUHAMMADIYAH

SEMARANG

VOLUME

2,

NOMOR 1.
Supariasa, IDN. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP. Jakarta: Universitas Indonesia
UNICEF. 1998. The State on the World Children. Oxford Univ. Press.
UNICEF. 2015. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under
5

and

is

widespread

in

Asia

and

Africa

(Online),

(http://data.unicef.org/nutrition/malnutrition) diakses pada 31 Maret 2015


USU (Universitas Sumatera Utara). 2004. Kurang Energi Protein (Protein Energi
Malnutrition). Medan: Universitas Sumatera Utara.
Wayan,

Sujana.

2011.

Kekurangan

Energi

Protein

(KEP),

(Online)

(http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10 diunduh
31 Maret 2015
WHO. 2015. Malnutrition (Online) (http://www.who.int/) diakses pada 31 Maret
2015

41

Anda mungkin juga menyukai