erosiva
pluriorifisialis,
sindrom
mukokutaneaokular,
eritema
multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna, namun
yang lazim adalah sindrom Stevens-Johnson (SSJ) yang merupakan sindrom kelainan
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa
hal yang memicu timbulnya SJS seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme
terjadinya sindroma pada SJS adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang
memicunya. Seperti pada kasus kematian pasien di RS St Carolus dan terakhir yang
di laporkan dari Jawa Timur , secara sepintas tampak sebagai SSJ. SSJ muncul
biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang
ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan
oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui
jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe
alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan
selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SSJ akan membutuhkan waktu pemulihan
yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kasus cenderung memiliki kecenderungan terjadi pada
awal musim semi dan musim dingin. Insiden SSJ dan nekrosis epidermal toksik
(NET) diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika
Serikat. Umumnya terjadi pada dewasa. 1
Derivat oxicam NSAID (piroksikam, meloxicam, tenoxicam) dan sulfonamid
merupakan obat yang paling sering menyebabkan terjadinya SSJ di Amerika Serikat
dan negara-negara Barat lainnya. Di negara lain, obat yang paling sering
ETIOPATOGENESIS
Etiologi
Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena
infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson
Infeksivirus
jamur
bakteri
parasit
Obat
Makanan
Fisik
Lain-lain
kausal.
Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat,
Patogenesis
kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat
diidentifikasi. Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian
Sekitar 50% penyebab SSJ adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat
Sulfonamid,
insulin,
GEJALA KLINIS
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang
dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak,
gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul
mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan
uretritis). Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa
penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut
dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat
penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.
SSJ biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari
berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot
dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang
tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.
Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit
lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada SSJ, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik
untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya. Gejala awal termasuk:
Ruam
Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
Kulit berupa eritema, papul, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga
terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada
bentuk yang berat kelainannya generalisata
Pada mata terjadi: terjadi pada 80% dari semua kasus, konjungtivitis
(radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola
mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Pada darah tepi, anemia dapat dijumpai pada
kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, jika
terdapat leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial sehingga
dapat dilakukan kultur darah, jika terdapat peningkatan eosinofil kemungkinan karena
alergi. Pemeriksaan elektrolit diperlukan karena seringnya terjadi gangguan
keseimbangan dan elektrolit pada SSJ. Pada pemeriksaan immunoglobulin, kadar IgG
dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya circulating immune complex. Biopsy kulit direncanakan bila lesi klasik tidak
ada.
Pemeriksaan
histopatologi
dan
imunohistokimia
dapat
mendukung
ditegakkannya diagnosis.
Pada histopatologi. Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema
multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrosis epidermal
yang menyeluruh. Kelainan berupa:
1. Infiltrat sel mononukear di sekitar pembuluh-pembuluh dara dermis
superficial.
2. Edema dan ekstravasai sel dara merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
DIAGNOSIS
Diagnosis Steven Johson Syndrome 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan
oleh obat, ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis
ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata,
serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias
kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
dianggap sebagai bentuk parah SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat
epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa punggungnya. Apabila
terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET. Pada NET keadaan
umumnya lebih buruk daripada SSJ dan kelainan epidermolisis lebih luas, lebih dari
30% BSA (body surface area). Diagnosis banding yang kedua adalah eritema
multiforme, akan dijelaskan pada gambar dan tabel.
PENATALAKSANAAN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat termasuk
jamu yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah
keburukan. Jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak menyeluruh cukup
diobtai dengan prednison 30-40 mg sehari. Namun pada pasien SSJ dengan
keadaan umum buruk dan lesi menyeluruh, biasanya dirawat inap dan biasanya
dirawat di ICU. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving,
dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5
mg sehari. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi,
keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak
mengalami invoulsi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari
diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet
prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat terebut dihentikan. Jadi
lama pengobatan kira-kira 10 hari. Pada anak dengan kotikosteroid parenteral:
menutupi
tanda
awal
sepsis,
perdarahan
gastrointestinal
dan
Antibiotik digunakan selain untuk mencegah infeksi sekunder akibat SSJ, juga
akibat penggunaan tinggi dosis kortikosteroid, maka imunitas pasien berkurang.
Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik,
misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari dan
juga seftriakson dengan dosis 2 gram intravena sehari 1x1. Antibiotic yang paling
beresiko tinggi adalah -lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal
dapat diberikan antibiotic spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan
dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam
dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu
diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan kalium
sehari iv.
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi
dapat diberikan krim sulfadiazine perak. Bula di kulit dirawat dengan kompres
basah larutan Burowi. Untuk lesi mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan
betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal dapat
diberikan emolien misalnya krim urea 10%. Pemberian obat tetes mata baik
antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah
timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.
PROGNOSIS
Jika bertindak tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila
terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan
umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan
kematian.
Persentase kematian di berbagai kota di Indonesia bervariasi. Dalam publikasi
Sri Lestari dan Adhi Djuanda pada tahun 1994 dicantumkan angka kematian di
berbagai kota di Indonesia. Angka kematian di RS Dr. Kariadi Semarang 14.6%, RS
DR. Soetomo Surabaya 5.1%, RS Dr. Sardjito Yogyakarta 7.0%, RS Wangaya
Denpasar 9% dan RS Denpasar 20%; sedangkan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo 4%.
Laporan terakhir dari RS Dr. Saiful Anwar, Malang 8.7%. Sedangkan di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo hanya 1 %.
KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SSJ sukar
ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada
umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Diagnosis
banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu , Nekrolisis Epidermal Toksik
(NET) dan Eritema Multiforme.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi
cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan
keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan
hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Serta
penggunaan steroid sistemik, namun beberapa pendapat masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom Stevens-Johnson. In: Djuanda A, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2005. p.163-65.
2. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.p.141-42.
3. Djuanda A, Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksis. In: Djuanda A, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2005. p.166-67.