Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), dimana insidennya semakin meningkat


karena salah satu penyebabnya adalah alergi obat dan sekarang semua obat dapat
diperoleh secara bebas. Berbagai sinonim dipakai untuk penyakit ini di antaranya,
ektodermosis

erosiva

pluriorifisialis,

sindrom

mukokutaneaokular,

eritema

multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna, namun
yang lazim adalah sindrom Stevens-Johnson (SSJ) yang merupakan sindrom kelainan
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa
hal yang memicu timbulnya SJS seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme
terjadinya sindroma pada SJS adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang
memicunya. Seperti pada kasus kematian pasien di RS St Carolus dan terakhir yang
di laporkan dari Jawa Timur , secara sepintas tampak sebagai SSJ. SSJ muncul
biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang
ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan
oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui
jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe
alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan
selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SSJ akan membutuhkan waktu pemulihan
yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kasus cenderung memiliki kecenderungan terjadi pada
awal musim semi dan musim dingin. Insiden SSJ dan nekrosis epidermal toksik
(NET) diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika
Serikat. Umumnya terjadi pada dewasa. 1
Derivat oxicam NSAID (piroksikam, meloxicam, tenoxicam) dan sulfonamid
merupakan obat yang paling sering menyebabkan terjadinya SSJ di Amerika Serikat
dan negara-negara Barat lainnya. Di negara lain, obat yang paling sering

menyebabkan SSJ berbeda dengan di negara-negara barat, allopurinol adalah obat


yang paling sering di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura,
Taiwan, dan Hong Kong. Sedangkan di Indonesia, penelitian Adhi Djuanda selama 5
tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering adalah analgetik/antipiretik
(45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13.3%). Sebagian besar jamu
dibubuhi obat. Kausa lain adalah amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan
seftriakson.
Mortalitas / Morbiditas
Morbiditas ditentukan terutama oleh tingkat nekrosis kulit. Ketika nekrosis
kurang dari 10%, BSA (Body surface area), tingkat kematian adalah sekitar 1-5%.
Namun, ketika nekrosis lebih dari 30% BSA, angka kematian adalah antara 25% dan
35%, dan mungkin setinggi 50%. Bakteremia ataupun sepsis juga dapat menyebabkan
kematian.
Ras
Pernah dilaporkan kejadian SSJ ini di dominasi oleh ras Kaukasia.
Seks
Lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan laki-perempuan 2:1.
Umur
Kebanyakan terjadi pada pasien dewasa berumur antara 20-40 tahun, hal tersebut
berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada
dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut,
namun pernah dilaporkan kasus terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan.

ETIOPATOGENESIS
Etiologi
Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena
infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson

Infeksivirus
jamur
bakteri
parasit

Obat
Makanan
Fisik
Lain-lain

Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia


koksidioidomikosis, histoplasma
streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis,
salmonela
malaria
salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik
Coklat
udara dingin, sinar matahari, sinar X
penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan


sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21
hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka
hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu
macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan

kausal.
Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat,

sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.


Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi
berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap
obat-obatan penyebab.

Patogenesis
kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat
diidentifikasi. Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian

Sekitar 50% penyebab SSJ adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat
Sulfonamid,

, imidazol dan NSAID, sedangkan peringkat menengah

adalah quinolon, antikonvulsan aromatic dan alopurinol. Beberapa faktor penyebab


timbulnya SSJ diantaranya : infeksi ( virus herpes simplex, dan Mycoplasma
pneumonia, makan (coklat), dan vaksinasi. Faktor fisik ( udara dingin, sinar mathari,
sinar X) rupanya berperan sebagai pencetus ( trigger ). Patogenesis SSJ sampai saat
ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III
dan IV. Oleh karena proses hipersensitivitas , maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap

insulin,

hiperglikemia dan glukosuria


3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari
temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SSJ/NET yang diinduksi
allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di Eropa umumnya
3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B
berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.

GEJALA KLINIS
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang
dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak,
gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul
mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan
uretritis). Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa

penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut
dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat
penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.
SSJ biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari
berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot
dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang
tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.
Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit
lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada SSJ, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik
untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya. Gejala awal termasuk:
Ruam
Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
Kulit berupa eritema, papul, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga
terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada
bentuk yang berat kelainannya generalisata

Mukosa di orifisium. Tersering pada mukosa mulut (100%), kemudian


disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan lubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya
berupa vesikel, bula, yang cepat memecah menjadi erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan kusta berwarna merah atau kehitaman. Bula terjadi
mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal. Di mukosa mulut juga
dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak
ialah krusta berwarna hitam tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga
terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esophagus.
Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernapas.

Pada mata terjadi: terjadi pada 80% dari semua kasus, konjungtivitis
(radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola
mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan

terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik


dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang
diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid
bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Pada darah tepi, anemia dapat dijumpai pada
kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, jika
terdapat leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial sehingga
dapat dilakukan kultur darah, jika terdapat peningkatan eosinofil kemungkinan karena
alergi. Pemeriksaan elektrolit diperlukan karena seringnya terjadi gangguan
keseimbangan dan elektrolit pada SSJ. Pada pemeriksaan immunoglobulin, kadar IgG
dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya circulating immune complex. Biopsy kulit direncanakan bila lesi klasik tidak
ada.

Pemeriksaan

histopatologi

dan

imunohistokimia

dapat

mendukung

ditegakkannya diagnosis.
Pada histopatologi. Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema
multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrosis epidermal
yang menyeluruh. Kelainan berupa:
1. Infiltrat sel mononukear di sekitar pembuluh-pembuluh dara dermis
superficial.
2. Edema dan ekstravasai sel dara merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.

4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.


5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

DIAGNOSIS
Diagnosis Steven Johson Syndrome 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan
oleh obat, ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis
ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata,
serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias
kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
dianggap sebagai bentuk parah SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat
epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa punggungnya. Apabila
terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET. Pada NET keadaan
umumnya lebih buruk daripada SSJ dan kelainan epidermolisis lebih luas, lebih dari
30% BSA (body surface area). Diagnosis banding yang kedua adalah eritema
multiforme, akan dijelaskan pada gambar dan tabel.

PENATALAKSANAAN

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat termasuk
jamu yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah
keburukan. Jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak menyeluruh cukup
diobtai dengan prednison 30-40 mg sehari. Namun pada pasien SSJ dengan
keadaan umum buruk dan lesi menyeluruh, biasanya dirawat inap dan biasanya
dirawat di ICU. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving,
dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5
mg sehari. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi,
keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak
mengalami invoulsi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari
diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet
prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat terebut dihentikan. Jadi
lama pengobatan kira-kira 10 hari. Pada anak dengan kotikosteroid parenteral:

deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5


mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga
yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Beberapa
peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan bahwa
kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat kovalesensi,
mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah
kekambuhan. Beberapa literature menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik
dapat mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu
sintesa lipokotrin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid
dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin.
Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid beragumentasi bahwa
kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko
infeksi,

menutupi

tanda

awal

sepsis,

perdarahan

gastrointestinal

dan

meningkatkan mortalitas. Pada pengobatan dengan kortikosteroid ini hendaknya


dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen (alergi), jadi
berbeda dengan penyakit autoimun (endogen), misalnya pemfigus. Faktor lain
yang harus dipertimbangkan yaitu harus tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada
perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan.

Antibiotik digunakan selain untuk mencegah infeksi sekunder akibat SSJ, juga
akibat penggunaan tinggi dosis kortikosteroid, maka imunitas pasien berkurang.
Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik,
misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari dan
juga seftriakson dengan dosis 2 gram intravena sehari 1x1. Antibiotic yang paling
beresiko tinggi adalah -lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal
dapat diberikan antibiotic spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan
dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam
dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu
diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan kalium

dapat diberikan KCL 3x500 mg per os.


Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Terlebih
karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di
tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infuse,
misalnya dekstrosa 5%, NaCl 9% dan ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam 1 kolf

yang diberikan 8 jam sekali.


Transfusi darah dapat dipertimbangkan jika dalam 2 hari tidak ada perbaik
dengan terapi cairan, maka dapat diberikan transfusi darah whole blood sebanyak
300cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfuse dengan whole blood adalah
sebagai imunorestorasi, bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk,
setelah diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal. Jadi indikasi pemberian
transfuse darah pada SSJ dan NET ialah:
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari

belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari.


2. Bila terdapat purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Pada kasus purpura luas dapat pula ditambahkan vit C 500 mg atau 1000 mg

sehari iv.
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi
dapat diberikan krim sulfadiazine perak. Bula di kulit dirawat dengan kompres
basah larutan Burowi. Untuk lesi mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan
betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal dapat
diberikan emolien misalnya krim urea 10%. Pemberian obat tetes mata baik
antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah
timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.

PROGNOSIS
Jika bertindak tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila
terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan

umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan
kematian.
Persentase kematian di berbagai kota di Indonesia bervariasi. Dalam publikasi
Sri Lestari dan Adhi Djuanda pada tahun 1994 dicantumkan angka kematian di
berbagai kota di Indonesia. Angka kematian di RS Dr. Kariadi Semarang 14.6%, RS
DR. Soetomo Surabaya 5.1%, RS Dr. Sardjito Yogyakarta 7.0%, RS Wangaya
Denpasar 9% dan RS Denpasar 20%; sedangkan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo 4%.
Laporan terakhir dari RS Dr. Saiful Anwar, Malang 8.7%. Sedangkan di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo hanya 1 %.

KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SSJ sukar
ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada
umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Diagnosis
banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu , Nekrolisis Epidermal Toksik
(NET) dan Eritema Multiforme.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi
cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan
keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan
hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Serta
penggunaan steroid sistemik, namun beberapa pendapat masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom Stevens-Johnson. In: Djuanda A, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2005. p.163-65.
2. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.p.141-42.
3. Djuanda A, Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksis. In: Djuanda A, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2005. p.166-67.

4. Harsono A. Sindroma Stevens Johnson: Diagnosis dan Penatalaksanaan. In:


Harsono A, editor. Proceeding of Divisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK-UNAIR RSU Dr. Soetomo; 2006 July 29-30. Surabaya, Indonesia.
5. Diagnosis Treatment and Prognosis Stevens Johnson Syndrome. Available at
http://www.sjsyndrome.com/diagnosis.html. Accessed on Mei 30,2011.
6. Sindrom Stevens Johnson. Available at
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/sindrom-steven-johnson/.
Accessed on Mei 30,2011.
7. Sindrom Stevens Johnson. Available at
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/sindrom-steven-johnson/.
Accessed on Mei 30,2011.
8. Sindrom Stevens Johnson. Available at
http://www.merck.com/mmpe/sec10/ch117/ch117i.html. Accessed on Mei
30,2011.
9. Ghislain PD, Roujeau JC. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson
Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome.
Dermatol Online J 2002; 8(1):5.
10. Stevens Johnsons syndrome in Emergency Medicine. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview#a0104. Accessed on
Mei 30,2011.

Anda mungkin juga menyukai