Anda di halaman 1dari 3

Bahasa Indonesia Sebagai Jatidiri Bangsa

Oleh
Azizah

Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri
di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Bangsa indonesia dituntut untuk
dapat mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa.
Mengapa hal ini menjadi penting? Karena globalisasi dengan segala pengaruhnya akan
berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama bahasa. Dengan bahasa yang
semakin global, terutama bahasa inggris, yang dipakai oleh hampir semua bangsa di dunia.
Memungkinkan adanya penggerusan terhadap bahasa-bahasa yang lebih lemah dan tidak
memiliki jati diri yang kuat.
Sehingga hal ini dapat mengakibatkan bahasa yang terdapat pada suatu bangsa menjadi
kehilangan kedudukannya. Lalu bagaimana dengan bahasa indonesia? Pada saat sekarang
mulai tampak adanya indikasi ke arah sana. Dimulai dengan adanya kecenderungan
penamaan setiap perusahaan, reklame, tempat hiburan, tempat perbelanjaan, film, gedung,
dan banyak lainnya dengan bahasa asing, seperti Factory Outlet, Cilandak Town Square,
Bandung Super Mall, film Get Married, Lippo Bank, dan contoh lainnya yang semakin hari
semakin mendominasi.
Ditambah dengan adanya fenomena bahwa bahasa asing lebih diprioritaskan oleh berbagai
masyarakat, terutama oleh kalangan masyarakat kelas atas yang dari segi finansial cukup
memadai. Adanya anggapan bahwa bahasa asing lebih bersifat maju dan memiliki gengsi
sosial yang lebih tinggi. Dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang dengan bangga
menggunakan bahasa asing di setiap kesempatan. Menjadikan bahasa asing sesuatu yang
penting untuk dikuasai dan dipelajari.
Bahkan di beberapa media cetak dan media elektronik diketahui bahwa beberapa artis dan
masyarakat kelas atas lainnya mendidik, mengajari, dan menggunakan bahasa asing (bahasa
inggris) kepada anaknya sejak mereka belajar berbicara pertama kali. Dengan alasan agar
memudahkan anaknya kelak dalam menguasai bahasa asing ketika berhadapan dengan era
global, dimana dituntut memiliki keahlian berbahasa asing yang baik, terutama bahasa asing.
Hal ini merupakan suatu ironi yang sangat menyedihkan. Karena dengan alasan apapun,
penggunaan bahasa asing sejak mulai belajar berbicara adalah suatu sikap yang tidak dapat
ditolerir. Karena kebanggaan dan kehormatan terhadap bahasa indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara tidak dapat dibeli dan tergantikan oleh apapun.
Harus dapat dibedakan situasi yang terjadi di indonesia dengan negara lainnya semisal
Hongkong, India, Singapura, dan Malaysia. Di Hongkong, bahasa inggris merupakan bahasa
resmi kenegaraan. Di Singapura dan Malaysia, bahasa inggris digunakan sebagai bahasa
persatuan bagi berbagai etnis yang terdapat disana, seperti Melayu, Tionghoa, dan India. Di
India, bahasa inggris menjadi bahasa yang sering digunakan karena keterikatan historis yang
cukup kuat antara india dan inggris. Sedangkan di Indonesia tidak ada sama sekali alasan dan
pembenaran terhadap sikap memprioritaskan bahasa asing, dalam hal ini bahasa inggris.
Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa
Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, dalam
hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap luwes dan
terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin

kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial, bahasa Indonesia harus mampu
menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan.
Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa
menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari
kemungkinan salah tafsir.
Kedua, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap mampu
menunjukkan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di tengah-tengah
pergaulan antarbangsa di dunia. Hal ini sangat penting disadari, sebab modernisasi yang
demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dikhawatirkan akan menggerus
jatidiri bangsa yang selama ini kita banggakan dan kita agung-agungkan. Ruh heroisme,
patriotisme, dan nasionalisme yang dulu gencar digelorakan oleh para pendahulu negeri harus
tetap menjadi basis moral yang kukuh dan kuat dalam menyikapi berbagai macam bentuk
modernisasi di segenap sektor kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bagian
jatidiri bangsa harus tetap menampakkan kesejatian dan wujud hakikinya di tengah-tengah
kuatnya arus modernisasi.
Ketiga, bahasa Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan industri dan
Iptek. Ini artinya, bahasa Indonesia harus mampu menerjemahkan dan diterjemahkan oleh
bahasa lain yang lebih dahulu menyentuh aspek industri dan Iptek. Persoalannya sekarang,
mampukah bahasa Indonesia berdiri tegas di tengah-tengah tuntutan modenisasi, tetapi tetap
sanggup mempertahankan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya?
Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengembangan Iptek yang wibawa dan
terhormat, sejajar dengan bahasa-bahasa lain di dunia?masih setia dan banggakah para
penuturnya untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai
wacana komunikasi?
Tanpa Sosialisasi
Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dna kepedulian kita untuk menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan.
Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar.
Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu
berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah
kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita
mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih
mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih
terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah
ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi.
Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri
(inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap
masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa
sendiri. Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?
Menurut hemat penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang ckup
mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam
berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya, ketaatasasan terhadap kaidah bahasa yang
berlaku menjadi nihil.
Kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diluncurkan oleh Pusat Bahasa, eeprti Pedoman Umum
Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diharapkan menjadi
acuan normatif masyarakat dalam berbahasa, tampaknya tidak pernah laku. Persoalan
kebahasaab seolah-olah hanya menjadi urusan para pakar, pemerhati, dan peminata masalah

kebahasaan. Yang lebih parah, masyarakat menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan
membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif.
Opini tersebut diperparaha dengan minimnya keteladanan dari elite tertentu yang
seharusnya menjadi patron berbahasa yang baik dan benar, justru mempermainkan dan
memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Akibatnya, sikap latah
masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak berdosa, bahkan menjadi sebuah
kebanggan ketika meniru bahasa kaum elite.
Kedua, kurang gencarnya pemerintah dalam hal ini Pusat Bahasa sebagai tangan panjangnyamelakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas, bahkan bisa
dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar menyosialisasikan slogan dan jargon
kebehasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa.
Dengan kata lain, slogan Gunakanlah Bahasa yang Baik dan Benar yang sering kita baca
lewat berbagai media (cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi
sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.
Kaidah bahasa yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesamaan
persepsi dalam pemakaian bahasa, sehingga terjadi kesepahaman manka antara komunikator
dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau perencana bahasa dalam mengkodifikasi kaidah mestinya harus tetap mengacu pada kecenderungan-kecenderungan yang
berlangsung di tengah-tengah masyarakat sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan
dipaksanakan. Kecenderungan masyarakat yang sering menggunakan istilah asing , baik
dalam ragam lisan maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa
sebagai masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan
datang. Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di tengah-tengah
masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif. Dengan kata lain, modrnisasi
sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus global dan mondial sehingga bahasa kita
benar-benar mampu menjadi bahasa komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka.
Namun demikian, kita jangan sampai dalam modernisasi bahasa yang berlebihan sehingga
melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa
negara.

Anda mungkin juga menyukai