Anda di halaman 1dari 3

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang sangat
kompleks pada anak, mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Kondisi ini
menyebabkan
mereka
tidak
mampu
berkomunikasi
maupun
mengekspresikan keinginannya, sehingga mengakibatkan terganggunya
perilaku dan hubungan dengan orang lain (Levy, 2009). Prevalensi autis
beberapa tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang signifikan. Center for
Diseases Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat pada bulan
Maret 2013 melaporkan, bahwa prevalensi autis meningkat menjadi 1:50
dalam kurun waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan hanya terjadi di
negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun
juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia
saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau berkisar 0,l5-0,20%. Jika
angka kelahiran di Indonesia 6 juta per tahun maka jumlah penyandang autis
di Indonesia bertambah 0,15% atau 6.900 anak per tahunnya(Pratiwi dan
Dieny, 2014).
Perilaku autis digolongkan menjadi dua jenis yaitu perilaku yang
eksesif (berlebihan) dan perilaku defisit (berkekurangan). Perilaku eksesif
adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum (mengamuk) seperti menjerit,
mengepak, mengigit, mencakar, memukul, dan termasuk juga menyakiti diri
sendiri (self abuse). Perilaku defisit adalah perilaku yang menimbulkan
gangguan bicara atau kurangnya perilaku sosial seperti tertawa atau
menangis tanpa sebab serta melamun. Perilaku autis dapat ditangani dengan
beberapa langkah diantaranya melalui pengobatan medis, terapi psikologis,
tata laksana perilaku, dan pengaturan diet (Pratiwi dan Dieny, 2014).
Adapun gejala karakteristik dari autis yaitu kegagalan interaksi sosial
secara kualitatif (non verbal multiple behavior). Terlihat dari ekspresi wajah,
tatapan mata, sikap badan tidak memadai, tidak ada respon timbal balik, dan
tidak mampu membagikan kesenangan secara spontan. Kedua, kegagalan
komunikasi verbal secara kualitatif, seperti terlambat bicara, kegagalan
memulai atau mempertahankan percakapan, penggunaan kata berulangulang, tidak mampu bermain sesuai usianya, tidak bervariasi, monoton, dan
tidak ada imitasi. Dan gejala khas ketiga yang bisa terlihat adalah terdapat
pola perilaku stereotipik, mempertahankan perilaku tertentu dan diulangulang. Misalnya, flapping (bertepuk tangan), twisting (berputar-putar), insist
dan persistent preoccupation dengan obyek tertentu (seperti, memutar-mutar
roda terus menerus). Hal itu tentu akan membuat proses perkembangan anak
menjadi terhambat.
Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk membantu
meningkatkan kemampuan interaksi sosial pada anak autis yaitu dengan

melakukan pengajaran pralinguistik yang merupakan tahapan perkembangan


bahasa. Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang dipakai
oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomuniksi dan berinteraksi
antara sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.
Meskipun anak-anak penderita autis tesebut mempunyai kesulitan dalam
berkomunikasi dan berbahasa, tetapi mereka tetap mempunyai keunikan.
Bahkan ada di antara mereka yang menciptakan bahasa mereka sendiri.
Kemampuan pemerolehan bahasa adalah sesuatu yang unik untuk manusia.
(Yusuf, 2005).
Menurut Jamaris (2006) perkembangan bahasa pada anak tidak lepas
dari faktor lingkungan. Lingkungan merupakan tempat di mana seorang anak
tumbuh dan berkembang, sehingga lingkungan banyak berperan dalam
membentuk kepribadian dan karakter seseorang. Bagi kebanyakan anak,
lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan anak, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga
dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orangtua dan orangorang terdekat.Keluarga bagi seorang anak merupakan lembaga pendidikan
non formal pertama, di mana mereka hidup, berkembang, dan matang. Dalam
sebuah keluarga, seorang anak pertama kali diajarkan pada pendidikan.
Melalui pendidikan dalam keluarga tersebut anak mendapatkan pengalaman,
kebiasaan, ketrampilan berbagai sikap dan bermacam-macam ilmu
pengetahuan. Hal itulah yang melandasi dilakukannya penelitian tentang
peningkatan interaksi sosial berhubungan dengan pengajaran pralinguistik
lingkungan pada anak pra sekolah dengan autis.
1.2. Tujuan
1.2.1. Mahasiswa mampu menganalisis jurnal keperawatan tentang
gangguan sensori presepsi
1.2.2. Mahasiswa menerapkan landasan teori yang berhubungan dengan
jurnal tentang gangguan sensori presepsi tersebut
1.2.3. Mahasiswa mampu mengimplikasikan jurnal yang sudah dianalisis
pada keperawatan

Referensi
Jamaris, M. (2006). Perkembangan dan pengembangan anak usia taman kanakkanak. Jakarta: Grasindo.
Levy, Susan E; David S. Mandell; Robert T. Schultz. (2009). Autism. National
Institutes of Health, 374 (9701): 1627-1638, doi:10.1016/S01406736(09)61376-3.

Pratiwi, R.A. dan Dieny, F.F. (2014). Hubungan skor frekuensi diet bebas gluten
bebas casein dengan skor perilaku autis. Journal of Nutrition College.
Vol. 3.
Yusuf, S. (2005).Psikologi perkembangan anak dan remaja.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai