Anda di halaman 1dari 8

Analisis Urine

Analysis of Urine
Eggy Triana Putri1 )*), Reni Pusvitasari2), dan Wilfadri Putra Jonesti 3)
1) NIM. 1310422040 Kelompok VI D, Praktikum Analisis Urine
2) NIM. 1310422044, Kelompok VI D, Praktikum Analisis Urine
3) NIM. 1310421068, Kelompok VI D, Praktikum Analisis Urine
*Koresponden:
Eggytp@gmail.com
Abstract
The experiment about analysis applied on Wednesday, 10 September 2015 at 10.30 until 13.00
pm in the Laboratory Physiology Animals, biology, the Faculty of Mathematics and Natural
Sciences, Andalas University, West Sumatra. The aimed is to understanding the difference of
glucose levels in normal urine and pathological urine. We also identified forms sedimentation in
normal urine and pathological urine. The first experiment we mixed the urine by given different
treatment ( I, II, III, IV, V and VI) with a reagent benedict then heated until we got a diffrence
color. The second experiment we did a sentrifuge to the normal urine and pathological urine and
observable sedimentation forms contained in the urine by using a microscope. The result of the
first experiment treatment I, II and VI its color fixed blue, treatment III the yellowish green
color, treatment IV and V a yellow color murky. The second experiment in normal urine there
are fibers herbs and in pathological urine there are thread mucus, tripelfosfat, cylindrical
granula, tyrosine and fibers herbs.
Keywords: Analysi,Urine, Benedict, Sentrifuge, Thread mucus.

PENDAHULUAN
Sistem metabolisme di dalam tubuh mahluk
hidup melibatkan 2 sistem penting, yaitu
sistem ekskresi dan sekresi. Sistem eksresi
merupakan
hal
yang
pokok
dalam
homeostatis
karena
sistem
tersebut
membuang
limbah
metabolismedan
merespons terhadap tingkat keseimbangan
cairan tubuh dengan cara mengeksresikan
ion-ion tertentu sesuai kebutuhan dan
mengeluarkan sebagian dari sisa metabolisme
yang tidak terpakai lagi oleh tubuh dalam
bentuk yang bermacam-macam, baik itu
berupa lewat urine yang di didalamnya
terkandung berbagai macam kandungan
mineral, glukosa, dan zat lain yang tidak
diperlukan tubuh. selain urine juga bisa
melalui keringat. Sistem eksresi sangat
beranekaragam, tetapi semuanya mempunyai
kemiripan fungsional (Campbell,2004).
Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan
ikat longgar yang disebut kapsula.Unit

fungsional dasar dari ginjal adalah nefron


yang dapat berjumlah lebih dari satu juta buah
dalam satu ginjal normal manusia dewasa.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat
terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan
lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan
pembuangan
dilakukan
menggunakan
mekanisme pertukaran lawan arus dan
kotranspor. Hasil akhir yang kemudian
diekskresikan disebut urin (Campbell,2004).
Proses pengeluaran zat-zat sisa yang
tidak digunakan lagi merupakan kerja dari
system ekskresi. Zat-zat sisa ini berupa air,
keringat, dan urine. Sistem ekskresi ini
berguna untuk menjaga konsentrasi ion-ion
seperti ion Na+, K+, Cl-, Ca2+ dan H+, menjaga
konsentrasi kandungan osmotik, menjaga
keseimbangan
cairan
dalam
tubuh,

membuang sisa metabolisme yaitu urea dan


asam urat dan membuang zat asing yang tidak
berguna dari hasil metabolisme (Dahelmi,
1991).
Urine adalah cairan hasil sisa
metabolisme yang dikeluarkan karena tidak
dibutuhkan lagi oleh tubuh hewan melalui
proses fisiologi tubuh hewan. Dalam
pembentukan urine diperlukan hormon
insulin. Hormon insulin berfungsi untuk
mengatur kadar gula, seseorang penderita
diabetes disebabkan karena kerja hormone
insulinnya
terganggu.
Faktor
yang
memepengaruhi jumlah urine dihasilkan
seseorang antara lain adalah volume air yang
dimimun, suhu, banyak garam yang harus
dikeluarkan di dalam tubuh, zat-zat diuritict
seperti kopi dan alkohol, yang dapat
mengurangi penyerapan ion Na + sehingga
penyerapan tersebut terhambat dan volume air
akan meningkat (Kimball, 1996).
Urine memiliki sifat kimia dan fisik
diantaranya adalah (1) Jumlah rata-rata 1-2
liter/hari tergantung banyaknya cairan yang
dimasukan (2) Berwarna bening/orange pucat
tanpa endapan, (3) Mempunyai bau yang
menyengat, dan (4) Reaksi sedikit asam
terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
Sedangkan komposisi urine adalah 96% air,
Natrium, Pigmen Empedu,, 1,5% garam,
Kalium, Toksin, 2,5% urea, kalsium,
Bikarbonat, Kreatinin N, Magnesium,
Kreatini, Khlorida, Asam urat N, Sulfat
anorganik, Asam urat, Fosfat anorganik,
Amino N, Sulfat, Amonia N dan Hormon
(Armstrong, 1998)
Urin terdiri dari air dengan bahan
terlarut berupa sisa metabolisme (seperti
urea), garam terlarut, dan materi organik.
Cairan dan materi pembentuk urin berasal
dari darah atau cairan interstisial. Komposisi
urin berubah sepanjang proses reabsorpsi
ketika molekul yang penting bagi tubuh,
misal glukosa, diserap kembali ke dalam
tubuh melalui molekul pembawa. (Villee,
1984).
Dalam pembentukan urine terjadi
beberapa proses yakninya : 1) Proses filtrasi
yang terjadi dalam glomerulus, terjadi karena
permukaan aferent lebih besar dari
permukaan eferent maka terjadi penyerapan
darah, sedangkan sebagian tersaring adalah
bagian cairan darah kecuali protein, cairan

yang tersaring ditampung oleh simpauni


bawman yang terdiri dari glukosa, air,
sodium, klorida, sulfat, bikarbonat diteruskan
ke tubulus seminiferos. 2) Proses reabsorpsi :
terjadi penyerapan kembali sebagian dari
glukosa, sodium, kloroda dan fosfat dan
beberpa ion bikarbonat. Prose ini terjadi
secara pasif yang dikenal obligator reapsorbsi
terjadi pada tubulus atas. 3) proses sekresi,
sisanya penyerapan kembali yang terjadi pada
tubulus dan diteruskan ke piala ginjal
selanjutnya diteruskan keluar (Syaifuddin,
1997).
Pembentukan urine dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik dari dalam tubuhmaupun
lingkungan, misalnya minum cairan hipotonik
dalam jumlah besar,tingkat stress, ketakutan,
dan lain-lain. Faktor dari luar tubuh berupa
pengaruhsuhu lingkungan, topografi, tempat
tinggal seseorang. Sekresi dan ekskresi
memiliki nilai yang sangat penting dalam
proses metabolisme dan kehidupanhewan dan
manusia. Tanpa kedua sistem ini pastilah
mahluk hidup tidak akandapat bertahan hidup
dan kesintasannya tidak akan terjaga
(Yuwono, 2001).
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan dilaksanakan
pada hari Rabu, 26 Agustus 2015 pukul
10.30-13.00 WIB di Laboratorium Fisiologi
Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Andalas, Padang.
Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum
kali ini adalah tabung reaksi, tabung sampel
urine, pipet tetes, penangas air, kertas label,
gelas ukur, beaker glass, tissue, tabung
sentrifus, sentrifus, mikroskop, kaca objek
dan cover glass. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah urine normal pagi hari,
urine normal postprandial (urine yang diambil
1,5-3 jam setelah makan) dan urine patologis
(penderita diabetes melitus), reagen benedict
dan glukosa beberapa konsentrasi (1,5 %, 3%
dan 5%).
Cara Kerja

A. Penentuan Kadar Glukosa Urine Secara


Semikuantitatif
6 tabung reaksi disediakan dan diberi label
I,II,III,IV,V dan VI. Selanjutnya reagen
benedict dimasukkan ke dalam masingmasing tabung sebanyak 2,5 ml dan disertai
dengan perlakuan sebagai berikut:
Tabung I
: ditetesi dengan 4 tetes urine
normal
Tabung II
: ditetesi dengan 4 tetes urine
patologis
Tabung III
: ditetesi dengan 4 tetes urine
normal+ 4 tetes glukosa 1,5%
Tabung IV
: ditetesi dengan 4 tetes urine
normal+ 4 tetes glukosa 3%
Tabung V
: ditetesi dengan 4 tetes urine
normal+ 4 tetes glukosa 5%
Tabung VI
:ditetesi dengan 4 tetes urine
postprandial
Kemudian dipanaskan dengan penangas air
selama 5 menit atau sampai terjadi perubahan
warna lalu kocok dan diamati perubahan yang
terjadi pada masing-masing tabung. Dicatat
hasil pengamatan dan dibandingkan dengan
standar pada tabel berikut:

NO
1

Warna Larutan
Skor
Kadar Glukosa
Tetap biru jernih/sedikit kehijauan dan agak
0
<0,5%
keruh
2
Hijau kekuningan dan keruh
1
0,5-1%
3
Kuning keruh
2
1-1,5%
4
Jingga atau warna lumpur keruh
3
2-3,5%
5B. Merah keruh
4
>3,5%
F.
C. Analisa Sedimen Urine
G.
D. Sampel urine didalam botol dikocok
H. sebanyak 2 tetes ke tempat yang
sehingga homogen lalu dituangkan
terpisah pada kaca objek yang sama.
masing-masing urine ke dalam tabung
Ditutup dengan cover glass lalu
sentrifus sebanyak 7 ml dan lakukan
diamati dengan mikroskop. Diamati
sentrifugasi selama 10 menit dengan
jenis dan tipe sedimen-sedimen yang
kecepatan 1000 rpm. Selanjutnya
terlihat dan digambar pada lembar
cairan di bagian atas dituangkan
kerja
praktikum.
Selanjutnya
dengan cepat dan luwes sehingga
diperkirakan juga kriteria kuantitas
sedimen di bagian bawah tidak ikut
sedimen yang terlihat (sedikit, sedang
terbuang, lalu disisakan larutan dan
dan banyak). Dibandingkan apakah
sedimennya kira-kira 0,5 ml. Tabung
ada perbedaan antara urine normal
tadi dikocok agar homogen lalu ambil
dengan urine patologis dari aspek
dengan pipet tetes dan diteteskan ke
sedimennya.
kaca objek
I.
E.
J.
K. HASIL DAN PEMBAHASAN
L. Percobaan 1. Penentuan Kadar Glukosa Urine Secara Semikuantitatif
M. Tabel 1. Kadar glukosa urine dengan berbagai perlakuan secara semikuantitatif
N.

O.
N

P. P
er
la
k
u
a
n
V. I

U.
1
AA. AB.
2
II
AG. AH.
3
III
AM. AN.
4
IV

AS.
5

AT. V

AY.
6

AZ.V
I

Q. Warna
Larutan

R.
Sk

S. Kadar
Gluko
sa

T. Keterangan

W. Tetap biru

X.
0
AD.
2
AJ.
0
AP.
1

Y. <0,5%

Z. -

AE.11,5%
AK.
<0,5%
AQ.
1-1,5%

AF. Terdapat endapan

AR.

Terdapat
endapan

AV.
1

AW.
1-1,5%

AX.

Terdapat
endapan

BD.

Terdapat
endapan

AC.
Ku
ning Keruh
AI. Biru Keruh
AO.

Hij
au
kekuninga
n
AU.
Hij
au
kekuninga
n
BA.
Lu
mpur
Keruh

BB.
3

BC.23,5%

AL.-

BE.
BF. Dapat dilihat dari dari tabel bahwa
penentuan kadar glukosa urine secara
semikuantitatif dengan pengujian
kadar glukosa bersama benedict
didapatkan hasil bahwa terdapat
perbedaan antara urine normal yang
tetap mempertahankan warna biru,
sedangkan pada urine patologis
maupun
urin
normal
yang
ditambahkan beberapa konsentrasi
glukosa pada pengujian dengan
beberapa tingkat konsentrasi terjadi
pengeruhan
yang
bertingkat.
kekeruhan
menandakan
bahwa
didalam urine patologis terkandung
glukosa.
BG.
Hal ini sesuai dengan literatur
dari Menurut Despopoulus (1998), urine yang
ditambahkan
larutan
glukosa
akan
memberikan hasil reaksi berupa warna.

Semakin tinggi konsentrasi glukosa diberikan


maka perubahan warna yang terjadi akan
semakin pudar. Reaksi pemberian glukosa
terhadap urine menusia normal akan
menyebabkan naiknya kadar gula pada urine
manusia normal akan menyebabkan naiknya
kadar gula pada urine sehingga akan terjadi
perubahan
warna
jika
sebelumnya
diperlakukan dengan benedict.
BH.
Dengan pengujian kadar
glukosa secara semukuantitatif ini menjagikan
glukosa sebagai pereduksi. Kadar glukosa
yang semakin tinggi maka warna urine setelah
diberi benedict akan berwarna merah keruh.
Reangen benedict tereduksi serta mengalami
perubahan warna jika direduksi oleh glukosa.
Pereaksi
Benedict
yang
mengandung
kuprisulfat dalam suasana basa akan tereduksi
oleh gula yang menpunyai gugus aldehid atau
keton bebas (misal oleh glukosa), yang
dibuktikan dengan terbentuknya kuprooksida
berwarna merah atau coklat. Uji glukosa ini
sering tidak valid jika reagen yang digunakan
telah kedaluawarsa atau terbuka terlalu lama

di udara dan bercampur dengan air (Soebroto,


BK.
1989).
BI.
BL.
BJ.
BM.
BN.
Percobaan 2. Analisis Sedimen Urine
BO.
Tabel 2. Perbedaan bentuk sedimen pada urine normal dan urine patologis
BP. BQ.
Je
BR.Jenis/Tipe Sedimen
BS. Kuantitas
N
nis Urine
Sedimen
BT.
1
BX.
2

BU.

Ur
ine normal
BY.Urine
patologis

BV.Serat Tumbuhan

BW.

BZ. Serat Tumbuhan


CA.
Sel epitel
CB.Fosfat amorf
CC.

CD.

Ban

yak
Seda
ng
CE. Banyak
CF. Banyak
CG.

CH.
CU.
CI.
CV.
CJ.
CW.
CK.
CX.
CL.
CY.
CM.
CZ.
CN.
DA.
CO.
DB.
CP.
DC.
CQ.
DD.
CR.
DE.
Gambar
1
Sel
epitel
Gambar
2
Fosfat
amorf
Gambar 3 serat tumbuhan
CS.
DF.
CT.
DG.
DH.
Pada
percobaan
2
DJ.
Pemeriksaan sedimen urin
ditemukan beberapa sendimen pada
merupakan sebagian penting dalam
urine normal dan urine patologis
pemeriksaan
penyaring.
Pemeriksaan
yang diamati dibawah mikroskop.
sedimen dapat memberi data mengenai
Pada urine normal bentuk sedimen
saluran kemih mulai dari ginjal sampai
yang didapatkan berupa serat
kepada ujung uretra yang tidak mungkin
tumbuhan, sedangkan pada urine
dapat diperoleh dengan pemeriksaan lain.
patologis bentuk sedimen yang
Cara untuk mengetahui adanya infeksi
didapatkan berupa fosfat amorf, sel
saluran
kemih,
maka
dilakukan
epitel, dan serat tumbuhan.
pemeriksaan
mikroskopis
urin.
DI.
Hal ini sesuai dengan
Pemeriksaan sedimen urin termasuk
literatur bahwa sedimen urin secara
pemeriksaan rutin. Urin yang dipakai untuk
mikroskopis dapat diidentifikasikan sebagai
itu adalah urin segar. Urin yang paling baik
unsur-unsur yang terdapat dalam urin,
untuk pemeriksaan sedimen ialah urin pekat
keadaan normal sedimen urin mengandung
yaitu urin yang mempunyai berat jenis
unsur-unsur dalam jumlah sedikit. Pada
tinggi. Pemeriksaan sedimen urin ini
sirkulasi darah seperti sel darah putih, sel
diusahakan menyebut hasil pemeriksaan
darah merah. Pada cemaran dari saluran
secara semikuantitatif dengan menyebut
kelamin: spermatozoa, sel epitel, silinder.
jumlah unsur sedimen yang bermakna
Dan pada luar tubuh atau unsur asing :
belapang pandang. (Syarifudin,1992)
bakteri, fungi. (Lisyani, 1990)

DK.
Pada urin segar pada orang
normal jernih. Kekeruhan ringan disebut
nubecula yang terdiri dari lendir, sel epitel
dan leukosit yang lambat laun mengendap.
Dapat pula disebabkan oleh urat amorf,
fosfat amorf yang mengendap. Urin yang
telah keruh pada waktu dikeluarkan dapat
disebabkan oleh sedimen seperti epitel,
leukosit dan eritrosit dalam jumlah banyak.
Kristal asam urat, kalsium oksalat, triple
fosfat dan bahan amorf merupakan kristal
yang sering ditemukan dalam sedimen dan
tidak mempunyai arti, karena kristal-kristal
itu merupakan hasil metabolisme yang
normal. Sel epitel mempunyai nilai normal
sekitar 10 sel per lapang pandang besar,
berbentuk skuamosa. Sel epitel yang lebih
daripada jumlah normal berkaitan dengan
infeksi
saluran
kemih
dan
glomerulonefritis. Sedangkan bentuk sel
epitel
abnormal
dikaitkan
dengan
keganasan setempat (Scanlon, 2000).
DL.
Silinder adalah endapan
protein yang terbentuk didalam tubulus
ginjal,
mempunyai
matrix
berupa
glikoprotein (protein Tamm Horsfall) dan
kadang-kadang dipermukaannya terdapat
leukosit, eritrosit dan epitel. Pembentukan
silinder dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain osmolalitas, volume, pH dan
adanya glikoprotein yang disekresi oleh
tubuli ginjal. Dikenal bermacam-macam
silinder yang berhubungan dengan berat
ringannya penyakit ginjal. Banyak peneliti
setuju bahwa dalam keadaan normal bisa
didapatkan sedikit eritrosit, lekosit dan
silinder hialin. Terdapatnya silinder seluler
seperti silinder lekosit, silinder eritrosit,
silinder epitel dan sunder berbutir selalu
menunjukkan penyakit yang serius. Pada
pielonefritis dapat dijumpai silinder lekosit
dan pada glomerulonefritis akut dapat
ditemukan silinder eritrosit. Sedangkan
pada penyakit ginjal yang berjalan lanjut
didapat silinder berbutir dan silinder lilin
(Wulangi, 1979).
DM. Menurut Wilson (1979),
urine normal akan mengandung Leucine
dan Kristal lena. Namun pada praktikum
yang terlihat hanya lapisan sareat tumbuhan
dan sel epitel, sedangkan didalam urine
yang diduga sakit akan mengandung

Kalsium Oksalat, Dialomen, lapisan


mukosa, serta leukosit dan Kristal posfat.
DN.
DO.
Kesimpulan
DP. Dari
praktikum
yang
telah
dilaksanakan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
DQ.
1. Pada urine normal yang
diberi larutan benedict tidak
terdapat perubahan warna setelah
dipanaskan, sedangkan urine yang
mengandung glukosa mengalami
perubahan warna menjadi lebih
keruh.
DR.
3. Pada uji sedimentasi
terhadap urine normal yang
dominan terlihat adalah serat
tumbuhan, dan urine patologis yang
banyak terlhat adalah sel epitel,
fosfat amorf, dan juga serat
tumbuhan
DS. 4. Pada urine normal sedimennya
lebih sedikit sedangkan daripada
urine patologis.
DT.
DU.
Saran
DV.Saran yang dapat diberikan pada
praktikum Analisis Urin ini agar
menyediakan urin yang masih baru
atau tidak diambil berhari-hari
sebelum praktikum
dan dalam
melaksanakan praktikum harus
berpedoman pada prosedur kerja
yang diberikan asisten agar
mendapatkan hasil yang akurat
serta tidak melakukan kesalahan
prosedur.
DW.
DX.
DAFTAR PUSTAKA
DY.
DZ. Amstrong.W.J.,
1998.
Air
Kehidupan.
Gramedia
Pustaka
Utama. Jakarta
EA. Dahelmi. 1991. Fisiologi Hewan.
Unand. Padang
EB. Kimball, J.W. 1996. Biologi.
Erlangga. Jakarta
EC. Lisyani, S. 1990. Anatomi dan
Fisiologi
Untuk
Paramedis.
Gramedia. Jakarta
ED. Scanlon, Valerie C. dan Tina Sanders.
2000. Buku Ajar Anatomi dan

Fisiologi. Penerbit Buku Kedokteran


EGC. Jakarta
EE. Soebroto, G. 1989. Penuntun
Laboratorium Klinik. Dian rakyat.
Jakarta
EF. Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi.
ECG. Jakarta
EG. Syarifuddin. 1992. Anatomi dan
Fisiologi Untuk Keperawatan. ECG.
Jakarta.

EH. Ville, C. 1984. Zoologi Umum edisi


ke-6. Erlangga. Jakarta
EI. Wulangi, K. 1979. Prinsip-Prinsip
Fisiologi Hewan. Erlangga. Jakarta
EJ. Yuwono, E dan Purnama, S.
2001.
Fisiologi
Hewan
I.
Fakultas
Biologi
Universitas
Jenderal Soedirman. Purwokerto
EK.
EL.

Anda mungkin juga menyukai