Anda di halaman 1dari 24

BAB I.

PENDAHULUAN
Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian
relatif sederhana. Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba
denyut jantungnya, dinyatakan mati (Jacobalis, 1997). Namun dengan
kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini
fungsi vital dapat dipertahankan secara buatan, meskipun fungsi otak
telah berhenti. Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi
kematian secara medis, yang kemudian memunculkan suatu konsep
kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian didefinisikan
sebagai hilangnya fungsi otak (Wijdicks, 2001).
Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau
mati batang otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di
Hongkong, dan

60% dari mati otak diakibatkan oleh perdarahan

intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi (Gunther et al.,


2011), Di Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera kepala dan
perdarahan subarachnoid. Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi
primer

ataupun

karena

peningkatan

tekanan

pada

kompartemen

supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau


integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks dari
pada batang otak (Lazar et al., 2001)
Kriteria untuk Brain death atau mati otak sendiri berevolusi seiring
waktu. Pada tahun 1979, Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah
irreversible coma , untuk mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien
yang berada dalam kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang
otak, respirasi, serta menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar.
Pada tahun 1988, komite ad hoc di Harvard Medical School meninjau
ulang definisi Brain death dan mendefinisikan koma ireversibel atau
kematian otak, sebagai tidak adanya respon dan reseptivitas, pergerakan
dan

pernapasan,

penyebabnya

reflex batang

telah

otak, serta

diidentifikasi.

Pada

adanya

tahun

1991,

koma

yang

Presidents

Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical


and Behavioral Research mempublikasikan panduan berkaitan dengan
Brain death .Pada tahun 1996, The Conference of Medical Royal Colleges
di Inggris menyatakan bahwa Brain death adalah hilangnya fungsi batang
otak yang komplet dan ireversibel
Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1991 tentang bedah
mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ
tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh
ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan
denyut jantung seseorang telah berhenti. Diagnosis mati batang otak
(MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada pernyataan IDI tentang MBO.
Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama
terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah
tes klinis fungsi batang otak.
Konsep kematian batang otak akan menimbulkan implikasi yang
sangat kompleks, baik dari aspek bioetik, formulasi sosial, filosofi kultural
dan religius, maupun aspek hukum (Brocks, 1999). Karena itulah
diperlukan telaah yang baik mengenai definisi dan penegakan diagnosis
mati otak bagi seorang dokter.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Definisi Mati
Thomas Furlow menyebutkan kematian sebagai suatu proses, yaitu

proses penarikan diri (process of withdrawl). Pada proses itu, manusia


dianggapnya menarik diri, berturut-turut dari kehidupan sosial, kemudian
dari kehidupan intelektual, dan terakhir dari kehidupan biologis. Sesuai
dengan hipotesisnya, maka kematian pun dbedakan menjadi kematian
sosial, kematian intelektual dan kematian biologis (Jacobalis, 1997).
Mati klinis adalah henti napas (tidak ada geraka napas spontan)
ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak
terhenti, tetapi tidak ireversibel (Indries, 1997). Pada masa dini kematian
inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi
organ vital termasuk fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang optimal.
Mati seluler (mati molekuler) atau mati biologis ialah suatu
kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah
kematian somatis. Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti
mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila
upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi
semua jaringan. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan
berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak
bersamaan. Mati biologis dimulai dengan neuron otak yang menjadi
nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung, ginjal,
paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari
(Indriati et al., 2003).
Mati serebral (kematian kortek) adalah kematian akibat kerusakan
kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum,
sedangkan

kedua

sistem

lainnya

yaitu

sistem

pernapasan

dan

kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat (Gunther et al., 2011)

Mati sosial (status vegetatif yang menetatap/ Persistent Vegetative


States) merupakan kerusakan berat

ireversibel pada pasien yang tetap

tidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram


(EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Pada keadaan vegetatif
mungkin terdapat daur sadar-tidur (Widjick, 2001).
Brain death atau mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati
serebral

ditambah

dengan

nekrosis

sisa

otak lainnya,

termasuk

serebelum, otak tengah, dan batang otak (Lazar et al., 2001).


2.2

Definisi Brain Death


Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun

mendefinisikan kematian otak dalam kata-kata adalah sulit. Sampai saat


ini, terdapat beberapa definisi dari batang otak.
Definisi mati otak yang pertama adalah dari komite ad hoc Harvard
tahun 1968. Kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal. Definisi
pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang
ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang,
tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni
respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji
penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural
(misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks
kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap
rangsang plantar. Definisi yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG
yang iselektris. Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes
pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu kurang dari 32,2O C) atau
depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus
dilakukan oleh seorang dokter (Jacobalis, 1997)
Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society
(ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, mati otak didefinisikan
sebagai berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak
terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya
respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara
ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel.

Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan


oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws,
Presidents Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and
Biomedical and Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak
apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara
ireversibel, dan (2) terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan,
termasuk batang otak, secara ireversibel. Terhentinya fungsi sirkulasi dan
respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung dan usaha napas, serta
pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak dinilai dari
adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa
absennya refleks-refleks.
Definisi mati otak di Amerika (New York State De Department of
Health, 2005). kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua
fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting
dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan
apnea.
Di Indonesia, seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami
kematian batang otak berarti secara klinis dan legal-formal telah
meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam pernyataan IDI tentang
mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15
Maret

1988

yang

disusulkan

dengan

Surat

Keputusan

PB

IDI

No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang


dikatakan mati, bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara
pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak
2.3 Etiologi
Penyebab kematian otak yang utama adalah sedera kepala
traumatic, cerebrovascular accidents, dan cedera hipoksik iskemi setelah
henti jantung. Waktu antara cedera ke diagnosis mati otak bervariasi dari
jam samapai beberapa hari, tergantung tingkat keparahan dan respon
terhadap terapi (Shemie et al., 2003).

Penyebab umum kematian otak lainnya termasuk, overdosis obat,


tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri.
Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai
penyebab kematian otak.
2.4. Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan
hebat tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema
otak. Jika TIK meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian
tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan
terhenti dan kematian otak terjadi (Lazar, 2001).
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa
rata-rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk
seluruh otak, yang kira-kira beratnya 1200 1400 gram terdapat 700
sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan
menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal
ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang
kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah
ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan perubahanperubahan yang bersifat irreversibel (Guyton 1996).
Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh
kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut
adalah konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan
konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida maupun
ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral, sedangkan
penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran (wilson, 1994).
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena
kurangnya aliran oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan
struktur otak, baik itu secara reversible dan ireversibel. Percobaan pada
binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila aliran
darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam
waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka

kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di


bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung
lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23
ml/100 mg/menit.
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat
secara parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita
karena kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik.
Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3)
CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam
daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu
dengan mengadakan vasodilatasi maksimal (Gunther et al., 2011).
Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa
dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut
dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik
tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola
vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang ireversibel.
Semua pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan
tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih
bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa
bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf
daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan
pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (udem serebri)
merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis
eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama
adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir
adalah gambaran infark (Guyton 1996).
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.
Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak.
Berbagai mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk
pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi
spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose)
polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria (Cryer, 2007).

2.5 Kriteria Brain Death


Pada tahun 1979 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah
coma de pass (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien
koma dengan hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan
dengan hasil elektroensefalogram yang mendatar. Pada tahun 1968,
sebuah komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau
kembali defenisi kematian otak dan kemudian diartikan sebagai koma
ireversibel atau kematian otak adalah tidak adanya respon terhadap
stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang otak dan
koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap
sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam (Reis, 2007).
Pada tahun 1991 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan
batang otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat.
Konferensi perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada
di dalamnya di Kerajaan Inggris pada tahun 1996, menerbitkan sebuah
pernyataan mengenai diagnosis kematian otak dimana kematian otak
diartikan sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan
ireversibel.
Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya
perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak
sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada
kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik
dalam kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan
pedomannya. Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes
konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu yang dibutuhkan untuk
observasi dan merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien dengan
gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok sebagai syarat
untuk menentukan kematian otak (Doyle, 2007).
Akhir-akhir ini Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus
berdasarkan bukti dan menyarankan adanya pemeriksaan-pemeriksaan
dalam praktek. Laporan ini secara spesifik mengarah kepada adanya

peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi validitas serta


adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek. Sehubungan dengan
dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode terstruktur suatu
diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya:
1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan Kriteria
Harvard, kunci diagnosis tersebut adalah:
a. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif
(unresponsive coma).
b. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
c. Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
d. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
e. EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus
disingkirkan. Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat
evaluasi sekurang-kurangnya 24 jam kemudian.
2. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang
disarankan mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes
dan Chou mengusulkan Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang
dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis
dan aktivitas EEG (elektroensefalograf dan masih dipandang sebagai
sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria
Minnesota adalah
a. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
b. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi,
hilangnya refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis,
hilangnya dolls eye movement, hilangnya respon terhadap
stimulus kalori dan hilangnya refleks tonus leher.

10

c. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12


jam, dan
d. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat
diperbaiki (Dimancescu, 2002).
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah
sebagai berikut: 1) Hilangnya fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang
otak termasuk respirasi spontan, dan 3) bersifat ireversibel. Hilangnya
fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan spontan dan
berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual,
pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada
(Wijdicks, 2001) .
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan
banyak lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro
Cerebral Silence (ECS), yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik.
Dikatakan EEG datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik
melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam.
Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon serebral dan EEG datar
tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya dapat terjadi dan
bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-obatan
hipnotik-sedatif (Reis, 2007).
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat
reaksi pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vertibuloocular, orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap
stimulus noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan
dalam praktek, apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien
tersebut tidak melakukan usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi
setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir, pasien dapat dilepaskan
dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk memastikan bahwa
PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan
spontan (Doyle, 2007).

11

Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak


hilang, maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk
memastikan bahwa keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan
pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap prosedur penggunaan
obat-obatan tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin
dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam
praktek,

studi

perfusi

serebral

menunjukkan

terhentinya

sirkulasi

intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya kematian otak


(Walton, 1997).
2.6

Penetapan Diagnosis Brain Death


Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak

diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk


pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan
secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan kriteria
kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung
diagnosis kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian
batang otak tidak dapat ditegakkan (NYSDH, 2005).
Menegakkan diagnosis mati matang otak, meliputi tiga langkah,
yaitu (1) evaluasi etiologi dari cedera kepala berat dan mengekslusi
penyebab reversible; (2) penemuan 3 temuan klinis mati otak; (3)
konfirmasi test (Gunther et al., 2011).
Tiga temuan klinis dalam kematian otak adalah koma atau tidak
adanya respon, absennya refleks batang otak, dan apnea. (Doyle, 2007).
2.6.1 Koma atau tidak adanya respon.
Tidak ada respon pada rangsangan nyeri, dengan stimulasi nyeri
pada penekanan daerah supraorbita, sternum dan dasar kuku.
Absennya refleks batang otak.
a. Pupil.
Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji

2.6.2

respon terhadap cahaya yang terang. Kematian otak akan

12

menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler.


Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak
akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat
bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Yang harus diperhatikan dalam
pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat mempengaruhi
ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea
atau bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil
dan menyebabkannya menjadi non reaktif.
b. Pergerakan okuler.
Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar
kepala da tes kalorik. Pengujian ini hanya dilaksanakan setelah
dipastikan tidak ada fraktur atau instabilitas dari servikal atau pada
pasien dengan cedera kepala. Pergerakan okuler dilihat dari dua
reflex, yaitu reflex okulosefalik dan tes kalori.
Reflex okulosefalik dirangsang dengan menggerakkan kepala
secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri
dan kanan, pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke
arah berlawanan dengan gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal
juga diuji dengan melakukan fleksi leher. Pada kematian otak, tidak
akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan pergerakan
mata vertikal dan horizontal.
Rangsangan kalori adalah suatu tes yang menggunakan
perbedaan temperatur untuk mendiagnosa adanya kerusakan saraf
ke delapan. Jika terjadi kematian batang otak, maka tidak akan
muncul deviasi tonus dari mata sebagai resfleks terhadap
rangsangan yang diberikan. Posisi pasien tidur terlentang, dengan
kepala fleksi 30, atau duduk dengan kepala ekstensi 60. Tes ini
terdiri dari dua cara, yaitu tes kalori cara Kobrak dan tes kalori
bitermal.

Untuk

penegakan

diagnosis

mati

otak,

yang

direkomendasikan adalah tes kalori kobrak (UDD,1997).


Tes kalori cara kobrak menggunakan spuit 5 atau 10 mL, ujung
jarum disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan

13

mengalirkan air es (0C), sebanyak 5 mL selama 20 detik ke dalam


liang telinga.Sebagai akibatnya terjadi transfer panas dari telinga
dalam yang menimbulkan suatu arus konveksi dalam endolimfe.
Hal ini menyebabkan defleksi kupula dalam kanalis yang sebanding
dengan gravitasi, dan rangsangan serabut-serabut aferennya.Suatu
cairan dingin yang dialirkan ke liang telinga kanan akan
menimbulkan nistagmus dengan fase lambat ke kanan.
Tes kalori bitermal ditemukan oleh Dick & Hallpike. Pada cara ini
dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah
30C, sedangkan suhu air panas adalah 44C. Volume air yang
dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 mL, dalam
waktu 40 detik .Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang
timbul.Setelah liang telinga kiri diperiksa dengan air dingin,
diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga kemudian telinga kiri
dialirkan air panas, lalu telinga kanan.Pada tiap-tiap selesai
pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas)
pasien diistirahatkan selama 5 menit. Tes kalori bitermal ini untuk
melihat dan membandingkan fungsi vestibuler.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tes kalori
adalah adanya obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan
respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,
antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah
cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau
kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan bola mata.
Bekuan darah atau serumen dapat juga mengurangi respon kalorik,
dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi langsung
tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan
respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan
prosesus mastoideus yang ekimosis (FK Unhas, 2009).
c. Sensasi fasial dan respon motor fasial
Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks
kornea dan refleks rahang harus negatif. Wajah yang mengernyit

14

saat diberikan rangsang nyeri dapat diuji dengan memberikan


tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan
pada daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua
kondilus setinggi sendi temporomandibuler.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya
trauma fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi
refleks batang otak.
d. Refleks faring dan trakhea
Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring
posterior dengan laringoskop, harus absen. Tidak adanya refleks
batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.
Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien
yang diintubasi secara oral, respon tersedak mungkin sulit untuk
diamati.

Gambar 2.1 Pemeriksaan reflex batang otak (Pandhita, 2005)

Manifestasi

berikut

terkadang

tampak

dan

tidak

diinterpretasikan sebagai bukti fungsi batang otak (AAN, 1995)

boleh

15

a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau


ekstensi patologis
b. Gerakan mirip bernafas

(elevasi

dan

aduksi

bahu,

lengkungan punggung, ekspansi interkosta tanpa volume


tidal yang bermakna)
c. Berkeringat, kemerahan, takikardi
d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau
peningkatan mendadak tekanan darah
e. Tidak-adanya diabetes insipidus
f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon
fleksi triple
g. Refleks babinski
2.6.3 Apnea
Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum
dilakukannya

pengujian.

Persyaratan-persyaratan

berikut

ini

harus

diperhatikan:
a. suhu inti 36,5o C
b. tekanan darah sistolik 90 mm Hg,
c. euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama
6 jam sebelum pemeriksaan),
d. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri 40 mm Hg), dan
e. normoksemia (atau apabila PO2 arteri 200 mm Hg).
Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai
berikut:
a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka
pasang oksimetri, pre-oksigenasi dan observasi hingga syaratsyarat terpenuhi
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri
200 mm Hg
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan
nitrogen, akselerasi transport oksigen, dan mengurangi
resiko hipoksik akibat dilakukannya tes apnea.
Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai
saat syarat terpenuhi (PO2 arteri arteri 200 mm Hg)
b. Lepas ventilator

16

c. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O2 100% 68lpm


d. Selama proses pemberian O2 6-8lpm melalui nasal kanul, amati
dengan seksama pergerakan respirasi.
e. Setelah pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul selama 8-10
menit, pasang kembali oxymetri untuk mengukur PO2 dan
PCO2. Lalu hubungkan kembali dengan ventilator.
f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi 90 mm Hg,
atau oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, atau terjadi
aritmia kardia, segera ambil sampel darah, dan lakukan analisa
gas darah arteri. Pasien pun segera di hubungkan kembali
dengan ventilator tanpa harus menunggu 8-10 menit untuk
meminimalisir terjadinya komplikasi tes apnea.
Interpretasi hasil tes apnea adalah:
Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi
dan kadar PCO2 arteri 60mmHg (atau terjadi peningkatan
PCO2 20mmHg dari PCO2 awal untuk penderita dengan
riwayat hiperkarbia).
Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan
respirasi.
Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian
O2 kanul terjadi aritmia atau hipotensi dan hasil BGA
menunjukkan PCO2 < 60 mm Hg, atau peningkatannya < 20
mm Hg. Pada hasil ini diperlukan tes konfirmasi untuk diagnosis
mati batang otak.
Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm
Hg, dan tidak ada aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes
dapat diulang 10 menit kemudian (Wijdicks, 1994. Wijdicks,
2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009).
Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea
adalah:
Asidosis (63%)
Hipotensi (24%)

17

Aritmia kardiak (3%)

Gambar 2.2. Tes Apnea (Pandhita, 2005)

2.6.4

Tes Konfirmasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak

diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk


pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan
secara adekuat. Beberapa pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera
servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain yang
menyulitkan
diagnosis

dilakukannya

kematian

pemeriksaan

batang

otak,

klinis

perlu

untuk

dilakukan

menegakkan

tes

konfirmatif

(Widjicks,2001; NYSDH,2005.
Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi
kriteria berikut:
a.
Tidak

boleh

ada

positif

palsu,

sehingga

saat

tes

mengkonfirmasi adanya kematian otak, maka tidak boleh ada


b.

pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk sembuh.


Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah

kematian otak benar-benar terjadi atau tidak.


c. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan
seperti efek obat atau gangguan metabolik.

18

d.

Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan

e.

klasifikasi hasilnya.
Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan

mudah dilakukan.
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis
kematian batang otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak
dapat dibuat dengan pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri.
Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan (Widjicks,
2001):
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida,
antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen
kemoterapi, atau agen blokade neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan
retensi kronis CO2
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung
pada pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan
kerugian yang mungkin terjadi (Widjicks, 2001). Beberapa tes konfirmatif
yang biasa dilakukan antara lain:
a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes
elektrofisiologis

(elektroensefalografi,

potensial

pacuan

somatosensorik dan potensial pacuan pendengaran batang


otak, dan respon pacuan motorik),
b. Tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes
kedokteran nuklir aliran darah otak, Doppler transkranial, MRI,
angiografi resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT),
c. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme,
pemeriksaan oksigen vena jugularis, dan tes atropin.
Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi
dapat menunjukkan supresi tegangan secara umum, yang dapat
menunjukkan pada klinisi adanya kematian otak. Namun, EEG telalu
anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya dari
lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala dan tidak merekam
dari struktur subkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan hanya

19

memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar.


Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat
memberikan hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup
di batang otak atau tempat lain. Hanya ada sedikit penelitian yang menguji
validitas dari EEG dalam kaitannya dengan kematian otak. EEG juga
memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan dari faktor-faktor
yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar atau
isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam,
dimana keduanya merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes
EEG dapat terjadi positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG
menjadi suatu tes yang jauh dari ideal untuk penentuan kematian otak
(Leis, 2007).
Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes
aliran darah ke otak dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan
absennya aliran darah ke otak umumnya diterima sebagai penegakan
kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep bahwa apabila
otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu akan
mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan hipotensi
transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai
dengan baik edema jaringan ataupun efek massa yang menyebabkan
tekanan intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan darah sistolik
dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah tidak
memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama sistol,
mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga
menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran darah otak
memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam
menegakkan kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat,
gangguan metabolik, atau hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa
tekanan darah sistemik harus adekuat, dimana pasien tidak dalam kondisi
syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi empat vasa (karotis dan
vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran nuklir.

20

Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT
emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi
otak dua dimensi (Framnas et al., 2009).
.Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana
ditemukan perfusi struktur arteri atau vena pada pasien yang telah
dikonfirmasi mengalami kematian otak secara patologis dan klinis. Ini
terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial menurun akibat
mekanisme

dekompresi,

seperti

kraniektomi

dekompresif,

fraktur

tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih


rapuh. Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya
aliran darah tidak serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak.
Harus diingat bahwa dalam melakukan tes konfirmasi kematian otak,
negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada positif palsu, karena lebih
berbahaya apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami
kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati otak padahal
sesungguhnya telah terjadi kematian otak.
Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak
adalah angiografi serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus
dilakukan

dengan

memndahkan

pasien

ke

departemen

radiologi.

Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis interna atau


vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan
darah arteri rata-rata. (Young et al. 2006)
New York State Department of Health (2005)

menyebutkan

langkah-langkah yang diperlukan dalam penetapan kematian batang otak


adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi kasus koma
b. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini
pasien
c. Penilaian klinis awal refleks batang otak
d. Periode interval observasi
1. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam
2. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval
observasi 24 jam

21

3. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun,

e.
f.
g.
h.
i.
j.

periode interval observasi 12 jam


4. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam
Penilaian klinis ulang refleks batang otak
Tes apnea
Pemeriksaan konfirmatif bila ada indikasi
Persiapan akomodasi yang sesuai
Sertifikasi kematian batang otak
Penghentian penyokong kardiorespirasi

2.7 Diferensial Diagnosis


Status vegetative menetap (Persistent Vegetative States). Keadaan
ini berbeda dengan mati otak. Fungsi batang otak masih baik. Pada PVS
yang diperkirakan hilang adalah fungsi neokortikal dari otak. Pasien masih
dapat bernafas spontan dan reflex-reflex masih ada. Pasien tidak
sadarkan diri dengan mata terbuka dan pupil melebar. Pada PVS kriteria
Harvard tidak terpenuhi. Pasien PVS masih hidup secara biologis, tetapi
secara intelektual dan sosial sudah mati. Kemungkinan pulih ke keadaan
normal sangat sulit, hanya satu banding seribu (Jacobalis, 1997).
2.8 Tindakan terhadap Pasien Mati Otak
Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak
(Jacobalis, 1997). Pasien dengan mati otak adalah manusia yang sudah
mati, Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak, sekalipun
elektrokardiografi masih menunjukkan ritme normal (Indries, 1997).
Jika semua criteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan
alat pendukung hidup lainnya dapat dilepas. Dengan begitu, dokter dan
rumah sakit tidak dituntut melakukan pembunuhan. Untuk negara dengan
tindakan transpalntasi yang telah berkembang pesat, diagnosis mati otak
diusahakan secepat mungkin agar organ yang ada pada pasien tersebut
dapat digunakan untuk keperluan transplantasi calon resepien (Jacobalis,
1997).

22

BAB III. KESIMPULAN


Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak
jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan
persepsi baru tentang definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan
bukan fungsi jantung dan paru, dimana kematian dapat ditentukan
berdasarkan kriteria neurologis.
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu.
Kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara
ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian
otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea. Pada
pasien, perlu diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Karena
umumnya mati otak disebabkan oleh cedera kepala berat, maka perlu
ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses
terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan, dan hasil yang
negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang otak. Saat ini masih
banyak kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena
masih kurangnya literatur atau panduan yang berbasis bukti.

23

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Neurology. 1995. Practice parameters for
determining brain death in adults (summary statement), Neurology.
45(5):1012-4
Brock DW. 1999. The role of the public in public policy on the definition of
death, in: Youngner SJ, Arnold RM, Schapiro R, eds. The definition of
death: contemporary controversies. Baltimore: Johns Hopkins University
Press
Frampas, Videcoq, Kerfiller, Ricolfi. 2009. CT Angiography for Brain Death
Diagnosis. Am J Neuroradiol 30:1566-1570
Gunther et al. 2011. Determination of Brain Death: An Overview with a
Special Emphasis on New Ultrasound Techniques for Confirmatory
Testing. The Open Critical Care Medicine Journal,4: 35-43
Guyton AC, Hall JE. 1996. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan
metabolisme otak. dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; hal.975-83.
Indriati, Etty. 2003. Mati: Tinjauan Klinis dan Antropologi Forensik.
Berkala Ilmu Kedokterran 35(4): 231-239
Jacobalis, Samsi. 1997. Hidup dan Kehidupan Manusia. Ebers Papyrus. 3
(1): 33-46
Lazar, Shemie, Webster, Dickens. 2001. Bioethics for clinicians: Brain
death. CMAJ. 164(6):833-836
Luhulima JW. 2002. Anatomi III susunan saraf pusat jilid II. Makassar :
bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; hal.1-2
Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat; hal.280.

24

New York State Department of Health and New York State Task Force on
Life and The Law. 2011. Guidelines for Determining Brain Death,
Department of Health, New York
New York State Department of Health. 2005. Guidelines for Determining
Brain Death, Department of Health, New York
Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI No.336/PB IDI/a.4
tertanggal 15 Maret 1988
Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI No.231/PB.A.4/07/90
Shemie, Doig, Baletsky. 2003. Advancing toward a modern death: the path
from severe brain injury to neurological determination of death. CMAJ.
168(8): 993-995
Taveras JM, Wood EH. 1997. Diagnostic neuroradiology volume II. 2nd ed.
Baltimore : The William & Wilkins Company; p.650-1.
Walton JN. 1977. Brains Diseases of the nervous system. 8th ed. New
York: Oxford University Press..p.1169-70.
Wijdicks. 2001. Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J
Med. 344 (16)
Wilson LM. 1994. Sistem Saraf Dalam Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi Kedua. Jakarta: EGC; hal.902.

Anda mungkin juga menyukai