PENDAHULUAN
Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian
relatif sederhana. Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba
denyut jantungnya, dinyatakan mati (Jacobalis, 1997). Namun dengan
kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini
fungsi vital dapat dipertahankan secara buatan, meskipun fungsi otak
telah berhenti. Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi
kematian secara medis, yang kemudian memunculkan suatu konsep
kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian didefinisikan
sebagai hilangnya fungsi otak (Wijdicks, 2001).
Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau
mati batang otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di
Hongkong, dan
ataupun
karena
peningkatan
tekanan
pada
kompartemen
pernapasan,
penyebabnya
reflex batang
telah
otak, serta
diidentifikasi.
Pada
adanya
tahun
1991,
koma
yang
Presidents
Definisi Mati
Thomas Furlow menyebutkan kematian sebagai suatu proses, yaitu
kedua
sistem
lainnya
yaitu
sistem
pernapasan
dan
ditambah
dengan
nekrosis
sisa
otak lainnya,
termasuk
1988
yang
disusulkan
dengan
Surat
Keputusan
PB
IDI
10
11
studi
perfusi
serebral
menunjukkan
terhentinya
sirkulasi
2.6.2
12
Untuk
penegakan
diagnosis
mati
otak,
yang
13
14
Manifestasi
berikut
terkadang
tampak
dan
tidak
boleh
15
(elevasi
dan
aduksi
bahu,
pengujian.
Persyaratan-persyaratan
berikut
ini
harus
diperhatikan:
a. suhu inti 36,5o C
b. tekanan darah sistolik 90 mm Hg,
c. euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama
6 jam sebelum pemeriksaan),
d. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri 40 mm Hg), dan
e. normoksemia (atau apabila PO2 arteri 200 mm Hg).
Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai
berikut:
a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka
pasang oksimetri, pre-oksigenasi dan observasi hingga syaratsyarat terpenuhi
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri
200 mm Hg
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan
nitrogen, akselerasi transport oksigen, dan mengurangi
resiko hipoksik akibat dilakukannya tes apnea.
Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai
saat syarat terpenuhi (PO2 arteri arteri 200 mm Hg)
b. Lepas ventilator
16
17
2.6.4
Tes Konfirmasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
dilakukannya
kematian
pemeriksaan
batang
otak,
klinis
perlu
untuk
dilakukan
menegakkan
tes
konfirmatif
(Widjicks,2001; NYSDH,2005.
Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi
kriteria berikut:
a.
Tidak
boleh
ada
positif
palsu,
sehingga
saat
tes
18
d.
e.
klasifikasi hasilnya.
Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan
mudah dilakukan.
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis
kematian batang otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak
dapat dibuat dengan pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri.
Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan (Widjicks,
2001):
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida,
antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen
kemoterapi, atau agen blokade neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan
retensi kronis CO2
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung
pada pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan
kerugian yang mungkin terjadi (Widjicks, 2001). Beberapa tes konfirmatif
yang biasa dilakukan antara lain:
a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes
elektrofisiologis
(elektroensefalografi,
potensial
pacuan
19
20
Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT
emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi
otak dua dimensi (Framnas et al., 2009).
.Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana
ditemukan perfusi struktur arteri atau vena pada pasien yang telah
dikonfirmasi mengalami kematian otak secara patologis dan klinis. Ini
terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial menurun akibat
mekanisme
dekompresi,
seperti
kraniektomi
dekompresif,
fraktur
dengan
memndahkan
pasien
ke
departemen
radiologi.
menyebutkan
21
e.
f.
g.
h.
i.
j.
22
23
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Neurology. 1995. Practice parameters for
determining brain death in adults (summary statement), Neurology.
45(5):1012-4
Brock DW. 1999. The role of the public in public policy on the definition of
death, in: Youngner SJ, Arnold RM, Schapiro R, eds. The definition of
death: contemporary controversies. Baltimore: Johns Hopkins University
Press
Frampas, Videcoq, Kerfiller, Ricolfi. 2009. CT Angiography for Brain Death
Diagnosis. Am J Neuroradiol 30:1566-1570
Gunther et al. 2011. Determination of Brain Death: An Overview with a
Special Emphasis on New Ultrasound Techniques for Confirmatory
Testing. The Open Critical Care Medicine Journal,4: 35-43
Guyton AC, Hall JE. 1996. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan
metabolisme otak. dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; hal.975-83.
Indriati, Etty. 2003. Mati: Tinjauan Klinis dan Antropologi Forensik.
Berkala Ilmu Kedokterran 35(4): 231-239
Jacobalis, Samsi. 1997. Hidup dan Kehidupan Manusia. Ebers Papyrus. 3
(1): 33-46
Lazar, Shemie, Webster, Dickens. 2001. Bioethics for clinicians: Brain
death. CMAJ. 164(6):833-836
Luhulima JW. 2002. Anatomi III susunan saraf pusat jilid II. Makassar :
bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; hal.1-2
Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat; hal.280.
24
New York State Department of Health and New York State Task Force on
Life and The Law. 2011. Guidelines for Determining Brain Death,
Department of Health, New York
New York State Department of Health. 2005. Guidelines for Determining
Brain Death, Department of Health, New York
Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI No.336/PB IDI/a.4
tertanggal 15 Maret 1988
Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI No.231/PB.A.4/07/90
Shemie, Doig, Baletsky. 2003. Advancing toward a modern death: the path
from severe brain injury to neurological determination of death. CMAJ.
168(8): 993-995
Taveras JM, Wood EH. 1997. Diagnostic neuroradiology volume II. 2nd ed.
Baltimore : The William & Wilkins Company; p.650-1.
Walton JN. 1977. Brains Diseases of the nervous system. 8th ed. New
York: Oxford University Press..p.1169-70.
Wijdicks. 2001. Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J
Med. 344 (16)
Wilson LM. 1994. Sistem Saraf Dalam Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi Kedua. Jakarta: EGC; hal.902.