PENDAHULUAN
Untuk Mengetahui cara mendiagnosa dan penanganan kasus pasien Glomerulonefritis Akut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen, retroperitoneal antara
vetebra lumbal 1 dan 4. Pada neonatus kadang-kadang dapat diraba. Ginjal terdiri dari korteks
dan medula. Tiap ginjal terdiri dari 8-12 lobus yang berbentuk piramid. Dasar piramid terletak di
korteks dan puncaknya yang disebut papilla bermuara di kaliks minor. Pada daerah korteks
terdaat glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan distal. .4
Panjang dan beratnya bervariasi yaitu 6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup bulan,
sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram pada orang dewasa. Pada janin permukaan ginjal tidak
rata, berlobus-lobus yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur.1
Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air.
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama urea, asam
urat dan kreatinin.
Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam stimulasi produk sel
darah merah oleh sumsum tulang.
Degradasi insulin.
Menghasilkan prostaglandin
4
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan substansi
yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi yang paling penting untuk
dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain
itu ion-ion natrium, kalium, klorida dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam
tubuh secara berlebihan.3
Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak diperlukan dalam
tubuh adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan menghasilkan
cairan filtrasi.
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak diperlukan tidak
akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan direabsorpsi kembali ke dalam
plasma dan kapiler peritubulus.
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi yang tidak
diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi
dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi
urine yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi
dan juga sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.3
2.1.2. Sistem glomerulus normal
Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh
simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula
(juxtame-dullary) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal dari
arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata , dan
kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola
itu disebut kutub vaskuler. Di seberangnya terdapat kutub tubuler, yaitu permulaan tubulus
contortus proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang
oleh jaringan yang disebut mesangium, yang terdi ri atas matriks dan sel mesangial. Kapilerkapiler dalam keadaan normal tampak paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler
terdapat sel endotel, yang mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler
terdapat sel epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan
sitoplasma, yang disebut sebagai pedunculae atau foot processes. Maka itu sel epitel viseral
5
juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit terdapat membrana basalis
glomeruler (GBM = glomerular basement membrane). Membrana basalis ini tidak mengelilingi
seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri
atas tiga lapisan, yaitu dari arah dalam ke luar ialah lamina rara interna, lamina densa dan
lamina rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel epitel parietal yang
gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai Bowman. Membrana basalis ini berlanjut
dengan membrana basalis glomeruler pada kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler
pada kutub tubuler . Dalam keadaan patologik, sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi
membentuk bulan sabit ( crescent). Bulan sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa
seluler, fibroseluler atau fibrosa. 5
Populasi glomerulus ada 2 macam yaitu :
1. glomerulus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar
korteks.
2. glomerulus jukstamedular yang mempunayi ansa henle yang panjang sampai ke bagian
dalam medula. Glomerulus semacam ini berada di perbatasan korteks dan medula dan
merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsoprsi air dan slut. 1
2.2. FISIOLOGI
2.2.1. Filtarasi glomerulus
Dengan mengalirnya darah ke dalam kapiler glomerulus, plasma disaring melalui dinding
kapiler glomerulus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel, mengandung semua substansi
plasma seperti ektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatinin, peptida, protein-protein dengan berat
molekul rendah kecuali protein yang berat molekulnya lebih dari 68.000 (seperto albumin dan
globulin). Filtrat dukumpulkan dalam ruang bowman dan masuk ke dalam tubulus sebelum
meningalkan ginjal berupa urin.1,2
Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan
penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut single nefron
glomerular filtration rate (SN GFR).besarnya SN GFR ditentuka oleh faktor dinding kapiler
glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut.1
SN GFR = Kf.(P-)
= Kf.P.uf
Koefesien ultrafiltrasi (Kf) dipengaruhi oleh luas permukaan kapiler glomerulus yang
tersedia untuk filtrasi dan konduksi hidrolik membran basal.
Tekanan ultrafiltrasi (Puf) atau gaya Starling dalam kapiler ditentukan oleh :
tekanan onkotik dalam kapsula bowman yang dianggap nol karena ultra filtrat tidak
mengandung protein.1
Laju filtrasi glomelurus (LFG) sebaiknya ditetapkan dengan cara pengukuran klirens kreatinin
atau memakai rumus berikut:
Harga k pada: BBLR < 1 tahun = 0,33
LFG = k Tinggi Badan (cm) Aterm < 1 tahun = 0,45
Kretinin serum (mg/dl) 1 12 tahun = 0,55
2.3. DEFINISI
Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus
(GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat
infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit
ini sering mengenai anak-anak.7
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap
bakteri atau virus tertentu. Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam
penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu
9
Glomerulonefritis fokal
2.4. ETIOLOGI
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut pada streptococcus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolitikus
grup A tipe 1,3,4,12,18,25,4,9 sedangkan tipe 2,49,55,56,57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 814 hari setelah infeksi streptococcus, timbul gejala-gejala klinis.Infeksi kuman streptococcus
beta hemolitikus ini mempunyai resikoterjadinya glomerulonefritis akut pasca streptococcus
berkisar 10-15%.
10
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe 12,
4,16,25,dan29.Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan
pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an timbulnya glomerulonefritis akut
setelah infeksi skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan
meningkatnya
titer
anti-
streptolisin
pada
serum
penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang
10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada
yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya.Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan
umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman
streptococcus.Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut
yang ditandai dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi
ginjal.Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A
disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus
terutama menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3 tahun.Sebagian besar pasien
(95%) akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang
memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga pencegahan dan
pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit
ini.Dengan
perbaikan
kesehatan
masyarakat,
maka
kejadian
penyakit
ini
dapat
dikurangi.Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti keracunan
timah hitam tridion, penyakitb amiloid, thrombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan lupus
eritematosus.
2.5. PATOFISIOLOGI
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga
terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang merupakan unsur
membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan
bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam
11
ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem
komplemen.7
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang
dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan
mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt meluas diantara sel-sel
endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks
terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek
imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran
basalis glomerulus berangsur- angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam
membran basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel.12,13
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks
imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari
kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil
cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding
kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian
mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat
berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen
bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik.
Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan
kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post
steroptokokus.1,2
Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan
adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan
hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan
autoimun yang merusak glomerulus.
13
Periode laten :
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu
14
umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu
didahului oleh infeksi kulit/piodermi.
Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang
dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari
glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schenlein atau Benign
recurrent haematuria.
2.
Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang
pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema
palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema
daerah
perut
(asites),
timbul di
nefrotik.
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
lokal. Oleh sebab
sangat
menonjol
jaringan
karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada
siang dan sore hari atau setelah melakukan kegiatan fisik. Hal ini
gravitasi. Kadang- kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru
diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting
akibat
cairan
jaringan
yang
sebagai
Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,4,5 sedangkan hematuria
mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter di Indonesia
mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%, sedangkan hematuria mikroskopik
berkisar 84-100%.1
Urin
daging
tampak
atau
dalam minggu
coklat
berwarna
pertama
kemerah-merahan
seperti
atau
cola. Hematuria
dan berlangsung
seperti
teh
makroskopik
pekat,
air
cucian
biasanya timbul
sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya
menghilang dalam waktu 6 bulan.
Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun
secara klinik GNAPS
sudah
sembuh.
Bahkan
merupakan indikasi
untuk
menghilang.
Keadaan
terakhir
glomerulonefritis kronik.
4.
Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar
mendapati
dan menghilang
kebanyakan
Hipertensi
bersamaan
dengan
kasus dijumpai
ringan
tidak
Umumnya
perlu
pertama
80-90 mmHg).
teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan
ensefalopati
menurun
multisenter
Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi
kurang
urin
timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul
dalam minggu pertama dan menghilang
akhir
minggu
pertama.
Oliguria
bersamaan
bisa
pula
dengan
menjadi
timbulnya
anuria
yang
diuresis pada
menunjukkan
Gejala Kardiovaskular
Gejala
kardiovaskular
yang
kasus
GNAPS.
Bendungan
bendungan
sirkulasi yang
akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi
16
walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan
karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi
hipervolemia.
a.
Edema paru
Edema
paru merupakan
terlihat
secara
radiologik.
Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar
ronki basah
kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang
ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga
bersifat
penyakit
fatal. Gambaran
utama
ginjal
tidak
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti
dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,585,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama
dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan
radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan
radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior
(PA) dan Lateral Dekubitus Kanan (LDK).
Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%, sedangkan
Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing- masing 0,3% dan 52%.1
tersering adalah bendungan paru.
Kardiomegali
disertai dengan
Bentuk yang
disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa berdiri sendiri atau bersama-sama. Pada pengamatan 48
penderita GNAPS yang dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS.
Pelamonia di Makassar sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti
paru, 48,7% edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik paru
yang
pada
pnemonia,
GNAPS
peradangan
beberapa
ini
pleura,
sering
oleh
sukar
dibedakan
karena adanya
ronki
dari bronkopnemonia,
basah
dan
edema
paru.
atau
Menurut
penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu
ditemukan
diperlukan
waktu
paru
17
disebabkan
oleh kongesti
paru
yang
disebabkan
Na dan air.
7.
Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia.
Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria
makroskopik yang berlangsung lama. 14
dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen akan mencapai kadar normal
kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada
glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung
lebih lama.2,12
Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit.
Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap antigen
sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO,
antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup bermanfaat oleh karena
mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin O
mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa
starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari
satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus
menunjukkan adanya infeksi sterptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi
antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif. Pada
awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan
secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi. 1,3,7
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3. kompleks
imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak
perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.1
2.9 Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada umumnya
kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gejala-gejala klinik
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case dengan
gejala-gejala
hematuria,
hipertensi,
edema,
GNAPS.4,5
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
ASTO
(meningkat) & C (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit, hematuria
& proteinuria.
19
3. Diagnosis
pasti ditegakkan
bila biakan
positif untuk
streptokokus
hemolitikus
grup A.
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin (hematuria
mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita GNAPS.14
20
BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah
garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala
serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat
parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah
dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan
usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat
dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak
berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk, 1972).
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.1,4,11
2.12 Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
21
Potter dkk menemukan kelainan sedimen urin yang menetap (proteinuria dan hematuria)
pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad. Prevalensi hipertensi
tidak berbeda dengan kontrol. Kesimpulannya adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis
akut pascastreptokok baik. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis
penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih
dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh
karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstrakapiler dan gagal ginjal kronik.1,4,12
22
Pemantauan
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung
1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala- gejala seperti edema, hematuria,
hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang
dalam waktu 1-12 bulan.
Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan bahwa hematuria mikroskopik
terdapat pada rata-rata 99,3%, proteinuria 98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%. Kadar C3
yang menurun (hipokomplemenemia menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan
hematuria dapat menetap selama 6 bln1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk
melacak adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
1.1 Status Pasien
23
Identitas
Nama
: An. G
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 12 tahun
Agama
: Islam
Suku bangsa
: Jawa
Alamat
: Lemah Kembar, Sumberasih Probolinggo
Nama ayah
: Tn.U (40tahun)
Nama ibu
: Ny.E (38tahun
Tanggal masuk
: 9 Juni 2014 pukul 12.00wib
Tanggal keluar: 17 Juni 2014
Anamnesa
Keluhan utama : bengkak pada mata dan kaki setelah bangun tidur
TB
: 138 cm
BBI : 32 kg
Status gizi : 83% mild malnutrion
Vital sign :
TD : 140/100mmhg
N
: 100x/menit
RR : 28x/menit
Suhu : 37,70C
Akral : hangat
Status generalis :
Kepala-leher
a/i/c/d : -/-/-/+
odema preorbital : +
PCH : +
Pembesaran KGB :
Thorax
Dada : simetris
Retraksi : + (subcosta)
Jantung
Paru : suara nafas vesikuler
Rhonki : +/+ wheezing : -/-
Abdomen
Distended (+)
Bising usus menurun
Asites (+)
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
Genetalia : normal
Ekatremitas
25
Akral : hangat
Odema
+
+
+ /
+
+
+
+ /
+
CRT <2detik
Status neurologi
Kaku kuduk (-)
Assessment :
Diagnosa awal : glomerulonefritis akut
Diagnosa banding :
Diagnosis
Glomerulonefritis akut
Sindroma nefrotik
Odema paru
Pneumonia
Laboratorium :
Darah lengkap
Cek kadar kolesterol
Urine lengkap
Renal Function Test
Albumin
ASTO
Radiologi
26
Foto thorax AP
Terapi
: 2,2 mg/dl
ASTO
: negative
Darah lengkap
-
Diff count
Hb
Leukosit
HCT
Trombosit
: 2/-/10/80/5/3
: 11,0 g/dl
: 17.340/cmm
: 34%
: 253.000/cmm
Alkali fosfatase
Billirubin direct
Billirubin total
SGOT
SGPT
: 153 U/I
: 0,20 mg/dl
: 0,60 mg/dl
: 46 U/I
: 26 U/I
BUN
Creatinin
UA
: 40,0 mg/dl
: 1,5 mg/dl
: 10,8
RFT
-
Urine Lengkap
-
Albumin
Reduksi
Urobilin
Bilirubin
Leukosit
Eritrosit
: +2
:::: Banyak (0-1)
: Banyak (0-1)
27
Epithel
Kristal
Silinder
Lain-lain
: banyak (0-1/LP)
::: leko (+)2
Foto thorax AP
10/6 /14
Foto thorax AP
Cor : ukuran normal
Pulmo : infiltrat (-)
28
12/06/14
Foto thorax AP
Cor : ukuran normal
Pulmo : konsolidasi pada suprahillus sampai pericardia kanan
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Kesimpulan intersisial lung odem
29
Follow up
Tgl
KU: lemah
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital :
TD : 120/90mmHg
N : 74x/menit
RR : 28x/menit
Suhu : 36,6C
Kepala Leher
a/i/c/d-/-/-/+
PCH (+)
Edema wajah
KGB(N)
Faring (N)
Thorax
Simetris kanan/kiri,Retraksi (+) sub
costal
Jantung : Bising jantung +
Paru: suara nafas vesikuler +/+
Ronchi (+/+)Wheezing (-/-)
Abdomen-Distensi (+)-Bising usus +
menurun, pembesaran hepar (-)
Splenomegali (-)
Ekstremitas Akral hangat CRT <
2detik,Edema anasarka non pitting
11/6/2014(Ruang Mawar)
Perut masih kembung
Muka pasien masih bengkak ,
tangan dan kaki pasien masih
bengkak
Batuk berdahak, masih sesak
Pilek
panas
Makan sedikt
Minum sedikit
Tidak muntah
Kencing
lancar
sedikit
berwarna kemerahan
UP 7000cc
BAB lancar
30
+
+
+ /
+
+
+
+ /
+
Tanggal
13/6/2014(Ruang Mawar)
+
+
+ /
+
berkurang
Bed Rest
Diet rendah garam
O2 nasal
3 x 1 cth
Furosemid 1 x 1 amp/I.V
Ceftriaxone 2 x 1 amp/I.V
Ambroxol 3 x 1 cth
Glomerulo
Nefritis
urinary tract infection
Bed Rest
Diet rendah garam
O2 nasal
Ceftriaxone 2 x 1 amp/I.V
DMP 3x1 cth
16/6/2014(Ruang Mawar)
Perut
kembung
sudah
berkurang
Muka pasien bengkak sudah
berkurang
Batuk
berdahak
mulai
berkurang,
sesak mulai berkurang
panas
Makan mau
Minum banyak
Tidak muntah
Kencing banyak berwarna
kemerahan sudah mulai jernih
BAB lancar
UP 2000cc
Akut,
31
sudah mulai
Bed Rest
Diet rendah garam
O2 nasal
Ceftriaxone 2 x 1 amp/I.V
Ambroxol 3 x 1 cth
Lasix 1 x 20 mg IV
Tanggal
17/6/2014(Ruang Mawar)
berkurang
Bed Rest
Diet rendah garam
Ceftriaxone 2 x 1 amp/I.V
Ambroxol 3 x 1cth
Furosemid 1 x 1 amp IV stop
32
N: 96x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36,7C
Akral hangat
Kepala
Leher
:a/i/c/d
-/-/-/-,PCH
(-),Edema wajah (-), KGB
(N),Faring
(N)
Thorax
:Simetris
kanan/kiri,Retraksi (-)
Jantung : Bising jantung +
Paru:suara nafas vesikuler
+/+,Ronchi (-/-),Wheezing
(-/-)
Abdomen
:Distensi
(-),Bising
usus
(+),
pembesaran
hepar
(-),Splenomegali (-)
Ekstremitas
:Akral
hangat,CRT <2detik,Edema
anasarka
non
pitting
Ambroxol 3x1cth
Erytromysin syr 3x1cth
Pasien boleh pulang dalam
keadaan baik, kontrol ke
poli 1 minggu kemudian
3.2Analisa Kasus
33
sindroma
nefrotik
memiliki
kriteria
mendiagnosisnya
yaitu
gelisah malaise, penurunan nafsu makan, mual, muntah, diare, batuk, sesak. Pada
pemeriksaan fisiknya didapatkan retraksi dada, takipneu, pernafasan cuping hidung, sianosis,
rhonki basah halus. Sedangkan pada pasien ini selain ada batuk, pilek, panas yang cenderung
pada malam hari, sesak, nafsu makan menurun, pernafasan cuping hidung, retraksi dada
subcosta, dan rhonki juga di dapatkan odema preorbital, asistes, odema tungkai, frekuensi
buang air kecil yang berkurang dan air kencing berwarna kemerahan maka dari itu diagnose
banding pneumonia dapat di singkirkan.
Sedangkan diagnosa banding urinary tract infection juga dapat disingkirkan. Dalam
teori urinary tract infection dikatakan beberapa gejala yaitu nyeri perut/pinggang, panas tanpa
diketahui sebabnya, tak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih
berbau dan berubah warna. Pada pemeriksaan urine yang dilakukan yaitu dengan biakan
urine porsi tengah ditemukan. Pada pasien ini tidak ada keluhan nyeri perut/pinggang, panas
tanpa tau sebabnya, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, air kemih berbau, pada pasien
ini hanya terjadi frekuensi buang air kecil yang berkurang dan air kencing yang berubah
warna. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan hasil Albumin +2, Reduksi Urobilin
negative, Bilirubin negative, Leukosit Banyak (0-1) Eritrosit Banyak (0-1) Epithel banyak (01/LP), Kristal, Silinder -.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan pada pasien ini Hb 11g/dl Hb pada pasien ini
sedikit menurun, Leukosit 17.340/cmm kadar leukosit pada pasien ini terjadi peningkatan
yang menunjukkan adanya infeksi pada pasien, HCT 34% terjadi penurunan kadar HCT,
Trombosit 253.000/cmm masih dalam batas normal, Cholesterol 155 mg/dl kadar kolesterol
pada pasien ini, RFT (BUN) 40 BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, creatinin
1,5mg/dl, UA 10,8. Dari pemeriksaan darah ditemukan keadaan pasien yang sedang
mengalami infeksi.
Pada pemeriksaan urine lengkap pasien ini terdapat Albumin +2, Reduksi Urobilin
negative, Bilirubin negative, Leukosit Banyak (0-1) Eritrosit Banyak (0-1) Epithel banyak (01/LP), Kristal, Silinder -. Dapat disimpulkan dalam pemeriksaan urine lengkap pada pasien
ini masuk dalam kriteria glomerulonefritis akut. Pada pemeriksaan kadar ASTO pasien ini
ditemukan kadar ASTO negatif, sedangkan pada teori dikatakan bahwa diagnose
glomerulonefritis akut ditemukan pemeriksaan kadar ASTO ASTO > 100 kesatuan Todd.
35
BAB III
KESIMPULAN
36
Telah dirawat anak G, 12 tahun, masuk dengan keluhan utama bengkak pada wajah saat
bangun pagi dan di diagnosis glomerulonefritis akut dengan odema paru. Terapi pada pasien ini
di berikan terapi suportif dan kausatif. Terapi suportif diberikan yaitu Furosemide 1x1g, terapi
antibiotika yang sesuai Ceftriaxone 2 x 1 g ,memberikan edukasi pada pasien untuk diet rendah
garam serta menjaga kebersihan dari pasien sehingga terhindar dari infeksi. Pasien pulang pada
tanggal 17 Juni 2014 dalam keadaan baik.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4, EGC,
Jakarta.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Glomerulonefritis akut, 835-839,
Infomedika, Jakarta.
3. Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis akut
pasca streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta.
4. http://www/.5mcc.com/ Assets/ SUMMARY/TP0373.html. Accessed April 8th, 2009.
5. http://www.Findarticles.com/cf0/g2601/0005/2601000596/pi/article.jhtm?term=g
lomerunopritis+salt+dialysis. Accessed April 8th, 2009.
6. Markum. M.S, Wiguno .P, Siregar.P,1990, Glomerulonefritis, Ilmu Penyakit Dalam II,
274-281, Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
7. Donna J. Lager, M.D.http;//www.vh.org/adult/provider/pathologi/GN/GNHP.html.
Accessed April 8th, 2009.
8. http;//www.enh.org/encyclopedia/ency/article/000475.asp. Accessed April 8th, 2009.
9. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/08_KlarifikasiHistopatologik.pdf/08_Klarifika
siHistopatologik.html. Accessed April 8th, 2009.
10. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_HematuriPadaAnak.pdf/11_HematuriPadaAnak.
html. Accessed April 8th, 2009.
11. http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Streptococcus.html. Accessed April 8th, 2009.
12. http://medlinux.blogspot.com/2007/09/glomerulonephritis-akut.html. Accessed April 8th,
2009.
13. http://www.uam.es/departamentos/medicina/patologia/19-20x.JPG. Accessed April 8th,
2009.
14. Rauf, Syarifuddin, et all, 2012. Konsesus Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta
38
DISKUSI
1. Mengapa kadar ASTO pada pasien ini negative sedangkan pada teorinya kadar ASTO
pada pasien glomerulonefritis akut kadar ASTOnya >100 kesatuan Tood?
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk
ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti
antistreptolisin O (ASTO), antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD
Nase-B). Titer ASTO merupakan reaksi
mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi titer
ASTO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya
infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14
sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan
mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASTO jelas meningkat pada GNAPS
setelah infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ASTO bisa normal atau tidak
meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik,
titer ASO. Sebaliknya titer ASTO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga
karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibody
terhadap streptokokus sehingg infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus
menyebabkan titer ASTO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah
infeksi melalui kulit.
2. Bagaimana bisa terjadi komplikasi odema paru pada pasien glomerulo nefritis akut?
39
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi pada
20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau
miokarditis, tetapi ternyata dala klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada
hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena
hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi
hipervolemia. Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologic.
Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas,sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar
ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang
umumnya
klinik ini
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan
jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,585,5% dari
dan
radiologik paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari
bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan
edema paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya
lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau
pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan
radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak
patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan
oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.
sementara. Selanjutnya terjadi mental confusion, penurunan kesadaran yang makin berat,
kejang umum atau fokal. Defisit neurologik fokal dapat dijumpai misalnya hemiparesis,
afasia, refleks asimetri, dan nistagmus. Gejala neurologik fokal tersebut bersifat
sementara. Bila kelainan tersebut menetap, maka diagnosis hipertensi ensefalopati
dipertanyakan. Timbulnya hipertensi ensefalopati tidak hanya ditentukan oleh derajat
hipertensi tapi juga oleh kecepatan peningkatan tekanan darah. Pada penderita hipertensi
kronk, hipertensi ensefalopati (HE) timbul pada tingkat hipertensi ang lebih tinggi karena
telah ada pergeseran autoregulasi pembuluh darah otak sedangkan pada anak yang
normotensif gejala HE dapat timbul pada tingkat yang lebih rendah. Pemeriksaan
funduskopi pada anak jarang memperlihatkan gambaran perdarahan maupun edema papil.
Pemeriksaan punksi lumbal menunjukkan peninggian tekanan intrakranial tetapi
komposisi cairan serebrospinal normal. Punksi lumbal tidak perlu dilakukan pada
penderita HE kecuali bila dicurigai adanya perdarahan intrakranial. Pemeriksaan EEG
dan foto kepala tidak membantu dalam menegakkan diagnosis HE tetapi bisa untuk
menyingkirkan kelainan intrakranial yang lain. Dalam keadaan meragukan, pemeriksaan
CT-Scan dan MRI dapat membantu diagnosis HE walaupun penggunaannya masih sangat
terbatas. Pasien dengan gejala hipertensi ensefalopati memerlukan terapi anti hipertensi
yang agresif. Anak yang datang dengan krisis hipertensi dimana tekanan darah meningkat
tinggi secara tiba-tiba (>160/120 mmHg), diberi Calsium Channel Blocker (Nifedipin
Sublingual) yang diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB, dinaikkan 0,1 mg/kgBB/kali
setiap 5 menit pada 30 menit pertama. Lalu setiap 15 menit pada 1 jam pertama,
selanjutnya setiap 30 menit sampai tekanan darah stabil. Bila sudah stabil, diberikan
Nifedipin rumat 0,2- 1 mg/kgBB/hari 3-4 x. Pengobatan lini kedua adalah pemberian drip
Klonidin 0,002 mg/kgbb/8 jam dalam 100 ml Glukosa 5% (maksimal 0,006 mg/kgbb/8
jam), ditambah Lasix 1 mg/kgbb/kali intravena dan Captopril oral 0,3 mg/kgbb/kali
(maksimal 2 mg/kgbb/kali) 2-3 kali/hari. Bila tekanan darah sudah stabil, drip Klonidin
dihentikan, Captopril tetap dilanjutkan. Dalam melakukan evaluasi penderita hipertensi
ensefalopati perlu diingat bahwa yang terpenting adalah secepatnya menurunkan tekanan
darah penderita. Tahapan penanggulangan hipertensi ensefalopati adalah menurunkan
tekanan darah secepatnya dengan obat anti hipertensi parenteral atau oral dan bila
hipertensi telah dapat diatasi dan telah stabil, pemberian obat parenteral segera diteruskan
41
dengan obat per oral, mencari dan menanggulangi kelainan organ target yang lain
misalnya kelainan jantung kongestif, dan menanggulangi etiologi hipertensi.
42