Anda di halaman 1dari 16

SISTEM BANK INDONESIAREAL TIME GROSS SETTLEMENT (BI-RTGS)

BIRO PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL

2006

I. PENDAHULUAN
Selama beberapa tahun belakangan ini hampir semua negara-negara maju yang
tergabung dalam

G -10 countries telah menerapkan sistem Real-Time Gross Settlement

(RTGS) untuk transaksi transfer antar bank. Menurut laporan BIS sampai saat ini
sekurang-kurangnya 30 negara telah menggunakan sistem RTGS. Lebih lanjut bank sentral
pada European Union (EU) telah memutuskan bahwa setiap anggota EU harus memiliki
sistem RTGS yang dapat diintegrasikan dengan EU RTGS system (TARGET) untuk
mendukung penyatuan ekonomi.
Langkah serupa telah dilakukan pula oleh negara-negara Asia Pasifik seperti Hong
Kong, Korea, Australia, China, New Zealand, dan Thailand. Penerapan sistem BI-RTGS di
Indonesia telah dimulai sejak tanggal 17 November 2000 dengan nama Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Kehadiran sistem BI-RTGS di Indonesia dinilai sangat penting mengingat transaksi
pembayaran bernilai besar (High Value Payment System HVPS) yang memiliki potensi
terjadinya risiko sistemik sebelum adanya sistem BI-RTGS, menempati bagian mayoritas
(hampir 2/3) dari seluruh transaksi pembayaran.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa volume transaksi pembayaran antar
bank di Jakarta yang bernilai besar (high value) yang jumlah transaksinya lebih dari 10
ribu/hari tersebut hampir 70% berasal dari transaksi Forex (mata uang asing) dan Pasar
Uang Antar Bank (PUAB).
Pada umumnya penerapan RTGS di berbagai negara didasarkan pada beberapa alasan
pokok sebagai berikut: pertama, berbagai literatur dan studi empiris secara intensif telah
memunculkan kesadaran baru kepada berbagai bank sentral untuk dapat me-manage
berbagai risiko Large Value Trasfer System (LVTS). Sistem RTGS memiliki mekanisme
settlement yang dipandang mampu mengurangi risiko sistemik (risk minimising). Kedua,
sistem ini akan dapat mengurangi timbulnya float sehingga dapat mendukung efektivitas
pengawasan perbankan. Selain itu, pengelolaan likuiditas yang baik pada dunia perbankan
juga dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter. Ketiga, sistem RTGS ini
memungkinkan dilakukannya integrasi dengan

berbagai aplikasi sistem pembayaran

seperti pasar uang dan pasar modal, Delivery versus Payment (DVP). Link dengan crossborder payment juga dimungkinkan melalui aplikasi Payment Versus Payment (PVP).

A. PENGERTIAN
Sistem BI-RTGS adalah proses penyelesaian akhir transaksi (settlement)
pembayaran yang dilakukan per transaksi (individually processed / gross settlement) dan
bersifat real time (electronically processed), dimana rekening peserta dapat didebit/dikredit
berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran.
Dengan sistem BI-RTGS, peserta pengirim melalui terminal RTGS di tempatnya
mentransmisikan transaksi pembayaran ke pusat pengolahan sistem RTGS (RTGS Central
Computer /RCC) di Bank Indonesia untuk proses settlement. Jika proses settlement
berhasil, transaksi pembayaran akan diteruskan secara otomatis dan elektronis kepada
peserta penerima. Keberhasilan proses settlement tergantung dari kecukupan saldo peserta
pengirim karena dalam sistem BI-RTGS peserta hanya diperbolehkan untuk mengkredit
peserta lain. Dengan kata lain, peserta BI-RTGS harus meyakinkan bahwa saldo
rekeningnya di Bank Indonesia cukup sebelum peserta tersebut melaksanakan transfer ke
perserta BI-RTGS lainnya.
B. TUJUAN BI-RTGS
1. Menyediakan sarana transfer dana antar peserta yang lebih cepat, efisien, andal dan
aman.
2. Kepastian settlement dapat diperoleh dengan lebih segera (irrevocable dan
unconditional).
3. Menyediakan informasi rekening peserta secara real time dan menyeluruh.
4. Meningkatkan disiplin dan profesionalisme peserta dalam mengelola likuiditasnya.
5. Mengurangi risiko-risiko settlement.

C. MEKANISME SETTLEMENT SAAT INI


Saat ini terdapat 2 macam mekanisme penyelesaian transaksi antar bank, yaitu
melalui kliring atau sistem BI-RTGS. Berbeda dengan sistem BI-RTGS yang
menggunakan metode gross settlement dimana setiap transaksi diperhitungkan secara
individual, maka kliring menggunakan metoda net settlement dalam rangka penyelesaian
akhir. Net settlement adalah proses penyelesaian akhir transaksi-transaksi pembayaran
yang dilakukan pada akhir suatu periode dengan melakukan offsetting antara kewajiban-

kewajiban pembayaran dengan hak-hak penerimaan sehingga hanya ada 1 net hak atau
kewajiban yang akan disettle untuk masing-masing rekening bank.
Dalam sistem kliring terdapat risiko pada akhir hari bahwa suatu bank akan
mengalami kekalahan kliring dalam jumlah yang cukup besar karena sebelum
diimplementasikannya sistem BI-RTGS seluruh transaksi antar bank baik yang bersifat
retail transactions maupun large value transactions dilaksanakan melalui kliring. Apabila
jumlah kekalahan kliring ini melampaui saldo rekeningnya di Bank Indonesia, maka saldo
bank tersebut di Bank Indonesia akan menjadi negatif (overdraft) yang pada gilirannya
nanti akan menyulitkan Bank Indonesia apabila bank tersebut tidak mampu menutup
overdraft keesokan harinya.
D. RISIKO-RISIKO SISTEM PEMBAYARAN
Secara umum terdapat dua jenis risiko dalam sistem pembayaran yakni risiko kredit
dan risiko likuiditas. Risiko kredit adalah risiko dimana counterparty tidak dapat
memenuhi kewajibannya untuk membayar secara penuh baik pada saat jatuh tempo
maupun pada saat sesudahnya. Termasuk dalam kategori risiko ini adalah unrealized gains
atas kontrak-kontrak yang gagal dilaksanakan (replacement cost risk) dan yang lebih parah
lagi adalah risiko tidak terbayarnya suatu transaksi secara keseluruhan (principal risk).
Sedangkan risiko likuiditas adalah risiko dimana counterparty tidak mampu membayar
secara keseluruhan pada saat jatuh tempo melainkan membayar sesudah jatuh tempo. Hal
ini tentu akan dapat menimbulkan kesulitas likuiditas bagi peserta penerima yang pada
gilirannya nanti mungkin akan meningkatkan cost of fund dari peserta karena harus
mencari dari money market dengan cepat.
Selain risiko-risiko di atas, Bank Indonesia sebagai pengawas sistem pembayaran
di Indonesia juga sangat concern terhadap systemic risk yang mungkin dapat timbul pada
sistem pembayaran di Indonesia. Systemic risk adalah risiko kegagalan salah satu peserta
dalam memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo sehingga menyebabkan peserta lain juga
mengalami kesulitan likuiditas yang pada gilirannya menjadi tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajibannya.

Kegagalan tersebut, dalam kondisi yang sangat ekstrem,

mungkin akan dapat memicu kesulitan finansial yang lebih luas yang dapat mengancam
stabilitas sistem pembayaran atau bahkan stabilitas suatu perekonomian secara keseluruhan.

Berkaitan dengan risiko-risiko sistem pembayaran tersebut di atas, dengan


diimplementasikannya sistem BI-RTGS diharapkan akan dapat memperkecil kemungkinan
terjadinya risiko-risiko dimaksud. Dengan kemampuannya untuk melakukan transfer
secara real time dan terus menerus selama window time, BI-RTGS akan mampu
mengurangi bahkan mengeliminir risiko-risiko dalam proses settlement karena transaksi
akan dijalankan apabila saldo rekening peserta di BI mencukupi. Dengan sistem BI-RTGS,
apabila saldo peserta mencukupi maka peserta dapat segera melakukan settlement saat itu
juga kepada peserta lain yang selanjutnya akan mengkredit rekening nasabah sehingga
dananya dapat segera langsung digunakan oleh nasabah yang bersangkutan.
Selain itu, dengan implementasi sistem BI-RTGS diharapkan akan mampu
memenuhi kebutuhan berbagai pihak terhadap tersedianya mekanisme pembayaran yang
sangat cepat yang dibutuhkan oleh transaksi yang mensyaratkan DVP seperti transaksi jual
beli saham dan securities paper lainnya. Dalam transaksi ini, transfer dana melalui BIRTGS (the payment leg) akan dapat dikoordinasikan dengan final transfer of assets
(delivery leg) sehingga terjadi match antara penyerahan aset dengan pembayaran. Hal ini
sangat penting untuk menurunkan risiko dalam pasar-pasar sekuritas tersebut.
Dapat ditambahkan bahwa dengan implementasi sistem BI-RTGS ini maka
diharapkan systemic risk akan dapat dikurangi melalui tiga cara. Pertama, penurunan
secara signifikan intraday interbank exposure akan dapat mengurangi kemungkinan
ketidakmampuan suatu peserta dalam menutup kerugian atau menutup kekurangan
likuiditas karena peserta lain tidak mampu memenuhi kewajibannya. Kedua, sistem BIRTGS akan dapat mencegah kemungkinan terjadinya unwinding payment yang dapat
merupakan penyebab terjadinya systemic risk dalam net settlement. Ketiga, karena peserta
dapat melakukan settlement setiap saat selama window time, maka waktu settlement tidak
lagi hanya terfokus pada suatu waktu tertentu saja. Hal ini akan memberikan waktu yang
cukup bagi peserta untuk menyelesaikan kesulitan likuiditasnya dengan cara meminjam
dari peserta lain atau menunggu incoming transfer dari peserta lain.

II. KARAKTERISTIK SISTEM BI-RTGS


Sistem BI-RTGS merupakan sistem RTGS yang ke delapan yang digunakan oleh
negara-negara dilingkungan EMEAP countries (Executives Meeting of East Asia Pacific
Central Bankers) setelah tujuh negara lain yakni Thailand, Hongkong, Singapore, Malaysia,

Korea Selatan, Australia dan New Zealand telah terlebih dahulu memberlakukan sistem
RTGS.
Implementasi sistem BI-RTGS dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama,
Bank Indonesia mewajibkan bank-bank yang beroperasi di Jakarta untuk menjadi peserta
sistem BI-RTGS. Sedangkan tahap berikutnya, sistem BI-RTGS diimplementasikan di
wilayah Kantor Bank Indonesia (KBI). Sampai saat ini, sistem BI-RTGS telah
diimplementasikan di seluruh Indonesia, dengan jumlah seluruh peserta sebanyak kurang
lebih 150 (non BI).
Berikut adalah karakteristik-karakteristik sistem BI-RTGS :
A.

V-SHAPED STRUCTURE
Sebagaimana digunakan oleh sebagian besar sistem RTGS di dunia, BI-RTGS juga

menggunakan V-shaped structure dalam pengiriman message dari peserta pengirim kepada
peserta penerima melalui Bank Indonesia sebagai penyelenggara BI-RTGS dibawah ini.

PESERTA

PESERTA

PENGIRIM

PENERIMA

3. Full payment
massage

1. Full payment
massage

RCC

2. SETTLEMENT

V-shaped

Dalam struktur ini, seluruh informasi yang terkandung dalam suatu transaksi akan
dikirimkan oleh peserta pengirim kepada RTGS Central Computer (RCC) dan akan
diteruskan kepada peserta penerima apabila transfer sudah di-settle oleh Bank Indonesia.

B.

PESERTA BI-RTGS
Jumlah keseluruhan peserta langsung Sistem BI-RTGS saat ini berjumlah 150 yang

terdiri 149 bank dan 1 non bank. Sedangkan jumlah peserta tidak langsung terdiri dari 3
bank. Jumlah peserta Sistem BI-RTGS tersebut akan terus berkembang.
Peserta dalam penyelenggaraan sistem BI-RTGS dibedakan menjadi 2, yaitu peserta
langsung dan peserta tidak langsung. Sedangkan status kepesertaan dapat dibedakan
sebagai berikut :
STATUS
Aktif / Active

AKTIVITAS

PENYEBAB

a. Dapat mengirim transfer keluar


b. Dapat menerima transfer masuk
c. Dapat melakukan seluruh fungsi
lainnya dalam RTGS Terminal

Ditangguhkan/
Suspend

a. Dapat menerima transfer masuk


b. Dapat melakukan seluruh fungsi
lainnya dalam RTGS Terminal
c. Tidak dapat mengirim transfer
keluar

a. Rekening bersaldo negatif


sampai dengan cut off time
b. Permintaan

tertulis

dari

instansi atau pihak yang


berwewenang

dalam

melakukan

pengawasan

terhadap peserta
Dibekukan/Freeze

a. Tidak dapat mengirim transfer Permintaan tertulis dari pihak


keluar

yang

berwewenang

b. Tidak dapat menerima transfer melakukan


masuk

dalam

pengawasan

terhadap peserta

c. Dapat melakukan fasilitas enquiry


Ditutup/Close

a. Seluruh transaksi yang ditujukan a. Permintaan


kepada peserta akan ditolak oleh

pihak

RCC

dalam

b. Transaksi dalam sistem antrian


akan batal secara otomatis

yang

tertulis

dari

berwewenang
melakukan

pengawasan terhadap Peserta


b. Keputusan merger, akuisisi,
konsolidasi atau pencabutan
izin usaha Bank.

C.

MEKANISME TRANSFER DANA BI-RTGS


Secara umum dapat digambarkan bahwa mekanisme transfer dana antar peserta BI-

RTGS adalah sebagai berikut:


1. Peserta pengirim menginput credit transfer ke dalam terminal RTGS (RT) untuk
selanjutnya ditransmisikan ke RCC di Bank Indonesia.
2. Selanjutnya, RCC memproses credit transfer dengan mekanisme sebagai berikut :
i. Mengecek kecukupan saldo apakah saldo rekening giro peserta pengirim lebih
besar dari atau sama dengan nilai nominal credit transfer.
ii. Jika saldo rekening giro peserta pengirim mencukupi akan dilakukan posting secara
simultan pada rekening giro peserta pengirim dan rekening giro peserta penerima.
iii. Jika saldo rekening giro peserta pengirim tidak mencukupi, credit transfer tersebut
akan ditempatkan dalam antrian (queue) sistem BI-RTGS.
3. Informasi credit transfer yang telah diselesaikan (settled) akan ditransmisikan secara
otomatis oleh RCC ke RT peserta pengirim dan RT peserta penerima.

D.

WINDOW TIME
Waktu transfer antar peserta untuk kepentingan nasabah saat ini dibatasi mulai

pk.06.30 - 16.30 WIB. Window time tersebut diharapkan akan dapat memberikan
keleluasaan kepada pelaku ekonomi di seluruh Indonesia yang terdiri dari 3 zona waktu
untuk bertransaksi dengan lebih lancar.
Meskipun demikian, apabila dalam kasus-kasus tertentu diperlukan window time
yang lebih lama, Bank Indonesia dapat melakukan perpanjangan untuk mengakomodasi
kebutuhan perpanjangan tersebut.

E.

NO MONEY NO GAME
Sistem BI-RTGS hanya memperbolehkan peserta BI-RTGS untuk mengkredit

rekening peserta BI-RTGS lainnya. Dengan demikian, peserta BI-RTGS tidak


diperkenankan untuk mendebit rekening peserta BI-RTGS. Hal ini akan menciptakan
paradigma baru dalam sistem pembayaran di Indonesia dimana peserta harus secara
bijaksana mengelola likuiditasnya sehingga seluruh transaksinya dapat ter-settle dengan
baik karena suatu transaksi akan masuk dalam antrian (queue) apabila saldo peserta tidak

cukup. Transaksi yang masuk dalam antrian baru akan dapat ter-settle apabila peserta
mendapatkan incoming transfer dari peserta lain.

F.

CAPPING
Untuk memperkecil berbagai risiko sistem pembayaran sebagai akibat penggunaan

net settlement dalam proses kliring, maka Bank Indonesia menetapkan batas maksimum
nominal transaksi yang diperbolehkan melalui kliring (capping kliring). Pada tahap awal,
capping kliring ditetapkan sebesar Rp. 1 milyar dan pada tanggal 1 Oktober 2002 diubah
menjadi Rp. 100 juta. Selanjutnya secara bertahap capping kliring tersebut akan diturunkan
sehingga transaksi yang melewati kliring akan berkurang dan pada gilirannya risiko akibat
penggunaan net settlement dapat diturunkan.
G.

QUEUE MANAGEMENT DAN GRIDLOCK RESOLUTION


Apabila saldo rekening giro peserta yang akan di-debit lebih kecil dari nilai transaksi

pembayaran yang dikirimkan oleh peserta, maka transaksi pembayaran tersebut akan
menempati antrian (queue) dalam BI-RTGS.
1. Antrian dalam sistem BI-RTGS berbasis pada priority level dan First In First Out
(FIFO).
2. Modul antrian dalam sistem BI-RTGS dilengkapi dengan fasilitas Bypass FIFO yang
bekerja secara otomatis jika antrian mencapai jumlah tertentu, dengan maksud untuk
mengurangi jumlah antrian.
3. Priority level dalam modul antrian di sistem BI-RTGS adalah sebagai berikut:
a. Prioritas pertama

: Pembebanan hasil kliring.

b. Prioritas kedua

: Transaksi peserta dengan BI/Pemerintah.

c. Prioritas ketiga

: Credit transfer yang berasal dari peserta BI-RTGS.

4. Apabila BI-RTGS mendeteksi terjadinya gridlock maka fasilitas gridlock resolution


akan dijalankan secara otomatis maupun manual berdasarkan kriteria kecukupan saldo
atau menggunakan metode First Available First Out (FAFO).

H.

FASILITAS

LIKUIDITAS

PENDANAAN

INTRAHARI

(FLI)

DAN

FASILITAS

JANGKA PENDEK (FPJP)

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya transaksi-transaksi yang dilaksanakan


pada sistem BI-RTGS adalah bersifat gross settlement sehingga akan di-settle individually

serta bersifat continous sepanjang window time. Hal ini berbeda dengan mekanisme kliring
saat ini yang menggunakan net settlement. Dalam net settlement, bank tidak memerlukan
likuiditas yang cukup tinggi secara terus menerus sepanjang hari, sedangkan dengan sistem
RTGS peserta wajib memiliki likuiditas yang cukup tinggi sepanjang hari. Kondisi ini
mentriger kebutuhan FLI dengan tujuan untuk membantu kelancaran pembayaran antar
peserta sepanjang hari.
Dalam sistem gross settlement dapat terjadi pada suatu waktu tertentu, misalnya
pada pagi hari, saldo peserta lebih kecil daripada nominal transaksi yang akan di-settle
yang menyebabkan transaksi tersebut masuk dalam queue. Hal ini bukan berarti bahwa
peserta tersebut mengalami kesulitan likuiditas yang kronis, karena pada dasarnya peserta
tersebut berharap akan menerima incoming transfer dari peserta lain beberapa saat
kemudian. Yang terjadi hanyalah intraday gap antara outgoing transaction dengan
incoming transactions pada suatu saat tertentu saja.
Untuk mengatasi intraday gap ini kebanyakan sistem RTGS diseluruh dunia
memerlukan adanya fasilitas pendukung berupa FLI yang berguna untuk memperlancar
real time transaction. Beberapa ketentuan dalam fasilitas FLI BI-RTGS antara lain :
1.

Untuk mendapatkan fasilitas FLI, bank peserta BI-RTGS harus mengajukan


permohonan kepada Bank Indonesia.

2.

Bank harus memiliki kesehatan minimal cukup baik yaitu bank yang masih
beroperasi.

3.

Peserta harus mem-pledged SBI dan atau obligasi pemerintah yang nilainya
sekurang-kurangnya sebesar nilai FLI sebagai collateral sehingga fasilitas FLI
bersifat fully secured.

4.

Penggunaan FLI dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro tidak
mencukupi untuk melakukan outgoing transaction sepanjang kekurangan tersebut
tidak melebihi nilai FLI (provided when needed).

5.

Pada saat peserta menerima incoming transfer maka secara otomatis incoming
transfer tersebut akan digunakan untuk mengurangi saldo FLI yang telah digunakan.

6.

FLI hanya dapat dipergunakan dari pukul 06.30 sampai dengan pukul 17.00 WIB
sedangkan untuk pelunasan FLI dilakukan paling lambat pukul 18.00 WIB. Apabila
peserta tidak mampu mengembalikan tepat pada waktunya maka fasilitas FLI
tersebut akan berubah menjadi Fasilitas Pendanaan Jangka Panjang (FPJP) overnight.

7.

Pada saat T+1 sampai dengan pukul 16.00 WIB, Bank Indonesia akan menagih
seluruh kewajiban peserta tersebut dengan menggunakan transaksi "Super Priority"
yang akan didahulukan settlement-nya dibandingkan transaksi-transaksi lainnya.

8.

Dalam hal saldo giro tidak mencukupi untuk pelunasan FPJP sampai dengan pukul
17.00 WIB dan peserta yang bersangkutan tidak mengajukan FPJP baru sampai
dengan pukul 18.15 WIB, maka pelunasan dilakukan dengan mengeksekusi agunan.

III. BYE-LAWS
Selain terdapat ketentuan-ketentuan BI-RTGS yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia,
diantara peserta BI-RTGS sendiri juga berlaku Bye-Laws yang bertujuan untuk mencapai
keseragaman dalam pelaksanaan pembayaran interbank diantara peserta BI-RTGS. ByeLaws diterapkan untuk seluruh aktivitas pembayaran yang dilakukan oleh setiap peserta
dalam suatu rangkaian pembayaran, dimana rangkaian pembayaran tersebut dapat dimulai
dari originator/initiator dan berakhir pada ultimate beneficiary. Beberapa ketentuan yang
terkandung dalam Bye-Laws antara lain :
A. Cut-off time untuk pembayaran dan pelunasan
Dana untuk transaksi pembayaran intraday interbank money market sudah
harus sampai di rekening peserta peminjam selambat-lambatnya 30 menit setelah
selesainya transaksi. Sedangkan pelunasan intraday interbank money market sudah
harus dilaksanakan selambat-lambatnya pk. 16.30 pada hari yang sama.
Untuk transaksi same day value Money Market / Foreign Exchange deals yang
dilaksanakan sebelum pk.16.00 sudah harus disettle selambat-lambatnya pk.16.30.
Sedangkan pelunasannya harus dilaksanakan selambat-lambatnya pk.16.30 pada saat
jatuh tempo.
Untuk transaksi end of day funding harus telah sampai di rekening giro peserta
peminjam selambat-lambatnya pk.18.00 hari yang sama.
B. Kompensasi atas kegagalan pembayaran antar peserta
Apabila pembayaran antar peserta mengalami kegagalan maka pihak-pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan kompensasi atas kegagalan tersebut. Kegagalan
pembayaran dapat berupa keterlambatan, pembayaran dini, pembayaran lebih, pembayaran
kurang dari nominal yang semestinya dan salah kirim.

Perhitungan kompensasi dibedakan untuk bentuk berbagai koreksi yang


berbeda misalnya penyesuaian tanggal valuta, pengembalian pembayaran salah kirim,
keterlambatan pembayaran atau pembayaran kembali (pelunasan) dan perubahan
pihak penerima (beneficiary). Tingkat bunga yang digunakan dalam perhitungan
kompensasi adalah 120% dari rata-rata tingkat bunga JIBOR overnight.
C. Perjanjian kompensasi dilakukan untuk menghindarkan pencarian keuntungan
yang tidak fair.
Spirit dari pemberian kompensasi adalah agar

peserta BI-RTGS memberikan

kompensasi satu sama lainnya terhadap kondisi yang menimbulkan hak kompensasi.
Kompensasi harus dilakukan dengan suatu cara yang sedemikian rupa sehingga tidak
ada satu pesertapun yang dirugikan atau diuntungkan secara tidak adil (unjustly
penalized or enriched).

D. Penyelesaian sengketa melalui Arbitration Committee


Untuk menyelesaikan persengketaan atau masalah yang timbul antar peserta BIRTGS

dalam

kaitannya

dengan

transaksi-transaksi

RTGS,

dan/atau

untuk

menyelesaikan ketidakpatuhan peserta dalam sistem BI-RTGS maka dibentuk Komite


Bye-Laws. Keputusan komite tersebut merupakan keputusan akhir dan mengikat
kepada seluruh peserta BI-RTGS.
VI. INFORMATION TECHNOLOGY SECURITY
PLAN (DRP)

DAN DISASTER RECOVERY

Sebagaimana diketahui, sistem BI-RTGS merupakan sistem yang sangat sarat


dengan teknologi informasi (TI). Penggunaan hardware, software serta sarana
telekomunikasi yang sophisticated memerlukan usaha untuk memastikan bahwa seluruh
sistem BI-RTGS sangat aman. Berbagai security layer telah diaplikasikan dalam sistem ini
sehingga diharapkan sistem BI-RTGS dapat beroperasi dengan aman. Untuk meyakinkan
hal tersebut, Bank Indonesia telah meminta independent IT auditor untuk mengaudit
seluruh aplikasi maupun jaringan yang digunakan dalam

sistem BI-RTGS.

Dalam

menguji kehandalan sistem BI-RTGS, independent IT auditor tersebut juga telah pula
melakukan penetration test untuk mengkaji kemungkinan adanya celah yang mungkin
dapat dimanfaatkan oleh para hacker untuk menembus pertahanan sistem BI-RTGS.

Meskipun pada saat ini opini IT audit terhadap seluruh sistem BI-RTGS telah
menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, secara periodik di masa yang mendatang IT
audit akan tetap dilaksanakan agar sistem BI-RTGS tetap aman.
Selain itu, semakin masif dan intensnya kehadiran TI yang berimplikasi pada
ketergantungan terhadap teknologi informasi ini mewajibkan setiap institusi pengguna TI
untuk memiliki kebijakan, prosedur serta sarana pengganti (back up) yang handal. Bank
Indonesia sebagai host sistem BI-RTGS telah menyiapkan Disaster Recover Plan (DRP)
dan Disaster Recovery Centre (DRC) untuk meyakinkan bahwa sistem pembayaran di
Indonesia telah didukung oleh infrastruktur yang handal. Terhadap peserta juga dianjurkan
agar memiliki back up sistem yang memadai di lokasi yang berbeda dengan lokasi utama
yang dapat diaktifkan dalam waktu yang singkat apabila sistem utama gagal sehingga tidak
membahayakan kelancaran pembayaran di industri perbankan secara keseluruhan. Secara
periodik, seluruh peserta BI-RTGS juga diwajibkan untuk menguji-coba back up dan DRP
untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik.

VII. IMPLEMENTASI SISTEM BI-RTGS DI KBI


Setelah implementasi sistem BI-RTGS tahap-I di wilayah KPBI berjalan dengan
baik, pada tahun 2001 secara bertahap sistem BI-RTGS diimplementasikan di wilayah
KBI. Pengintegrasian sistem BI-RTGS di KP dan KBI ini akan menghapus rekening giro
peserta yang ada di KBI sehingga hanya ada 1 rekening giro peserta di KP Bank Indonesia
(centralized settlement account / CSA).
Manfaat pemberlakuan CSA bagi peserta sistem BI-RTGS antara lain:
1.

Memudahkan peserta dalam melakukan kontrol terhadap posisi likuiditasnya.

2.

Money in transit yang mungkin terjadi pada saat peserta melakukan transfer ke
cabang-cabang akan dapat dihilangkan sehingga cost of fund peserta akan dapat
diturunkan.

3.

Membantu peserta dalam mengelola dananya secara efektif dan efisien.

Sedangkan bagi Bank Indonesia, pemberlakuan CSA akan memberikan manfaat dalam hal:
1.

Memudahkan Bank Indonesia untuk memantau ketaatan peserta dalam memenuhi


kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM).

2.

Bank Indonesia juga akan lebih mudah dalam memantau likuiditas peserta karena
posisi rekening giro peserta sudah bersifat nasionall (consolidated) dan dapat
dimonitor recara real-time.

3.

Memberikan informasi yang lebih akurat untuk early warning system terhadap
peserta yang mengalami kesulitan likuiditas

KILASAN SEJARAH PENGEMBANGAN


SISTEM RTGS DI INDONESIA
Tahun
1995-1997

Aktivitas yang dilakukan

Penyusunan Blue Print Sistem Pembayaran Nasional (SPN) dan


pembentukan Komite Reformasi SPN
Penerapan BI-Line sebagai proyek transisi electronic funds transfer
menjelang diterapkannya RTGS
Kajian pengembangan RTGS di Indonesia

1997

Kajian lebih detail terhadap beberapa kebijakan yang terkait dengan


RTGS

1998

Penyusunan Request For Proposal (RFP)

1999

Pembahasan User Requirements


Komunikasi rencana RTGS ke seluruh bank di Jakarta
Pembahasan detail User Requirement
Menunjuk security auditor untuk aplikasi RTGS
System design dimulai
Pembahasan kemungkinan penerapan Fasilitas Likuiditas Intrahari
(FLI)

2000

Pembentukan Internal Committee of RTGS pada semua bank peserta


RTGS di Jakarta
COO Conference (Jakarta, Surabaya & Bandung) tentang pengenalan
RTGS dan implikasinya
System Development dan Testing
Pembelian perangkat penunjang RTGS
Instalasi aplikasi RTGS untuk seluruh bank peserta RTGS
Training RTGS usage untuk semua bank & intern BI
User Acceptance Test (UAT) pada 17 pilot banks
Pemasangan jaringan di 124 bank + site DRC Cilangkap
Site DRC Cilangkap dikembangkan
Skenario DRC dibahas & dimatangkan baik internal maupun untuk
seluruh peserta BI-RTGS
Bank & whole industry testing
Menyusun ketentuan transfer dana (Peraturan Bank Indonesia)
Pembentukan 17 pilot banks

2001

2002

2003

Menyusun ketentuan hubungan rekening


Menyusun ketentuan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI)
Mereview seluruh ketentuan akunting/operations BI
Menyusun interbank bye-laws mengenai good practice on interbank
payments bersama dengan HIMBARA, Asosiasi Joint Venture Bank &
Asosiasi Perbankan lainnya
Membuat kontrak dengan seluruh bank peserta RTGS
Membentuk Bagian Penyelesaian Transaksi Rupiah sebagai pelaksana
sistem BI-RTGS
Test simulasi selama 2 bulan untuk memastikan sistem berjalan dengan
baik
Go live sistem RTGS pada tanggal 17 Nopember 2000 di Jakarta
Launching sistem BI-RTGS pada tanggal 23 Nopember 2000 di Jakarta
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Bandung pada tanggal 1/6/01
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Surabaya pada tanggal 6/7/01
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Yogyakarta dan Manado pada
tanggal 3/8/01
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Samarinda dan Balikpapan pada
tanggal 24/8/01
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Semarang tanggal 28/9/01
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Denpasar pada tanggal 2/10/01
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Medan dan Padang pada
tanggal 26/10/01
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Batam dan Pekanbaru pada
tanggal 23/11/01
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Banjarmasin dan Makassar pada
tanggal 25/2/02
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Pontianak dan Palangkaraya
pada tanggal 22/3/02
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Jayapura dan Ambon pada
tanggal 26/4/02
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Kendari dan Palu pada tanggal
24/5/02
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Bandar Lampung tanggal
21/6/02
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Kupang dan Mataram pada
tanggal 26/7/02
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Jambi dan Bengkulu pada
tanggal 23/8/02
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Palembang dan Banda Aceh
pada tanggal 27/9/02
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Solo dan Malang pada tanggal
28/2/03
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Purwokerto dan Tasikmalaya
pada tanggal 28/3/03
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Jember dan Cirebon pada

tanggal 25/4/03
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Kediri dan Sibolga pada tanggal
29/5/03
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Ternate tanggal 27/6/03
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Lhokseumawe pada tanggal
16/10/03

Anda mungkin juga menyukai