2006
I. PENDAHULUAN
Selama beberapa tahun belakangan ini hampir semua negara-negara maju yang
tergabung dalam
(RTGS) untuk transaksi transfer antar bank. Menurut laporan BIS sampai saat ini
sekurang-kurangnya 30 negara telah menggunakan sistem RTGS. Lebih lanjut bank sentral
pada European Union (EU) telah memutuskan bahwa setiap anggota EU harus memiliki
sistem RTGS yang dapat diintegrasikan dengan EU RTGS system (TARGET) untuk
mendukung penyatuan ekonomi.
Langkah serupa telah dilakukan pula oleh negara-negara Asia Pasifik seperti Hong
Kong, Korea, Australia, China, New Zealand, dan Thailand. Penerapan sistem BI-RTGS di
Indonesia telah dimulai sejak tanggal 17 November 2000 dengan nama Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Kehadiran sistem BI-RTGS di Indonesia dinilai sangat penting mengingat transaksi
pembayaran bernilai besar (High Value Payment System HVPS) yang memiliki potensi
terjadinya risiko sistemik sebelum adanya sistem BI-RTGS, menempati bagian mayoritas
(hampir 2/3) dari seluruh transaksi pembayaran.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa volume transaksi pembayaran antar
bank di Jakarta yang bernilai besar (high value) yang jumlah transaksinya lebih dari 10
ribu/hari tersebut hampir 70% berasal dari transaksi Forex (mata uang asing) dan Pasar
Uang Antar Bank (PUAB).
Pada umumnya penerapan RTGS di berbagai negara didasarkan pada beberapa alasan
pokok sebagai berikut: pertama, berbagai literatur dan studi empiris secara intensif telah
memunculkan kesadaran baru kepada berbagai bank sentral untuk dapat me-manage
berbagai risiko Large Value Trasfer System (LVTS). Sistem RTGS memiliki mekanisme
settlement yang dipandang mampu mengurangi risiko sistemik (risk minimising). Kedua,
sistem ini akan dapat mengurangi timbulnya float sehingga dapat mendukung efektivitas
pengawasan perbankan. Selain itu, pengelolaan likuiditas yang baik pada dunia perbankan
juga dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter. Ketiga, sistem RTGS ini
memungkinkan dilakukannya integrasi dengan
seperti pasar uang dan pasar modal, Delivery versus Payment (DVP). Link dengan crossborder payment juga dimungkinkan melalui aplikasi Payment Versus Payment (PVP).
A. PENGERTIAN
Sistem BI-RTGS adalah proses penyelesaian akhir transaksi (settlement)
pembayaran yang dilakukan per transaksi (individually processed / gross settlement) dan
bersifat real time (electronically processed), dimana rekening peserta dapat didebit/dikredit
berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran.
Dengan sistem BI-RTGS, peserta pengirim melalui terminal RTGS di tempatnya
mentransmisikan transaksi pembayaran ke pusat pengolahan sistem RTGS (RTGS Central
Computer /RCC) di Bank Indonesia untuk proses settlement. Jika proses settlement
berhasil, transaksi pembayaran akan diteruskan secara otomatis dan elektronis kepada
peserta penerima. Keberhasilan proses settlement tergantung dari kecukupan saldo peserta
pengirim karena dalam sistem BI-RTGS peserta hanya diperbolehkan untuk mengkredit
peserta lain. Dengan kata lain, peserta BI-RTGS harus meyakinkan bahwa saldo
rekeningnya di Bank Indonesia cukup sebelum peserta tersebut melaksanakan transfer ke
perserta BI-RTGS lainnya.
B. TUJUAN BI-RTGS
1. Menyediakan sarana transfer dana antar peserta yang lebih cepat, efisien, andal dan
aman.
2. Kepastian settlement dapat diperoleh dengan lebih segera (irrevocable dan
unconditional).
3. Menyediakan informasi rekening peserta secara real time dan menyeluruh.
4. Meningkatkan disiplin dan profesionalisme peserta dalam mengelola likuiditasnya.
5. Mengurangi risiko-risiko settlement.
kewajiban pembayaran dengan hak-hak penerimaan sehingga hanya ada 1 net hak atau
kewajiban yang akan disettle untuk masing-masing rekening bank.
Dalam sistem kliring terdapat risiko pada akhir hari bahwa suatu bank akan
mengalami kekalahan kliring dalam jumlah yang cukup besar karena sebelum
diimplementasikannya sistem BI-RTGS seluruh transaksi antar bank baik yang bersifat
retail transactions maupun large value transactions dilaksanakan melalui kliring. Apabila
jumlah kekalahan kliring ini melampaui saldo rekeningnya di Bank Indonesia, maka saldo
bank tersebut di Bank Indonesia akan menjadi negatif (overdraft) yang pada gilirannya
nanti akan menyulitkan Bank Indonesia apabila bank tersebut tidak mampu menutup
overdraft keesokan harinya.
D. RISIKO-RISIKO SISTEM PEMBAYARAN
Secara umum terdapat dua jenis risiko dalam sistem pembayaran yakni risiko kredit
dan risiko likuiditas. Risiko kredit adalah risiko dimana counterparty tidak dapat
memenuhi kewajibannya untuk membayar secara penuh baik pada saat jatuh tempo
maupun pada saat sesudahnya. Termasuk dalam kategori risiko ini adalah unrealized gains
atas kontrak-kontrak yang gagal dilaksanakan (replacement cost risk) dan yang lebih parah
lagi adalah risiko tidak terbayarnya suatu transaksi secara keseluruhan (principal risk).
Sedangkan risiko likuiditas adalah risiko dimana counterparty tidak mampu membayar
secara keseluruhan pada saat jatuh tempo melainkan membayar sesudah jatuh tempo. Hal
ini tentu akan dapat menimbulkan kesulitas likuiditas bagi peserta penerima yang pada
gilirannya nanti mungkin akan meningkatkan cost of fund dari peserta karena harus
mencari dari money market dengan cepat.
Selain risiko-risiko di atas, Bank Indonesia sebagai pengawas sistem pembayaran
di Indonesia juga sangat concern terhadap systemic risk yang mungkin dapat timbul pada
sistem pembayaran di Indonesia. Systemic risk adalah risiko kegagalan salah satu peserta
dalam memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo sehingga menyebabkan peserta lain juga
mengalami kesulitan likuiditas yang pada gilirannya menjadi tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajibannya.
mungkin akan dapat memicu kesulitan finansial yang lebih luas yang dapat mengancam
stabilitas sistem pembayaran atau bahkan stabilitas suatu perekonomian secara keseluruhan.
Korea Selatan, Australia dan New Zealand telah terlebih dahulu memberlakukan sistem
RTGS.
Implementasi sistem BI-RTGS dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama,
Bank Indonesia mewajibkan bank-bank yang beroperasi di Jakarta untuk menjadi peserta
sistem BI-RTGS. Sedangkan tahap berikutnya, sistem BI-RTGS diimplementasikan di
wilayah Kantor Bank Indonesia (KBI). Sampai saat ini, sistem BI-RTGS telah
diimplementasikan di seluruh Indonesia, dengan jumlah seluruh peserta sebanyak kurang
lebih 150 (non BI).
Berikut adalah karakteristik-karakteristik sistem BI-RTGS :
A.
V-SHAPED STRUCTURE
Sebagaimana digunakan oleh sebagian besar sistem RTGS di dunia, BI-RTGS juga
menggunakan V-shaped structure dalam pengiriman message dari peserta pengirim kepada
peserta penerima melalui Bank Indonesia sebagai penyelenggara BI-RTGS dibawah ini.
PESERTA
PESERTA
PENGIRIM
PENERIMA
3. Full payment
massage
1. Full payment
massage
RCC
2. SETTLEMENT
V-shaped
Dalam struktur ini, seluruh informasi yang terkandung dalam suatu transaksi akan
dikirimkan oleh peserta pengirim kepada RTGS Central Computer (RCC) dan akan
diteruskan kepada peserta penerima apabila transfer sudah di-settle oleh Bank Indonesia.
B.
PESERTA BI-RTGS
Jumlah keseluruhan peserta langsung Sistem BI-RTGS saat ini berjumlah 150 yang
terdiri 149 bank dan 1 non bank. Sedangkan jumlah peserta tidak langsung terdiri dari 3
bank. Jumlah peserta Sistem BI-RTGS tersebut akan terus berkembang.
Peserta dalam penyelenggaraan sistem BI-RTGS dibedakan menjadi 2, yaitu peserta
langsung dan peserta tidak langsung. Sedangkan status kepesertaan dapat dibedakan
sebagai berikut :
STATUS
Aktif / Active
AKTIVITAS
PENYEBAB
Ditangguhkan/
Suspend
tertulis
dari
dalam
melakukan
pengawasan
terhadap peserta
Dibekukan/Freeze
yang
berwewenang
dalam
pengawasan
terhadap peserta
pihak
RCC
dalam
yang
tertulis
dari
berwewenang
melakukan
C.
D.
WINDOW TIME
Waktu transfer antar peserta untuk kepentingan nasabah saat ini dibatasi mulai
pk.06.30 - 16.30 WIB. Window time tersebut diharapkan akan dapat memberikan
keleluasaan kepada pelaku ekonomi di seluruh Indonesia yang terdiri dari 3 zona waktu
untuk bertransaksi dengan lebih lancar.
Meskipun demikian, apabila dalam kasus-kasus tertentu diperlukan window time
yang lebih lama, Bank Indonesia dapat melakukan perpanjangan untuk mengakomodasi
kebutuhan perpanjangan tersebut.
E.
NO MONEY NO GAME
Sistem BI-RTGS hanya memperbolehkan peserta BI-RTGS untuk mengkredit
cukup. Transaksi yang masuk dalam antrian baru akan dapat ter-settle apabila peserta
mendapatkan incoming transfer dari peserta lain.
F.
CAPPING
Untuk memperkecil berbagai risiko sistem pembayaran sebagai akibat penggunaan
net settlement dalam proses kliring, maka Bank Indonesia menetapkan batas maksimum
nominal transaksi yang diperbolehkan melalui kliring (capping kliring). Pada tahap awal,
capping kliring ditetapkan sebesar Rp. 1 milyar dan pada tanggal 1 Oktober 2002 diubah
menjadi Rp. 100 juta. Selanjutnya secara bertahap capping kliring tersebut akan diturunkan
sehingga transaksi yang melewati kliring akan berkurang dan pada gilirannya risiko akibat
penggunaan net settlement dapat diturunkan.
G.
pembayaran yang dikirimkan oleh peserta, maka transaksi pembayaran tersebut akan
menempati antrian (queue) dalam BI-RTGS.
1. Antrian dalam sistem BI-RTGS berbasis pada priority level dan First In First Out
(FIFO).
2. Modul antrian dalam sistem BI-RTGS dilengkapi dengan fasilitas Bypass FIFO yang
bekerja secara otomatis jika antrian mencapai jumlah tertentu, dengan maksud untuk
mengurangi jumlah antrian.
3. Priority level dalam modul antrian di sistem BI-RTGS adalah sebagai berikut:
a. Prioritas pertama
b. Prioritas kedua
c. Prioritas ketiga
H.
FASILITAS
LIKUIDITAS
PENDANAAN
INTRAHARI
(FLI)
DAN
FASILITAS
serta bersifat continous sepanjang window time. Hal ini berbeda dengan mekanisme kliring
saat ini yang menggunakan net settlement. Dalam net settlement, bank tidak memerlukan
likuiditas yang cukup tinggi secara terus menerus sepanjang hari, sedangkan dengan sistem
RTGS peserta wajib memiliki likuiditas yang cukup tinggi sepanjang hari. Kondisi ini
mentriger kebutuhan FLI dengan tujuan untuk membantu kelancaran pembayaran antar
peserta sepanjang hari.
Dalam sistem gross settlement dapat terjadi pada suatu waktu tertentu, misalnya
pada pagi hari, saldo peserta lebih kecil daripada nominal transaksi yang akan di-settle
yang menyebabkan transaksi tersebut masuk dalam queue. Hal ini bukan berarti bahwa
peserta tersebut mengalami kesulitan likuiditas yang kronis, karena pada dasarnya peserta
tersebut berharap akan menerima incoming transfer dari peserta lain beberapa saat
kemudian. Yang terjadi hanyalah intraday gap antara outgoing transaction dengan
incoming transactions pada suatu saat tertentu saja.
Untuk mengatasi intraday gap ini kebanyakan sistem RTGS diseluruh dunia
memerlukan adanya fasilitas pendukung berupa FLI yang berguna untuk memperlancar
real time transaction. Beberapa ketentuan dalam fasilitas FLI BI-RTGS antara lain :
1.
2.
Bank harus memiliki kesehatan minimal cukup baik yaitu bank yang masih
beroperasi.
3.
Peserta harus mem-pledged SBI dan atau obligasi pemerintah yang nilainya
sekurang-kurangnya sebesar nilai FLI sebagai collateral sehingga fasilitas FLI
bersifat fully secured.
4.
Penggunaan FLI dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro tidak
mencukupi untuk melakukan outgoing transaction sepanjang kekurangan tersebut
tidak melebihi nilai FLI (provided when needed).
5.
Pada saat peserta menerima incoming transfer maka secara otomatis incoming
transfer tersebut akan digunakan untuk mengurangi saldo FLI yang telah digunakan.
6.
FLI hanya dapat dipergunakan dari pukul 06.30 sampai dengan pukul 17.00 WIB
sedangkan untuk pelunasan FLI dilakukan paling lambat pukul 18.00 WIB. Apabila
peserta tidak mampu mengembalikan tepat pada waktunya maka fasilitas FLI
tersebut akan berubah menjadi Fasilitas Pendanaan Jangka Panjang (FPJP) overnight.
7.
Pada saat T+1 sampai dengan pukul 16.00 WIB, Bank Indonesia akan menagih
seluruh kewajiban peserta tersebut dengan menggunakan transaksi "Super Priority"
yang akan didahulukan settlement-nya dibandingkan transaksi-transaksi lainnya.
8.
Dalam hal saldo giro tidak mencukupi untuk pelunasan FPJP sampai dengan pukul
17.00 WIB dan peserta yang bersangkutan tidak mengajukan FPJP baru sampai
dengan pukul 18.15 WIB, maka pelunasan dilakukan dengan mengeksekusi agunan.
III. BYE-LAWS
Selain terdapat ketentuan-ketentuan BI-RTGS yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia,
diantara peserta BI-RTGS sendiri juga berlaku Bye-Laws yang bertujuan untuk mencapai
keseragaman dalam pelaksanaan pembayaran interbank diantara peserta BI-RTGS. ByeLaws diterapkan untuk seluruh aktivitas pembayaran yang dilakukan oleh setiap peserta
dalam suatu rangkaian pembayaran, dimana rangkaian pembayaran tersebut dapat dimulai
dari originator/initiator dan berakhir pada ultimate beneficiary. Beberapa ketentuan yang
terkandung dalam Bye-Laws antara lain :
A. Cut-off time untuk pembayaran dan pelunasan
Dana untuk transaksi pembayaran intraday interbank money market sudah
harus sampai di rekening peserta peminjam selambat-lambatnya 30 menit setelah
selesainya transaksi. Sedangkan pelunasan intraday interbank money market sudah
harus dilaksanakan selambat-lambatnya pk. 16.30 pada hari yang sama.
Untuk transaksi same day value Money Market / Foreign Exchange deals yang
dilaksanakan sebelum pk.16.00 sudah harus disettle selambat-lambatnya pk.16.30.
Sedangkan pelunasannya harus dilaksanakan selambat-lambatnya pk.16.30 pada saat
jatuh tempo.
Untuk transaksi end of day funding harus telah sampai di rekening giro peserta
peminjam selambat-lambatnya pk.18.00 hari yang sama.
B. Kompensasi atas kegagalan pembayaran antar peserta
Apabila pembayaran antar peserta mengalami kegagalan maka pihak-pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan kompensasi atas kegagalan tersebut. Kegagalan
pembayaran dapat berupa keterlambatan, pembayaran dini, pembayaran lebih, pembayaran
kurang dari nominal yang semestinya dan salah kirim.
kompensasi satu sama lainnya terhadap kondisi yang menimbulkan hak kompensasi.
Kompensasi harus dilakukan dengan suatu cara yang sedemikian rupa sehingga tidak
ada satu pesertapun yang dirugikan atau diuntungkan secara tidak adil (unjustly
penalized or enriched).
dalam
kaitannya
dengan
transaksi-transaksi
RTGS,
dan/atau
untuk
sistem BI-RTGS.
Dalam
menguji kehandalan sistem BI-RTGS, independent IT auditor tersebut juga telah pula
melakukan penetration test untuk mengkaji kemungkinan adanya celah yang mungkin
dapat dimanfaatkan oleh para hacker untuk menembus pertahanan sistem BI-RTGS.
Meskipun pada saat ini opini IT audit terhadap seluruh sistem BI-RTGS telah
menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, secara periodik di masa yang mendatang IT
audit akan tetap dilaksanakan agar sistem BI-RTGS tetap aman.
Selain itu, semakin masif dan intensnya kehadiran TI yang berimplikasi pada
ketergantungan terhadap teknologi informasi ini mewajibkan setiap institusi pengguna TI
untuk memiliki kebijakan, prosedur serta sarana pengganti (back up) yang handal. Bank
Indonesia sebagai host sistem BI-RTGS telah menyiapkan Disaster Recover Plan (DRP)
dan Disaster Recovery Centre (DRC) untuk meyakinkan bahwa sistem pembayaran di
Indonesia telah didukung oleh infrastruktur yang handal. Terhadap peserta juga dianjurkan
agar memiliki back up sistem yang memadai di lokasi yang berbeda dengan lokasi utama
yang dapat diaktifkan dalam waktu yang singkat apabila sistem utama gagal sehingga tidak
membahayakan kelancaran pembayaran di industri perbankan secara keseluruhan. Secara
periodik, seluruh peserta BI-RTGS juga diwajibkan untuk menguji-coba back up dan DRP
untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik.
2.
Money in transit yang mungkin terjadi pada saat peserta melakukan transfer ke
cabang-cabang akan dapat dihilangkan sehingga cost of fund peserta akan dapat
diturunkan.
3.
Sedangkan bagi Bank Indonesia, pemberlakuan CSA akan memberikan manfaat dalam hal:
1.
2.
Bank Indonesia juga akan lebih mudah dalam memantau likuiditas peserta karena
posisi rekening giro peserta sudah bersifat nasionall (consolidated) dan dapat
dimonitor recara real-time.
3.
Memberikan informasi yang lebih akurat untuk early warning system terhadap
peserta yang mengalami kesulitan likuiditas
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
tanggal 25/4/03
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Kediri dan Sibolga pada tanggal
29/5/03
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Ternate tanggal 27/6/03
Implementasi sistem BI-RTGS di KBI Lhokseumawe pada tanggal
16/10/03