tidak sadar dirinya telah mempersepsi tempat tersebut sebagai suatu ruang yang
nyaman.
Arsitektur dan Konteks Kehidupan Kota
Isu green design kini telah berkembang sangat pesat, terutama dalam merespon
masalah global warming yang juga semakin parah. Untuk membangun sebuah
lingkungan binaan yang berkelanjutan, ada tiga unsur yang harus dicapai
keberlanjutannya, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan.
Karakteristik sosial, ekonomi, dan lingkungan fisik suatu kota akan mempengaruhi
desain arsitekturnya. Bandingkan saja kehidupan masyarakat dengan tingkat ekonomi
rendah dan masyarakat dengan tingkat ekonomi yang tinggi. Atau kondisi sosial
masyarakat yang tinggal di permukiman padat penduduk yang tertata dengan
permukiman yang tidak tertata. Ataukah pula perbedaan kondisi masyarakat di negara
maju dengan negara berkembang.
Jika kita melihat pada sejarah, ada sebuah peristiwa yang menjadi refleksi keterkaitan
antara teknologi, sosio-ekonomi, dan lingkungan fisik yang saling mempengaruhi satu
sama lain. Persitiwa tersebut adalah revolusi industri di Eropa.
Masa revolusi industri ditandai dengan makin berkembangnya penggunaan mesinmesin berat dan media transportasi jenis baru di Eropa. Akibatnya, kota menjadi
tempat berkumpul dan berlalu lalangnya mesin-mesin tersebut. Orang-orang menjadi
tidak nyaman lagi tinggal di kota karena polusi yang dihasilkan makin tinggi dari
sebelumnya. Dampaknya, banyak orang yang pindah dari kota ke daerah-daerah
pinggiran di sekitar kota. Selain itu, kemunculan mesin berat juga berpengaruh pada
desain arsitektur. Pembangunan mulai menggunakan metode produksi massal
sehingga bentuk dan langgam bangunan pun mulai bergerak ke arah arsitektur
modern.
Sesungguhnya, aspek desain, sosial, ekonomi, dan teknologi, saling berpengaruh satu
sama lain. Semenjak ditemukannya beton bertulang, pembangunan bangunan tinggi
makin berkembang. Dan sejak ditemukannya lift, high rise building pun makin
menjamur. Namun, pengaruh tersebut tidak hanya satu arah. Bahwa desain pun
sebenarnya dapat mempengaruhi aspek sosial, budaya, dan lingkungan fisik dari suatu
peradaban masyarakat.
Dengan kata lain, kontekstualisme merupakan sebuah ide tentang perlunya tanggapan
terhadap lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter
suatu tempat.
Untuk mewujudkan dan menciptakan arsitektur kontekstual, sebuah desain tidak harus
selamanya kontekstual dalam aspek form dan fisik saja, akan tetapi kontekstual dapat
pula dihadirkan melalui aspek non fisik, seperti fungsi, filosofi, maupun teknologi.
Kontekstual pada aspek fisik, dapat dilakukan dengan cara mengambil motif-motif
desain setempat: bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain,
menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga
tampak berbeda, melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual
sama atau mendekati yang lama, dan mengabstraksi bentuk-bentuk asli.
Adapun kontekstual dalam aspek non fisik dapat dilakukan melalui pendekatan
fungsi, filosofi, maupun teknologi. Bangunan baru yang didesain kontras dengan
bangunan lama, namun mampu memperkuat nilai historis bangunan lama justru
dianggap lebih kontekstual daripada bangunan baru yang dibuat selaras, sehingga
menghilangkan atau mengaburkan pandangan orang akan nilai historis bangunan
lama.
Sehingga, untuk menjadikan sebuah desain kontekstual, bisa dengan menjadikannya
selaras ataupun kontras dengan lingkungan sekitar dengan tetap mengedepankan
tujuan dari kontekstual itu sendiri, yaitu menghadirkan kesesuaian, dalam arti
memperkuat, memperbesar, menyelamatkan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas
lingkungan yang ada.
Kontekstualisme sering disalahtafsirkan sebagai pola pemikiran yang hanya
mempertimbangkan konteks sebagai unsur penting dalam pendekatan desain baru.
Sebenarnya kontekstualisme mempunyai arti lebih spesifik. Bangunan kontekstual
tidak berdiri sendiri dan berteriak, Lihatlah aku! tetapi bahkan cenderung menjadi
suatu bangunan yang menjadi latar belakang.
Di bawah ini adalah beberapa contoh preseden penerapan arsitektur kontekstual.
Eko Prawoto menerapkan arsitektur kontekstual dalam tiga karyanya yaitu Rumah
Galeri Seni Cemeti, studio rekam Djaduk Ferianto, dan rumah Jeanni dan Lantip.
Rumah Galeri Seni Cemeti merupakan contoh adanya dialog antara tradisi dengan
modernitas. Dalam hal ini, Eko Prawoto berusaha mengkontekstualkan bagianbagian bangunan yang masih menganut nilai-nilai tradisi lokal dengan yang sudah
modern.
Studio rekam Djaduk Ferianto merupakan contoh dialog antara site yang relatif
berkontur, ditepi sungai dengan bangunan diatasnya. Eko Prawoto berusaha untuk
tidak merusak keadaan site yang sedemikian, namun justru menjadikannya sebagai
generator dalam mendesain. Kasus ini dapat dijadikan sebagai contoh arsitektur yang
kontekstual dengan alam.
Rumah Jeanni dan Lantip merupakan contoh adanya usaha dari sang arsitek untuk
dapat menghadirkan bangunan yang mampu mewujudkan harmoni sosial dengan
masyarakat disekitarnya.
Adapula preseden lainnya yang memakai konsep kontras dengan bangunan lamanya
yaitu Louvre karya I.M. Pei di Perancis. Bangunan baru yang didesain kontras
dengan bangunan lama, namun mampu memperkuat nilai historis bangunan lama.
Kekontrasan Louvre justru memperkuat nilai historis dari bangunan lamanya.
Arsitektur bukanlah obyek yang berdiri sendiri, melainkan harus menjadi satu
kesatuan harmonis dengan sekitarnya, menjadi satu kesatuan jaringan secara sosial,
budaya maupun ekologis. Keberadaannya harus memberikan keseimbangan, tidak
hanya mengambil tetapi juga memberi. Demikianlah juga kota, kota merupakan
jaringan, anyaman ruang dan bangunan yang bertumpuk dalam rentang waktu.
Beberapa elemen dirubah, dibuang, diganti, ditimpa atau disandingkan dengan elemen
baru dan akan terus berlanjut begitu.
Referensi:
http://qolbimuth.wordpress.com/2008/03/05/kontekstualisme-dalam-arsitektur/
http://ayasmira.multiply.com/journal/item/14/Wujudkan_Arsitektur_dalam_Konteks_
Ruang_Kota